"Aaaaahhhh!!!" Lixe mengayunkan pedangnya. Dia kini berdiri di atas skyboard kesayangannya. Sebuah sabitan cahaya melayang ke arah salah satu dari ketiga drone . Drone itu naik dua senti. sabitan cahaya yang dihasilkan pedang Lixe mengenai udara kosong. Pecah tiga detik kemudian.
"Sudah dua puluh menit!" Paman aneh itu berseru sembari melihat jam tangannya. Dia mulai mengantuk. Menunggui Lixe menghajar ketiga drone itu. Sepertinya, lebih cocok kalau dibilang "menunggui Lixe dihajar ketiga drone itu" memang melelahkan. "Apa yang kau lakukan? Satu saja! Aku tidak menyuruhmu mengalahkan ketiganya. Begitu satu kau kalahkan. Akan ku urus yang lain."
Tetap saja, mengalahkan satu saat tiga drone melawannya. Ini sulit bagi Lixe sekarang. Dia mengingat kapan terakhir kali bertarung. Ah, cukup lama. Dua belas tahun, itu lama sekali. Lixe menghirup napas dalam dalam.
"Cahaya rembulan. Sabitan dua belas,"
Dua belas sabitan cahaya kembali melayang pada ketiga drone yang kini berdekatan. Lixe memastikan ketiganya tidak akan menghindar. Benar. Mereka tidak menghindar. Tapi justru menyambarkan listrik bertegangan tinggi. Kedua belas serangannya lenyap. Lixe meremas rambutnya sebal, marah, lelah, lapar. Ah, sudahlah.
"Apa kau tidak bisa memberitahuku apa yang menjadi kelemahan mereka, Paman?" Tanya Lixe di sela pertarungannya. Dia terus berkelit, menghindar dan menangkis. Sesekali menyerang, walau serangannya tidak mempan satu pun.
"Apa yang membuatmu merasa lemah?" tanya orang itu santai.
"Tentu saja. Dia kuat, gesit, dan... Aaahh!" Lixe meraung. Tubuhnya menghantam tembok besi yang kokoh itu. Lixe mendarat dengan mulus. Namun rasa sakit di punggungnya tetap ada. Walau tak sebanding dengan rasa sakit yang dia alami dulu. Lixe memejamkan mata sejenak. Kepalanya mulai berputar, seakan bintang bintang berputar di sana.
"Hanya segitu kemampuanmu? Dan kau menyebut dirimu Van? Suku Cahaya kerajaan Aenmal yang tinggi? Pulanglah Nak. Sebelum aku membunuhmu."
"Paman Lest! Aku hanya ingin bertemu kakek!" Lixe kecil berlutut dengan telapak tangan penuh goresan di depan sebuah istana megah. Rambutnya berantakan, debu dimana mana. Sedang di depannya pedangnya tertancap di tanah. Kepalanya tertunduk
"Sudah kubilang. Hancurkan pedangmu."
"Aku tidak bi.....," Lixe membantah. Ia mengangkat kepalanya spontan. Tapi kalimatnya terputus begitu melihat tatapan Lest yang tak dapat ia artikan.
"Pedang itu ada karenamu. Mustahil Tuhan menciptakan yang lebih hebat darinya. Kau bahkan belum meneteskan darah sedikitpun." Lest menghela napas berat. Lalu memasuki istananya. Meninggalkan Lixe yang termangung di depan istananya. "Apa Paman kecewa?" batin Lixe.
"Kau tahu! Ini tidak ada apa apanya!" Lixe berteriak. Matanya terbuka, iris matanya berubah menjadi putih. Kali ini tubuhnya diselimuti cahaya putih. rambut depannya terangkat. Gerakannya jadi lebih cepat.
"Raja Van Rembulan Cahaya bulan sabit."
Lixe melesat ke depan. Pedangnya terangkat. Tiga bola yang berkumpul itu berpencar. Satu dari ketiganya berhasil ditebas. Terbela dan jatuh ke tanah. Lixe tersenyum puas. Namun kedua bola yang lain justru diselimuti aliran listri. Semakin kuat, kini keduanya memyambarkan listrik ke arah Lixe.
Lixe berseru tertahan. Sebuah sengatan listrik yang ia tangkis dengan pedangnya justru mengalir dan nyetrum tangannya. Lixe spontan melempar pedangnya ke arah salah satu robot itu. Robot itu berkelit. Pedang Lixe melesat jauh. Membuat kedua robot itu berdenyit, seolah mengejek Lixe yang tak bersenjata.
"Ayo! Kau manusia. Ciptaan tuhan. Dia hanya robot, Ciptaan manusia. Bagaimana kau bisa tunduk padanya?" ucap paman itu. Ia tampak sangat menikmati ronde ini. Ia tersenyum puas. "Duduklah, Bocah. Aku akan bereskan sesuai janji." Pria itu berdiri. Hendak melangkah maju.
"Duduklah Paman. Hati-hati pinggangmu bisa remuk," kata Lixe. Iris matanya yang putih bercahaya menatap kedua bola itu tajam.
"Umurku tidak setua itu, Bocah!"
Lixe tidak menghiraukan ucapan paman itu. Ia berlari mendekati kedua drone dengan tangan kosong. Drone itu diselimuti listrik, juga menyemburkan listrik ke arah Lixe. Lixe berseru tertahan, sengatan listrik mengenai kakinya. Namun itu tak menghentikan langkahnya.
"Hiaaa!!" Lixe melompat, menendang salah satu drone hingga terpental mengenai yang lain. Ia sendiri kemudian jatuh. Kaki kanannya yang digunakan menendang drone itu mati rasa. Arus listrik mengalir hingga seluruh badan bagian kanannya kaku.
Tidak sia-sia, kedua drone itu jatuh ke tanah. Berdenyit. Dan sebelum keduanya kembali terbang, Lixe berlari menghampiri keduanya dengan menyeret kaki kanannya.
"Apa ini yang diinginkan Paman dulu? Mungkin memang aku yang pengecut. Andai dulu aku lebih berani. Apa kisahnya akan berbeda?" batin Lixe. Ia mengangkat tangan kanannya dengan susah payah. Tangannya yang masih diselimuti cahaya, memukul satu dari kedua drone itu. Membuatnya sempurna remuk. Sedang temannya berdenyit, buru-buru terbang pergi.
Slash
Sabitan cahaya mengenai drone itu. Tak sempat menghindar, menyetrum, drone itu terbela menjadi dua. Jatuh bebas di tanah. Cahaya di tubuh Lixe menghilang. Iris matanya kembali coklat. Wajahnya kembali tertutup rambut depannya yang panjang.
"Aku menemukan suku cahaya Kerajaan Aenmal yang legendaris," batin pria yang menungguinya sejak tadi. Pria itu bertepuk tangan.
"Selamat, Nak! Aku Ague Dielus dari Kerajaan.....," belum selesai orang itu memperkenalkan diri. Lixe mengambil robot yang remuk di bawahnya. Lalu berlari mendekati gerbang. Menempelkannya di sana. Sebuah lubang muncul di depannya. Wajahnya bahagia dan puas.
"Maaf, Paman. Sepertinya aku ingin mencari kejayaan sendiri! Namaku Lixe Van! Salam kenal." Lixe berseru. Lalu memasuki lubang yang segera menghilang.
"Hei! Jangan pergi seenaknya!" Ague berseru.
"Fiuh," Ia menarik dan menghembuskan napasnya berat. "Terserahmu lah. Terimakasih untuk tiket masuk gratisnya." batinnya. Ia mengambil sebuah drone yang terbela. Menempelkan drone e itu ke dinding pagar. Lalu masuk.
Lixe berjalan tanpa melihat jalan. Ia tertarik dengan bangunan indah di sekelilingnya. Juga benda-benda terbang di atasnya. Ini sedikit berbeda dengan Kerajaan Aenmal. Kerajaan yang masih setia dengan hewan itu sedikit lebih primitif, menurut wanita yang bertemu dengannya tadi.
"Bisa-bisanya dia menyebutku primitif," batin Lixe begitu melihat wanita itu mengendarai motor terbang di atasnya. Lixe yang tidak punya tujuan dan penasaran kemana wanita itu pergi pun mengikutinya.
Bruk
"Apa kau salah bantal. Kenapa kau berjalan sambil melihat ke atas? Anugrah tuhan yang mana yang kau lihat?" omel seorang perempuan yang jatuh ditabraknya. Lixe melangkah mundur tiga langkah. Ia terkejut.
"Maaf maaf. Gak keliatan," jawabnya dengan gugup. Lixe memandang ke langit, memastikan wanita super modern itu tidak hilang.
Plak. Perempuan yang ia tabrak barusan menamparnya.
"Aku memang kurus, agak pendek. Setidaknya aku bukan semut yang tidak bisa kau lihat! Walau aku seringan daun, jangan meremehkan ku!" Perempuan di depannya itu menatapnya galak. Mengangkat kepala, wajahnya merah padam.
"Iya, iya. Maafkan aku. Aku ada urusan." Lixe mengatur napasnya. Lalu pergi dengan buru buru meninggalkan perempuan yang menjerit tidak terima.
"Aku Putri Ketrajaan Roila, akan menendangmu keluar dari Gerbang Roila yang agung saat kita bertemu lagi!" perempuan itu mendengus. Lalu pergi dengan langkah berat.
Lixe mengikuti wanita itu sampai di depan gedung dua belas lantai. Wanita itu tentu dengan mudah mendarat di atap gedung. Sedang Lixe? "Bagaimana aku bisa ke atas?" batin Lixe. Ia menoleh ke segala arah. Berharap menemukan sesuatu yang dapat membantunya. Ia melihat rantai yang mengelilingi bangunan itu.
"Bukannya aku punya rantai sialan pembawa keberuntungan ya?" batinnya. Lixe meraba leharnya. Dia mengingat bagaimana gadis yang dulu ia temui memanggil binatang.
"Panggilan Binatang....., apa pun yang bisa terbang!"
Lixe berseru frustasi. Dia tidak berharap ini akan berhasil. Dia mengendus beberapa kali, berkacak pinggang menunggu hal yang sudah tak ia harapkan. "Ini pasti gagal" batinnya.
"Koaak!" tanpa ia sadari seekor elang muncul dari belakang. Terbang ke arahnya dan menabrak tubuhnya hingga tersungkur ke tanah. "Hewan sialan siapa ini?" batinnya.
Lixe bangkit, menatap elang menyebalkan itu dengan tatapan sebal. Keduanya beradu tatapan beberapa saat. Barulah ia tersadar akan kalung di lehernya yang bercahaya kuning itu. Apa aku berhasil? Lixe berseru tertahan. Buru-buru menungganginya. "Ayo terbang!"
Burung itu terbang sesuai perintahnya. Lalu muncul di atap sesuai perkiraan.
"Siapa kamu? Kurasa aku tidak pernah melihat orang primitif di Kerajaan Roila. Apa kau penyusup?" tanya wanita itu. Ia duduk. di depannya sebuah komputer hologram menampilkan layar layar kecil yang bertumpuk. Wanita itu dengan melirik Lixe sejenak. Lalu fokus pada apa yang ada di depannya.
"Namaku Lixe Van. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lixe mendekati wanita itu.
"Menjauh dariku! Ini bukan urusanmu." balasnya ketus. Sebuah pagar cahaya muncul dua meter darinya. Memisahkannya dengan Lixe. Lixe yang melihat wanita itu dari jarak tiga meter, melihat mata orang di depannya itu bercahaya.
"Siapa kau? Apa kau dari suku Van?" tanya Lixe termangung.
"Suku Van? Kumpulan orang orang suci yang sombong itu? Bukan," jawabnya. Lalu menoleh. Kalau dilihat-lihat, dia seumuran dengan Lixe. Perempuan itu berdiri. Melupakan pekerjaannya. "Aku Zenith Dey. Dari Suku Pengintai yang tak banyak lagak dan rendah hati."
"Tak banyak lagak? Rendah hati? Apaan?" batin Lixe sambil meringis geli.
"Aku bisa membaca apa yang kau pikirkan!" Gadis itu melompat maju. Tangannya terangkat, hendak memukul wajah Lixe yang menyebalkan baginya.
"Dasar Sombong!"
"Kau yang sombong!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ayano
Gila. Renyah banget suaranya itu 😅
2023-08-03
0
Ayano
Kalimat yang bagus
Dia kalau di kultivasi lain bakalan jadi panutan itu
2023-08-03
0
Ayano
Belum menjadi kuat. Jan disuruh pulang dulu
2023-08-03
0