4

Baru kali ini Hansen bingung, harus senang atau sedih ketika gadis impiannya duduk di boncengan motornya sambil memeluknya.

Bolehkah jika sekarang Hansen melupakan kesedihannya? Ia mau lupa jika Vanya adalah calon adik sambungnya. Ia hanya mau menikmati momen kebersamaan mereka saat ini.

"Kak, jalan ke rumah aku udah kelewatan," protes Vanya ketika merasa Hansen melewati jalan yang harusnya dilalui jika hendak mengantarnya pulang ke rumah.

"Gue tau," jawab Hansen cuek.

"Terus, kita mau kemana, Kak?"

"Jalan-jalan dulu, gak apa-apa, kan? Gue males kalau langsung pulang."

Vanya sedikit tersentak dengan ujaran Hansen. Tadinya pemuda ini sangat ketus padanya hingga ia merasakan perubahan sikap Hansen yang signifikan, tetapi sekarang Hansen malah mengajaknya jalan-jalan. Ada apa sebenarnya?

"Ya udah, aku ngikut kakak aja," jawab Vanya dari posisinya yang duduk dibelakang tubuh Hansen diatas motor yang sama.

Hansen menarik sudut bibirnya menjadi sebuah senyuman. Ia kembali memacu kecepatan motornya dengan kencang hingga membuat Vanya kembali memeluknya dengan erat karena takut terjatuh dari boncengan motor tersebut.

Sebenarnya Hansen juga tak tau harus mengajak Vanya kemana, hingga akhirnya mereka hanya berputar-putar di jalanan kota.

"Kita sebenarnya mau kemana sih, Kak?" Vanya mulai protes.

"Gue gak tau," jawab Hansen apa adanya.

"Kalau gitu, kita pulang aja ya."

"Lo mau pulang?"

"Kalau kakak gak tau mau kemana mendingan pulang, kan?"

"Lo bilang sama gue satu tempat tujuan yang mau lo datangi, kita kesana."

Vanya kembali dibuat terkejut atas pernyataan Hansen, namun akhirnya ia menyebutkan sebuah nama tempat. Daripada mereka terus berputar-putar dan keliling tanpa tujuan lebih baik ia mengajak Hansen ke tempat itu, pikirnya.

Karena Hansen pernah mendengar nama tempat yang Vanya katakan, meski ia sendiri belum pernah datang kesana akhirnya ia menyetujui saja. Toh, mereka memang tak punya tujuan.

Beberapa saat berkendara, akhirnya motor yang dikemudikan oleh Hansen tiba disebuah tempat yang cukup asri.

Itu adalah sebuah danau yang dikelilingi dengan banyak pepohonan. Terdapat beberapa kursi kayu yang disediakan untuk para pengunjung. Didepan pintu masuk menuju kawasan itu juga banyak pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya.

Vanya turun lebih dulu, meninggalkan Javier yang mencari tempat untuk memarkirkan motornya.

"Nanti kakak masuk duluan aja, ya. Aku mau jajan dulu," kata Vanya dan langsung berlari ke arah para pedagang yang menjual makanan dari yang ringan hingga berat.

Hansen menanggapi perkataan Vanya dengan berdehem, kemudian melirik gadis itu yang sudah berlalu sebelum ia menyahut. Hansen menggeleng samar namun seulas senyum muncul disudut bibirnya.

Hansen memasuki kawasan danau dan duduk di tempat yang cukup sejuk karena dilindungi oleh pepohonan. Sebuah kursi kayu didudukinya,ada juga meja yang terbuat dari bahan sama terdapat dihadapan Hansen.

Mata pemuda itu memandang lurus ke depan dimana sebuah danau luas terhampar disana. Ia menikmati ketenangan ditempat itu,juga angin sepoi-sepoi yang seakan mengembuskan udara ke pori-porinya.

Pilihan tempat yang diusulkan oleh Vanya tidak buruk, pikir Hansen.

Hanya beberapa menit berselang, tak lama Vanya kembali datang dengan beberapa bungkusan ditangannya. Ia duduk mensejajari posisi Hansen lalu menyodorkan minuman dingin yang baru dibelinya ke arah pemuda itu.

"Minum, Kak."

Hansen mengangguk sekilas lantas menerima pemberian Vanya. "Makasih," jawabnya tak sungkan.

Keduanya hanya diam, dengan posisi menghadap ke arah danau yang tenang. Vanya sibuk mengunyah cemilan yang dibelinya, Hansen juga terdiam dengan menyeruput es dingin yang tadi diserahkan Vanya.

"Kalau aku boleh tau, kenapa kakak mendadak berubah ke aku?" tanya Vanya setelah beberapa saat hening merajai mereka.

Hansen tak langsung menjawab, ia diam seolah memikirkan jawaban yang paling pantas.

"Bisa lo tebak gak, kenapa gue berubah?" Hansen balik bertanya ke Vanya, tak ada emosi dalam perkataannya, Vanya juga sadar kini Hansen mulai tenang dan tidak se-sewot seperti saat mereka di bridal tadi.

"Ehm ... karena kakak gak suka kalau Mama kakak menikah sama Papa aku?" tebak Vanya.

Hansen mengendikkan bahu acuh tak acuh. "Kalau karena itu, gak juga. Kalau gue gak suka nyokap gue nikah sama Om Chandra, dari awal pasti gue udah ngulah dan ngelakuin banyak cara biar hubungan mereka gak berlanjut sampai ditahap ini," paparnya.

"Terus karena apa?" tanya Vanya kemudian.

"Ya, makanya lo tebak."

"Gak tau," jawab Vanya polos.

Hansen menarik nafas dalam, kemudian wajahnya yang sejak tadi menatap lurus ke depan mulai menoleh dan mengarah pada Vanya yang duduk disampingnya.

"Kalau gue bilang, karena gue gak mau punya adik sambung kayak lo, gimana?" ujar Hansen disertai senyuman miringnya.

"Apa?" Mata Vanya membulat sempurna, tak lama ia mengerjap-ngerjap seakan sedang mencerna perkataan Hansen barusan. "... jadi, kakak beneran gak senang bakal punya adik kayak aku?" tanyanya kemudian.

Hansen mengangguk mantap. "Ya," jawabnya singkat.

"Kenapa? Apa aku menyebalkan?" tanya Vanya tak percaya akan jawaban Hansen yang terkesan blak-blakan didepannya.

Hansen mengangkat bahu. "Menurut lo?" tanyanya balik. Ia menatap lamat-lamat ke pada gadis disisinya.

Vanya terdiam, kini ia tau jika dirinya lah yang menjadi masalah untuk Hansen.

"Kasi aku alasannya, Kak!" pinta Vanya dengan suara yang bergetar, ia pikir Hansen sangat tidak menyukainya sekarang.

"Gak butuh alasan." Hansen kembali menyeruput es-nya sampai tandas, kemudian bangkit berdiri dari posisinya. Sebenarnya ia tidak sanggup melihat Vanya yang tampak hendak menangis itu.

"Apa segitunya kakak gak suka sama aku?"

Hansen memejamkan matanya rapat-rapat, justru sangking sukanya dia sama Vanya maka dia tidak rela jika gadis itu hanya menjadi adiknya.

Vanya ikut bangkit, menghampiri Hansen yang kini berdiri di pinggaran danau.

"Jawab aku, Kak!" desak Vanya. "Apa kakak bener-bener gak suka sama aku, sampai kakak gak mau menjadikan aku adik?" tanyanya berusaha menatap Hansen yang lagi-lagi menghindari kontak mata dengan gadis itu.

Hansen berdehem-dehem sekilas, tidak menggubris desakan Vanya. Ia takut justru akan kelepasan bicara mengenai perasaannya karena ia sudah mati-matian menahan hal itu, agar hanya dirinya saja yang tau bahwa ia mencintai Vanya.

"Jajanan lo udah habis? Kita pulang sekarang!" Hansen tau, tidak seharusnya ia pergi berdua bersama Vanya seperti ini karena ini justru membuatnya ingin menyerah dan mengaku saja pada sang gadis akan apa yang sebenarnya ia rasakan.

Hansen berbalik tanpa menunggu Vanya menyetujui atau tidak soal kepulangan mereka.

"Tunggu, Kak!"

Ucapan Vanya, membuat Hansen berhenti bergerak.

"Aku gak tau apa yang membuat kakak gak suka sama aku. Kakak bilang gak ada alasan. Oke, aku terima. Tapi, satu hal kak ... aku cuma mau bilang kalau aku sangat mengidolakan kakak, terlepas dari kakak yang ternyata gak suka aku, aku tetap suka sama kakak. Aku ... sangat menyukai kakak," kata Vanya mengakui apa yang dirasakannya.

Tentu saja Hansen dibuat terkejut atas pengakuan Vanya. Jadi, gadis ini juga menyukainya? Jika ya, maka Hansen akan mengatakan perasaannya juga.

"Lo suka gue?" tanya Hansen tanpa mau menatap pada Vanya.

"Iya, aku suka kakak!" tegas Vanya.

Kelopak mata Hansen melebar, degup jantungnya mendadak be-ritme cepat dan tidak teratur.

"... aku sangat suka sama kakak, aku tau kakak cowok baik, maka dari itu aku senang kalau kakak yang bakal jadi kakak sambungku," pungkas Vanya.

Dan tubuh Hansen menegangg. Ia kira pernyataan Vanya tadi berarti menyukainya dalam artian sebagai pasangan. Ternyata, Vanya menyukainya yang akan menjadi kakak tiri gadis itu. Ia salah mengartikan, padahal tadi ia hampir bersorak karena Vanya juga menyukainya. Rupanya Vanya berhasil mematahkan hatinya.

Hansen tertawa sumbang sekarang. "Ternyata lo beneran segitu senangnya kalau kita bakal jadi sodara," katanya miris.

Vanya mengulas senyum getir, tadinya dia mau mengaku bahwa dia memang menyukai Hansen sebagai orang yang dia impikan menjadi pasangan, tapi dia pikir buat apa? Karena Hansen sendiri sudah jujur bahwa dia tidak menyukainya, bahkan untuk dijadikan adik pun Hansen seakan sangat tidak suka, jadi buat apa Vanya jujur soal perasaannya, itu hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan sebagai seorang gadis yang perasannya bertepuk sebelah tangan.

...Bersambung ......

Dukung karya ini dengan cara vote, like, gift dan tinggalkan komentar. Terima kasih 💚

Terpopuler

Comments

Blue Sky

Blue Sky

lanjutin kak 🙏

2023-05-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!