Bel sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu, dan sekarang Irina sedang duduk di halte bus sambil menunggu jemputannya. Dia menghela napas kasar langit sudah mendung, menandakan hujan akan segeta turun. Namun jemputannya itu belum datang.
Apa gue kabur lagi ya, sekarang? Eh tunggu-tunggu, kalau kabur sekarang, gue nggak bawa duit, Batin Irina.
Akhirnya dia memutuskan untuk menunggu jemputannya lagi. Hujan sudah mulai turun membasahi bumi, bau petrictor sudah tercium, membuat Irina makin mengeratkan jaketnya dan memejamkan matanya menikmati bau petrictor.
Ekhem
Irina membuka matanya saat mendengar suara orang yang duduk di sampingnya, dia menoleh sekilas dan menutup matanya kembali.
"Lo suka hujan?"
Irina membuka matanya lagi, dia melirik ke kiri dan kanan tapi tidak ada orang lain lagi, hanya ada mereka berdua. Irina menunjuk dirinya sendiri sambil mengernyitkan keningnya.
"Iya. Gue tanya lo."
"Biasa aja," jawab Irina singkat.
"Lo kayak 'menikmati' soalnya."
"Hem."
Bus datang bertepatan dengan jemputan Irina. Laki-laki itu berdiri dari duduknya.
"Gue duluan. See you next," ucap lelaki itu seraya berlalu menaiki bus.
"Non, maaf saya telat tadi ban mobilnya bocor," ucap supir itu membuat Irina tersentak dari lamunannya.
Irina masuk ke mobil di payungi oleh supir tadi. Mobil mulai berjalan, Irina menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Jari telunjuknya dia arahkan ke kaca mobil lalu melukiskan sebuah gitar dengan embun yang membasahinya. Dia penasaran dengan wajah laki-laki yang mengajaknya bicara di halte tadi, wajahnya tertutup oleh hoddie dan masker hitam yang dikenakannya, jadi Irina tidak melihat jelas.
Bodo ah. Kenapa juga gue mikirin orang aneh tadi, Batin Irina.
______________________________
Dingin.
Itulah yang menggambarkan malam ini, Irina bergelung dalam selimut nya sambil menonton drama dari laptop nya.
"Wanjir... sweet banget," ucap Irina lebay sambil memakan mie nya.
"Kapan gue kayak gitu?"
"Kapan-kapan."
Bisikan di telinga nya membuta Irina kaget, untung saja mie nya tidak tumpah. Dia menatap ngeri orang yang duduk di samping nya dan dengan seenak jidat nya merebut mie miliknya.
"Lo kapan masuk bang? Gak kedengeran suara langkah kakinya, jangan-jangan lo..."
"Gue bukan demit oke!"
"Terus lo ngapain kesini? Ganggu gue nonton aja," ketus Irina seraya mem-pause film nya.
"Gak boleh ya kakak sendiri ngunjungi adiknya."
"Gak. Gak boleh, terakhir kali lo ke kamar gue. Lo ancurin barang-barang gue."
"Ya itu 'kan di suruh papah!" Bela Satria.
"Lo itu gak cape apa, kabur terus?"
"Gak."
"Bener-bener liar ya lo," ucap Satria menyeringai seraya memeluk bahu Irina.
Irina menepis tangan Satria yang bertengger di bahunya, dia menatap tajam kakaknya itu.
"Jangan sentuh gue. Keluar!" Desis Irina
"Santai-santai, kayak mau ngeluarin pisau aja matanya," ucap Satria sambil mengeratkan rangkulannya.
"Lepas! Atau gue teriak supaya Papa tau kelakuan lo!" Ancam Irina.
Satria melepaskan rangkulan sambil menunjukan smirk nya. Dia berjalan menuju pintu.
"Good night. Baby grils," ucap Satria sambil menutup pintunya.
Irina menghela napas kasar, sekarang dia sudah nggak mood untuk menonton drama nya. Kakanya itu memang, gila.
"Huft... lelah adek bang. Eh kok gue jadi alay sih," gumam Irina.
"Hujan nya udah reda."
Irina memakai jaketnya, dia menuruni tangga. Irina berencana akan membeli cemilan untuk besok, karena besok hari minggu dia berencana bermalas-malasan di kamar nonton drama sambil ngemil, pikirnya.
"Non mau kemana? Ayo saya anter!"
"Pak Udin jangan bilang-bilang papah ya... Irina pengen nyetir mobil sendiri gak mau dianter," bisik Irina.
Pak Udin mengernyitkan alisnya dia menatap tidak setuju pada Irina, namun ternyata gadis itu sedang menatapnya memohon. Pak Udin menghela napasnya seraya mengangguk membuat Irina berjingkrak senang.
"Tapi non Irina jangan kabur-kabur lagi nanti saya yang kena akibatnya!"
"Iya pak Irina cuma mau beli cemilan kok.. suer deh."ucap Irina seraya mengangkat dua jarinya.
Irina menjalanan mobilnya dengan perlahan, biar lambat asalkan selamat. Itulah kata-kata yang selalu dia ungkapkan jika mengendarai mobil sendiri. Setelah sampai ke tempat yang dia tuju, Irina langsung memasukan berbagai cemilan ke keranjang belanjaannya.
"Totalnya 650.000 mbak."
"Oh iya, ini," ucap Irina seraya membelikan uangnya.
Jalanan yang sepi membuat Irina menaikan kecepatan mobinya.
"Ini jalanan sepi amat udah gitu gelap lagi, baru juga jam 21.30."
