Seorang anak laki-laki bermain dengan skyboardnya di jalanan yang sepi. Dia melihat sekumpulan anak-anak yang bermain di sebuah taman. Dengan suasana hati yang bahagia, Lixe Van-nama anak itu, berbelok ke taman tersebut.
"Hai!" sapanya pada seorang anak yang melihatnya. Anak itu balas tersenyum ramah.
Plak.
Salah satu temannya menampar anak tersebut. Lixe berlari menangkap tubuh anak yang jatuh. Anak itu memegangi pipinya. Matanya berkaca-kaca.
"Jangan menangis! Kau anak laki-laki, jangan cengeng!" Yang lain berseru.
"Kecuali kau ingin seperti anak di sampingmu yang lemah itu! Hahaha," tambah anak yang baru saja menamparnya. Tubuhnya yang besar dan tinggi, membuatnya merasa paling hebat.
Mereka tertawa.Mengejek sang korban dan Lixe. Anak di pangkuan Lixe mengusap air matanya. Dia berdiri. Lixe juga ikut berdiri, menatapnya khawatir.
Plak!
Anak itu memukul wajah Lixe. Dua orang temannya tertawa, yang lain bersorak. Mereka ingin anak itu menghajar Lixe. Deru napas anak itu memburu. Dia mengepalkan tinju.
Glek. Lixe menelan ludah. Dia menangkap tinju anak tersebut.
"Kau payah! Bagaimana bisa kau kalah pada anak seperti dia?!" ejek seorang. Anak itu marah. Tapi dia memang cukup bisa dikatakan cengeng.
"Apa kau ingin mencoreng nama keluarga kita? Ingat! Ayah adalah orang yang diberi kehormatan khusus oleh Mendiang Yang Mulia Ratu dengan diangkat menjadi bagian keluarga istana," ucap seorang anak laki-laki yang lebih kecil darinya tapi terlihat begitu berani.
Lixe melepaskan tinju anak itu. Anak itu kembali memukul. Harusnya Lixe bisa menangkapnya, sayangnya dia mengalah. Lixe menjadi sarung tinju bagi anak tersebut. Anak-anak yang lain tertawa.
Setelah begitu banyak memar didapatkannya, akhirnya anak itu behenti.
"Kerja bagus kawan." Yang lain tertawa.
"Ayo pergi dari sini!"
"Kak Yosi? Kau tidak ingin pergi," tanya adiknya. Anak yang berdiri di depan Lixe itu diam, dia sedang menyembunyikan air matanya.
"Dia masih ingin menghajarnya!" timpal yang lain. Semua sudah meninggalkan mereka berdua. Anak itu menatap mata Lixe takut. Dia berlari meninggalkan Lixe.
Lupakan yang baru saja terjadi. Lixe membenarkan posisi, dia memilih berbaring di tengah lapangan. Rasa sakit ditubuhnya sungguh tidak tertahankan. Hatinya tertusuk dalam.
"Apa salahku? Aku juga punya nama keluarga yang ku bawa. Iya kan?" batinnya dengan mata berkaca-kaca.
***
"Siang, Lixe!" sapa seorang pedagang buah. Lixe yang menaiki skyboard terbangnya menghampiri toko tersebut.
"Hai, Paman!" Lixe melambaikan. Pria itu tersenyum.
"Kenapa Paman sekeluarga tidak pernah ganti dagangan? Atau pindah tempat gitu kek? Gak bosen di sini terus. Lagian buah yang Paman jual kan bagus-bagus. Kalo dijual di pasar kota, bisa untung banyak."
Pria itu menggeleng sambil tersenyum. "Gak Lix. Toko ini pemberian Tuan Ken Lyde pada nenek moyangku. Ayahku bilang kalau kebahagiaan ada di mana hati berada, bukan uang yang banyak ataupun nama yang tenar." Pria itu melayani seorang wanita paru baya yang baru saja datang ke tokonya. Lixe hanya terdiam memperhatikannya, masih menunggu kelanjutan ucapan indah pria itu.
"Terima kasih, datang lagi ya!" ucap pria itu kepada nenek yang baru saja meninggalkan tokonya dengan membawa sekantong apel dan pir.
Lixe memperhatikan nenek itu. Ia terpukau dengan gelang bergantung kepala singa yang terbuat dari emas di tangan kiri si nenek. "Bukankah itu lambang Kerajaan Aenmal yang hanya dimiliki keluarga inti? Siapa nenek itu?" batin Lixe.
"Aku pergi dulu Paman. Semoga bahagia ya. jangan ke mana-mana!" seru Lixe meninggalkan pedagang buah itu. Dengan skyboard terbangnya, Lixe mengejar wanita paru baya yang masih tampak segar bugar. Jangankan berjalan, sepertinya nenek itu masih sanggup berlari. Ia berjalan cepat, memasuki kerumunan.
