Kediaman Aldi masih saja gempar sedari tadi pagi. Aldi, pria paruh baya itu mengurut pangkal hidungnya. Dia menghela napas lelah dan menatap istrinya yang sedang memalingkan wajahnya yang terlihat pucat, karena dari pagi tadi setelah mengetahui Irina 'kabur' dari rumahnya dia tidak menyentuh makanan sedikit pun.
"Sayang, makan yah kamu belum makan dari pagi!" Ucap Aldi dengan lembut seraya menyodorkan sendok ke mulut Aleta yang sedang memalingkan wajahnya. Aldi menghela napasnya sekali lagi, ini semua karena 'anak nakal' itu pikirnya.
"Aku akan segera menemukan anak kesayangan mu itu segera," ucap Aldi dingin membuat Aleta menolehkan kepalanya dia menatap Aldi dengan mata yang sembab.
"Ini coba makan sesuap saja! Makanannya en--"
Prangg
Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya Aleta menepis tangan Aldi membuat mangkuk yang berada di genggaman nya terhempas berserakan di lantai. Aldi memejamkan matanya untuk mencoba menahan amarah, lantas dia beranjak memeluk istrinya.
"Hiks.. ini semua karena kau terlalu mengaturnya... kau tidak pernah mengijinkan dia bebas.. hiks.. "
"Ssstt... sudah-sudah jangan menangis! Aku akan menemukannya segera," ucapnya seraya mengelus punggung istrinya.
______________________________
Irina terkekeh geli saat melihat ekspresi kedua sahabatnya saat melakukan video call, dia membeli ponsel baru dengan tabungan nya. Ya, dia kabur dari rumah hanya membawa kartu ATM miliknya, bukan pemberian ayahnya namun benar-benar miliknya karena 3 tahun belakangan ini dia sering menabung.
"Serius lo kabur?"
"Alah! Paling juga bentar lagi di boyong balik sama bokapnya."
"Gue berani jamin, sekarang gue di tempat yang gak diketahui oleh siapapun! Termasuk kalian."
"Yang bener ... lo dimana emangnya?"
"Kalo sekarang gue beritahu lo berdua bisa-bisa kacau dong rencana gue!"
"Alah pelit amat lo sama temen sendiri! Kita nggak akan bocor kok!"
"Betul tuh. Ya, kecuali gue nggak keceplosan sih! Hehehe."
Irina mendengus nendengar jawaban dari kedua temannya.
"Udah ah gue tutup dulu mau istirahat. Bhubay!"
Tut
Irina mematikan sambungannya secara sepihak. Dia membaringkan badan nya di ranjang, sekarang dia sedang berada di salah satu hotel di kota dimana tempat persembunyiannya.
"Huft... tapi kok gue ngerasa bersalah ya," ucap irina seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Bodo amat lah yang penting selama disini gue mau senang-senang dulu!"
Irina bangkit dari posisi tidurannya, dia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia menanggalkan baju nya dan mulai berendam di bathtub untuk menyegarkan kepalanya.
Sesudah menyegarkan tubuhnya, dia berjalan-jalan di sekitar kota itu menyusuri pameran buku seraya mengunnyah snack nya. Sangat menyenangkan, pikirnya. Irina memilih buku mana yang akan dia beli.
Huft
"Gak ada yang menarik," Irina keluar dari pameran itu, dia memotret pemandangan di sekitarnya.
Baru saja Irina mau melangkah tangannya sudah di cekal oleh seseorang. Irin tersentak kaget, langsung saja dia menoleh ke belakang tempat seseorang yang sedang mencekalnya. Dia membelalakan matanya saat melihat para bodyguard ayahnya sudah berada di samping kiri kanannya. Irina berontak, namun cekalan ditangannya malah semakin menguat. Dia mengayunkan kakinya untuk menendang inti bodyguard yang sedang mencekalnya, namun kakinya segera ditepis oleh yang lain.
Sial. Sial. Sial
Kenapa harus ketemu sih?!batin Irina
"Nona anda harus pulang! Sudah cukup anda berkeliarannya!."
"Apa-apaan sih. Lepas gak tangan gue! Gue teriak nih! Tolong... tol--"teriakan Irina teredam oleh kain yang mentupi mulutnya, ingin melawan pun Irina sudah lemas, sampai kegelapan menghampirinya.
______________________________
Irina mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahayan dalam penglihatannya. Dia melirik ke kanan dan kiri seraya memejamkan matanya kembali, sampai akhirnya dia terperanjat kaget sampai terduduk.
Loh, ini kan kamarnya.
Tunggu, kamarnya?
Kam--
"Arghhh...." Irina berteriak kesal dan mengacak rambutnya saat mengetahui dia sudah berada di dalam kamarnya yang sudah pasti dia berada di rumah ayahnya.
"Oke Irina tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Huftt....."
Suara pintu terbuka membuat Irina menoleh, dia mendapati ibunya sedang tersenyum sambil membawa nampan makanan di tangannya. Aleta tersenyum lembut penuh kasih sayang pada Irina.
"Kenapa kamu sampai bertindak bodoh, sayang?" Aleta bertanya dengan nada lirih, seraya mendudukan dirinya di pinggir ranjang.
"Kamu gak cape dari kecil kamu gini terus? Sekeras apapun kamu coba lari, ayahnya mu pasti menemukannya."
Irina hanya menunduk sambil memainkan jari-jari tangannya. Aleta mengangkat dagu Irina agar menatapnya.
"Ma-maaf Ma," Irina selalu saja kalah oleh tatapan sendu dari ibunya.
Aleta tersenyum lembut seraya mengusap puncak kepala Irina.
"Ini makan dulu, Mama masak kesukaan kamu lho."
Irina menerima nampan itu dengan senyum tipis. Dia mulai menyuapkan makanan itu dan mengunnyah nya dengan perlahan. Aleta yang melihat putrinya kelihatan tidak bersemangat dengan masakannya mengernyitkan kening.
"Gak enak ya pasakan Mama," lirih Aleta.
Irina yang melihat ibunya murung lantas memakan makanan nya dengan lahap.
"Enak kok. Enak banget malah."
"Yasudah kalo begitu, habiskan makanan dan temui ayah mu di ruang kerja!"
"Iya, Ma."
Aleta mengelus kembali puncak kepala Irina yang sedang menunduk menikmati makanannya.
"Mama ke luar dulu ya."
Irina hanya mengangguk mendengar perkataan ibunya. Dia mendongak saat ibunya sudah berlalu dari sana.
"Kapan gue bisa bebas? Papah itu paranormal ya, sampai tau kalo gue ada dimana?!" Gumam Irina kesal.
Irina menyimpan nampan makanan itu sedikit kasar di atas nakas. Dia berjalan melewati tangga menuju riang kerja ayahnya. Belum sempat Irina mengetuk pintu, ayahnya sudah membukakan terlebih dahulu.
"Puas larinya?" Pertanyaan dingin itu meluncur dari mulut Aldi.
Irina yang melihat ayahnya memandang datar dirinya hanya menghela napas kasar.
"Pa aku hanya ingin berli--"
"Kamu itu udah mau masuk universitas, seharusnya mulai belajar serius!"
"Aku udah serius kok," bela Irina.
"Serius apa? Ingat ini Irina, siapa lagi yang akan meneruskan perusahaan kalo bukan kamu!" Desis Aldi.
Irina memandang ayahnya dengan kening mengernyit.
"Tapi 'kan udah ada Kak Satria. Lagipula aku gak mau jadi pengusaha!"
Aldi hanya memandang putrinya dengan dingin tanpa memperdulilan perkataan gadis itu. Dia menyilangkan tangan ke depan dengan angkuh.
"Papa gak mau dengar alasan apapun! Silahkan keluar dari ruangan ini!"
Irina mengepalkan tangannya, dia berlalu dari sana tanpa mengindahkan perkataan ayahnya. Dia membanting pintu ruang kerja ayahnya dengan keras.
"Hiks... gue pengen bebas...." Irina menangis menenggelamkan wajahnya ke boneka yang ada di dekapannya.
"Gimana caranya supaya papah gak tau gue pergi kemana?" Tanyanya pada diri sendiri.
Karena sudah lumayan lelah dengan apa yang terjadi hari ini, Irina membaringkan badannya. Dia menarik selimut sampai ke dadanya.
Semoga aja terjadi keajaiban! Batin Irina sambil menutup matanya.
______________________________
Ringgggg ...
Irina meraba-raba nakas yang berada di sebelahnya untuk mematikan benda sialan yang mengganggu tidurnya. Setelah berhasil dia kembali mengangkat selimutnya hingga menutupi seluruh badannya.
Tok... tok... tok...
Sial.
Tidak bisakah dia tenang sehari saja? Dengan kesal Irina membuka pintu kamarnya. Sena sudah berdiri disana dengan senyum miringnya sambil melipat tangan di depan. Irina melihat penampilan Sena yang sudah terbakut seragam, lantas dia membulatkan matanya dan menutup pintu kamar dengan keras membuat Sena terlonjak kaget.
"Lo itu gak ada sopan-sopannnya ya!" Teriak Sena.
"Bodo," balasnya teriak.
Irina menepuk keningnya, kenapa dia bisa lupa kalo hari ini, hari senin. Dia membasuh muka, gosok gigi dan mulai memakai seragam sekolahnya.
"Pagi," ucap Irina saat sudah berada di meja makan.
"Kesiangan?" Tanya Satria polos.
"Gak. Kepagian," jawab Irina ketus.
Satria hanya terkekeh mendengar jawaban ketus dari adiknya.
"Irina pamit," Irina berlalu dari sana tanpa memperdulikan teriakan seseorang.
Irina menyumbat kedua telinganya dengan earphone, dia memasukan lengan ke saku jaket, dia berjalan di koridor sambil bersiul.
"Oi, Irin."
Irina menoleh dia tersenyum saat melihat kedua temannya melangkah ke arahnya sambil tersenyum.
"Katanya gak bakalan kena," ledek Dewi.
"Apasih yang gak bisa di lakuin sama bokap lo?!" Ejek Gita.
Irina menutar bola mata malas, kedua teman nya ini kenapa suka sekali mengejeknya.
"Biarin. Yang penting udah usaha!"
"Tapi gak membuahkan hasil 'kan."
"Membuahkan kok," ucap Irina.
"Membuahkan apa?" Tanya Gita.
"Membuahkan teguran, hehe.."
Dewi mendelikan matanya ke Irina. Dia mendaratkan satu jitakan di kepala Irina yang membuat si empunya meringis.
"*** lo."
"KALIAN KENAPA BELUM MASUK KELAS?! MAU SAYA HUKUM! GAK KEDENGERAN TADI UDAH BEL?!"
Teriakan dari guru olahraga ter-killer itu membuat ketiga orang itu meringis dan berlari dari koridor. Ya, begitulah kalo ketiga nya sudah betemu mereka akan lupa waktu jika sudah mengobrol atau menggosip.
---------------------------
Jangan lupa vote dan koment nya gaess!
-Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Destya Purwaningrum
bagus koq ceritanya. .lanjut thor hehe
2019-11-08
2