Dua belas tahun kemudian, di samping Sungai Jurang Kematian.....
"Hai, di sini sepertinya ada hewan yang sangat besar." Seorang pemburu berkata pada temannya. Ia melihat peta hologram di lengannya. Menunjukkan sebuah titik besar di bawah reruntuhan.
"Pasti tinggal bangkainya." Temannya menggeleng. Tidak mungkin seekor binatang bertahan di bawah reruntuhan yang amat berat itu. Pemburu tadi menatap sebal temannya ini.
"Apa?"
"Radarku tidak pernah salah!" Sang Pemburu berteriak penuh keyakinan.
"Sudahlah. Kalaupun memang ada hewan di bawah sana. Sepertinya kita tidak boleh mengganggunya." Temannya hendak melangkahkan kaki. meninggalkan Sang Pemburu yang masih keras kepala.
"Ah. Dasar pengecut!" Pemburu itu berseru sekencang kencangnya. Membuat burung-burung beterbangan. Yang diteriaki menoleh dengan wajah serius. Membuat yang berteriak heran.
"Ada apa? Kemana perginya wajahmu yang santai?" Pemburu memiringkan kepala. Menatap heran temannya yang mengangkat kapak besarnya. Tidak mungkinkan temannya ini hendak membunuhnya. Konyol.
"Instingku berkata. Seekor binatang buas yang kelaparan akan datang." Pria itu menebar pandangan.
"Hah?" Pemburu tercengang. Wajahnya pucat.
"Dan yang kau katakan benar. Binatang itu, ada di bawah reruntuhan." Kini dia menghadap ke arah reruntuhan. Memasang kuda-kudanya. Bersiap untuk segala hal paling tidak terduga. Sedang temannya yang meneriakinya pengecut justru bersembunyi di belakangnya.
Benar saja. Reruntuhan itu bergetar. Sebuah baru kecil di puncaknya jatuh. Disusul Batu batu besar yang mulai runtuh dan terangkat. Bagai diterbangkan. Batu batu besar itu kocar kacir. Menyisahkan seorang remaja laki-laki tengah berdiri di tengah debu yang mengepul.
Sring
Sang Pemberani menarik pedangnya, melemparnya ke arah kepulan debu. Si Penakut tersenyum, berseru, "Kakek memang hebat!"
Cring
Pedang itu berputar, terpental dan terbang kembali pada pemiliknya. Orang itu berlari mendekati kepulan debu. Tidak peduli dengan pedangnya yang mendarat persis di depan rekannya. Membuat rekannya menjerit histeris, lalu berteriak, "Perhatikan pedangmu, Kek!"
Yang dipanggil tidak merespon. Orang itu mengangkat kapaknya. Persis saat orang dari kepulan debu itu keluar dengan tangan terangkat. Tubuhnya diselimuti cahaya kuning. Rambutnya yang panjang menutupi wajahnya. Tangannya yang keras beradu dengan kapak si Kakek.
"Kupikir kau siapa," ucap kakek itu. Ia mendorong lawannya. Membuatnya mundur dua langkah, sebelum akhirnya kembali menyerang. Kakek itu melompat. Menghindari tangan keras yang hendak menjeglang kakinya. Kesempatan, ia mengayunkan kapak itu dari atas pada pria di bawahnya. "Ternyata hanya kerasukan."
Remaja beraura beruang itu dengan cepat meninju perut kakek. Tidak sempat menyadarinya. Kakek itu terpental kembali ke tempat semula.
"Ayo, Kek! Semangat dong!" rekannya menyemangati melihat kakek itu kini terbaring di tanah.
"Apa-apa kau?! Aku sudah berumur. Kau generasi muda. Harusnya kau yang berjuang." Kakek itu tampak kesal. Ia berusaha berdiri. Tapi sepertinya pinggangnya bermasalah. "Aduuuh!! Harusnya aku tidak mengikuti ajakanmu untuk berburu!!"
"Hah?! Kakek kan kuat! Hebat! Kakek pasti bisa."
