Medan.
Pesawat mendarat di bandara Kuala Namu Medan. Riri menarik kopernya dari bandara. Gordi juga menarik barang-barang bawaannya. Sedangkan mama membawa satu tas jinjing besar. Papa asyik bertelepon ria sambil menarik beberapa travel bag nya. Perabotan rumah sudah dipaketkan melalui sebuah kontainer besar. Sebuah APV dan beberapa orang sudah menunggu di bandara, bersedia mengantarkan papa sampai tujuan. Itu pasti anak buah papa. Buktinya mereka menyapa papa dengan begitu akrab.
Riri masuk ke mobil dan duduk dengan tidak semangat. Berbeda dengan Gordi yang tampak biasa-biasa saja. Sebagai kakak yang lebih dewasa, ia selalu membujuk Riri agar tidak terlalu terbebani.
“Sudah dong, jangan manyun aja. Tuh bibir lama-lama bisa dower.”
“Ughh... Bete nih.”
“Santai aja, Ri. Ini juga karena keadaan papa yang semakin sulit.”
“Tapi gak harus ke Medan juga kan, Kak. Jauh banget dari Jakarta.”
“Udah ah, kakak mau tidur lagi.” Gordi pun menyandarkan kepalanya ke kursi mobil dan memejamkan matanya.
Perlahan mobil APV hitam metalik melaju dengan kecepatan sedang. Pemandangan dari balik kaca mobil silih berganti. Dari gedung-gedung pencakar langit hingga pohon-pohon kecil dan rindang. Suasana kota pun perlahan berubah menjadi desa kecil yang sangat asing.
Riri memperhatikan pohon-pohon besar dan rindang yang berkelebat di sepanjang jalan. Angin semilir menyusup menyentuh pori-pori. Terasa dingin. Sesaat ia memperhatikan sebuah bangunan putih yang bertengger tidak jauh dari sudut jalan. Gedung tua yang kini ditumbuhi semak belukar kelihatan menyeramkan.
Tak berapa lama mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan rumah berarsitektur Belanda.
Gordi membuka pintu mobil sambil berdecak kagum, tak sabar ingin masuk ke rumah baru mereka. Ia berdecak kagum, tidak seperti yang ia bayangkan. Ini sangat luar biasa. Riri justru merasa enggan turun. Dahinya membuat lipatan-lipatan tipis. Bibirnya manyun. Rumah yang berdiri di atas tanah seluas seribu meter membuat ia bergidik ngeri.
“Sudah sampai, Ri. Ayo turun.“ Ujar mama mengejutkan lamunan Riri. Riri terkesiap seraya memperhatikan rumah baru mereka. Rumah model lama seperti rumah orang belanda.
“Ini rumah kita, ma?“ tanya Riri sedikit heran.
“Iya, ini rumah kita sekarang. Dulu rumah ini ditempati kakek mu. Ya daripada kita membeli rumah lagi kan pemborosan. Lagi pula papamu sudah tidak punya tabungan banyak untuk beli rumah. Rumah ini cukup bagus kok, Ri. Suasananya juga enak. Adem. Pemandangannya juga bagus.“ puji mama.
Ughh, mama. Kenapa sih kita harus pindah ke sini? Di kota kecil lagi.” Riri mengeluh.
Mama menarik napas sebelum berusaha menenangkan kerisauan Riri.
“Mama tau ini berat untukmu, Ri. Kamu tahu kan, Sayang. Keadaan papa dan mama sudah tidak memungkinkan untuk hidup di Jakarta. Apa salahnya papa dan mama memulai kehidupan yang baru di kota ini. Sudahlah, Sayang... Pasti kamu senang tinggal di sini.”
Riri memilih diam meski masih terlihat cemberut. Sungguh kepindahan ini sangat tidak ia inginkan. Apalagi harus beradaptasi dengan lingkungan di sekitar.
Riri menelan air liurnya dengan berat. Kemudian memperhatikan sekeliling bangunan yang kini berdiri di depannya. Rumah tua yang direnovasi sedemikian rupa dengan arsitek papanya. Cukup bagus dan terkesan modern. Halamannya luas dan ada dua buah gazebo pada bagian samping. Ada patung perempuan dari abad pertenan di taman. Rambutnya tergerai dengan ekspresi kesedihan.
Riri turun dari mobil dan menginjakkan kakinya pada pecahan batu kerikil yang disusun rapi sebagai jalan menuju pintu depan. Pandangannya mengedar ke halaman samping. Cukup rapi dan nyaman.
Seorang laki-laki paruh baya menghampiri papa dan menyerahkan anak kunci. Laki-laki itu bernama Lambok, berasa dari suku batak dan berusia enam puluh lima tahun. Terlihat amat menyeramkan di mata Riri. Rambutnya penuh uban. Kulitnya hitam dengan sorot mata yang tajam. Dia tukang kebun Subroto, almarhum kakeknya. Laki-laki yang terlihat misterius itu sudah mengabdi sejak papa Riri anak-anak. Ia sangat dipercaya untuk menjaga dan mengurus rumah itu.
“Terima kasih, Pak Lambok. Bapak sudah mengurus rumah ini dengan baik.”
“Sama-sama, Nak. Saya sudah menanti datangnya hari ini sejak lama. Kalau ada apa-apa, saya ada di belakang, Nak Bin.”
“Iya, Pak. Terima kasih.”
Lelaki tua itu tersenyum tipis seraya mengangguk pelan. Sebelum melangkah pergi, matanya yang kusam melirik penuh arti ke arah Riri. Riri langsung bergidik.
Papa mulai membuka pintu depan rumah itu lebar-lebar seraya tersenyum tipis.
“Nah , sekarang ini jadi rumah kita. Ayo, masuk!” Ucap papa.
Riri masih terpaku memperhatikan rumah di depannya. Sedangkan Gordi cepat-cepat mengangkat kopermya memasuki rumah mendahului papa. Mama menyuruh sopi agar mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil dan membawanya ke dalam rumah. Riri tidak begitu antusias seperti kakaknya. Ia justru ingin melihat-lihat dulu situasi di sekitar rumah mereka.
Mata gadis itu lalu terpat pada ayunan besi yang terletak tak jauh dari taman belakan. Besi-besinya dicat warna putih. Sesaat pandangannya memudar. Ia melihat bayangan putih di ayunan. Mata Riri membelalak tak berkedip ketika melihat gadis kecil berambut pirang bermain ayunan. Gadis kecil itu menatapnya tajam.
“Riri, ayo masuk!” Mama mengagetkannya. Riri terkesiap, menoleh ke arah mama.
o..i..iya, Ma.” Sahutnya gagap sambil berusaha menenangkan diri setelah dihinggapi halusinasi mengerikan tadi.
Sebelum mengikuti langkah mama memasuki rumah, ia sempat menoleh kembali ke halaman belakang. Ayunan terhenti. Gadis kecil itu sudah tidak ada. Riri buru-buru masuk.
Riri mendesah berat melihat keadaan rumah yang terkesan angker. Atmosfer yang dipancarkan juga membuat bulu kuduknya merinding. Matanya mengedar satu ruangan yang masih terlihat kosong. Belum banyak perabotan dama rumah itu. Hanya ada beberapa lemari kecil, kursi peninggalan kakek dan beberapa guci antik.
Riri menelan ludahnya dan bergidik. Matanya mengawasi setiap sudut ruangan. Terasa dingin. Ia berjalan perlahan sambil memperhatikan dinding-dindingnya dengan seksama. Sementara itu, Mama sibuk memasukkan barang-barangnya ke kamar.
“Kamar kamu di atas ya, Ri, bareng kak Gordi.”
Riri hanya mengangguk pelan, kemudian menaiki anak tangga yang dibuat setengah melingkar. Matanya terus mengawasi seisi rumah dengan was-was.
Gadis itu lalu membuka pintu kamar sambil memerhatikan perabota di dalamnya. Ada sebuah tempat tidur dengan tiang di setiap sudutnya, lemari baju, meja belajar dan perabotan lainnya. Sebuah lampu hias dengan bentuk yang unik terpajang di langit-langit kamarnya. Dinding kamar dihiasi wallpaper bercorak bunga-bunga berwarna merah jambu. Ternyata papa sudah menyiapkan kamar itu sebelum mereka pindah.
Riri membuka jendela kamar dan menghirup udara segar yang masuk. Ia menghembuskan napasnya dengan lega. Merasa lelah, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Di plafonkamar tampak lukisan langit biru dan awan-awan putih bertaburan serta kerlip miniatur bulan dan bintang. Ririr mencoba membuang pikiran-pikiran angker dari benaknya. Lalu, ia bangkit dari tempat tidur. Riri mulai merapikan barang-barang dan memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari pakaian.
Setelah selesai merapikan baju-bajunya, Riri berjalan menuju jendela kamar. Dua pohon rindang tumbuh subur di sana. Ada hamparan rumput hijau dihiasi beberapa bunga mawar yang sedang mekar. Di kejauhan terlihat juga pemandangan persawahan yang hijau. Riri menghela napas panjang. Matanya beralih pada sebuah jam antik yang berdiri di sudut kamar. Jam itu sering dilihatnya di film-film horor Hollywood. Di dinding kamar ada sebuah lukisan. Lukisan seorang gadis kecil bermata biru dan berambut pirang. Sudah usang dan sedikit memudar, namun memberikan kesan seni yang tinggi.
“Ririii...” panggil Mama dari luar. Riri menoleh dengan cepat ke arah pintu kamar.
“Iya, Ma.” Sahutnya, beranjak membuka pintu.
“Bantuin Mama dong.”
“Bantuin apa sih, Ma? Kita kan baru aja sampek.” Riri sedikit memelas.
“Ngerapiin dapur. Mama mau masak buat makan malam. Ayo dong, Ri...”
“Uh, Mama... kenapa nggak beli makanan di luar aja sih?”
“Udah dong, Ri. Hitung-hitung dapat pahala kan bantuin mama.”
Riri memutar bola matanya. “Iya, deh. Riri ganti baju dulu.”
“Cepetan ya, keburu malam.” Kata mama mengingatkan dan berlalu ke dapur, sedangkan Riri masuk kembali ke kamar.
Hari sudah menjelang sore. Riri berendam di bathup dengan busa melimpah. Ia mencoba memejamkan mata untuk mengusir kelelahan. Hanya sekejab. Tiba-tiba ia melihat bayangan aneh di dalam kamar mandi, seperti seorang bocah kecil berlari di kamar mandi. Riri tercekat dan terbelalak kaget. Refleks ia membersohkan tubuhnya, lalu menyekanya dengan handuk. Riri beranjak dari bathtup dan membuka pintu kamar mandi. Ia melangkahkan kakinya menuju jendela kamar. Takut-takut ia memerhatikan situasi halaman samping. Tidak ada siapa-siapa, pikirnya. Riri mengerutkan kening seraya menutup jendela kamarnya, kemudian berjalan ke lemari baju dan mengganti pakaian.
Mama menyusun piring di meja makan, memindahkan lauk ke piring besar dan meletakkan sayur di tempat sayur.
“Sudah selesai, Ma?” tanya Riri basa- basi.
“Belum nih, bantuin dong, Ri. Ambilin sendok sama garpu gih.”
“Iya, Ma.” Riri bergegas mengambil sendok dan garpu.
Senja merambat membuat langit menjadi pekat. Melam pun merangkak bersama suara hewan malam yang terus berbunyi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Yurnita Yurnita
ceritanya serem kk
2023-08-08
0
Ela Qilun
haduch mulai sereum nich .mana baca ny malem lagi .
2021-01-27
0
Novitasari Olii
bagus ya ceritanya
2021-01-27
0