Jika boleh jujur, sebenarnya Vanya tidak pernah menyangka jika yang akan menjadi Kakak sambungnya adalah seorang Johansen Alvaro. Pemuda itu adalah kakak kelas idolanya. Hansen cowok yang tidak banyak bicara, wajahnya tidak membosankan dan dia juga tidak sombong meski sangat populer di sekolah mereka.
Akan tetapi, mau bagaimana lagi, mau tak mau Vanya harus rela dengan keadaan ini. Keadaan yang mengharuskannya memanggil Hansen 'Kakak' dan bukan hanya sebagai panggilan saja, melainkan kakak dalam artian yang sesungguhnya.
Saat pertemuan keluarga yang mengharuskannya bertemu Hansen sebagai calon kakaknya, sebenarnya Vanya ingin sekali kabur dari tempat itu, karena alih-alih senang dengan keadaan ini, justru Vanya merasa sedih karena tidak pandai menyembunyikan perasaannya didepan semua orang.
Perasaan Vanya saat itu, berkecamuk. Tentu saja, meski ia mengidolakan Hansen sejak lama, bukan berarti ia mau menerima pemuda itu menjadi kakak sambungnya. Konsep mengidolakan Hansen dalam kamus Vanya adalah ingin menjadikan cowok itu sebagai pasangannya, bukan jadi saudaranya.
Syukurlah saat pertemuan itu berlangsung, Hansen yang memilih lebih dulu untuk pergi dari sana. Entah kenapa dia melakukan itu, Vanya tak tau. Vanya mengira mungkin Hansen juga tak senang dengan keadaan dimana mereka diharuskan menjadi saudara dalam seketika.
"Aku gak mungkin ngerusak kebahagiaan Papa dan Tante Zia hanya karena perasaan aku ke kak Hansen. Lagipula, aku kan masih SMA, masih labil juga. Mungkin udah jalannya kalau aku dan kak Hansen harus jadi saudara."
Berkali-kali Vanya mencoba menguatkan hatinya. Ia pasti bisa. Toh, kalaupun ia mengakui rasa pada Hansen belum tentu pemuda itu juga menyukainya. Dan lagi sekarang, akan sangat terlambat untuk sebuah pengakuan mengenai perasaan seperti itu karena pada akhirnya Vanya sendiri tak mungkin merusak rencana pernikahan Papanya dan Zia, Mama Hansen.
...****...
Diharuskan pergi ke Bridal untuk melakukan fitting busana sebenarnya tak masalah untuk Vanya. Yang menjadi masalahnya adalah ia harus kesana bersama Hansen.
Vanya sudah menunggu nyaris setengah jam lamanya tapi pemuda itu tidak kunjung datang menjemputnya. Alhasil, Vanya memilih menaiki taksi online untuk menuju tempat tersebut.
Saat diperjalanan, barulah Vanya menerima pesan dari Zia bahwasanya Hansen akan menyusul langsung ke Bridal saja dikarenakan pemuda itu baru kembali dari rumah Neneknya beberapa waktu lalu dan tidak sempat untuk menjemput Vanya lebih dulu.
"Kenapa gak ngasih tau dari tadi, sih!" gerutu Vanya saat di taksi. Meski begitu, ia sebenarnya bukan betulan marah pada Hansen maupun Zia. Ia hanya marah pada keadaan dimana ia harus dihadapkan dalam posisi sulit seperti ini.
Saat tiba di Bridal pun, Vanya masih harus menunggu kedatangan Hansen yang ngaret.
"Akhirnya kakak datang juga," sambut Vanya yang sudah menunggu kedatangan Hansen sejak tadi.
Sebisa mungkin Vanya berusaha menjaga sikap didepan Hansen. Ia ingin menjadi adik yang baik meski sebenarnya ia tak menginginkan posisi itu dalam hidup Hansen. Vanya melakukan ini demi kebahagiaan Papanya. Jika saja ia memilih egois, maka bisa saja ia mengakui pada Hansen yang sebenarnya terkait perasaan sukanya pada pemuda itu, namun ia masih berpikir waras untuk tetap menjaga apa yang tak pantas untuk ia utarakan dihadapan Hansen.
"Aku pikir Kak Hans gak bakal datang kesini," tuturnya lemah lembut agar dianggap adik yang baik oleh Hansen.
"Gue emang gak niat dateng, kalo gak karena Mama ... ogah gue kesini."
Vanya hanya tersenyum kecil menanggapi jawaban Hansen yang acuh tak acuh. Meski begitu, tidak sekalipun Vanya menganggap sikap Hansen itu menyebalkan, terkadang ia masih mencuri-curi pandang untuk mengagumi sosok pemuda itu.
Vanya lalu mengajak Hansen untuk segera melakukan fitting busana yang akan dikenakan pada pesta pernikahan kedua orangtua mereka nantinya.
"Dresscode nya sih putih, tapi aku lebih suka pink. Gimana menurut kakak?"
"Ya lo aja pake pink. Ya kali gue ikutan pake pink juga," sahut pemuda itu dengan bersungut-sungut.
Vanya terkikik, Hansen ternyata senang bercanda. Ia pun sebenarnya hanya berniat bergurau, mana mungkin ia meminta pria cool itu memakai warna pink di pesta pernikahan orangtua mereka.
Namun, Vanya tak bisa memungkiri jika ada yang berbeda dari sikap Hansen belakangan ini, tepatnya sejak mereka diperkenalkan sebagai calon kakak dan adik sambung.
Vanya merasa Hansen masih belum mau menerima keadaan mereka saat ini. Terbukti saat ia hendak menumpang pada Hansen ketika acara fitting baju mereka telah selesai dan Hansen seolah menolak keras permintaan Vanya yang ingin diantarkan olehnya.
"Tapi kan ada Kak Hans. Tante Zia bilang kita harus mulai dekat karena kita bakal jadi saudara, Kak ..."
Sengaja Vanya mengatakan itu agar Hansen ingat bahwa sebentar lagi mereka akan menjadi saudara. Sayangnya, Hansen masih saja menolak keinginan Vanya.
"Udahlah, gue pesenin lo taksi aja. Gue gak bisa nebengin lo!" kata Hansen dengan nada tak senang.
Vanya pun sebenarnya tak suka memaksa Hansen seperti ini, tapi demi kedekatan mereka sebagai kakak dan adik, Vanya rela memelas pada pemuda itu. Ia tak mau hubungan persaudaraan mereka kedepannya berantakan jika tak dimulai dengan pendekatan yang baik dari sekarang.
"Kakak ada masalah ya? Biasanya kakak gak begini ke aku."
Hansen tampak terdiam tak menanggapi perkataan Vanya, pemuda itu tampak berpikir, entah apa yang dia pikirkan.
"Kakak gak senang ya kita bakal jadi saudara? Tau gak, pas tau kalau anaknya Tante Zia itu adalah Kak Hans dan yang bakal jadi kakak ku adalah Kak Hans, aku excited banget lho, Kak!"
Tentu saja Vanya berdusta. Excited dari mana? Senang saja tidak. Justru ia ingin menjerit dan protes pada keadaan saat tau jika Hansen akan menjadi kakak tirinya.
"Oh ya?" Hansen tampak tersenyum miring. "Segitu senengnya lo jadi sodara gue?" tanyanya lebih ke nada sarkasme.
Vanya mengangguk-anggukkan kepalanya secara berulang. Demi apapun, ia tak sanggup berbohong lagi sekarang.
"Emang kakak gak senang?" tanyanya menahan perasaan.
"Enggak!" jawab Hansen tampak tedeng aling-aling.
"Kenapa?" Vanya menatap pada netra pemuda itu.
Sayangnya, Hansen malah membuang pandangan ke arah lain, membuat Vanya melengos saat itu juga.
"Apa aku bukan gadis yang baik buat dijadikan adik sambung? Apa aku gak pantas buat menyandang status sebagai adik dari Kak Hansen? Iya? Kalau memang iya aku bakal terima itu, kak. Tapi tolong jangan hanya karena ini kakak berniat ngebatalin pernikahan Mama kakak dan papa aku," tukas Vanya dengan suara melirih. Sekali lagi ia ingin menekankan pada Hansen bahwa apapun yang terjadi, mereka tak boleh egois dan merusak kebahagiaan orangtua mereka.
"Berisik banget sih lo!" protes Hansen kemudian.
"Tapi emang bener kok. Kalau emang kakak begini karena gak suka sama aku, aku mohon supaya kakak jangan--"
"Cerewet lo! Ngomong panjang lagi gue cium juga lo!" serobot Hansen membuat bibir Vanya langsung terdiam dan tidak melanjutkan kosa-katanya lagi.
Vanya tertegun, ucapan yang dilontarkan Hansen beberapa detik lalu seperti sport jantung untuknya.
Vanya masih mengerjapkan mata dalam posisinya, saat tiba-tiba suara seruan Hansen terdengar.
"Jadi nebeng gak lo? Kalau gak jadi, gue langsung cabut sekarang!"
Vanya langsung tersadar dengan keadaan, lantas ia pun berlari menuju Hansen yang entah sejak kapan sudah berada diparkiran, tepatnya di dekat motor besar milik pemuda itu.
"Pegangan! Gue ngebut bawa motornya!"
Dengan gerakan ragu, Vanya memegang ujung jaket yang sudah dikenakan oleh Hansen.
"Pegangan tuh disini, bukan di jaket gue!" kata Hansen yang saat itu juga meraih lengan Vanya dan melingkarkannya ke perut pemuda itu.
Vanya memejamkan mata rapat-rapat, ia tak sempat protes atau berkata-kata. Ia hanya bisa menikmati keadaan dimana tubuhnya dan punggung Hansen harus sedekat ini dan jujur saja ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
...Bersambung ......
Dukung karya ini dengan cara vote, like, gift dan tinggalkan komentar. Terima kasih 💚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments