AMNESIA: Return My Own
Seorang anak laki-laki bermain dengan skyboardnya di jalanan yang sepi. Dia melihat sekumpulan anak-anak yang bermain di sebuah taman. Dengan suasana hati yang bahagia, Lixe Van-nama anak itu, berbelok ke taman tersebut.
"Hai!" sapanya pada seorang anak yang melihatnya. Anak itu balas tersenyum ramah.
Plak.
Salah satu temannya menampar anak tersebut. Lixe berlari menangkap tubuh anak yang jatuh. Anak itu memegangi pipinya. Matanya berkaca-kaca.
"Jangan menangis! Kau anak laki-laki, jangan cengeng!" Yang lain berseru.
"Kecuali kau ingin seperti anak di sampingmu yang lemah itu! Hahaha," tambah anak yang baru saja menamparnya. Tubuhnya yang besar dan tinggi, membuatnya merasa paling hebat.
Mereka tertawa.Mengejek sang korban dan Lixe. Anak di pangkuan Lixe mengusap air matanya. Dia berdiri. Lixe juga ikut berdiri, menatapnya khawatir.
Plak!
Anak itu memukul wajah Lixe. Dua orang temannya tertawa, yang lain bersorak. Mereka ingin anak itu menghajar Lixe. Deru napas anak itu memburu. Dia mengepalkan tinju.
Glek. Lixe menelan ludah. Dia menangkap tinju anak tersebut.
"Kau payah! Bagaimana bisa kau kalah pada anak seperti dia?!" ejek seorang. Anak itu marah. Tapi dia memang cukup bisa dikatakan cengeng.
"Apa kau ingin mencoreng nama keluarga kita? Ingat! Ayah adalah orang yang diberi kehormatan khusus oleh Mendiang Yang Mulia Ratu dengan diangkat menjadi bagian keluarga istana," ucap seorang anak laki-laki yang lebih kecil darinya tapi terlihat begitu berani.
Lixe melepaskan tinju anak itu. Anak itu kembali memukul. Harusnya Lixe bisa menangkapnya, sayangnya dia mengalah. Lixe menjadi sarung tinju bagi anak tersebut. Anak-anak yang lain tertawa.
Setelah begitu banyak memar didapatkannya, akhirnya anak itu behenti.
"Kerja bagus kawan." Yang lain tertawa.
"Ayo pergi dari sini!"
"Kak Yosi? Kau tidak ingin pergi," tanya adiknya. Anak yang berdiri di depan Lixe itu diam, dia sedang menyembunyikan air matanya.
"Dia masih ingin menghajarnya!" timpal yang lain. Semua sudah meninggalkan mereka berdua. Anak itu menatap mata Lixe takut. Dia berlari meninggalkan Lixe.
Lupakan yang baru saja terjadi. Lixe membenarkan posisi, dia memilih berbaring di tengah lapangan. Rasa sakit ditubuhnya sungguh tidak tertahankan. Hatinya tertusuk dalam.
"Apa salahku? Aku juga punya nama keluarga yang ku bawa. Iya kan?" batinnya dengan mata berkaca-kaca.
***
"Siang, Lixe!" sapa seorang pedagang buah. Lixe yang menaiki skyboard terbangnya menghampiri toko tersebut.
"Hai, Paman!" Lixe melambaikan. Pria itu tersenyum.
"Kenapa Paman sekeluarga tidak pernah ganti dagangan? Atau pindah tempat gitu kek? Gak bosen di sini terus. Lagian buah yang Paman jual kan bagus-bagus. Kalo dijual di pasar kota, bisa untung banyak."
Pria itu menggeleng sambil tersenyum. "Gak Lix. Toko ini pemberian Tuan Ken Lyde pada nenek moyangku. Ayahku bilang kalau kebahagiaan ada di mana hati berada, bukan uang yang banyak ataupun nama yang tenar." Pria itu melayani seorang wanita paru baya yang baru saja datang ke tokonya. Lixe hanya terdiam memperhatikannya, masih menunggu kelanjutan ucapan indah pria itu.
"Terima kasih, datang lagi ya!" ucap pria itu kepada nenek yang baru saja meninggalkan tokonya dengan membawa sekantong apel dan pir.
Lixe memperhatikan nenek itu. Ia terpukau dengan gelang bergantung kepala singa yang terbuat dari emas di tangan kiri si nenek. "Bukankah itu lambang Kerajaan Aenmal yang hanya dimiliki keluarga inti? Siapa nenek itu?" batin Lixe.
"Aku pergi dulu Paman. Semoga bahagia ya. jangan ke mana-mana!" seru Lixe meninggalkan pedagang buah itu. Dengan skyboard terbangnya, Lixe mengejar wanita paru baya yang masih tampak segar bugar. Jangankan berjalan, sepertinya nenek itu masih sanggup berlari. Ia berjalan cepat, memasuki kerumunan.
"Haduh! Dia hilang ke mana? Gila, cepet banget jalannya. pasti dia bangsawan yang pura-pura jadi nenek nenek. Awas kalau ketemu lagi!" Lixe menggeram di tempat. Menoleh ke sekeliling, berusaha menemukan si nenek.
"Hai bocah! Jangan menghalangi jalan! Minggir!" seru seorang anak berusia 10 tahunan. Lixe bergeser dari tempatnya, memberi jalan pada anak itu. Tapi anak di belakangnya itu tak kunjung lewat. Lixe menoleh.
"Apa namamu Lixe Lyde?" tanyanya. Lixe terdiam.
"Iya. Kenapa, Kak?" tanya Lixe polos. Yang diajak bicara tersenyum, tatapannya seperti merendahkan Lixe.
"Kukira kau bakal keren seperti Tuan Loam Van. Memang ya. Benar kata Tuan Lest Van, tidak ada yang bisa diharapkan dari suku Lyde." Anak itu tertawa.
"Apa masalahmu denganku? Apa yang pamanku katakan tentang Suku Ibu?!" tanya Lixe tidak terima. "Lagipula margaku Van!"
"Pamanmu? Van? Apa kau bermimpi? Kau bahkan tidak diakui sebagai anggota suku Van...." Belum selesai ucapan anak itu. Lixe turun dari skyboardnya yang mengambang 5 cm dari tanah. Ia langsung berlari ke arah anak itu dengan tinju terkepal.
Anak itu mengayunkan tubuh kebelakang seraya menangkap lengan Lixe. Ia menarik tubuh Lixe, mendekatkan mulutnya ke telinga Lixe. Berbisik. "Katakan pada ayahmu, Tuan Loam, bahwa sukunya menyuruhnya kembali. Tinggalkan suku Lyde!"
"Jangan seenaknya!" Lixe menarik lengannya. Anak itu melepaskan genggamannya, membuat Lixe terhempas tiga langkah ke belakang. Lixe berteriak, ia melompat ke depan dengan tangan terkepal. Untuk kedua kalinya ia berusaha memukul wajah anak di hadapannya itu.
"Yang jelek sepertimu ini tidak akan bisa mengalahkan ku!" anak itu balas berseru. Tak mau kalah, ia mengepalkan tangan. Lebih dulu meninju perut Lixe. Membuatnya terpental dua meter. skyboardnya yang mengambang berusaha menangkap tubuhnya. Lixe jatuh terduduk perlahan ke tanah berkat skyboardnya.
Sayangnya, belum sempat bangun dan memasang kuda-kuda. Anak itu berlari secepat kilat. Lixe tidak melihatnya lagi, hingga anak itu tiba-tiba muncul di depannya. Melayangkan tendangan ke perutnya. Tubuhnya terayun ke belakang. Anak itu berjongkok kemudian menjambak rambutnya.
"Kau tidak akan pernah mengalahkan ku. Selamanya, tidak akan. Ingat itu baik-baik!" Anak itu menghempaskan kepala Lixe ke samping, hingga wajahnya menghantam tanah kering yang keras itu. Anak itu berdiri dengan tatapan kemenangan.
"Kapan kita bisa bertarung lagi?" tanya Lixe yang masih tersungkur.
"Hahahaha. Minggu depan. Tunggulah aku di taman kota. Tidak mungkinkan, kau menyuruhku menunggumu, hai anak kotor."
"Siapakah Anak suci di depanku yang berani menghina sukuku?" Dengan napas terengah, Lixe bangun. Berusaha berdiri kuat di atas kedua kakinya. Ia menatap marah anak kurang ajar itu.
"Gean, ingat namaku! Dan jangan menyebutku sembarangan seperti itu! Sampai kau bisa memukul wajahku." Ucap anak itu sembari berbalik. Pergi meninggalkan Lixe di bawah terik matahari yang menyinari Pasar Lyde.
"Aku kalah di tempat warisan nenek moyangku. Aku janji akan memukul wajahmu di tempat warisan nenek moyangmu! Aaaah!" Lixe mengacak rambutnya. Tanpa ia sadari semua orang memandang ke arahnya.
"Ngapain kalian lihatin aku?! Hari yang menyebalkan!" Ia berseru, salah tingkah saat menyadari dirinya menjadi pusat perhatian. Lixe pergi sambil mengoceh tidak jelas pada orang orang yang dari tadi memperhatikannya.
"Sambungkan panggilan,"
"Putri Gueta. Sepertinya aku menemukan orang yang tepat. Dia Lixe Lyde. Bagaimana menurut Anda?" Nenek dengan gelang bergantung kepala singa itu bergumam di tempat yang sepi, sedang bertelepati dengan orang yang entah di mana.
"Sesuai yang kau inginkan, Putri."
Nenek itu mengangkat tangan kanannya. Seketika, keriput di wajahnya menghilang. Tubuhnya yang bungkuk, menjadi sangat tegap. wanita itu kini terlihat 30 tahunan.
***
Satu minggu kemudian...
"Lixe. Apa kau tidak papa, Nak?" seorang wanita tiga puluhan berdiri di depan pintu. Di dalamnya, seorang anak berusia 6 tahunan berpura-pura tidur di balik selimutnya. Ia diam, walau pintu kamarnya diketuk beberapa kali.
"Apa maumu, Lix? Ini sudah lima hari kau tak menyapa Ibu? Ada apa denganmu, Nak? Jawab Lix!" Wanita itu geram. Nada bicaranya sedikit meninggi.
Lixe pun turun dari kasurnya. Ia berjalan menghampiri pintu. "Lixe dah besar, Bu. Lixe cuma mau pergi ke taman kota. Apa sih masalahnya? Kalau Ibu dan Ayah gak mau ikut, Lix bisa pergi sendiri." Ia membuka pintu, memandang wajah ibunya yang sebal.
"Lix, kau tahu artinya pergi ke taman kota. Siapa yang mengajakmu? Tidak mungkin ini keinginanmu sendiri." Wanita itu menatap putranya tajam. Membuat anak di depannya itu terdiam beberapa saat dengan kepala tertunduk.
Lixe menelan ludah, mengangkat kepalanya. Ia lalu berkata, "Ini keinginanku sendiri, Bu."
"Baiklah ayo pergi besok. Kita lihat, siapa yang mengundangmu ke sana." Wanita itu menyerah, ia berbalik dan berjalan meninggalkan Lixe yang mematung di ambang pintu.
"Aku sudah mendapat kunci masuknya. Mungkin Ibu tidak tahu, anak di bawah 9 tahun dilarang masuk taman kota tanpa orang tua. Seandainya ibu tahu, pasti ia tidak akan mau. Karena sudah pasti aku tidak akan pergi tanpanya. Apa ibu sungguh berpikir aku tidak akan nekat ke sana sendiri?" Lixe bergumam seraya kembali menutup pintu kamarnya.
"Peraturan itu besok tidak akan menjadi masalah lagi buatku. Kali ini aku akan mengalahkannya." Lixe membuka lemari kayunya yang semeter. Lemari berisi beberapa senjata itu tidak lebih tinggi darinya. Ia mengangkat tangan ke depan.
"Lemari diri, terbuka." Sejenak, barang-barang di dalamnya hilang. Lixe kembali menutup lemari itu. "Aku juga layak menyandang nama Van!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Jira (💤)
Kalo diriku bacanya Aenmal sih
2023-06-03
0
Yuchen
Bagus, bagian Tokoh utamanya tersiksa gitu dengan percakapannya rapi cuma agak membingungkan di bagian awalnya bagi ku penceritaan kurang masuk di otakku.
pendapat pribadi😔🙏
2023-06-03
0
Yuchen
Aenmal? atau enmal bacanya?
2023-06-03
0