"Kenapa tidak kau coba sendiri?! Kau yang bisa mengendalikan hewan. Harusnya kau bisa menghentikannya!" seru Kakek sebal. Dia menggertakkan giginya yang kokoh saat melihat pria beruang itu mendekat.
"Aku akan coba. Tapi Kakek di depan ya. Hidupku kan masih panjang!"
"Dasar anak kurang ajar!"
Satu meter di depan keduanya. Pria beruang itu meraung hebat. Membuat debu di sekitar bertebaran. Juga berhasil membuat tekad si Penakut kuat, meski ia benar-benar mau kencing. Sedang lawan mereka mengangkat tangan. Bersiap menyerang.
"Panggilan binatang. Tenanglah beruang."
Pria itu tidak merespon. Tangannya yang tampak keras terayun ke bawah. Dengan susah payah Kakek di depannya menahan dengan kapaknya. Ada yang aneh. Orang di belakang kakek itu menatap tajam pada kalung perak yang mengeluarkan cahaya kuning di leher pria beruang itu. Dia mengamati sesaat. Membiarkan remaja itu beradu kekuatan dengan kakek yang masih sehat bugar.
"Panggilan binatang. Rayuan penguasa hutan. Suku Aenmal memanggil. Tenanglah!"
"Aaaaahh!" teriak remaja itu. Gerakannya berhenti. Tubuhnya mematung. Dua detik kemudian cahaya kuning yang menyelimuti tubuhnya hilang. Bersama dengan hilangnya kalung perak itu. Kabar baik. Sang Kakek akhirnya bisa menghela napas lega. Ia menoleh ke belakang, tersenyum pada rekannya.
Anak muda itu kini ganti diselimuti cahaya kuning. Lebih terang. Bahkan iris matanya yang coklat berubah menjadi kuning. Dia .mendekati remaja itu dengan tatapan lurus.
"Dari mana kau mendapatkannya?" tanya pemuda itu. Yang ditanya tidak menjawab. Dua detik kemudian, remaja yang baru saja mengamuk itu pingsan.
"Kau berhasil, Jian," ucap kakek itu memberi selamat. Jian tersenyum. Ia menghela napas lega.
"Aku keren kan, Kek? Gak kalah sama Gusion," ujarnya sambil menyengir lebar. Cahaya di tubuhnya hilang. matanya kembali apa adanya. Kini Jian berkacak pinggang.
"Kita apakah dia?" tanya Jian. Jujur ia merasa kasihan pada laki-laki yang lebih muda darinya itu.
"Ayo bawa ke Rumah," jawab Kakek seraya berbalik.
"Katanya mau dibawa pulang. Kok pergi?"
"Apa maksudmu? Jangan bilang kau......"
"Kakek kuat! Gendong dia!"
"Anak kurang ajar!"
Sesampainya di Rumah.
Jian menghempaskan tubuh yang digendongnya di pundak dengan hati hati di kasur terbang di ruang tamu. Sedang Sang Kakek ikut berbaring di samping remaja itu sambil merenggangkan pinggangnya. Jian berdecak beberapa kali. Sebelum akhirnya ikut duduk di atas kasur.
Seseorang membuka pintu dari luar. Masuk ke dalam. Dia menatap ketiga orang yang sudah berbaring di kasur dengan tatapan dingin. Lalu berlalu begitu saja. Namun langkahnya berhenti. Dia menatap laki-laki asing itu. Lalu bergumam, "Lixe? Siapa?"
Malam harinya.....
Lixe terbangun. Ia memandang sekeliling. "Dimana aku?" Lixe bertanya dalam hati. Ia lalu bangkit dari kasur terbang itu. Tidak mendapati siapa pun. Ia buru-buru pergi dari tempat itu. Tidak peduli bagaimana dia bisa sampai di sana.
"Kemana aku harus pergi sekarang?" Lixe menggerutu dalam hati. Sedikit menyesal meninggalkan kasur terbang yang empuk.
