Mencintai Adik Sambung
Hansen terbengong dengan mata yang membeliak saat sang Mama memperkenalkannya pada seorang gadis cantik dengan dress berwarna pink tersebut.
"Hans, ini Vanya. Kamu pasti udah kenal kan sama dia? Mama tau kalian satu sekolah."
Hansen masih dalam posisi mematung yang sama, sementara Vanya mengulurkan tangan pada pemuda yang memang sudah ia kenal sejak di bangku SMP itu.
"Hallo, Kak!" cicit Vanya dengan bibir imutnya dan wajah yang selalu tampak polos, membuat Hansen menggerutu dalam hati karena kenyataan yang seakan menjebaknya saat ini. Bagaimana tidak, Vanya ini cewek yang dia taksir sejak lama, tidak berani menyatakan rasa demi menunggu waktu yang tepat, sayangnya sekarang harus diperkenalkan sebagai calon adik sambungnya. What the ...
"Mulai sekarang, kalian harus saling dekat ya, karena sebentar lagi Mama sama Om Candra bakal menikah," celetuk Zia, Mama Hansen.
Tanpa perlu dijelaskan seperti itu sebenarnya Hansen sudah bisa memperkirakan keadaannya, tapi ucapan sang Mama seolah mengharuskannya sadar akan kenyataan yang ada.
"Semoga aja, Ma." Hansen mengendikkan bahu acuh tak acuh, berlagak tak peduli, padahal hatinya sudah mencelos saat tau keadaan ini.
Suara-suara yang terdengar, seolah-olah sedang mengejek Hansen sekarang. Ia jadi tidak bisa fokus untuk mendengarkan pembicaraan mereka yang ada disana. Pertemuan yang digadang-gadangkan sebagai 'pertemuan keluarga' ini, sungguh membuat mood Hansen berantakan.
"Ma, aku pergi ya. Perkenalannya kan udah selesai," bisik Hansen ditelinga sang Mama.
"Tapi, Hans?" protes Zia.
"Udahlah, Ma. Lagian aku sama Vanya juga udah kenal sebelumnya. Ini semua cuma formalitas aja, kan?"
Zia tak bisa melarang putranya yang bangkit saat itu juga, pemuda itu pamit, lalu menyalami tangan Zia dan Chandra dengan takzim secara bergantian, ia menatap Vanya sejenak kemudian benar-benar pergi dari tempat itu.
...****...
"Sial!!!" Hansen menendang udara. Kesal, marah dan menyalahkan keadaan secara berkali-kali.
"Dari sekian banyak manusia di bumi, kenapa Mama mau menikah sama Papanya Vanya!" berangnya.
Hansen mengemasi sebagian pakaiannya ke dalam sebuah ransel, kemudian bergegas meraih kunci motornya dan pergi dari rumah besar peninggalan mendiang Ayahnya.
Hansen tidak pernah melarang jika sang Mama mau menikah lagi. Ibunya memang sudah terlalu lama sendiri, tapi kenapa orang itu harus Chandra yang adalah Ayah dari Vanya. Ini membuat keadaan rumit karena ia dan Vanya harus menjadi saudara sementara ia sudah menaruh hati pada gadis itu sejak sama-sama duduk di bangku putih biru.
Hansen melajukan kuda besinya dengan kecepatan tinggi, tujuan kepergiannya ini adalah demi menenangkan diri sejenak, sebelum pesta pernikahan sang Mama akan dilangsungkan di bulan berikutnya. Salahnya sendiri yang tidak mencari tau sejak awal, siapa anak Chandra. Pun tidak mengetahui siapa Ayah dari Vanya.
Jika sudah begini, mau tak mau Hansen harus berusaha menerima kenyataan dimana ia dan Vanya akan menjadi saudara. Ia harus mengubur perasaannya dalam-dalam mengingat Vanya akan menjadi adik sambungnya.
"Van, gue bahkan belum nyatain perasaan gue ke lo!" gumamnya dalam perjalanan yang dilalui dengan tarikan gas yang kencang itu.
Beberapa waktu berkendara, akhirnya Hansen tiba di kawasan pedesaan dimana Neneknya tinggal. Disana ia segera memasuki kamar yang memang disediakan untuknya.
"Hans? Kamu kesini?" sambut Nenek dengan semringah, tapi melihat raut wajah Hansen yang murung, senyum di bibir Nenek perlahan menyurut.
"Kamu kenapa?"
"Aku gak apa-apa, Nek." Hansen ingin menghindar dengan pergi ke kamar mandi tapi Nenek memegang pundaknya.
"Kamu sedih karena Mamamu mau menikah lagi? Bukannya kamu udah menyetujui hal itu sejak lama?"
Hansen tak menjawab, tapi diamnya itu sudah menjadi jawaban untuk sang Nenek.
Nenek menunggu sampai Hansen keluar dari kamar mandi kemudian duduk disisi sang cucu.
"Hans, kamu gak cocok sama Om Chandra?" tebak Nenek. "Ayo, cerita sama nenek, kamu ada masalah apa?" lanjutnya.
"Bukan itu, Nek. Om Chandra baik kok. Kalau aku gak suka, sejak awal Mama punya hubungan sama beliau, pasti aku sudah menentang," katanya terus terang. Yang ia tau, pria yang akan menjadi calon Ayah sambungnya memang orang yang baik dan bijaksana.
"Lalu?" tanya Nenek penasaran.
"Ini gak ada kaitannya sama Mama dan Om Chandra kok, Nek."
"Kamu punya masalah lain? Masalah di sekolah kamu ya?"
Mau tak mau Hansen pun mengangguk karena ia tidak mau terbuka pada Neneknya terkait apa yang sebenarnya terjadi. Lagipula, untuk apa dia jujur kalau nanti malah menimbulkan masalah baru. Toh, perasaannya pada Vanya takkan mengubah apapun karena nyatanya sang Mama akan tetap menikah bulan depan.
"Ya sudah, kamu disini aja dulu sampai kamu tenang. Nanti kalau udah ngerasa lebih baik, cepat balik ke rumah ya. Nenek bukannya gak senang kamu disini tapi Mama kamu pasti butuh banyak bantuan kamu menjelang hari pernikahannya. Nenek juga bakal kesana nanti."
"Iya, Nek."
Hansen menatap tubuh sang Nenek yang akhirnya keluar dari kamarnya di rumah sederhana yang berdiri di desa tersebut.
Tak lama, Hansen pun membaringkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar.
"Van, gimana caranya gue ngelupain lo dalam jangka waktu singkat sedangkan perasaan gue ke lo udah terlalu lama."
Hansen menarik nafas panjang, perasaan marah mulai menghilang dari dirinya. Ia tau ini bukan kesalahan Vanya. Ia juga tak mungkin menyalahkan keadaan lagi karena sebuah nasib sudah ada yang mengaturnya. Sekarang, ia hanya sedih dan kecewa. Bolehkan jika ia merasakan hal itu? Paling tidak untuk sebentar saja sebelum nanti ia harus benar-benar kuat menjalani semuanya.
Ponsel Hansen berdering dan itu adalah panggilan dari Fero, sahabatnya.
"Hmm?" sahut Hansen menanggapi telepon Fero.
"Lo dimana?"
"Gue di desa Cendana."
"Tempat nenek lo?"
"Huum."
"Ngapain? Ada masalah lo?" Fero tau, jika Hansen sudah ke tempat neneknya tanpa ada sebuah momen, itu artinya pemuda itu sedang memiliki masalah.
"Ya, ada dikit."
"Kenapa lo?"
"Ntar aja gue jelasin kalo semuanya udah mulai kondusif. Dah ya, jangan ganggu gue!"
Hansen menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Fero. Ia butuh ketenangan untuk membuat pikirannya yang semrawut sedikit tenang.
"Oke, sekarang gue tidur. Besok pasti gue udah lupa sama Vanya," batin Hansen.
Begitulah yang Hansen inginkan. Masalahnya selesai setelah ia memutuskan untuk tidur sejenak. Sayangnya, semuanya tidak semudah itu karena pada akhirnya ia benar-benar harus menghadapi kenyataan lagi kala matanya terbuka.
[Hans, kenapa kamu ke tempat nenek? Mama lagi butuh bantuan kamu disini. Lagipula, kamu harus ikut fitting busana keluarga untuk pesta pernikahan Mama, sama Vanya juga. Cepat pulang ya.]
Begitulah pesan yang dibaca Hansen begitu ia terbangun dari tidurnya. Mau tak mau, Hansen harus menguatkan diri untuk hal ini. Belum lagi ia akan melakukan fitting baju bersama dengan Vanya juga.
Jika biasanya Hansen senang jika harus terjebak dalam situasi dimana ia dan Vanya dapat berada dalam waktu dan tempat yang sama, sekarang ia selalu menggerutu jika keadaan itu harus dihadapkan kepadanya.
...Bersambung ......
Dukung karya ini dengan cara vote, like, gift dan tinggalkan komentar. Terima kasih 💚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Sri Sulis
dah mampir kakak
2023-06-15
1
Santi Santi
sak
2023-06-07
0
Santi Santi
say
2023-06-07
0