Hansen terbengong dengan mata yang membeliak saat sang Mama memperkenalkannya pada seorang gadis cantik dengan dress berwarna pink tersebut.
"Hans, ini Vanya. Kamu pasti udah kenal kan sama dia? Mama tau kalian satu sekolah."
Hansen masih dalam posisi mematung yang sama, sementara Vanya mengulurkan tangan pada pemuda yang memang sudah ia kenal sejak di bangku SMP itu.
"Hallo, Kak!" cicit Vanya dengan bibir imutnya dan wajah yang selalu tampak polos, membuat Hansen menggerutu dalam hati karena kenyataan yang seakan menjebaknya saat ini. Bagaimana tidak, Vanya ini cewek yang dia taksir sejak lama, tidak berani menyatakan rasa demi menunggu waktu yang tepat, sayangnya sekarang harus diperkenalkan sebagai calon adik sambungnya. What the ...
"Mulai sekarang, kalian harus saling dekat ya, karena sebentar lagi Mama sama Om Candra bakal menikah," celetuk Zia, Mama Hansen.
Tanpa perlu dijelaskan seperti itu sebenarnya Hansen sudah bisa memperkirakan keadaannya, tapi ucapan sang Mama seolah mengharuskannya sadar akan kenyataan yang ada.
"Semoga aja, Ma." Hansen mengendikkan bahu acuh tak acuh, berlagak tak peduli, padahal hatinya sudah mencelos saat tau keadaan ini.
Suara-suara yang terdengar, seolah-olah sedang mengejek Hansen sekarang. Ia jadi tidak bisa fokus untuk mendengarkan pembicaraan mereka yang ada disana. Pertemuan yang digadang-gadangkan sebagai 'pertemuan keluarga' ini, sungguh membuat mood Hansen berantakan.
"Ma, aku pergi ya. Perkenalannya kan udah selesai," bisik Hansen ditelinga sang Mama.
"Tapi, Hans?" protes Zia.
"Udahlah, Ma. Lagian aku sama Vanya juga udah kenal sebelumnya. Ini semua cuma formalitas aja, kan?"
Zia tak bisa melarang putranya yang bangkit saat itu juga, pemuda itu pamit, lalu menyalami tangan Zia dan Chandra dengan takzim secara bergantian, ia menatap Vanya sejenak kemudian benar-benar pergi dari tempat itu.
...****...
"Sial!!!" Hansen menendang udara. Kesal, marah dan menyalahkan keadaan secara berkali-kali.
"Dari sekian banyak manusia di bumi, kenapa Mama mau menikah sama Papanya Vanya!" berangnya.
Hansen mengemasi sebagian pakaiannya ke dalam sebuah ransel, kemudian bergegas meraih kunci motornya dan pergi dari rumah besar peninggalan mendiang Ayahnya.
Hansen tidak pernah melarang jika sang Mama mau menikah lagi. Ibunya memang sudah terlalu lama sendiri, tapi kenapa orang itu harus Chandra yang adalah Ayah dari Vanya. Ini membuat keadaan rumit karena ia dan Vanya harus menjadi saudara sementara ia sudah menaruh hati pada gadis itu sejak sama-sama duduk di bangku putih biru.
Hansen melajukan kuda besinya dengan kecepatan tinggi, tujuan kepergiannya ini adalah demi menenangkan diri sejenak, sebelum pesta pernikahan sang Mama akan dilangsungkan di bulan berikutnya. Salahnya sendiri yang tidak mencari tau sejak awal, siapa anak Chandra. Pun tidak mengetahui siapa Ayah dari Vanya.
Jika sudah begini, mau tak mau Hansen harus berusaha menerima kenyataan dimana ia dan Vanya akan menjadi saudara. Ia harus mengubur perasaannya dalam-dalam mengingat Vanya akan menjadi adik sambungnya.
"Van, gue bahkan belum nyatain perasaan gue ke lo!" gumamnya dalam perjalanan yang dilalui dengan tarikan gas yang kencang itu.
Beberapa waktu berkendara, akhirnya Hansen tiba di kawasan pedesaan dimana Neneknya tinggal. Disana ia segera memasuki kamar yang memang disediakan untuknya.
"Hans? Kamu kesini?" sambut Nenek dengan semringah, tapi melihat raut wajah Hansen yang murung, senyum di bibir Nenek perlahan menyurut.
"Kamu kenapa?"
"Aku gak apa-apa, Nek." Hansen ingin menghindar dengan pergi ke kamar mandi tapi Nenek memegang pundaknya.
"Kamu sedih karena Mamamu mau menikah lagi? Bukannya kamu udah menyetujui hal itu sejak lama?"
Hansen tak menjawab, tapi diamnya itu sudah menjadi jawaban untuk sang Nenek.
Nenek menunggu sampai Hansen keluar dari kamar mandi kemudian duduk disisi sang cucu.
"Hans, kamu gak cocok sama Om Chandra?" tebak Nenek. "Ayo, cerita sama nenek, kamu ada masalah apa?" lanjutnya.
"Bukan itu, Nek. Om Chandra baik kok. Kalau aku gak suka, sejak awal Mama punya hubungan sama beliau, pasti aku sudah menentang," katanya terus terang. Yang ia tau, pria yang akan menjadi calon Ayah sambungnya memang orang yang baik dan bijaksana.
"Lalu?" tanya Nenek penasaran.
"Ini gak ada kaitannya sama Mama dan Om Chandra kok, Nek."
"Kamu punya masalah lain? Masalah di sekolah kamu ya?"
Mau tak mau Hansen pun mengangguk karena ia tidak mau terbuka pada Neneknya terkait apa yang sebenarnya terjadi. Lagipula, untuk apa dia jujur kalau nanti malah menimbulkan masalah baru. Toh, perasaannya pada Vanya takkan mengubah apapun karena nyatanya sang Mama akan tetap menikah bulan depan.
"Ya sudah, kamu disini aja dulu sampai kamu tenang. Nanti kalau udah ngerasa lebih baik, cepat balik ke rumah ya. Nenek bukannya gak senang kamu disini tapi Mama kamu pasti butuh banyak bantuan kamu menjelang hari pernikahannya. Nenek juga bakal kesana nanti."
"Iya, Nek."
Hansen menatap tubuh sang Nenek yang akhirnya keluar dari kamarnya di rumah sederhana yang berdiri di desa tersebut.
Tak lama, Hansen pun membaringkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar.
"Van, gimana caranya gue ngelupain lo dalam jangka waktu singkat sedangkan perasaan gue ke lo udah terlalu lama."
Hansen menarik nafas panjang, perasaan marah mulai menghilang dari dirinya. Ia tau ini bukan kesalahan Vanya. Ia juga tak mungkin menyalahkan keadaan lagi karena sebuah nasib sudah ada yang mengaturnya. Sekarang, ia hanya sedih dan kecewa. Bolehkan jika ia merasakan hal itu? Paling tidak untuk sebentar saja sebelum nanti ia harus benar-benar kuat menjalani semuanya.
Ponsel Hansen berdering dan itu adalah panggilan dari Fero, sahabatnya.
"Hmm?" sahut Hansen menanggapi telepon Fero.
"Lo dimana?"
"Gue di desa Cendana."
"Tempat nenek lo?"
"Huum."
"Ngapain? Ada masalah lo?" Fero tau, jika Hansen sudah ke tempat neneknya tanpa ada sebuah momen, itu artinya pemuda itu sedang memiliki masalah.
"Ya, ada dikit."
"Kenapa lo?"
"Ntar aja gue jelasin kalo semuanya udah mulai kondusif. Dah ya, jangan ganggu gue!"
Hansen menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Fero. Ia butuh ketenangan untuk membuat pikirannya yang semrawut sedikit tenang.
"Oke, sekarang gue tidur. Besok pasti gue udah lupa sama Vanya," batin Hansen.
Begitulah yang Hansen inginkan. Masalahnya selesai setelah ia memutuskan untuk tidur sejenak. Sayangnya, semuanya tidak semudah itu karena pada akhirnya ia benar-benar harus menghadapi kenyataan lagi kala matanya terbuka.
[Hans, kenapa kamu ke tempat nenek? Mama lagi butuh bantuan kamu disini. Lagipula, kamu harus ikut fitting busana keluarga untuk pesta pernikahan Mama, sama Vanya juga. Cepat pulang ya.]
Begitulah pesan yang dibaca Hansen begitu ia terbangun dari tidurnya. Mau tak mau, Hansen harus menguatkan diri untuk hal ini. Belum lagi ia akan melakukan fitting baju bersama dengan Vanya juga.
Jika biasanya Hansen senang jika harus terjebak dalam situasi dimana ia dan Vanya dapat berada dalam waktu dan tempat yang sama, sekarang ia selalu menggerutu jika keadaan itu harus dihadapkan kepadanya.
...Bersambung ......
Dukung karya ini dengan cara vote, like, gift dan tinggalkan komentar. Terima kasih 💚
Pada kenyataannya, Hansen harus kembali di hari berikutnya hanya karena permintaan ibunya. Dan disinilah ia sekarang, berada didepan sebuah bangunan yang didepannya dipasang sebuah plang dengan tulisan Danz Bridal n Boutique.
Diawali dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, barulah Hansen mendorong pintu kaca yang ada dihadapannya.
"Akhirnya kakak datang juga," sambut Vanya yang ternyata sudah menunggu kedatangan Hansen disana.
Dulu, Hansen sangat senang apabila adik kelasnya ini sedang bertutur kata pada siapa saja, karena Vanya akan terlihat menggemaskan dimatanya. Tapi, sekarang berbeda. Bukan karena Hansen tidak menyukai Vanya lagi, tapi karena keadaan lah yang mengharuskannya untuk tidak terlalu menunjukkan ketertarikan pada Vanya yang dikedepan hari akan berubah status menjadi saudaranya.
"Aku pikir Kak Hans gak bakal datang kesini," tutur Vanya, polos seperti biasanya.
"Gue emang gak niat dateng, kalo gak karena Mama ... ogah gue kesini."
Vanya hanya tersenyum kecil, lantas kembali berbicara dengan suara cempreng khas-nya. Meski begitu, tidak sekalipun Hansen menganggap itu adalah sebuah kekurangan Vanya, karena suara cewek itu selalu terdengar merdu di indera pendengaran Hansen.
Vanya pun mengajak Hansen untuk segera melakukan fitting busana yang akan dikenakan pada pesta pernikahan kedua orangtua mereka nanti.
"Dresscode nya sih putih, tapi aku lebih suka pink. Gimana menurut kakak?"
"Ya lo aja pake pink. Ya kali gue ikutan pake pink juga," sahut pemuda itu dengan bersungut-sungut.
Vanya terkikik, tampak menahan geli karena menganggap ucapan Hansen terlalu blak-blak-an. Dia masih menganggap sikap Hansen ini adalah sebuah percandaan.
Namun, Vanya tak bisa memungkiri jika ada yang berbeda dari sikap Hansen belakangan ini, tepatnya sejak mereka diperkenalkan sebagai calon kakak dan adik sambung.
Menurut Vanya, Hansen kini tampak acuh padanya, pemuda itu juga terlihat tidak seperti dulu. Biasanya, Hansen sering melempar senyum pada Vanya saat di sekolah. Meskipun mereka jarang terlibat percakapan yang terbilang lama, tapi sikap Hansen yang dulu lebih hangat ketimbang sekarang.
"Mama sama Om Chandra lama banget datangnya," celetuk Hansen dengan gerak-gerik yang terus menatap ke arah pintu masuk. Dia tak bisa berduaan begini dengan Vanya, itu akan berimbas pada perasaannya nanti.
"Memangnya Tante Zia gak bilang kalau mereka gak ikut kesini? Ini cuma sesi fitting busana buat keluarga aja, Kak. Dan kebetulan semua udah pada fitting, cuma kita berdua aja yang belum, karena kemarin kita masih sibuk ujian semester, kan?"
Hansen menggaruk pelipisnya sekilas. Keadaan ini benar-benar menjebaknya bersama Vanya padahal dia sangat ingin menghindarinya demi menjaga kewarasan diri dan hati tentunya.
Seorang pramuniaga yang bekerja di Bridal itu mulai menunjukkan beberapa model busana yang sesuai dengan tema pernikahan yang diusung oleh Zia dan Chandra.
Vanya tampak antusias memilih, berbanding terbalik dengan Hansen yang tampak tidak tertarik sedikitpun.
"Lo pilih aja deh yang mana yang cocok buat gue." Hansen menyerah, ia tidak pandai dalam hal seperti ini.
"Kalau gitu aku pilih yang baby pink ini aja ya, Kak?" canda Vanya.
"Jangan ngadi-ngadi, Van. Gue gak mungkin pake warna girly gitu!"
"Tapi ini bagus, Kak. Percaya deh." Gadis itu mengulumm senyum.
"Lo mau buat gue jadi pinky boy atau gimana? Gue warna putih atau hitam aja, yang netral."
Vanya tampak berlagak mencebik dan merengut, tak lama ia pun menyerahkan pilihan akhir pada pramuniaga yang sejak tadi menunggu dan memberikan berbagai komentar untuk look yang lebih baik diantara semua pilihan-pilihan yang diberinya.
"Kata Tante Zia, waktunya terlalu mepet untuk buat gaun yang sesuai dengan keinginan aku, jadi pilih yang sudah ada aja dan nanti tinggal di sesuaikan ukurannya," jelas Vanya pada Hansen meski pemuda itu tidak menanyakannya sama sekali.
"Gak ngerti gue yang begituan!" Begitulah respon Hansen atas perkataan Vanya, kendati demikian dia tetap mendengarkan penuturan gadis itu dengan seksama.
Saat pemilihan busana dan pencocokan ukuran sudah selesai, keduanya keluar dari Bridal dengan tidak beriringan. Hansen di depan, sementara Vanya menyusul dibelakang tubuh jangkung pemuda itu seperti anak ayam yang mengekori induknya.
"Tunggu, Kak!" Vanya menarik lengan Hansen yang segera ditepis Hansen saat itu juga.
"Apaan sih!" keluh Hansen atas tindakan Vanya yang sudah berani kontak fisik dengannya. Hansen menghindari hal ini. Bahkan sangat menghindari, karena sekali lagi ia tekankan bahwa ini akan mempengaruhi perasaannya nanti.
"Kakak kenapa, sih? Dari awal datang kesini kayak gak senang gitu ke aku?" Vanya mulai menyuarakan protesnya atas sikap Hansen yang terlampau berbeda dari seorang Hansen yang ia kenal selama ini.
"Siapa bilang? Biasa aja gue," jawab Hansen berdusta. Tentu saja ia sangat menyadari perubahan sikap yang dibuatnya didepan Vanya.
"Kalau gitu, aku pulang nebeng motor kakak ya."
"Apa?" Mata Hansen terbelalak. Ia tidak mau membonceng Vanya, bukan karena dia benar-benar tidak mau, tapi karena kenyataan yang ada masih terlalu sulit untuk Hansen terima begitu saja.
"Iya, tadi aku datang kesini naik taksi online. Aku belum punya SIM buat bawa mobil, Kak."
"Naik motor kan bisa!"
"Sama. Gak punya SIM juga. Kan aku masih kelas 11 dan masih 16 tahun."
"Gak nanya!" ketus Hansen kesal dengan keadaan dimana ia diharuskan dekat dengan Vanya namun harus menganggapnya sebagai seorang adik.
"Jadi, kakak tega biarin aku pulang jalan kaki?" Vanya mengerucutkan bibirnya.
"Tadi pas pergi, lo bisa naik taksi kan? Ya udah, sekarang pesan aja taksi online juga!" usul Hansen realistis.
"Tapi kan ada Kak Hans. Tante Zia bilang kita harus mulai dekat karena kita bakal jadi saudara, Kak ..."
Dan ucapan Vanya kali ini benar-benar membuat Hansen tertampar oleh keadaan. Ia menarik nafas panjang mencoba menahan gejolak emosi yang muncul dihatinya setiap mengingat akan hal ini.
"Udahlah, gue pesenin lo taksi aja. Gue gak bisa nebengin lo!"
"Kakak ada masalah ya? Biasanya kakak gak begini ke aku."
Ingin sekali Hansen berteriak dan mengatakan pada Vanya bahwa masalahnya adalah Vanya sendiri.
"Iya, gue ada masalah dan masalah itu adalah lo!" batin Hansen, namun tak berani mengutarakan hal itu pada Vanya dihadapannya.
"Kakak gak senang ya kita bakal jadi saudara? Tau gak, pas tau kalau anaknya Tante Zia itu adalah Kak Hans dan yang bakal jadi kakak ku adalah Kak Hans, aku excited banget lho, Kak!"
"Oh ya?" Hansen tersenyum miring. "Segitu senengnya lo jadi sodara gue?" tanyanya.
Vanya mengangguk-anggukkan kepalanya secara berulang. Sikapnya itu justru membuat Hansen gemas. Bagaimana bisa Vanya senang dengan keadaan dimana mereka harus menjadi saudara? Hah! Very damned!
"Emang kakak gak senang?"
"Enggak!"
"Kenapa?"
Hansen membuang pandangan ke arah lain, mengontrol diri agar tidak keterusan berbicara pada gadis ini yang justru akan berujung pada pernyataan cintanya yang sudah terlambat.
"Apa aku bukan gadis yang baik buat dijadikan adik sambung? Apa aku gak pantas buat menyandang status sebagai adik dari Kak Hansen? Iya? Kalau memang iya aku bakal terima itu, kak. Tapi tolong jangan hanya karena ini kakak berniat ngebatalin pernikahan Mama kakak dan papa aku," tukas Vanya dengan suara melirih.
"Berisik banget sih lo!"
"Tapi emang bener kok. Kalau emang kakak begini karena gak suka sama aku, aku mohon supaya kakak jangan--"
"Cerewet lo! Ngomong panjang lagi gue cium juga lo!" serobot Hansen membuat bibir Vanya langsung terdiam dan tidak melanjutkan kosa-katanya lagi. Gadis itu tertegun sejenak karena ucapan yang dilontarkan Hansen beberapa detik lalu.
Vanya masih mengerjapkan mata dalam posisinya saat tiba-tiba suara seruan Hansen terdengar.
"Jadi nebeng gak lo? Kalau gak jadi, gue langsung cabut sekarang!"
Vanya langsung tersadar dengan keadaan, lantas ia pun berlari menuju Hansen yang entah sejak kapan sudah berada diparkiran, tepatnya di dekat motor besar milik pemuda itu.
...Bersambung ......
Dukung karya ini dengan cara vote, like, gift dan tinggalkan komentar. Terima kasih 💚
Jika boleh jujur, sebenarnya Vanya tidak pernah menyangka jika yang akan menjadi Kakak sambungnya adalah seorang Johansen Alvaro. Pemuda itu adalah kakak kelas idolanya. Hansen cowok yang tidak banyak bicara, wajahnya tidak membosankan dan dia juga tidak sombong meski sangat populer di sekolah mereka.
Akan tetapi, mau bagaimana lagi, mau tak mau Vanya harus rela dengan keadaan ini. Keadaan yang mengharuskannya memanggil Hansen 'Kakak' dan bukan hanya sebagai panggilan saja, melainkan kakak dalam artian yang sesungguhnya.
Saat pertemuan keluarga yang mengharuskannya bertemu Hansen sebagai calon kakaknya, sebenarnya Vanya ingin sekali kabur dari tempat itu, karena alih-alih senang dengan keadaan ini, justru Vanya merasa sedih karena tidak pandai menyembunyikan perasaannya didepan semua orang.
Perasaan Vanya saat itu, berkecamuk. Tentu saja, meski ia mengidolakan Hansen sejak lama, bukan berarti ia mau menerima pemuda itu menjadi kakak sambungnya. Konsep mengidolakan Hansen dalam kamus Vanya adalah ingin menjadikan cowok itu sebagai pasangannya, bukan jadi saudaranya.
Syukurlah saat pertemuan itu berlangsung, Hansen yang memilih lebih dulu untuk pergi dari sana. Entah kenapa dia melakukan itu, Vanya tak tau. Vanya mengira mungkin Hansen juga tak senang dengan keadaan dimana mereka diharuskan menjadi saudara dalam seketika.
"Aku gak mungkin ngerusak kebahagiaan Papa dan Tante Zia hanya karena perasaan aku ke kak Hansen. Lagipula, aku kan masih SMA, masih labil juga. Mungkin udah jalannya kalau aku dan kak Hansen harus jadi saudara."
Berkali-kali Vanya mencoba menguatkan hatinya. Ia pasti bisa. Toh, kalaupun ia mengakui rasa pada Hansen belum tentu pemuda itu juga menyukainya. Dan lagi sekarang, akan sangat terlambat untuk sebuah pengakuan mengenai perasaan seperti itu karena pada akhirnya Vanya sendiri tak mungkin merusak rencana pernikahan Papanya dan Zia, Mama Hansen.
...****...
Diharuskan pergi ke Bridal untuk melakukan fitting busana sebenarnya tak masalah untuk Vanya. Yang menjadi masalahnya adalah ia harus kesana bersama Hansen.
Vanya sudah menunggu nyaris setengah jam lamanya tapi pemuda itu tidak kunjung datang menjemputnya. Alhasil, Vanya memilih menaiki taksi online untuk menuju tempat tersebut.
Saat diperjalanan, barulah Vanya menerima pesan dari Zia bahwasanya Hansen akan menyusul langsung ke Bridal saja dikarenakan pemuda itu baru kembali dari rumah Neneknya beberapa waktu lalu dan tidak sempat untuk menjemput Vanya lebih dulu.
"Kenapa gak ngasih tau dari tadi, sih!" gerutu Vanya saat di taksi. Meski begitu, ia sebenarnya bukan betulan marah pada Hansen maupun Zia. Ia hanya marah pada keadaan dimana ia harus dihadapkan dalam posisi sulit seperti ini.
Saat tiba di Bridal pun, Vanya masih harus menunggu kedatangan Hansen yang ngaret.
"Akhirnya kakak datang juga," sambut Vanya yang sudah menunggu kedatangan Hansen sejak tadi.
Sebisa mungkin Vanya berusaha menjaga sikap didepan Hansen. Ia ingin menjadi adik yang baik meski sebenarnya ia tak menginginkan posisi itu dalam hidup Hansen. Vanya melakukan ini demi kebahagiaan Papanya. Jika saja ia memilih egois, maka bisa saja ia mengakui pada Hansen yang sebenarnya terkait perasaan sukanya pada pemuda itu, namun ia masih berpikir waras untuk tetap menjaga apa yang tak pantas untuk ia utarakan dihadapan Hansen.
"Aku pikir Kak Hans gak bakal datang kesini," tuturnya lemah lembut agar dianggap adik yang baik oleh Hansen.
"Gue emang gak niat dateng, kalo gak karena Mama ... ogah gue kesini."
Vanya hanya tersenyum kecil menanggapi jawaban Hansen yang acuh tak acuh. Meski begitu, tidak sekalipun Vanya menganggap sikap Hansen itu menyebalkan, terkadang ia masih mencuri-curi pandang untuk mengagumi sosok pemuda itu.
Vanya lalu mengajak Hansen untuk segera melakukan fitting busana yang akan dikenakan pada pesta pernikahan kedua orangtua mereka nantinya.
"Dresscode nya sih putih, tapi aku lebih suka pink. Gimana menurut kakak?"
"Ya lo aja pake pink. Ya kali gue ikutan pake pink juga," sahut pemuda itu dengan bersungut-sungut.
Vanya terkikik, Hansen ternyata senang bercanda. Ia pun sebenarnya hanya berniat bergurau, mana mungkin ia meminta pria cool itu memakai warna pink di pesta pernikahan orangtua mereka.
Namun, Vanya tak bisa memungkiri jika ada yang berbeda dari sikap Hansen belakangan ini, tepatnya sejak mereka diperkenalkan sebagai calon kakak dan adik sambung.
Vanya merasa Hansen masih belum mau menerima keadaan mereka saat ini. Terbukti saat ia hendak menumpang pada Hansen ketika acara fitting baju mereka telah selesai dan Hansen seolah menolak keras permintaan Vanya yang ingin diantarkan olehnya.
"Tapi kan ada Kak Hans. Tante Zia bilang kita harus mulai dekat karena kita bakal jadi saudara, Kak ..."
Sengaja Vanya mengatakan itu agar Hansen ingat bahwa sebentar lagi mereka akan menjadi saudara. Sayangnya, Hansen masih saja menolak keinginan Vanya.
"Udahlah, gue pesenin lo taksi aja. Gue gak bisa nebengin lo!" kata Hansen dengan nada tak senang.
Vanya pun sebenarnya tak suka memaksa Hansen seperti ini, tapi demi kedekatan mereka sebagai kakak dan adik, Vanya rela memelas pada pemuda itu. Ia tak mau hubungan persaudaraan mereka kedepannya berantakan jika tak dimulai dengan pendekatan yang baik dari sekarang.
"Kakak ada masalah ya? Biasanya kakak gak begini ke aku."
Hansen tampak terdiam tak menanggapi perkataan Vanya, pemuda itu tampak berpikir, entah apa yang dia pikirkan.
"Kakak gak senang ya kita bakal jadi saudara? Tau gak, pas tau kalau anaknya Tante Zia itu adalah Kak Hans dan yang bakal jadi kakak ku adalah Kak Hans, aku excited banget lho, Kak!"
Tentu saja Vanya berdusta. Excited dari mana? Senang saja tidak. Justru ia ingin menjerit dan protes pada keadaan saat tau jika Hansen akan menjadi kakak tirinya.
"Oh ya?" Hansen tampak tersenyum miring. "Segitu senengnya lo jadi sodara gue?" tanyanya lebih ke nada sarkasme.
Vanya mengangguk-anggukkan kepalanya secara berulang. Demi apapun, ia tak sanggup berbohong lagi sekarang.
"Emang kakak gak senang?" tanyanya menahan perasaan.
"Enggak!" jawab Hansen tampak tedeng aling-aling.
"Kenapa?" Vanya menatap pada netra pemuda itu.
Sayangnya, Hansen malah membuang pandangan ke arah lain, membuat Vanya melengos saat itu juga.
"Apa aku bukan gadis yang baik buat dijadikan adik sambung? Apa aku gak pantas buat menyandang status sebagai adik dari Kak Hansen? Iya? Kalau memang iya aku bakal terima itu, kak. Tapi tolong jangan hanya karena ini kakak berniat ngebatalin pernikahan Mama kakak dan papa aku," tukas Vanya dengan suara melirih. Sekali lagi ia ingin menekankan pada Hansen bahwa apapun yang terjadi, mereka tak boleh egois dan merusak kebahagiaan orangtua mereka.
"Berisik banget sih lo!" protes Hansen kemudian.
"Tapi emang bener kok. Kalau emang kakak begini karena gak suka sama aku, aku mohon supaya kakak jangan--"
"Cerewet lo! Ngomong panjang lagi gue cium juga lo!" serobot Hansen membuat bibir Vanya langsung terdiam dan tidak melanjutkan kosa-katanya lagi.
Vanya tertegun, ucapan yang dilontarkan Hansen beberapa detik lalu seperti sport jantung untuknya.
Vanya masih mengerjapkan mata dalam posisinya, saat tiba-tiba suara seruan Hansen terdengar.
"Jadi nebeng gak lo? Kalau gak jadi, gue langsung cabut sekarang!"
Vanya langsung tersadar dengan keadaan, lantas ia pun berlari menuju Hansen yang entah sejak kapan sudah berada diparkiran, tepatnya di dekat motor besar milik pemuda itu.
"Pegangan! Gue ngebut bawa motornya!"
Dengan gerakan ragu, Vanya memegang ujung jaket yang sudah dikenakan oleh Hansen.
"Pegangan tuh disini, bukan di jaket gue!" kata Hansen yang saat itu juga meraih lengan Vanya dan melingkarkannya ke perut pemuda itu.
Vanya memejamkan mata rapat-rapat, ia tak sempat protes atau berkata-kata. Ia hanya bisa menikmati keadaan dimana tubuhnya dan punggung Hansen harus sedekat ini dan jujur saja ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
...Bersambung ......
Dukung karya ini dengan cara vote, like, gift dan tinggalkan komentar. Terima kasih 💚
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!