"Haduh! Dia hilang ke mana? Gila, cepet banget jalannya. pasti dia bangsawan yang pura-pura jadi nenek nenek. Awas kalau ketemu lagi!" Lixe menggeram di tempat. Menoleh ke sekeliling, berusaha menemukan si nenek.
"Hai bocah! Jangan menghalangi jalan! Minggir!" seru seorang anak berusia 10 tahunan. Lixe bergeser dari tempatnya, memberi jalan pada anak itu. Tapi anak di belakangnya itu tak kunjung lewat. Lixe menoleh.
"Apa namamu Lixe Lyde?" tanyanya. Lixe terdiam.
"Iya. Kenapa, Kak?" tanya Lixe polos. Yang diajak bicara tersenyum, tatapannya seperti merendahkan Lixe.
"Kukira kau bakal keren seperti Tuan Loam Van. Memang ya. Benar kata Tuan Lest Van, tidak ada yang bisa diharapkan dari suku Lyde." Anak itu tertawa.
"Apa masalahmu denganku? Apa yang pamanku katakan tentang Suku Ibu?!" tanya Lixe tidak terima. "Lagipula margaku Van!"
"Pamanmu? Van? Apa kau bermimpi? Kau bahkan tidak diakui sebagai anggota suku Van...." Belum selesai ucapan anak itu. Lixe turun dari skyboardnya yang mengambang 5 cm dari tanah. Ia langsung berlari ke arah anak itu dengan tinju terkepal.
Anak itu mengayunkan tubuh kebelakang seraya menangkap lengan Lixe. Ia menarik tubuh Lixe, mendekatkan mulutnya ke telinga Lixe. Berbisik. "Katakan pada ayahmu, Tuan Loam, bahwa sukunya menyuruhnya kembali. Tinggalkan suku Lyde!"
"Jangan seenaknya!" Lixe menarik lengannya. Anak itu melepaskan genggamannya, membuat Lixe terhempas tiga langkah ke belakang. Lixe berteriak, ia melompat ke depan dengan tangan terkepal. Untuk kedua kalinya ia berusaha memukul wajah anak di hadapannya itu.
"Yang jelek sepertimu ini tidak akan bisa mengalahkan ku!" anak itu balas berseru. Tak mau kalah, ia mengepalkan tangan. Lebih dulu meninju perut Lixe. Membuatnya terpental dua meter. skyboardnya yang mengambang berusaha menangkap tubuhnya. Lixe jatuh terduduk perlahan ke tanah berkat skyboardnya.
Sayangnya, belum sempat bangun dan memasang kuda-kuda. Anak itu berlari secepat kilat. Lixe tidak melihatnya lagi, hingga anak itu tiba-tiba muncul di depannya. Melayangkan tendangan ke perutnya. Tubuhnya terayun ke belakang. Anak itu berjongkok kemudian menjambak rambutnya.
"Kau tidak akan pernah mengalahkan ku. Selamanya, tidak akan. Ingat itu baik-baik!" Anak itu menghempaskan kepala Lixe ke samping, hingga wajahnya menghantam tanah kering yang keras itu. Anak itu berdiri dengan tatapan kemenangan.
"Kapan kita bisa bertarung lagi?" tanya Lixe yang masih tersungkur.
"Hahahaha. Minggu depan. Tunggulah aku di taman kota. Tidak mungkinkan, kau menyuruhku menunggumu, hai anak kotor."
"Siapakah Anak suci di depanku yang berani menghina sukuku?" Dengan napas terengah, Lixe bangun. Berusaha berdiri kuat di atas kedua kakinya. Ia menatap marah anak kurang ajar itu.
"Gean, ingat namaku! Dan jangan menyebutku sembarangan seperti itu! Sampai kau bisa memukul wajahku." Ucap anak itu sembari berbalik. Pergi meninggalkan Lixe di bawah terik matahari yang menyinari Pasar Lyde.
"Aku kalah di tempat warisan nenek moyangku. Aku janji akan memukul wajahmu di tempat warisan nenek moyangmu! Aaaah!" Lixe mengacak rambutnya. Tanpa ia sadari semua orang memandang ke arahnya.
"Ngapain kalian lihatin aku?! Hari yang menyebalkan!" Ia berseru, salah tingkah saat menyadari dirinya menjadi pusat perhatian. Lixe pergi sambil mengoceh tidak jelas pada orang orang yang dari tadi memperhatikannya.
"Sambungkan panggilan,"
"Putri Gueta. Sepertinya aku menemukan orang yang tepat. Dia Lixe Lyde. Bagaimana menurut Anda?" Nenek dengan gelang bergantung kepala singa itu bergumam di tempat yang sepi, sedang bertelepati dengan orang yang entah di mana.
"Sesuai yang kau inginkan, Putri."
Nenek itu mengangkat tangan kanannya. Seketika, keriput di wajahnya menghilang. Tubuhnya yang bungkuk, menjadi sangat tegap. wanita itu kini terlihat 30 tahunan.
***
Satu minggu kemudian...
"Lixe. Apa kau tidak papa, Nak?" seorang wanita tiga puluhan berdiri di depan pintu. Di dalamnya, seorang anak berusia 6 tahunan berpura-pura tidur di balik selimutnya. Ia diam, walau pintu kamarnya diketuk beberapa kali.
"Apa maumu, Lix? Ini sudah lima hari kau tak menyapa Ibu? Ada apa denganmu, Nak? Jawab Lix!" Wanita itu geram. Nada bicaranya sedikit meninggi.
Lixe pun turun dari kasurnya. Ia berjalan menghampiri pintu. "Lixe dah besar, Bu. Lixe cuma mau pergi ke taman kota. Apa sih masalahnya? Kalau Ibu dan Ayah gak mau ikut, Lix bisa pergi sendiri." Ia membuka pintu, memandang wajah ibunya yang sebal.
"Lix, kau tahu artinya pergi ke taman kota. Siapa yang mengajakmu? Tidak mungkin ini keinginanmu sendiri." Wanita itu menatap putranya tajam. Membuat anak di depannya itu terdiam beberapa saat dengan kepala tertunduk.
Lixe menelan ludah, mengangkat kepalanya. Ia lalu berkata, "Ini keinginanku sendiri, Bu."
"Baiklah ayo pergi besok. Kita lihat, siapa yang mengundangmu ke sana." Wanita itu menyerah, ia berbalik dan berjalan meninggalkan Lixe yang mematung di ambang pintu.
"Aku sudah mendapat kunci masuknya. Mungkin Ibu tidak tahu, anak di bawah 9 tahun dilarang masuk taman kota tanpa orang tua. Seandainya ibu tahu, pasti ia tidak akan mau. Karena sudah pasti aku tidak akan pergi tanpanya. Apa ibu sungguh berpikir aku tidak akan nekat ke sana sendiri?" Lixe bergumam seraya kembali menutup pintu kamarnya.
"Peraturan itu besok tidak akan menjadi masalah lagi buatku. Kali ini aku akan mengalahkannya." Lixe membuka lemari kayunya yang semeter. Lemari berisi beberapa senjata itu tidak lebih tinggi darinya. Ia mengangkat tangan ke depan.
"Lemari diri, terbuka." Sejenak, barang-barang di dalamnya hilang. Lixe kembali menutup lemari itu. "Aku juga layak menyandang nama Van!"
"Lixe! Apa kau sudah siap?" Pria tiga puluhan itu sudah duduk di atas motornya. Dengan mengenakan kacamata berlensa oranye, ditambah poni miring panjang pirangnya yang membuat wajahnya sulit dikenali. Pria itu memakai mantel dan celana putih. Terlihat seakan ia orang paling suci sedunia. Loam Van
"Ayo, Ayah! Mana Ibu?" tanya Lixe polos. Ia keluar dari jendela kamarnya dengan skyboard terbang kesayangannya. Menoleh ke sana kemari, Lixe mencari ibunya. Ia turun dari skyboardnya begitu menyentuh tanah. Skyboard itu seketika menghilang.
"Dia," kata Loam sambil melirik wanita bertopi dan kacamata hitam yang diam bersandar di pintu rumah. Lia Lyde. Dari balik kacamatanya, ia menatap Lixe tajam. Lixe menelan ludah sambil memalingkan wajah. Dia tahu ibunya masih marah.
"Ayo pergi! Kita lihat siapa yang mengundangmu datang ke sana?" Lia mendekati dua orang yang sudah naik di atas motor. Ia menyusul. "Apa pun yang terjadi, dengarkan perintahku! Mengerti!" bisiknya pada Lixe.
Lixe terpaksa mengangguk. "Tenang saja, aku sudah bersiap. Aku akan mengalahkan gean sebelum ibu tahu," batin Lixe. Hanya dia yang membiarkan wajahnya diterpa angin pagi. Motor Loam melesat cepat, salib-menyalib dengan kendaraan yang lain.
"Lingkaran Api Cahaya."
Sebuah lingkaran sihir muncul di atas rumah kayu bertingkat 3 milik keluarga Lixe. Lidah lidah api keluar dari langit-langit. Membuat rumah itu terbakar dalam sekejap.
"Hahahaha!" Tawa seorang pria meledak di depan rumah yang terbakar itu. Ia mengenakan pakaian serba putih. Lacky Van, Panglima Kerajaan Aenmal. "Anda memang hebat, Tuan Lest Van. Lebih hebat dari kakak Anda," pujinya pada Lest Van yang berjongkok di sampingnya sambil menyentuh tanah. Memasang mantra.
"Hari ini, hari terakhirmu, Kak Loam. Maafkan adikmu yang akan mengirimmu bertemu ibu," gumam Lest seraya berdiri. Ia menatap kosong rumah yang terbakar itu beberapa saat. Lalu keduanya pergi, menuju taman kota.
Lixe berlari kecil mengelilingi taman kota. Ia mengedarkan pandangan, mencari anak yang menantangnya seminggu yang lalu. Dimana anak sombong nan kurang ajar itu? Pandangan Lixe jatuh pada seorang gadis yang tersenyum memamerkan gigi taringnya yang runcing. Gadis itu seperti memperhatikannya. Tapi Lixe tidak peduli. Ia mulai memasuki taman bunga. Berharap Gean segera muncul di depannya. Walau sebenarnya dia lebih berharap tidak ditemukan duluan.
"Dor!" Lixe melompat mundur, memasang kuda-kuda. Jantungnya berdetak kencang. Napasnya tersengal.
"Kamu!" seru Lixe sebal. Gadis tadi ternyata mengikutinya. Dan tanpa tedeng aling-aling muncul di hadapannya dengan berteriak. Gadis itu tertawa. Sepertinya berusia lima tahun. Lixe tersenyum setelah memenangkan diri.
"Serpihan jiwa Aenmal. Ikatan janji," gadis itu menyentuh leher Lixe. Sebelum Lixe menyadari, sebuah kalung rantai perak melilit di lehernya. "Sampai jumpa, Kakak Lixe. Semoga cepat berhasil ya!" Gadis itu berbalik. Berlari meninggalkan Lixe yang mematung di tempat.
"Siapa dia? Dan apa ini?" gumam Lixe.
"Hei! Ini apa?! Lepaskan benda ini dariku!!" Lixe berseru heboh. Sayangnya gadis itu tidak menoleh. Ia buru-buru pergi. Kedua tangannya terangkatnya, seekor elang menangkap kedua tangannya. Lalu membawanya terbang begitu saja. Lixe memandang heran gadis dan elang itu. Ia hendaknya mengejar, namun sebuah aura dingin membuatnya mengurungkan niat. Entah sejak kapan instingnya setajam ini. Tapi dia bisa merasakan keberadaan Gean.
Lixe menoleh ke samping. "Aku menemukanmu, Gean." Lixe berlari ke arah jam satu. Menembus pohon pohon lebat yang menghalangi pandangan.
"Slash." Sebuah tebasan udara menghampiri Lixe yang baru keluar dari pepohonan. Ia melompat, berguling ke depan, menghindar. Lixe mendongak dalam posisi duduk.
"Kamu menunggu aku?" Lixe tersenyum.
"Kamu benar-benar menyebalkan!" balas Gean. Ia mengangkat pedang di tangan kirinya. Mengayunkannya ke arah Lixe. Sebuah bayangan berupa sayatan pedang melesat ke arah Lixe. Anak itu menunduk, membiarkan bayangan tadi menebang tiga pohon besar di belakangnya.
"Panggilan, pedang cahaya." Sebuah pedang muncul di tangan kanan Lixe. Ia berlari menghampiri Gean. Kedua pedang itu bertemu, menciptakan suara nyaring yang memekakkan telinga. Keduanya saling dorong. Lixe yang berbadan lebih kecil jelas kewalahan. Ia terdorong dua puluh senti ke belakang. Lixe menggeram kesal.
"Kau tahu? Suku Van tidak mengakui mu. jadi berhentilah menggunakan perlengkapan cahaya milik Suku Van yang suci." Gean menghempaskan pedang pedang Lixe. Ia jatuh terlentang. Punggungnya menghantam batu. Ia mengaduh kesakitan. Berguling di tanah sambil memegangi punggungnya.
"Jangan, berkata macam-macam." Lixe berusaha duduk. Darah segar keluar di ujung bibirnya. Ia menatap tajam Gean yang berjalan menghampiri. Sisa dua langkah. Gean mengangkat pedangnya. Sebuah cahaya menyelimuti pedang itu. Gean mendongak. Dengan cepat ia melempar pedang itu ke sembarang arah. Cahaya itu hilang begitu pedangnya menancap dalam di tanah.
"Cring," sebuah cahaya muncul di antara Lixe dan Gean. Gean melompat ke belakang. Seorang pria muncul setelah cahaya itu hilang. Pria bermata merah sebelah itu, Lacky Van.
"Pangeran Gean. Sepertinya Anda sudah kelewatan. Tapi terimakasih, sudah membawakannya untuk kami." Lacky menyeringai jahat. Ia menatap Lixe seperti Predator menatap mangsanya. Lixe bergetar. Sekujur tubuhnya mendadak berkeringat. Ini jebakan yang direncanakan. "Ayah, Ibu. Maafkan aku. Ini semua salahku," batin Lixe.
"Tuan Lacky Van, bisakah aku pergi sekarang?" tanya Gean. Lacky tersenyum lebar. Ia menoleh, lalu berkata, "Sepertinya Anda punya banyak urusan ya. Aku harap Anda bisa menyaksikan ini hingga akhir. Sepertinya Anda tidak berminat. Silahkan pergi."
Tanpa menunggu apa pun lagi. Gean mengayunkan tangan. Pedangnya berubah menjadi bayangan hitam yang pekat. Bayangan itu membesar. Berubah menjadi sebuah motor tanpa roda. Gean menaikinya, lalu terbang bersama motornya.
"Kenapa, Lix? Apa kau takut?" Lacky akhirnya mengalihkan pandangannya dari Gean. Menatap Lixe, berjongkok, mendekatkan wajahnya pada Lixe yang semakin membeku. Di belakangnya, sebuah cahaya putih muncul. Lagi-lagi seorang pria datang.
"Hahahaha! Apa kau suka, Kak Leste?" Lacky menoleh. Ia terdiam, lalu menyeringai ganas.
"Kau masih saja suka memanfaatkan orang ya, anak pamanku. Hai, Lacky Van. Apa kau lupa, soal mata kananmu itu?" Orang di belakangnya, Loam Van balas tersenyum ramah.
"Aku ingat. Dan aku masih ingat kenapa dan oleh siapa aku kehilangan separuh jiwaku." Lacky berdiri. Berbalik tiba-tiba dengan tinju cahaya yang siap menghantam wajah Loam.
Loam menatap kosong. Ia menahan tinju cahaya itu dengan tangan kanannya yang juga bercahaya. Tidak bergeser dari tempat sedikit pun. Ia meremas tangan Lacky dan memitingnya. Lacky mengadu kesakitan dan menarik tangannya sembari mundur satu meter ke belakang.
"Lixe, pergilah. Ibumu menunggu di dekat air mancur." Lixe beranjak bangun. Mengingat lukanya yang meredah, ia berlari sekuat tenaga pergi meninggalkan kedua orang tersebut.
"Nyanyian Dewi Lyde,"
Langit sekitar tertutupi awan hitam. Tubuh Lia mengambang dua meter di atas tanah. Di sampingnya, sebuah raksasa transparan berwujud wanita melindunginya dari puluhan peluru yang melesat ke arahnya. Ribuan peluru itu berasal dari belasan prajurit Kerajaan Aenmal. Mata Lixe berkaca-kaca. Andai aku tidak terpengaruh ajakan Gean.
"Suku Lyde yang terkutuk. Seharusnya kalian dimusnahkan sejak dulu. Berterimakasih kepada adikku yang membiarkanmu hidup. Tapi kalian justru menusuknya dari belakang. Matilah kalian!" ucap seorang tentara perang Kerajaan Aenmal. Dirata
"Panggilan Pegasus Aenmal." Dirata memanggil hewan kesayangannya. Seekor pegasus terbang menghampirinya. Dengan sigap dia menunggangi kuda terbang itu. Keduanya terbang menghampiri Lia. Peluru berhenti ditembakkan. Pistol di tangan Dirata berubah menjadi pedang panjang. Satu meter dari Lia. Dirata mengayunkan pedangnya.
Lia berteriak, bayangan itu mengeluarkan suara merdu diikuti gelombang suara ke arah Dirata. Dirata menghindar. Ia lalu menebas kaki bayangan transparan itu. Gagal tebasan nya tidak berpengaruh pada bayangan itu.
Dirata geram. Ia melesat ke atas, mendekati Lia. Lagi, gelombang suara melesat ke arahnya. kali ini ditangkis dengan pedangnya. Berhasil, gelombang itu berbelok. Dirata mengayunkan pedangnya. Telak merobek bayangan itu dan mengenai perut Lia.
"Ibu!" Lixe berteriak histeris. Lia menoleh ke arahnya. Ia tersenyum, walau darah segar keluar dari dua ujung bibirnya.
Mengetahui Lia mengalihkan pandangannya, Dirata kembali mengayunkan pedangnya. Kali ini mengenai bahu kirinya. Lia mengadu kesakitan. Matanya berkaca-kaca. Bayangan yang melindunginya, kini sepenuhnya hilang. Tubuhnya terjun bebas ke tanah. Saat inilah. Para tentara itu kembali menembakkan peluru ke arahnya.
"Aku tidak pernah menyakiti Kak Gaida. Aku menyayanginya," gumam Lia di detik terakhirnya.
"Kenapa kau tidak menyerang ku, Kak Lia?" batin Dirata. Kini ia hanya menyaksikan prajurit-prajuritnya menembaki Lia.
"Dan aku juga menyayangimu, Dirata." Lia memekakkan matanya. Yang terakhir. Selamat tinggal dunia.
"Ayo pergi, Lixe." Loam muncul di belakang Lixe. merangkulnya. lalu kembali hilang. Keduanya berteleportasi. Muncul di samping tebing dengan sungai besar mengalir dua puluh lima meter di bawah sana.
"Sudah kuduga, kau pasti ke sini. Loam. Selamat datang di tebing kematian." ucap seorang pria di hadapan ke duanya, Raja Aenmal Geor Wist. Di sampingnya, muncul Lest Van. Ia menatap Loam datar.
"Pergilah, Lix." ucap Loam seraya melangkah maju mendekati kedua pria itu.
"Aku tidak mau, Ayah," Lixe merengek.
"Pergi Lix!" Loam berbalik, tangannya ke depan. Sebuah cahaya menyelimuti tubuhnya. Tubuhnya terdorong ke jurang. Lalu terjun bebas ke sungai.
"Pilihan bagus, Loam." Geor menatap Loam. bayangan hitam menyelimuti tubuhnya. "Kau akan meninggalkan dunia. Ucapkan! Selamat tinggal Dunia."
Duar
"Ayah, aku berjanji. Akan membersihkan namamu."
"Namaku, Lixe Van."
Byur. Tubuh Lixe terhanyut di sungai. Cahaya yang menyelimutinya membantunya bernapas.
Selamat tinggal dunia
"Huaaa! Aku dapat ikan besar!" seorang anak laki-laki muncul ke permukaan sungai. Ia mengangkat seekor ikan keluar dari sungai dengan kedua tangannya.
"Punyaku lebih besar!" Anak perempuan yang muncul ke permukaan sungai mengangkat ekor ikan yang lebih besar dengan satu tangan. "Aku lebih kuat kan?! Hehe."
"Huh! Aku akan menangkap yang lebih besar!" Anak laki-laki itu menjatuhkan ikan di tangannya. Ia kembali menyelam, lalu berenang ke tengah sungai.
"Riyal! Hati-hati!" gadis itu berseru. Wajahnya cemas. Dia juga melepaskan ikan yang sudah ditangkapnya.
"Lihat saja! Suatu hari nanti, aku akan jadi lebih kuat darimu!" Ucap anak laki-laki itu sambil mengambil napas di sela renangnya. Dia tersenyum saat melihat sesuatu yang besar mendekat ke arahnya.
"Inilah dia! Ikanku! Yang paling besar!" Riyal berseru bahagia. Ia mengapung ke permukaan, merentangkan tangan. Menangkap sesuatu itu.
"Riyal! Dia adik besar! Bukan ikan!"
Byur
Riyal terdorong ke belakang. Dengan sekuat tenaga berenang ke tepi sembari memegangi perut anak itu. Gadis itu menyusul. Setibanya di tepi, gadis itu melompat di atas batuan sungai yang licin. Hampir membuatnya terpeleset.
"Wah! Kau menyelamatkan orang. Hebat," ucapnya takjub.
"Hebat kan?" balas Riyal berbangga. "Besok kalau aku besar, aku akan menjadi lebih kuat darimu, Miya."
"Hah. Mungkin saja begitu." Mita duduk di samping Riyal. Keduanya mengamati anak kecil yang berbaring tak berdaya di hadapan keduanya.
Mita menoleh pada Riyal, "Kita bawa pulang?" Riyal mengangguk. Ia menarik tangan anak itu. Mengangkatnya ke pundak.
"Kamu mau menggendongnya? Serius?" tanya Mita cemas. Benar saja. Kaki Riyal gemetar saat anak itu benar-benar digendong di pundaknya.
"Diamlah! Aku ini kuat!" Riyal berjalan dengan langkah patah-patah. Mita mengikuti dari belakang dengan mengawasi kedua anak di depannya dengan was-was.
Langit biru menjadi merah. Burung-burung beterbangan kembali ke rumahnya. Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Di depannya sebuah tanah kosong terbentang seluas 7×7. Sedang di kanan kirinya, berdiri rumah yang sangat sederhana.
Riyal menurunkan anak itu di pinggir jalan. Untung jalanan saat itu sepi. Tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Ia sudah lelah. Ia terduduk di samping anak itu. meluruskan kakinya seraya mendongak. "Jauh banget ya," keluhnya sembari mengusap peluh di leher.
"Jauh? Ini kan gara-gara kamu yang menggendongnya. Harusnya kamu biarkan aku saja yang melakukannya. Fiuh," Mita melangkah maju. meraih tangan anak yang belum sadarkan diri itu. Dengan entengnya, Mita menggendong anak itu di pundaknya. Lalu menoleh pada Riyal.
"Ayo bukakan pintunya! Apa kau ingin menunggu sampai aku lelah menggendongnya? Kalau iya, berarti kau harus menunggu sampai besok malam," ujar Miya. Membuat Riyal berdiri dengan sisa tenaga.
Riyal mengangkat tangannya. "Kunci pintu pertama, terbuka."
Sebuah hitam muncul di depan mereka. menampakkan sebuah teras rumah yang tertata rapi. Mita memasuki lubang itu. Di susul Riyal. Lubang itu tertutup dan hilang secara otomatis setelah ketiganya masuk.
Saat Mita menurunkan anak itu dan menidurkannya di lantai yang di lapisi karpet tipis, anak itu mengerjakan mata. Mita dan Riyal menatapnya berbinar. Ini pertama kali mereka kedatangan tamu di rumah yang cuma teras ini.
"Siapa kalian?" tanya anak itu saat remang remang melihat keduanya.
"Oh, namaku Miya, Dia Riyal."
"Ini di mana? Gentingnya, kok lubang lubang? Apa ini sungguh rumah?"
Mita dan Riyal spontan mendongak. Mita tertawa, sedang Riyal tercengang melihat tiga lubang besar di atas sana.
"Hei! Ini gara gara kamu aku lelah. Jadinya aku kurang konsentrasi nih." Riyal duduk bersilah. Mengatur napasnya, lalu memejamkan mata.
"Ini bukan rumah sungguhan. Ini perwujudan dari bayangan Riyal. Intinya, kita sekarang ada dalam pikiran Riyal." Mita menjelaskan sembari membantu anak itu duduk. "Siapa namamu?"
"Aku? Lixe."
"Oh, Hai Lixe. Kami tadi menemukanmu di sungai. Apa yang kau lakukan sampai terseret arus seperti tadi?"
"Ah, itu? Mungkin sesuatu yang tidak ingin kau dengar. Dan tak kuinginkan. Jadi...," ucap Lixe dengan wajah tertunduk. Melihat raut wajahnya yang sedih, Mita mengabaikan pertanyaannya tadi. Keduanya pun saling mengobrol. Mita senang, dia mendapat teman baru. Dan Lixe adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Tidak seperti Riyal yang entah sedang apa. Hingga tanpa keduanya sadari, atap di atas mereka sudah tertutup sempurna.
Keesokan harinya. Lixe terbangun dari tidurnya di sebuah ruangan sempit. Dia ingat, tadi malam Mita pamit pulang. Riyal membukakan sebuah lubang menuju suatu tempat. Riyal menatap Lixe beberapa saat. Ia tersenyum pada Lixe.
"Ikutlah denganku," ucap Riyal dengan tersenyum lebar. Lixe menggeleng. Entah kenapa instingnya berkata, "Ikut dengan Riyal, berarti bahaya."
Riyal akhirnya membiarkannya tidur di sana. Dia pun membuat sebuah lubang. Meninggalkan Lixe sendiri di dalam 'pikirannya'? Sejak Riyal pergi, tempat itu mengecil. Lixe tidak begitu menghiraukannya. Dia tidur dengan mimpi buruknya.
Sebuah lubang tercipta. Mita masuk dengan senang. Di susul Riyal. Saat lubang itu hilang. rumah itu mendadak bertambah.
Mita menyentuh lantai, tiga kotak makan muncul di sana. Ketiga menyantapnya dengan nikmat. Lalu pergi bermain di sungai hingga menjelang matahari terbenam. Selama itu, Riyal menunjukkan berbagai kekuatannya. Entah apa saja yang ada dalam pikirannya. Juga Mita yang selalu kuat dan bersemangat. satu bulan bersama keduanya, Lixe akhirnya benar -benar dekat dengan mereka. Luka di hatinya sedikit sembuh.
Di suatu malam, Lixe terbangun dari tidurnya. Sebuah mimpi buruk kembali mengganggu tidurnya. Namun beberapa saat kemudian, saat ia mencoba kembali tidur. Ia merasakan sebuah gempa yang dahsyat. Lixe menoleh ke sekitar. Sebuah lubang muncul satu meter di hadapannya. Ia menunggu lima detik. Tak kunjung ada yang datang. Dengan rasa penasaran, Lixe memasuki lubang itu. Lubang itu pun hilang dan membawanya ke suatu tempat.
Sebuah pasar yang berantakan dan sepi. Sepertinya Lixe mengenali tempat ini. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Instingnya bilang, dari atas. Lixe mendongak. Benar saja. Itu Lacky, Dia menembakkan sebuah bola cahaya ke arah Lixe.
Lixe gesit menghindar. Tak ada pilihan lain. Dia tidak mungkin bisa menang melawan Lacky yang jelas lebih kuat darinya. Aneh. Lixe menoleh ke belakang. Ia mendapati Lacky yang hanya tersenyum mengerikan, tidak mengejarnya. Masih mengambang di atas sana.
Lacky seolah tidak mempedulikan Lixe. Ia mulai membuat sebuah bola cahaya besar. Bola putih itu meledak, menciptakan hujan butiran cahaya yang jatuh ke toko toko di bawahnya. Toko itu remuk begitu butiran-butiran cahaya mengenainya.
*Aku akan menghancurkan apa yang jadi milik Suku Lyde!" Tawa Lacky meledak di langit. Lixe hendak menghajarnya. Tapi tangan dan kakinya tidak bisa ia kendalikan. Dia terus berlari, sesekali melompat, menghindari butiran butiran cahaya yang jatuh ke arahnya.
Lixe lagi lagi menoleh ke belakang. Lacky sudah tidak terlihat di tempat terakhirnya. Lixe merasa aneh. Kenapa dia tidak mengejarnya. Ditambah lagi, mata kanannya tidak lagi merah seperti terakhir ia melihatnya. Apa yang terjadi.
Belum sempat Lixe berpikir. Sebuah tombak bayangan dari belakang meluncur ke arahnya. Mendarat persis di belakangnya. Membuat sebuah ledakan di tanah, hingga tanah itu hancur dan Lixe terpental ke depan. Tubuhnya tertahan puing puing bangunan. Membuatnya mengaduh kesakitan.
"Hai, Nak. Apa yang membuatmu berani datang ke sini? Apa kau mendapat insting bahwa tempat peninggalan leluhurmu akan segera hancur?" Bayangan hitam berjalan mendekatinya. Semakin dekat, bayangan itu hilang, muncul seorang yang sangat ia kenali Geor Wist.
"Aku akan mengalahkanmu!" Lixe berseru marah. Ia bangkit. Memasang kuda-kuda dan menatap Geor menantang.
"Mengalahkan Ku? Orang yang telah membunuh ayahmu? Kau bahkan tidak bisa menyentuh putraku, Gean, bukan?" Geor menatap remeh Lixe. Di tangan kanannya, terbentuk sebuah tombak dari bayangan. Dia memutar tombak itu dengan jemari. Kemudian melemparnya ke arah Lixe.
"Pedang Mata Cahaya." sebuah pedang muncul di tangan kanannya. Ia berlari mendekati tombak itu. Lalu mengayunkan pedangnya. Sayangnya tombak itu bukannya terpental, Tapi tetap berada di posisi yang sama.
"Sepertinya kau tambah kuat ya." Geor menghilang. Hanya sekejap mata, muncul di samping Lixe. "Ayo ke tempat terakhir ayahmu."
Bayangan menyelimuti mereka berdua. Lalu hilang. Keduanya muncul di tebing kematian. Geor menggenggam lengan kanan Lixe. Lalu melemparnya ke sembarang arah.
"Aaaaah!" Lixe merasakan tulang punggungnya retak, patah. Ah entahlah. Sekujur tubuhnya mati rasa. Apakah ini akhir hidupku? Lixe memandang langit cerah di langit. Berharap seorang malaikat jatuh dan menolongnya.
"Kau tahu, Nak. Kenapa jurang ini diberi nama Jurang Kematian," tanya Geor seraya melangkah mendekatinya. dengan santai. Lixe tidak merespon. Selain tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia juga selalu bertanya-tanya, mengapa tempat dengan pemandangan langit yang indah ini diberi mana seseram itu.
"Karena ratusan tahun yang lalu. Suku Lyde dibantai di tempat ini. Selama puluhan tahun, sungai itu merah oleh dari mereka yang kotor. Keluarga kakekmu, satu-satunya keluarga yang selamat. Tapi berjalannya waktu, waktu sendiri yang memusnahkan mereka. Hidup bersembunyi dan menghindari kerajaan. Tapi kau justru mengundang maut dengan datang memenuhi undangan kematian putraku. Selamat tinggal Lixe, pewaris terakhir Suku Lyde."
Geor menendang Lixe dengan keras. Penuh amarah dan dendam. Membuatnya terpental dan jatuh bebas ke jurang. "Kalau kau ingin tahu apa salah sukumu. Tanyakan pada kakekmu, juga sampaikan padanya. Salam dari anak yang telah dibuatnya yatim piatu."
"Telur dewa kegelapan." Geor mengangkat tangan. kedua tangannya tinggi-tinggi. Sebuah telur besar tercipta. Ia melalu melempar telur itu ke tanah. Saat mengenai tanah. Seluruhnya bergetar. Tanah mulai letak. pepohonan tumbang. Dalam sekejap, jurang itu hancur. Geor mengambang di langit. Pergi meninggalkan jurang yang runtuh.
Apa pun yang dikatakan Geor. Lixe sudah pasrah. Tidak ada yang bisa ia harapkan. Di atasnya, puing puing besar berjatuhan. Menghantam tubuhnya.
Sungguh tidak ada malaikat yang akan menolongnya. Dia hanya memejamkan mata. Mulai membayangkan apakah orang tuanya akan senang kalau dia menyusul mereka.
Dua meter lagi dari tumpukan batu. Sebuah kalung rantai perak terlihat di lehernya. Kalung itu memancarkan cahaya kuning. Lixe memejamkan mata. Sebuah suara yang ingi diikuti berbisik di telinga.
"Mode Berung. Hibernasi musim gugur."
Tubuh Lixe mengambang di udara. mendarat lembut di atas tumpukan batu. Sebuah tameng transparan tercipta. Melindunginya dari reruntuhan. Ia memejamkan mata. Tertidur entah sampai kapan.
Dia harus beristirahat. Saat ia bangun. Kehidupan baru menanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!