Dua belas obor
api menyala bersamaan. Melahap malam yang teramat dingin dan menjadi panas
manakala api melahap bambu-bambu kuning dengan minyak tanah. Menerangi malam
yang semakin pekat. Obor-obor api itu membentuk lingkaran. Sementara
wajah-wajah sinis dan bengis terus berceloteh dan berkicau bagaikan burung
gagak berebut bangkai. Meneriaki, memaki dan melakukan tindakan-tindakan keji.
Wajah mereka
kelihatan beringas, bagaikan binatang buas. Tatapan mata mereka tajam bagaikan
anjing kelaparan. Dan melihat seonggok daging yang tergeletak di rerumputan.
Seorang wanita
baya, dukun beranak, janda. Rambutnya acak-acakan dan mulai memutih. Pakaian
kumal dan kusam. Beberapa sobekan di depan dan di beberapa bagian lain. Entah
sudah berapa lama ia berada di tempat itu. Tempat yang sangat menakutkan
baginya. Dan juga semua orang, pasti. Dia bahkan tidak tahu mengapa mereka
memperlakukan dirinya seperti binatang. Meletakkan tubuhnya pada sebuah kayu
besar yang tergeletak. Dan di tengahnya dibuat dua buah lubang kecil. Lalu
memasukkan kakinya dan menguncinya dengan erat. Meski wanita itu memberontak,
mereka tidak perduli dengan apa yang mereka lakukan.
Pandangan
wanita itu terlihat nanar, pekat dan hitam. Mulutnya tertutup namun berteriak.
Bibirnya berteriak namun tak bersuara. Matanya terlihat basa, namun tak
mengeluarkan air mata. Wajahnya yang memelas tak membuat wajah-wajah sinis itu
berubah iba.
Pohon-pohon
tinggi bagaikan rahwana dari pewayangan. Memelototi dirinya dengan dengki dan
sombong. Seakan ingin mengulitinya hidup-hidup. Dan hewan malam berkicau
semakin menyeramkan.
Sesekali
perempuan itu merintih lirih ketika lukanya dibubuhi abu rokok. Kemudian asap
tembakaunya dihembuskan ke wajah perempuan itu dengan dramatis.
‘Hei, apa yang
kalian lakukan pada diriku?’ sering dia bertanya pada mereka. Namun wajah sinis
dan menakutkan menghardiknya. Memakinya serta memukulnya beberapa kali. Wanita
itu ketakutan, sangat ketakutan.
Seseorang
meludahi wajahnya. Kemudian menarik rambutnya dengan kasar, serta memotongnya
dengan asal. Membotaki rambutnya dengan gunting pagar.
“Dasar dukun
santet!” teriak seorang wanita berbaju daster. Rambutnya sudah memutih, namun tak
sedikitpun ia menaruh rasa iba. Wanita itu memang seorang dukun beranak di desa
mereka. Namun
beberapa kali ibunya ingin melahirkan mati mengenaskan kehabisan darah. Sang
dukun beranak panik ketika warga menghujatnya.
“Kuntilanak!
Penghisap darah!!” celotehnya lagi dengan sebuah amarah.
Perempuan itu
menatapnya dengan tajam. Matanya melotot menahan amarah yang sangat membara.
Dia bahkan tidak tahu mengapa wanita itu sangat membencinya. Bahkan menyakiti
tubuhnya berkali-kali.
‘Dia
menyebutku penghisap darah,’ desisnya pelan. Perut yang kini dirasakan sangat
sakit dan teramat sakit telah menyadarkannya dari sebuah kejadian tragis yang
menimpa dirinya beberapa waktu yang lalu.
@###@
Dua belas obor
api masih menyala. Perempuan itu masih berada pada sebuah kayu besar dengan
kaki terkunci di selanya. Dia dipasung oleh warga desa. Dan mereka kembali
meneriakinya dengan makian pedih. Menendang tubuhnya yang sudah tidak berdaya
dan menyiramnya dengan air dingin. Walau malam masih terasa sangat dingin.
Perempuan itu menggigil dengan bibir bergetar. Memperhatikan satu-persatu
dari mereka yang meneriakinya.
“Dia pantas
mati di pasungan! Biar tahu rasa!” celoteh yang lain dengan bengis. Yang lain
menjambak rambutnya hingga perempuan itu terseret beberapa meter. Beberapa di
antara mereka melemparinya dengan batu dan tepat mengenai bibirnya. Pecah dan
berdarah. Meneteskan darah segar dengan menebar bahu yang sangat amis.
“Cueh!”
kembali ludah kental muncrat di wajahnya. Mata wanita itu kembali menatapi
wajah-wajah sinis yang tegah memasungnya di tengah hutan.
“Biar dia
dimakan binatang buas!” hardik yang lain.
Perempuan itu
kembali menangis. Namun kini air matanya tidak mengalir. Dia hanya diam sambil
menahan sakit di sekujur tubuhnya. Menyaksikan celotehan-celotehan ibu-ibu yang
sangat membenci dirinya.
“Bakar saja dia!
Dia telah menghisap darah warga kampung kita!” Sambung yang lain. Mata wanita tu
beralih pada seorang yang berceloteh. Seorang lelaki baya.
Warga desa
kembali meneriakinya. Memukulnya bagaikan binatang dalam perangkap. Tak berapa
lama warga menyiramnya dengan minyak tanah. Bau nya sangat memabukkan. Dan api
perlahan menyala. Lamat-lamat menghabiskan daun kering di sekitarnya. Membakar
kayu dan ranting yang sengaja dikumpulkan diantara sisi perempuan tak berdaya
itu. Warga membiarkannya tergeletak di atas pasungan. Meski teriakan perempuan
itu seperti lolongan anjing, mereka tidak perduli. Lolongan panjang itu sangat
histeris. Dua belas obor api itu pun satu persatu raib dari pandangannya.
Meninggalkan jasadnya yang berubah bagaikan kayu bakar. Api telah melahapnya
dengan sangat bengis. Bau daging panggang menyebar di seluruh desa. Sangat
memuakkan! Menyengat bagaikan bau bangkai.
@###@
Sebuah rumah tua berdiri kokoh dengan
angkuhnya. Sebagian rumah tua itu sudah keropos dan retak ditelan masa. Konon,
rumah tua itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak dari bangunannya, bekas
peninggalan zaman Belanda. Rumput dan ilalang menjalar panjang di mana-mana,
rimbun sekali. Rimbunan pohon dan akar yang mulai menjalar ke seluruh bangunan
rumah, tampak sangat angker. Banyak yang menyebut bangunan itu sebagai kastil
berdarah, karena banyak kejadian berdarah yang mengerikan terjadi di sana. Oleh
karena itu, tak seorang pun yang berani memasukinya.
Dulu rumah itu dihuni seorang kapten
Belanda bernama Sebastian Buch. Ia tewas mengenaskan tertimpa lampu hias yang
jatuh mengenai kepalanya. Setelah kematiannya, keluarganya pun tewas
mengenaskan dibantai orang tak dikenal. Jika masuk ke dalam rumah itu, makan
akan ditemukan bercak-bercak darah pada dindingnya yang mulai berlumut, membuat
rumah itu makin terkesan angker.
Malam itu awan hitam berarak gelisah,
menghasilkan titik air yang turun dengan ama deras. Kilatan cahaya sesekali
berseliweran, disusul suara petir yang terdengar menyambar. Angin
berhembus teramat kencang. Tak seekor pun hewan nocturnal yang berani keluar,
seolah mereka pun tahu malam itu akan ada kejadian tragis yang mengerikan.
Dari kejauhan tampak seorang bocah
berlari-lari kecil dengan napas tersengal. Dia berusaha mencari tempat berteduh
dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Wajahnya mulai pucat dan bibirnya
bergetar kedinginan.
Dengan kaki gemetar, bocah perempuan itu
memasuki sebuah rumah tua, tanpa berpikir panjang. Yang dibutuhkannya hanyalah
tempat berteduh dan berlindung. Pada sebuah atap yang sudah bocor dan rapuh,
dia jongkok sambil menggigit bibirnya beberapa kali. Dia menggigil.
Kilatan cahaya menyambar lagi.
Spontan bocah itu menjerit, apalagi ketika melihat sebuah kilatan menyambar
ujung pohon sampai terbelah dan mengeluarkan kepulan asap. Bocah itu langsung
menutup telinganya sambil berteriak meminta tolong, namun tak seorang pun
mendengarnya.
Bocah itu tertatih lagi mencari
tempat yang lebih hangat. Dari ruangan satu ke ruangan lainnya. Setengah merunduk,
dia memasuki ruangan yang gelap gulita. Pecahan-pecahan lampu hias berserakan,
kayu lapuk dan genteng yang jatuh bertaburan di mana-mana. Bocah itu merintih
kesakitan ketika sebilah kaca menusuk kaki kanannya. Bocah itu menangis
tersedu. Suaranya lirih menahan sakit.
Angin sayup yang menerobos lewat celah
ventilasi menerpa tubuhnya, semakin teramat dingin. Bocah itu menggigil lagi
sambil meratap sedih. Tangannya yang bergetar sesekali menghapus percikan air
hujan yang tadi membasahi wajahnya.
Bocah itu agak kurus. Kulitnya hitam,
wajahnya pucat dan matanya cekung ke dalam. Pandangannya sayu sekali. Keadaanya
sangat menyedihkan. Ia berjalan lagi menelusuri ruang-ruang gelap. Sesekali ia
merintih lagi sambil memegangi kakinya yang terasa sangat perih. Ia berharap
dapat berteduh dengan nyaman dan menghilangkan rasa sakit serta dingin yang
terus menderanya. Ia sangat kelaparan. Perutnya kempis melilit. Sudah dua hari
perutnya tidak terasa nasi. Untuk makan saja ia harus mengemis dari rumah ke
rumah. Namun, banyak orang yang menghempaskan nya dengan keji. Keji sekali. Ia
hidup hanya sebatang kara setelah beberapa waktu lalu ibunya tewas dibakar
warga.
Bocah itu merintih lagi ketika luka di
kakinya menginjak pecahan genteng. Ia menangis tersedu sambil terus berharap
malam ini cepat berlalu dan esok ia akan mencari sisa makanan di tempat sampah.
Namun, kenyataan lain dari harapannya. Tiba-tiba saja ia terpeleset dari anak
tangga dan jatuh tergelincir. Ia menjerit meminta tolong berulang-ulang.
Suaranya serak dan parau.
Teriakan itu tiba-tiba saja terhenti
ketika sebuah benda tajam menembus dan menusuk tenggorokannya. Bocah itu
terjerembab. Kepalanya terpenggal dan jatuh ke selokan. Air matanya terhenti
seketika. Lumuran darah segar muncrat deras dan hangat membasahi anak tangga.
Darah itu mengalir bak air hujan turun ke bumi. Bocah itu tewas dengan
mengenaskan!
Malam semakin panjang dan larut. Tidak
ada lagi jerit tangis dan rintihan seorang bocah yang kelaparan meminta sesuap
nasi. Suasana semakin dingin. Angin yang berhembus membawa bahu anyir darah
segar. Amis! Rumah itu semakin angker!
Sepuluh tahun telah berlalu begitu saja. Kini rumah itu sudah direnovasi menjadi rumah layak huni. Semuanya sudah berubah. Rumah itu terlihat elegan. Dipagari dengan besi tinggi sebahu. Halamannya luas, ditanami bunga-bunga perdu berdaun rimbun. Pecahan batu granit tersusun rapi sampai ke teras depan. Namun, nuansa Belanda masih terlihat di rumah itu.
Di ruang tamu ada dua orang tukang bangunan yang membersihkan sisa-sisa bahan bangunan. Keduanya ketakutan. Apalagi saat mendengar sering muncul penampakan yang menakutkan di rumah itu.
“Rumah ini seram sekali, Bang.” Kata seorang tukang kepada temannya.
“Sudahlah, Hot. Jangan ngedumel terus. Ayo, cepat kerjakan, keburu gelap.”
“Iya, Bang. Tapi bulu kudukku merinding terus. Aku merasa ada yang mengawasi kita.”
“Ah... Kau jangan mengada-ada, Hot. Di sini cuma kita berdua.”
“Benar, Bang. Aku seperti melihat seseorang di ruangan itu.”
“Jangan ngaco. Ayo kerjakan!” Seru laki-laki itu yang sebenarnya takut juga.
“Aku tidak bohong, Bang. Aku melihat bayangan orang di sana.”
“Itu Cuma khayalan mu saja, Hot.”
“Bang, aku juga pernah mendengar cerita si Johan yang melihat penampakan di kamar mandi. Dia melihat sepotong kepala anak-anak yang meringis dengan mata melotot kemerahan. Wajahnya penuh belatung dan mengerikan. Ih... Serem, Bang.” Laki-laki itu bergidik ngeri.
“Ah, sudahlah, Hot. Jangan cerita yang seram-seram di sini. Cepat kita selesaikan pekerjaan kita, biar cepat pulang.” Laki-laki itu ketakutan.
Ia sebenarnya pernah mendengar cerita-cerita misteri tentang rumah itu. Konon arwah seorang perempuan sering muncul. Kulitnya terkelupas dan mengeluarkan asap. Konon arwah perempuan itu tewas dibakar. Matanya leleh dan menjuntai ke bawah. Ada juga arwah gadis Belanda mengenakan gaun putih berlumur darah. Gadis itu tewas dibantai orang tak dikenal.
“Siapa sih orang yang mau menempati rumah seperti ini, Bang?” tanya Marihot dengan gemetar. Hawa di ruangan itu tiba-tiba menjadi dingin.
“Tidak tahu. Katanya seorang pengusaha.”
“Kok gak takut, ya?”
“Ah, sudahlah, Hot. Dari tadi kau ngoceh terus. Kupingku bisa panas mendengar ocehan mu. Tinggal sedikit lagi ini. Kalau besok belum selesai juga, Pak mandor pasti marah besar dan gajih kita dipotong.”
Laki-laki itu terdiam. Matanya memperhatikan ruang gelap dengan seksama. Dia melihat sekelebatan bayangan hitam melintas tanpa kepala.
“Aku takut, Bang... Sebaiknya kita pulang saja. Besok kita lanjutkan.”
“Nggak bisa, Hot. Besok pak Rahmad mau melihat rumah ini.”
“Tapi, Bang...”
“Tapi apa lagi, Hot?”
“Aku melihat,” Bibir Marihot bergetar hebat.
“Kau melihat apa?”
BRAK!
Sebuah benda jatuh ke lantai. Tidak tahu benda apa. Kedua laki-laki itu semakin ketakutan. Keduanya tercekat dan saling pandang. Wajah mereka berubah pucat dan menjerit ketika sebuah bayang hitam melintas dengan cepat.
“Akh...!” Teriak keduanya histeris.
Kedua laki-laki itu berlari terbirit. Tak peduli sampah berserakan di lantai. Tak peduli sendal mereka tertinggal di anak tangga. Mereka terus saja berlari dengan napas tersengal. Sebuah suara menggema di ruang tamu.
Jakarta, 2019
Papa dan mama terlihat bercengkrama di ruang tamu. Wajah keduanya terlihat serius. Maklum, mereka sedang membicarakan masalah perusahaan. Ini mungkin adalah keputusan terberat yang harus diutarakan papa. Perusahaan mereka bangkrut dan papa sudah tidak mampu lagi mengembalikan keadaan perusahaan. Utang ci bank semakin menumpuk.
“Kita akan pindah ke Medan, Ma.” Ujar papa.
Mama mendesah berat, memperhatikan wajah papa dengan lekat.
“Apakah keputusan papa itu sudah matang?”
“Papa tidak tahu lagi harus bagaimana, Ma. Sebaiknya beri tahu Riri dan Gordy supaya mereka bersiap-siapmengemasi barangnya.”
“Ini pasti berat buat Riri, Pa...”
Papa bergeming, hanya menghelah nafas denganberat. “Mau bagaimana lagi, Ma? Rumah ini juga akan disita pihak bank. Sebelum kita diusir, lebih baik kita pindah lebih dulu.”
Mama terlihat prihatin dengan keadaan papa. Ia bangkit dari duduknya dan menuju kamar Riri. Riri masih asyik mendengarkan musik dari bombox-nya, tiba-tiba mendengar ketukan pintu di kamarnya. Ia mengecilkan volume musik dan membuka pintu kamar.
“Ada apa, Ma?” tanyanya setelah pintu dibuka.
Mama mengumbar senyum sekilas, lalu masuk ke kamar Riri. Mama memperhatikan kamar Riri dan perabotan yang ada, kemudian duduk di tepi ranjang.
“Bagaimana sekolahmu, Ri?” tanya mama basa-basi.
“Ya, seperti biasa, Ma. Memangnya ada apa?”
Mama menarik nafas sejenak. Ia tidak mau Riri shock kerna perpindahan mereka.
“Kita akan pindah ke Medan, Ri.” Ucap mama lembut.
“Pindah?” Riri kaget sambil membuat kerutan di dahinya. “Kok pindah sih, Ma? Memangnya ada apa sih? Kok mendadak aja ngajak pindah? Riri nggak mau ah!”
“Ri... keadaan papa dan perusahan papa saat ini kurang baik. Saham-saham papa juga mengalami masalah.”
“Tapi apakah kita harus pindah ke Medan, ma? Apakah gak ada kota lain yang dekat dengan Jakarta? Yogyakarta atau Surabaya kek.”
“Ya, karena papa masih punya harta warisan kakemu di sana.”
“Ugghh...” Riri merengut. “Riri udah nyaman di Jakarta, ma. Medan itu ngga ada apa-apanya dibanding Jakarta.”
“Ri... tolong mengerti keadaan papa. Kalau nanti perusahaan papa sudah mulai membaik, kita kembali lagi ke Jakarta.”
“Uh, sebel!” Riri duduk di atas tempat tidur sambil ngedumel.
“Sudah dong, Sayang... Sekarang kamu kemasi barang-barang kamu ya. Besok pagi-pagi sekali kita udah harus ke bandara.”
“Besok?” Riri membelalakan matanya. “Cepat amat? Ma, tolong dong beri waktu buat Riri.”
“Ini sudah keputusan papa, Ri. Pihak bank akan menyita rumah kita. Dari pada kita diusir dengan tidak terhormat, mending kita pergi lebih dulu.”
“Tapi, Ma...”
“Sudahlah, kamu kemasi aja barang-barangmu. Mama juga mau mengemasi barang-barang mama.” Mama beranjak dari tempat tidur Riri dan keluar dari kamar.
Riri lagi-lagi ngedumel kesal. “Memangnya nggak ada cara lain selain pindah?!”
Riri mengepak semua barang-barangnya dengan malas. Sambil memasukan baju-bajunya ke koper besar, Riri menggerutu kecil. Entah apa maksud papa ngajak pindah segala. Padahal hidup di Medan kan lebih enak dari pada tinggal di kota kecil, masuk desa lagi. Nggak ada tempat hiburan, lapangan basket, kampus bagus dan sarana hiburan lainnya.
‘Ugh, bete banget deh.‘ desah Riri kecil.
“Ri, kamu sudah selesai?“ Gordy tiba-tiba saja mengejutkan Riri, adiknya. Riri menoleh dengan kesal.
“Dikit lagi, kak.“ sahut Riri dengan bibir manyun. Gordy menghampiri adik satu-satunya itu.
“Kamu kenapa sih, bawaanya bete gitu?“
“Gimana nggak bete sih, kak. Kalau kita pindah ke desa yang nggak jelas itu sama aja kita pindah di planet asing. Belum lagi Riri harus beradaptasi dengan lingkungan, teman baru dan orang-orang baru. Terus, tempat hiburan di sana apa ada seperti di sini?“
“Sudahlah, Ri. Mungkin papa bosan tinggal di kota yang sumpek ini.“
“Huh, kak Gordy sama aja.“ Riri manyun.
“Kamu sudah selesai, Ri?“ Tiba-tiba saja mama nyelonong masuk. Mama memperhatikan barang-barang Riri yang masih berantakan.
“Loh kok belum selesai juga sih, Ri. Cepetan dong dibenahi barang-barangnya. Papa sudah nunggu tuh. Ntar keburu malam.“
“Iya deh, ma. Sebentar lagi juga selesai.“ jawab Riri malas.
“Ya sudah, mama tunggu di depan ya.“
Riri mengangguk tidak semangat.
“Biar kakak bantu, Ri.“
“Nggak usah deh, kak. Riri bisa sendiri kok.“
“Tapi barang kamu masih banyak yang belum dipak.“
“Iya, tapi Riri bisa sendiri. Lagian barang-barang Riri banyak yang gampang pecah. Kak Gordy nggak tahu.”
“Okey deh, cepetan ya.“
“He-em.“ Riri mengangguk. Gordy beringsut dari kamar Riri dan berlalu keluar. Dengan malas Riri kembali mengepak barang-barangnya. Memasukan satu per-satu pernak perniknya. Boneka kesayangannya dan juga barang-barang antiq lainnya.
Setelah selesai Riri keluar kamarnya dengan langkah malas. Meninting koper besarnya dan beberapa box kecil. Di depan papa sudah menunggu lama sekali. Riri melihat kejenuhan papa menunggu dirinya.
@###@
Medan.
Pesawat mendarat di bandara Kuala Namu Medan. Riri menarik kopernya dari bandara. Gordi juga menarik barang-barang bawaannya. Sedangkan mama membawa satu tas jinjing besar. Papa asyik bertelepon ria sambil menarik beberapa travel bag nya. Perabotan rumah sudah dipaketkan melalui sebuah kontainer besar. Sebuah APV dan beberapa orang sudah menunggu di bandara, bersedia mengantarkan papa sampai tujuan. Itu pasti anak buah papa. Buktinya mereka menyapa papa dengan begitu akrab.
Riri masuk ke mobil dan duduk dengan tidak semangat. Berbeda dengan Gordi yang tampak biasa-biasa saja. Sebagai kakak yang lebih dewasa, ia selalu membujuk Riri agar tidak terlalu terbebani.
“Sudah dong, jangan manyun aja. Tuh bibir lama-lama bisa dower.”
“Ughh... Bete nih.”
“Santai aja, Ri. Ini juga karena keadaan papa yang semakin sulit.”
“Tapi gak harus ke Medan juga kan, Kak. Jauh banget dari Jakarta.”
“Udah ah, kakak mau tidur lagi.” Gordi pun menyandarkan kepalanya ke kursi mobil dan memejamkan matanya.
Perlahan mobil APV hitam metalik melaju dengan kecepatan sedang. Pemandangan dari balik kaca mobil silih berganti. Dari gedung-gedung pencakar langit hingga pohon-pohon kecil dan rindang. Suasana kota pun perlahan berubah menjadi desa kecil yang sangat asing.
Riri memperhatikan pohon-pohon besar dan rindang yang berkelebat di sepanjang jalan. Angin semilir menyusup menyentuh pori-pori. Terasa dingin. Sesaat ia memperhatikan sebuah bangunan putih yang bertengger tidak jauh dari sudut jalan. Gedung tua yang kini ditumbuhi semak belukar kelihatan menyeramkan.
Tak berapa lama mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan rumah berarsitektur Belanda.
Gordi membuka pintu mobil sambil berdecak kagum, tak sabar ingin masuk ke rumah baru mereka. Ia berdecak kagum, tidak seperti yang ia bayangkan. Ini sangat luar biasa. Riri justru merasa enggan turun. Dahinya membuat lipatan-lipatan tipis. Bibirnya manyun. Rumah yang berdiri di atas tanah seluas seribu meter membuat ia bergidik ngeri.
“Sudah sampai, Ri. Ayo turun.“ Ujar mama mengejutkan lamunan Riri. Riri terkesiap seraya memperhatikan rumah baru mereka. Rumah model lama seperti rumah orang belanda.
“Ini rumah kita, ma?“ tanya Riri sedikit heran.
“Iya, ini rumah kita sekarang. Dulu rumah ini ditempati kakek mu. Ya daripada kita membeli rumah lagi kan pemborosan. Lagi pula papamu sudah tidak punya tabungan banyak untuk beli rumah. Rumah ini cukup bagus kok, Ri. Suasananya juga enak. Adem. Pemandangannya juga bagus.“ puji mama.
Ughh, mama. Kenapa sih kita harus pindah ke sini? Di kota kecil lagi.” Riri mengeluh.
Mama menarik napas sebelum berusaha menenangkan kerisauan Riri.
“Mama tau ini berat untukmu, Ri. Kamu tahu kan, Sayang. Keadaan papa dan mama sudah tidak memungkinkan untuk hidup di Jakarta. Apa salahnya papa dan mama memulai kehidupan yang baru di kota ini. Sudahlah, Sayang... Pasti kamu senang tinggal di sini.”
Riri memilih diam meski masih terlihat cemberut. Sungguh kepindahan ini sangat tidak ia inginkan. Apalagi harus beradaptasi dengan lingkungan di sekitar.
Riri menelan air liurnya dengan berat. Kemudian memperhatikan sekeliling bangunan yang kini berdiri di depannya. Rumah tua yang direnovasi sedemikian rupa dengan arsitek papanya. Cukup bagus dan terkesan modern. Halamannya luas dan ada dua buah gazebo pada bagian samping. Ada patung perempuan dari abad pertenan di taman. Rambutnya tergerai dengan ekspresi kesedihan.
Riri turun dari mobil dan menginjakkan kakinya pada pecahan batu kerikil yang disusun rapi sebagai jalan menuju pintu depan. Pandangannya mengedar ke halaman samping. Cukup rapi dan nyaman.
Seorang laki-laki paruh baya menghampiri papa dan menyerahkan anak kunci. Laki-laki itu bernama Lambok, berasa dari suku batak dan berusia enam puluh lima tahun. Terlihat amat menyeramkan di mata Riri. Rambutnya penuh uban. Kulitnya hitam dengan sorot mata yang tajam. Dia tukang kebun Subroto, almarhum kakeknya. Laki-laki yang terlihat misterius itu sudah mengabdi sejak papa Riri anak-anak. Ia sangat dipercaya untuk menjaga dan mengurus rumah itu.
“Terima kasih, Pak Lambok. Bapak sudah mengurus rumah ini dengan baik.”
“Sama-sama, Nak. Saya sudah menanti datangnya hari ini sejak lama. Kalau ada apa-apa, saya ada di belakang, Nak Bin.”
“Iya, Pak. Terima kasih.”
Lelaki tua itu tersenyum tipis seraya mengangguk pelan. Sebelum melangkah pergi, matanya yang kusam melirik penuh arti ke arah Riri. Riri langsung bergidik.
Papa mulai membuka pintu depan rumah itu lebar-lebar seraya tersenyum tipis.
“Nah , sekarang ini jadi rumah kita. Ayo, masuk!” Ucap papa.
Riri masih terpaku memperhatikan rumah di depannya. Sedangkan Gordi cepat-cepat mengangkat kopermya memasuki rumah mendahului papa. Mama menyuruh sopi agar mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil dan membawanya ke dalam rumah. Riri tidak begitu antusias seperti kakaknya. Ia justru ingin melihat-lihat dulu situasi di sekitar rumah mereka.
Mata gadis itu lalu terpat pada ayunan besi yang terletak tak jauh dari taman belakan. Besi-besinya dicat warna putih. Sesaat pandangannya memudar. Ia melihat bayangan putih di ayunan. Mata Riri membelalak tak berkedip ketika melihat gadis kecil berambut pirang bermain ayunan. Gadis kecil itu menatapnya tajam.
“Riri, ayo masuk!” Mama mengagetkannya. Riri terkesiap, menoleh ke arah mama.
o..i..iya, Ma.” Sahutnya gagap sambil berusaha menenangkan diri setelah dihinggapi halusinasi mengerikan tadi.
Sebelum mengikuti langkah mama memasuki rumah, ia sempat menoleh kembali ke halaman belakang. Ayunan terhenti. Gadis kecil itu sudah tidak ada. Riri buru-buru masuk.
Riri mendesah berat melihat keadaan rumah yang terkesan angker. Atmosfer yang dipancarkan juga membuat bulu kuduknya merinding. Matanya mengedar satu ruangan yang masih terlihat kosong. Belum banyak perabotan dama rumah itu. Hanya ada beberapa lemari kecil, kursi peninggalan kakek dan beberapa guci antik.
Riri menelan ludahnya dan bergidik. Matanya mengawasi setiap sudut ruangan. Terasa dingin. Ia berjalan perlahan sambil memperhatikan dinding-dindingnya dengan seksama. Sementara itu, Mama sibuk memasukkan barang-barangnya ke kamar.
“Kamar kamu di atas ya, Ri, bareng kak Gordi.”
Riri hanya mengangguk pelan, kemudian menaiki anak tangga yang dibuat setengah melingkar. Matanya terus mengawasi seisi rumah dengan was-was.
Gadis itu lalu membuka pintu kamar sambil memerhatikan perabota di dalamnya. Ada sebuah tempat tidur dengan tiang di setiap sudutnya, lemari baju, meja belajar dan perabotan lainnya. Sebuah lampu hias dengan bentuk yang unik terpajang di langit-langit kamarnya. Dinding kamar dihiasi wallpaper bercorak bunga-bunga berwarna merah jambu. Ternyata papa sudah menyiapkan kamar itu sebelum mereka pindah.
Riri membuka jendela kamar dan menghirup udara segar yang masuk. Ia menghembuskan napasnya dengan lega. Merasa lelah, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Di plafonkamar tampak lukisan langit biru dan awan-awan putih bertaburan serta kerlip miniatur bulan dan bintang. Ririr mencoba membuang pikiran-pikiran angker dari benaknya. Lalu, ia bangkit dari tempat tidur. Riri mulai merapikan barang-barang dan memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari pakaian.
Setelah selesai merapikan baju-bajunya, Riri berjalan menuju jendela kamar. Dua pohon rindang tumbuh subur di sana. Ada hamparan rumput hijau dihiasi beberapa bunga mawar yang sedang mekar. Di kejauhan terlihat juga pemandangan persawahan yang hijau. Riri menghela napas panjang. Matanya beralih pada sebuah jam antik yang berdiri di sudut kamar. Jam itu sering dilihatnya di film-film horor Hollywood. Di dinding kamar ada sebuah lukisan. Lukisan seorang gadis kecil bermata biru dan berambut pirang. Sudah usang dan sedikit memudar, namun memberikan kesan seni yang tinggi.
“Ririii...” panggil Mama dari luar. Riri menoleh dengan cepat ke arah pintu kamar.
“Iya, Ma.” Sahutnya, beranjak membuka pintu.
“Bantuin Mama dong.”
“Bantuin apa sih, Ma? Kita kan baru aja sampek.” Riri sedikit memelas.
“Ngerapiin dapur. Mama mau masak buat makan malam. Ayo dong, Ri...”
“Uh, Mama... kenapa nggak beli makanan di luar aja sih?”
“Udah dong, Ri. Hitung-hitung dapat pahala kan bantuin mama.”
Riri memutar bola matanya. “Iya, deh. Riri ganti baju dulu.”
“Cepetan ya, keburu malam.” Kata mama mengingatkan dan berlalu ke dapur, sedangkan Riri masuk kembali ke kamar.
Hari sudah menjelang sore. Riri berendam di bathup dengan busa melimpah. Ia mencoba memejamkan mata untuk mengusir kelelahan. Hanya sekejab. Tiba-tiba ia melihat bayangan aneh di dalam kamar mandi, seperti seorang bocah kecil berlari di kamar mandi. Riri tercekat dan terbelalak kaget. Refleks ia membersohkan tubuhnya, lalu menyekanya dengan handuk. Riri beranjak dari bathtup dan membuka pintu kamar mandi. Ia melangkahkan kakinya menuju jendela kamar. Takut-takut ia memerhatikan situasi halaman samping. Tidak ada siapa-siapa, pikirnya. Riri mengerutkan kening seraya menutup jendela kamarnya, kemudian berjalan ke lemari baju dan mengganti pakaian.
Mama menyusun piring di meja makan, memindahkan lauk ke piring besar dan meletakkan sayur di tempat sayur.
“Sudah selesai, Ma?” tanya Riri basa- basi.
“Belum nih, bantuin dong, Ri. Ambilin sendok sama garpu gih.”
“Iya, Ma.” Riri bergegas mengambil sendok dan garpu.
Senja merambat membuat langit menjadi pekat. Melam pun merangkak bersama suara hewan malam yang terus berbunyi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!