Lixe memandang ke langit. Menyibak rambut depannya yang sudah panjang hingga menutupi wajah. Sudah berapa lama aku tidur. Tubuh ini rasanya berat, tidak enak semua. Aku harus bagaimana.
Lixe berjalan tanpa arah. Kini, di depannya, sebuah dinding besi kokoh berdiri tegak. "Apakah di sana ada tempat tinggal?" batinnya dalam hati. Lixe melompat. Berupaya melewati gerbang tinggi itu dari atas. Tapi saat berada di puncak gerbang itu. Sebuah drone berbentuk bola menghantam perutnya. Lixe jatuh ke tanah.
Lixe mendongak, drone itu terlihat meluncur ke arahnya. Hendak menghantamnya secepat kilat. Lixe hendak berdiri. Tidak sempat berdiri.
Brak
Seorang perempuan remaja. Berusia sama dengan Lixe. Perempuan itu menendang drone berbentuk bola dengan keras, hingga drone itu menghantam dinding pagar. Gila. Dinding itu remuk dibuatnya. Lixe tercengang melihat kekuatan gadis berambut kuncir kuda dengan penampilan tomboi di hadapannya itu.
Namun yang ditatap tidak berkata apa pun. Seperti gadis itu tidak memperhatikannya. Bahkan Lixe tidak yakin si Perempuan menganggapnya ada.
"Hei! Apa kau tahu ini dimana?" tanya Lixe dengan polosnya.
"Kau tidak tahu ini zaman apa? Lihat peta duniamu! Gak punya? Dasar primitif," jawab gadis itu ketus. Dia lalu menendang drone yang kini di depannya. Drone itu melayang. Dengan sigap ia menangkapnya lalu menempelkannya ke gerbang. Drone itu perlahan hilang. Menyatu dengan gerbang. Tidak lama, sebuah lubang terbentuk di gerbang yang kokoh itu. Gadis itu memasuki lubangnya. Lixe berlari menyusul. Sayangnya, begitu Sang Pembuka pintu melewati tembok, lubangnya langsung menghilang. Lixe memukul tombok besi sekuat tenaga.
"Aaaaahh! Kumohon bukakan pintu untukku juga!!" Lixe berseru kesal.
"Kau ingin masuk juga?" tanya seorang pria asing. Entah berapa orang asing yang ia temui dalam sehari. Lixe menatapnya dengan curiga. Orang itu mengenakan kacamata hitam dan berpakaian seperti bangsawan. Lixe tidak suka bangsawan. Apalagi yang tampangnya menyebalkan seperti itu.
"Anda ini siapa? Tampang Anda menyebalkan. Kurasa, mirip gadis tadi." Lixe memasang wajah polos. Tidak peduli dengan siapa dia bicara
"Dasar. Bisa-bisanya kau berkata seperti itu," balas orang itu tetap tenang. Di belakangnya, muncul piring terbang yang lalu didudukinya. "Aku akan melihat seberapa hebatnya dirimu."
Lixe memiringkan kepalanya. Tidak tahu apa yang di katakan paman aneh itu. Dan tanpa dia sadari tiga drone berbentuk bola datang menghampirinya dari atas bersamaan.
"Awas, di belakangmu."
Lixe berbalik. Sial. Dengan sisa waktu. Dia berkelit menghindar. Lupakan paman ini. Ayo selamatkan dirimu, Lixe.
"Bagaimana? Kalau kau bisa mengalahkan satu saja dari robot-robot penjaga itu, kau bisa masuk."
"Hanya itu?" tanya Lixe dengan terus fokus pada ketiga drone yang ganas ingin menjatuhkannya.
"Kalau kau berhasil. Aku akan memberikanmu kehidupan baru. Dan kau pasti puas dengan itu. Dendam dan ambisi semuanya akan beres."
"Kau janji?"
"Janji"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Yuchen
bagus, rapi ini aku gak kebayang tokoh utamanya tidur selama 12 tahun gitu biasanya pasti akan hilang ingatan, atau melupakan masa lalu yang dilaluinya.
2023-06-03
0
Yuchen
kepulan?
2023-06-03
0