Citt...
Irina mengerem mobilnya mendadak saat melihat ada orang yang berbaring telungkup di tengah jalanan. Jantung Irina berdetak cepat lantaran kaget.
"Aduh, itu bukan karena gue 'kan? Jelas-jelas tadi gue rem mendadak karena kaget," ucap Irina sambil menatap ke kaca depan mobil.
"Atau ini sebuah jebakan superman ya."
Karena rasa penasaran Irina lebih besar daripada rasa takut, dia turun dari mobilnya melangkah ke seseorang yang tengah tergeletak itu. Posisinya telungkup membuat Irina susah untuk melihat wajahnya. Dia membalikan tubuh yang telungkup itu menjadi terlentang dengan perlahan.
Irina membelalakan matanya, jantungnya berdetak cepat, bukan karena terkejut tapi karena hal yang lain.
Egusti nu agung, astaga astaga astaga INDAH, astaga astaga MIAPA, Batin Irina seraya menelan ludahnya dengan kasar.
"Buset ini cowok apa cewek cantik banget," gumam Irina.
"Kak, kak bangun kak," diguncangkan bahu cowok itu pelan. "Kak lo gak mati kan?"
Kondisi cowok itu sangat mengenaskan lebam-lebam di sekitar wajahnya dan bekas darah yang mengering di sudut bibirnya apalagi jaket yangg digunakannya sobek. Irina menatap sekeliling jalanan itu sepi dengan lampu yang temaram, dia menelan ludahnya.
Irina bolak balik memerhatikan cowok yang sedang terkapar sambil mengigiti kuku tangannya. Tidak ada mobil yang lewat membuat dia bingung harus meminta bantuan.
"Huftt.. oke gue udah putuskan."
Irina menarik cowok itu agar terduduk, dia menahan punggungnya. Disampirkannya lengan cowok itu ke pundaknya. Irina mencoba untuk berdiri, namun terjatuh kembali. Karena perbedaan tubuh membuat Irina kesusahan untuk berdiri.
"Lo makan apa sih? Berat banget udah gitu tinggi lagi," gerutu Irina.
Irina mencoba untu berdiri kembali. Berhasil! Irina terlonjak senang dia melangkah terseok-seok menuju ke mobilnya. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, sudah terseungkur bersama ke jalanan, dengan kesal Irina melepaskan tangan cowok itu.
"Kalo gini ceritanya, gue tinggal juga lo," ucap Irina kesal seraya berjalan menjauh dari cowok itu, namun sedetik kenudian dia berbalik lagi dan membopong cowok itu walaupun langkah mereka terseok-seok.
"Gila cape banget! Udah kayak lari marathon aja," Irina menyeka keringat yang ada di keningnya, dia menoleh ke arah cowok yang ada di sampingnya. Setelah perjuangan lelahnya akhirnya Irina bisa membawa cowok itu masuk ke dalam mobil.
Setelah mobil sudah di pekarangan rumahnya. Irina masuk ke rumah untuk melihat keadaan.
"Sip! Mereka udah tidur," dengan langkah yang mengendap-ngendap Irina membopong cowok itu masuk ke rumahnya, untung saja para satpam dan bodyguardnya sedang main catur di pos.
"Ini gue, gimana cara bawa naik tangganya."
Irina membenarkan letak tangan cowok itu, dengan bersusah payah akhirnya mereka sudah berada di depan pintu kamar Irina. Irina membaringkan cowok itu di karpet tebal warna biru muda miliknya.
"Hah... lo harus beliin gue permen kapas setelah usaha gue ini!" Napas Irina terengah sambil menyandarkan diri ke pintu yang sudah di kucinya dengan rapat.
Dia mengambil kotak p3k nya di laci. Irina menatap wajah cowok itu. Ujung bibirnya robek, kantung matanya juga lebam. Irina meringis melihatnya. Irina membuka sepatu yang digunakan cowok tersebut.
"Misi.." bisik Irina saat menempelkan kapas itu dilukanya.
Dibersihkannya luka-luka itu dengan iri hangat terlebih dahulu lalu mengompres nya dengan es batu yang terbungkus oleh kain. Cowok itu meringis walau matanya terpejam, membuat Irina menghentikan gerakannya karena terkejut.
"Astaga, gue kira udah mati.." Irina membereskan barangnya kembali. Dia duduk di pinggir kasur sambil memperhatikan cowok yang sedang meringis seraya memegang perutnya.
"Lo mau minum obat nyeri?" Tidak ada jawaban dari cowok itu. "Atau mau gue jejelin ke mulut lo boleh, gak?" Masih tidak ada jawaban dari cowok tersebut meski raut wajahnya menahan kesakitan.
Irina menghela napasnya lalu mengambil selimut yang berada di lemari. Dia menyelimuti cowok itu sampai ke dadanya. Irina merebahkan dirinya ke ranjang dia menatap langit-langit kamar nya. Sambil memikirkan, kenapa dia nekad membawa masuk orang asing ke kamar nya apalagi, orang itu laki-laki. Kalau ketahuan oleh ayahnya, Irina pasti akan di marahi habis-habisan atau mungkin diasingkan dari keluarganya. Rasa lelah karena sudah mengerahkan tenaga nya untuk membopong cowok asing itu, membuat mata Irina berat dan akhirnya tertutup untu menjelajahi alam mimpi.
-------------------------------
Jangan lupa vote and comennt nya gues!!
Salam si penulis amatir
-Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments