Riri terjaga dari tidurnya. Ia terbangun dengan berat. Tubuhnya lemas. Rasa malas menyergap pagi yang cerah. Ia beranjak menghampiri daun jendela. Matanya tertuju pada halaman. Mawar merah mereka. Kroket kuning tumbuh subur di sisi taman. Riri menyampingkan gorden coklat muda bercorak bunga-bunga. Sinar matahari berebutan masuk di kamar.
”Bagaimana keadaanmu, Sayang?” tanya mama. Menempelkan telapak tangan ke kening Riri.
”Riri baik-baik saja, Ma,”
Mama tersenyum tipis. ”Kenapa kamu tidur di dekat jendela?”
Riri bingung. ”Hmm...” Riri berusaha mengingat kejadian tadi malam. ”Riri ngantuk berat, Ma. Jadi gak tahu kalau tertidur di dekat jendela,”
”Gimana tidurmu? Nyenyak? Pasti kamu mimpi indah, iya kan?” Mama terus saja bicara. Tangannya dengan gesit memberesi tempat tidur Riri yang berantakan. Riri beranjak. Ia menuju jendela. Memperhatikan halaman. Ia teringat, malam tadi melihat gadis kecil berwajah nenek-nenek.
”Riri mau balik aja ke Jakarta, Ma...” ujar Riri.
Mama menghentikan kegiatannya. ”Kamu jangan begitu dong, Sayang. Kita sudah tidak punya apa-apa lagi di Jakarta. Rumah papamu juga sudah disita Bank,” Mama meletakkan sapu lidi di sisi tempat tidur.
”Riri mau tinggal sama oma aja,” Riri cemberut. Ia beranjak dari sisi jendela. Duduk di sisi tempat tidur.
Mama menghela berat. ”Ri... tolong dong mengerti perasaan mama. Papamu tidak cocok dengan opah,”
”Tapi Riri takut, Ma. Riri tidak merasa nyaman,”
”Ri... itu karena kamu masih baru berada di rumah ini. Tunggu beberapa minggu lagi, kamu pasti merasa nyaman dan betah tinggal disini,”
”Sama saja, Ma. Apa mama tahu rumah ini dulunya rumah siapa? Bekas tempat apa? Asal-usulnya bagaimana?”
”Kamu ini bagaimana sih, Ri? Inikan rumah kakek mu?”
”Sebelumnya juga mama tidak tahukan ini rumah siapa?”
”Sudahlah... Jangan dipermasalahkan. Mama tidak perduli ini dulunya rumah siapa. Sekarangkan sudah menjadi rumah kita,”
”Tapi, Ma. Rumah kita itu aneh, mengerikan...”
Mama mengerutkan kening. ”Mengerikan bagaimana? Kamu ini ada-ada aja deh,”
”Ma... tadi malam Riri mimpi aneh dan menakutkan,” tegas Riri.
”Sudahlah... Mama tidak mau dengar cerita konyol mu itu. Itu hanya halusinasi mu saja. Sekarang kamu mandi. Mama sudah menyiapkan sarapan spesial buat kamu. Jangan biarkan papa dan kakakmu menunggu terlalu lama,” Mama beranjak meninggalkan Riri di kamarnya.
”Ughh... kenapa sih mama tidak pernah mau percaya dengan ceritaku,” Riri mengeluh kesal, lalu beranjak ke kamar mandi.
Riri keluar dari kamar. Menutup pintu rapat-rapat. Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding. Tengkuk membesar. Bayangan hitam di belakangnya berdiri tegak. Riri tidak bisa bergerak. Keringat mengucur di keningnya. Degup jantungnya mulai tidak teratur. Bola matanya bergerak ke kanan. Cepat ia membalikkan badan. Melihat sosok di belakangnya. Sosok itu menghilang.
“Hugh....” Riri mendengus lega. Ia mengatur detak jantungnya, lalu beranjak menuruni anak tangga.
“Kamu kenapa, Sayang? Wajahmu kok pucat?”
Riri duduk di kursi. “Hmm... gak apa-apa kok, Ma,”
“Kamu baik-baik saja kan?”
Riri mengangguk. “He-em,”
“Pagi ini papa dan mama mau lihat perkebunan. Kamu jaga rumah ya,” kata papa disela sarapan pagi.
Riri menyendok nasi goreng. “Kak Gordi?” tanyanya.
“Kakak juga mau keluar, Ri. Mau hunting kampus,” potong Gordi cepat.
Riri menghela berat. Dia seperti orang teraniaya. Berada di rumah tua menakutkan. Sendiri pula.
“Kalau ada apa-apa panggil saja pak Maroto. Mereka tinggal di belakang,” ujar papa. Mengambil serbet dan menghapus mulutnya.
“Iya, Pa,” Riri bergumam tidak semangat.
Setelah sarapan pagi semuanya pergi. Tinggal Riri yang duduk terpaku di ruang tamu. Suasana di rumah sepi. Hening. Tidak ada suara apa-apa selain detak jarum jam dinding. Hanya ada perabotan tua. Dia tidak menemukan pak Maroto yang biasanya membersihkan halaman depan.
Riri berusaha menenangkan degup jantungnya yang mulai tidak teratur. Ia mengawasi ruang tamu dengan seksama. Gorden jendela melambai-lambai tertiup angin. Gramofhon di atas bupet mencuri perhatiannya. Kotak piringan hitam itu menjadi sangat menakutkan ketika teringat cerita temannya. Gramofhon itu memiliki sejarah yang panjang.
Tangan Riri meraih majalah di atas meja. Ia membuka halaman demi halaman. Pikirannya tidak konsentrasi. Pelan ia mendengar suara music clasik tahun tujuh puluhan. Musik itu membuatnya seperti berada di negeri Belanda. Wajah Riri tegang. Keningnya berkeringat. Musik itu berasal dari gramofhon di atas bupet.
“Siapa yang menyalakan?” bathinnya dengan pikiran kalut. Riri menutup majalah. Meletakkan di atas meja. Beranjak sambil terus memperhatikan piringan hitam yang berputar.
Braak...
Tiba-tiba saja pintu samping tertutup. Riri berlonjak kaget. Repleks ia menoleh ke arah pintu. Sembari menenangkan pikirannya, muncul sosok laki-laki seusianya.
“Maaf… pintu samping tidak terkunci,” ujarnya. Riri menghela nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Kamu siapa?” tanyanya.
“Aku Boby, cucu kakek Maroto,” jawabnya.
“Boby..?” gumamnya pelan. “Ada perlu apa kemari?”
“Hmm… kakek menyuruhku memperbaiki dapur kalian. Katanya ada yang bocor,”
“Oh…” Riri memperhatikan ruang dapur. Riri mengikuti langkah cowok itu ke dapur.
“Nama kamu siapa?” tanyanya.
“Riri,” jawab Riri singkat.
Cowok itu meletakkan peralatannya di atas meja. “Kemana papa dan mamamu?”
“Mereka ke perkebunan. Katanya sih ingin melihat keadaan di sana,”
“Oh,” Boby manggut-manggut.
“Kamu tinggal bersama kakek mu?” tanya Riri seraya duduk di kursi.
“Yah. Ayah dan ibuku sudah meninggal saat umurku dua tahun,”
“Oh…maaf… aku tak bermaksud mengingat masa lalumu,”
“Nggak apa-apa. Itu sudah hukum alam dan dunia. Mereka kecelakaan,”
Riri manggut-manggut. Ia memperhatikan cowok di depannya. Beberapa kran air rusak. Pintu dapur juga perlu diperbaiki. Riri ingin mengorek cerita dari Boby. Sedikit banyaknya dia tahu tentang rumah yang mereka tempati.
“Maaf, aku tidak tahu mengenai hal itu. Tanyakan saja pada kakekku. Dia tahu semuanya tentang sejarah rumah ini,”
“Sejarah?”
“Yah, kata kakekku rumah ini punya sejarah yang panjang,”
“Oh..” bibir Riri membulat. “Apalagi yang kamu ketahui tentang rumah ini?”
“Nggak banyak. Aku hanya tahu pemilik rumah ini dulunya seorang kapten Belanda,” ucapnya seraya mengikat kran dengan isolasiban.
“Oh ya?” Riri sedikit terperanjat. “Lantas kemana kapten Belanda itu?”
“Dia tewas mengenaskan,”
“Tewas?” mata Riri terbelalak.
“Mereka dibantai orang tak dikenal,”
“Oh… Mengerikan sekali?”
“Ya, itu cerita kakekku. Aku juga nggak berani cerita macam-macam,”
Riri terdiam. Beribu pikiran-pikiran menakutkan bersarang di benaknya. Cowok itu tersenyum tipis, kemudian kembali mengerjakan pekerjaannya. Setelah beberapa jam dia selesai memperbaiki semuanya. Cowok itu keluar dengan peluh di keningnya.
“Semuanya sudah beres. Kalau kamu perlu apa-apa, aku ada di belakang,”
“Terima kasih atas waktumu,”
“Aku pergi dulu,”
“Yah..”
Cowok itu beranjak dari dapur. Meninggalkan Riri sendiri. Sebenarnya ia ingin Boby tidak cepat-cepat pergi. Ia ingin ditemani sampai papa dan mama kembali. Namun Boby terlanjur pergi. Suasana kembali hening dan mencekam.
Riri memperhatikan ruang-ruang sepi. Ia menghampiri jendela di ruang tengah. Membuka gorden putih dan menatap halaman belakang. Maroto tengah membersihkan taman belakang. Ia menatap Riri ketika Riri memperhatikan dengan lekat. Riri terkesiap. Ekspresi wajah Maroto sangat tegang dan dingin. Riri menutup kembali gorden jendela, lalu duduk di ruang tamu dengan gelisah.
“Sorot mata pak Maroto tajam sekali,” pikirnya.
Riri terus menenangkan pikiran. Ia menyalakan Tv dan mencari beberapa chanel. Lagi-lagi pikirannya terseret dengan cerita Boby. Cerita yang membuat bulu kuduk merinding.
Dulu di sekitar rumah itu tumbuh pohon-pohon karet. Rindang. Rumah itu dihuni seorang kapten, Sbastian Buch. Ia tewas berlumuran darah. Anak gadisnya juga tewas di kamar dengan leher nyaris putus.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments