Sarah duduk di tepi ranjang, memandang ke arah luar jendela kamar yang tertutup sehelai tirai tipis berwarna putih.
Malam kian pekat, merubah warna langit yang semula terang, rembulan tak bersinar kala itu, bintang pun tak hadir. Gelap seperti hendak turun hujan, suasana malam hanya diwarnai lampu-lampu penerang rumah dan jalan.
Tatapan matanya kosong tak berarah, entah sedang melihat apa di luar sana.
Tok .. tok ..
"Sarah, ibu boleh masuk?"
Suara lembut Marni meminta izin pada pemilik ruangan.
Sarah menoleh ke arah pintu, lalu beranjak untuk membukanya.
"Masuk, Bu!"
Marni melangkah menuju sebuah sofa yang berada di bawah jendela kamar anaknya, sedangkan Sarah kembali duduk di tepi ranjang menghadap Ibunya.
"Nak, rencana apa yang akan kamu lakukan ke depan?" tanya Marni menatap buah hatinya dengan lekat.
"Apakah kamu mau melanjutkan kembali kuliahmu? Atau mencari pengalaman kerja?"
Sarah menatap wajah wanita yang telah melahirkannya, mulutnya belum mengeluarkan kata-kata.
Suasana hening sejenak, Sarah masih bergeming, Marni tak lagi berani bertanya, ia mengerti anak tunggalnya tengah berfikir dan menimbang pertanyaan yang diajukannya.
"Kalo untuk lanjutin kuliah, sepertinya nggak Bu, aku mau cari kerja aja."
Sarah berkata setelah menarik nafas dalam.
"Zaman sekarang kerjaan untuk lulusan SMA nggak ada yg bagus, Nak. Ibu kasian padamu nantinya, kalo harus kerja kasar dan berat," tutur Marni, sedikit menjeda ucapannya.
Sarah tersenyum, ia mendekat pada Marni, wanita paruh baya itu dipeluknya.
"Sarah sudah bukan anak muda lagi, Bu," ucap Sarah.
Perlahan wanita muda itu melepaskan pelukan, lalu duduk disamping ibunya.
"Ya sudah, kamu minta posisi saja di perusahaan Ayah," saran Marni, ia seperti tak rela jika Sarah bekerja sebagai pegawai rendahan.
"Sarah tak ingin lagi merepotkan siapapun, termasuk Ibu dan Ayah. Sarah ingin mandiri, Bu," ucap Sarah dengan penuh keyakinan.
"Ibu tenang saja, Sarah pasti bisa melewati semuanya. Jangan khawatir, yah!"
Kedua netra wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca, Sarah kembali memeluk sang Bunda dengan penuh kasih sayang.
"Ya sudah, kamu istirahat, ya, Nak!"
Marni beranjak setelah mendaratkan ciuman di kening Sarah.
Sarah menutup kembali pintu kamarnya, lalu melangkah menuju kamar mandi.
Selesai melaksanakan kewajiban lima waktunya sebagai muslimah, ia membaringkan tubuhnya di atas kasur.
"Ahh, akhirnya aku bisa merasakan kembali empuknya kamu," bisiknya dalam hati.
Lama tertegun menatap langit-langit kamar, Sarah diserang kantuk, dan tak lama kemudian ia pun terlelap dibuai mimpi.
*****
Setibanya di rumah Devan dan Mila mendapati anak sulungnya sudah tertidur pulas di atas kasurnya, Al tidur ditemani Mirna, pengasuhnya yang berbaring di bawah beralaskan karpet tebal.
Mila tersenyum, dia senang Al sudah terlelap, karena jika tidak, Devan pasti menjadi sasaran empuk rengekan dari sifat manja anak sulungnya itu.
Keduanya berjalan menuju kamar.
Devan lebih dulu membersihkan badan dan mengganti pakaiannya, ia bermaksud untuk pergi berjamaah shalat isya ke Mesjid.
Setelah melepaskan jilbab beserta aksesoris yang dipakainya, giliran Mila yang memasuki kamar mandi.
"Aduhh," terdengar suara rintihan Mila dari dalam.
"Kenapa, Mil? Mila! Kamu kenapa?"
Devan panik, karena pintu kamar mandi dikunci dari dalam, ia terus mengetuk-ngetuk pintu, namun suara Mila menghilang setelah rintihannya.
Devan terpaksa mendobrak pintu kamar mandinya, terlihat Mila sudah tergeletak di lantai dengan cairan bercampur darah yang mengalir dari bagian bawah tubuh wanita itu.
"Mila! Mila, bangun! Kamu kenapa?"
Teriak Devan, ia mencoba menyadarkan istrinya.
Tubuh Mila dipangkunya ke luar, Devan berteriak memanggil Mirna dan Mbok Minah.
"Mbak, tolong suruh Ujang siapkan mobil di depan pintu, sekarang!"
"Mbok, tolong bawakan tas yang sudah disiapkan Mila untuk melahirkan, masukan ke dalam mobil!"
Kedua pelayan itu mengerjakan dengan cepat perintah majikannya.
Devan segera membawa istrinya ke Rumah Sakit, ia ditemani Mbok Minah yang duduk di jok belakang menemani dan menjaga Mila.
Sampai di depan pintu UGD Rumah Sakit, tubuh Mila dipindahkan ke atas blankar.
Dua orang perawat laki-laki dengan sigap mendorong blankar yang membawa tubuh lemah wanita berbadan dua itu menuju ruang tindakan.
Devan terus menggenggam tangan istrinya, ia berjalan mendampingi Mila yang sudah tak sadarkan diri, terlihat kepanikan diwajah tampannya.
"Bapak silahkan tunggu di luar! dokter akan menangani istri Bapak," ucap seorang perawat wanita yang membuka pintu ruang UGD dari dalam.
Devan dengan terpaksa melepaskan genggaman tangannya, ia harus mengikuti peraturan yang berlaku di Rumah Sakit itu.
"Kamu harus kuat, Mil," lirih lelaki tampan itu seraya mendaratkan bokongnya di atas kursi stenles di ruang tunggu.
Mbok Minah yang dari tadi mengekori langkah juragannya juga ikut duduk di kursi itu, tangannya masih setia memegangi sebuah tas besar yang berisi perlengkapan melahirkan.
Devan merogoh kantong celana yang dikenakannya, ia mengeluarkan ponsel lalu menekan nomor telepon Bagas, Papahnya.
"Assalamualaikum, Pah, tolong Mila, Pah!" ucap Devan gugup, ia masih panik dengan keadaan istrinya saat itu.
"Mila kenapa, Van?" tanya Bagas, suara laki-laki yang sudah berumur itupun ikutan tegang.
"Mila pingsan di kamar mandi, sekarang sudah dibawa ke Rumah Sakit, Pah," jelas Devan.
"Okey, Papah kesana sekarang," pungkas Bagas, tanpa bertanya lagi.
Devan kembali memasukan alat komunikasi itu ke dalam saku celananya.
"Keluarga Nyonya Mila!" panggil seorang suster dengan suara lantang, ia berdiri di depan ruang UGD.
"Saya!" jawab Devan, kemudian ia bangkit dari tempat duduknya menghampiri wanita berseragam putih itu.
"Bapak, suaminya?" tanya suster, yang dijawab dengan anggukan kepala Devan.
"Selamat, Pak, anaknya sudah lahir, jenis kelaminnya perempuan," ungkap suster itu seraya tersenyum.
"Alhamdulillahirobbil'alamiin," ucap Devan dengan binar bahagia yang terpancar dari wajahnya.
"Lalu istri saya bagaimana, Sus?" tanya Devan
"Istri Bapak masih belum sadarkan diri, beliau masih ditangani oleh dokter, berdo'a saja ya, Pak!" pungkas wanita berseragam putih itu, kemudian ia pamit kembali ke dalam ruangan UGD.
Devan terlihat lesu, perasaannya bercampur aduk, bahagia dengan kelahiran putrinya, namun ia masih sangat khawatir dengan kondisi istrinya.
"Van, gimana, Mila dan bayinya?"
Suara bariton itu mengagetkan Devan yang masih diselimuti kecemasan.
"Mila sudah melahirkan, anakku perempuan. Tapi dia masih belum sadarkan diri," lirih Devan.
Bagas memeluk anak sulungnya, bergantian dengan Maria, Ibunda Devan.
"Kami disini menemanimu, kamu harus sabar dan kuat, kita pasrahkan semuanya pada Allah, Dia sudah mengatur segalanya," ungkapan Maria membuat Devan sedikit lebih tenang.
"Makasih, Pah, Mah, maaf aku ngerepotin kalian malam-malam."
Pasangan suami istri itupun tersenyum, Bagas menepuk-nepuk pundak Devan yang masih tertunduk lesu.
Ketiganya kini duduk di kursi sebuah ruang tunggu, menanti kabar selanjutnya dari dalam ruangan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit itu.
*****
"Aaarrrrggggg!"
"Aaarrrrggggg!"
Suara teriakan kencang terdengar dari dalam kamar.
"Sarah, kamu kenapa, Nak? Sarah, buka pintunya!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments