Kiana pagi ini baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya. Gadis itu duduk di ranjang sambil mengeringkan
rambutnya yang basah.
Ketika itu, mata Kiana tidak sengaja menatap pada kalender yang terpajang di nakas dan dia mengambilnya, lalu memperhatikannya.
Karena kalender tersebut, Kiana baru sadar kalau sudah dua bulan ini tamu bulanannya belum kunjung datang juga.
Kiana berpikir sejenak. Kenapa ini bisa terjadi? Apa ini alasannya karena dia terlalu stres atau mungkin ada alasan lainnya?
Seperti...
Kiana hamil?
Ya meskipun umur Kiana itu masih muda, tapi dia tahu kalau perempuan yang hamil itu tidak akan menstruasi, karena rahimnya sudah dibuahi.
Tidak-tidak. Kiana tidak ingin sampai hal itu terjadi. Jika terjadi, bagaimana dengan kabar beasiswanya nanti?
Ekspresi wajah Kiana begitu khawatir saat berpikir kemungkinan bahwa dia hamil. Hal ini dia sangkut pautkan dengan keanehan yang dirasakan pada perutnya akhir-akhir ini.
Kiana pun buru-buru menuju cermin besar untuk melihat bentuk tubuhnya terutama bagian perutnya.
Kiana refleks membuka bajunya hanya sebatas perut. Dia memperhatikan perutnya begitu serius juga lama.
Kalau dilihat-lihat, Kiana tidaklah menemukan perubahan apapun di tubuh bagian perutnya itu. Hanya saja, saat Kiana memegang perutnya, dia merasakan seperti ada sesuatu yang berbeda di dalamnya. Hal ini belum pernah Kiana rasakan sebelumnya.
Kiana menjadi cemas merasakan hal itu dan buru-buru keluar kamar mencari Arya. Kiana ingin memastikan, sebenarnya perutnya ini kenapa. Rasanya begitu berbeda dari biasanya. Ya kalau misalnya keanehan itu karena dirinya sakit, Kiana tidak akan mempermasalahkannya. Tapi kalau hal itu karena dia hamil, Kiana tidak bisa untuk berkata bahwa ini bukan masalah. Karena justru, ini adalah masalah untuknya saja.
Keluar dari kamar, Kiana langsung menemukan Arya dengan cepat dan segera menghampirinya yang sedang membaca buku sambil duduk di sofa.
Merasakan akan kehadiran Kiana yang berdiri di hadapannya, Arya menoleh dan menatapnya dengan wajah bertanya, sedangkan Kiana menatapnya dengan raut cemas.
Kiana duduk di samping Arya dan menarik tangannya, kemudian meletakkannya di perutnya sendiri, “gimana? Ngerasain sesuatu yang beda gak?” Tanyanya langsung pada inti.
Dahi Arya mengkerut karena pertanyaan itu. Dia tidak mengerti dengan pertanyaan Kiana, “maksudnya?” Tanya Arya balik kebingungan, “perut kamu sakit?”
“Ihhh bukan.” Kesal Kiana dan menjauhkan tangan Arya secara kasar, “Kakak emang gak ngerasa ada sesuatu yang beda gitu di perut Kiana? Kalau Kiana sih ngerasain.”
Arya terdiam sejenak untuk berpikir. Sesuatu yang beda? Memang apa?
Butuh waktu lima detik untuk Arya berpikir. Hingga akhirnya, Arya baru ingat akan suatu hal. Tapi entah pemikirannya ini sama dengan Kiana atau tidak, Arya tidak tahu.
Arya menyimpan bukunya yang dipegang ke meja dan menegakkan tubuhnya, menatap Kiana serius.
“Jadwal mens kamu gimana akhir-akhir ini? Teratur?” Tanya Arya pada Kiana yang dijawabnya dengan gelengan cepat.
“Ya udah, kita periksa sekarang ke dokter soal keluhan perut kamu itu.” Kata Arya final.
Lagi, Kiana menggeleng sambil menunduk dan meremas tangan Arya tiba-tiba karena cemas, “Kiana gak mau.” Suara Kiana begitu pelan ketika menjawabnya.
“Kenapa gak mau?” Arya memegang tangan Kiana.
“Ya kalau aku bilang gak mau, ya gak mau!” Kiana berdiri dan menatap Arya marah, “kamu pasti mikir kalau aku itu hamil kan? Aku juga sama! Makanya aku gak mau ke dokter! Kalau aku ke dokter terus bener hamil, nanti gimana dengan beasiswa aku?” Maki Kiana.
Seenggaknya, dengan aku gak periksa ke dokter, kalau ini memang kehamilan, dan nanti aku keguguran, aku gak bakal kena marah kamu, Kak Arya. Dan aku akan bersyukur karena itu.
Arya tidak salah dengar. Beasiswa? Kiana ikut beasiswa tanpa meminta izin atau memberitahunya dulu? Sebenarnya Kiana anggap Arya ini siapanya? Apakah suaminya atau justru orang asing?
“Kamu ikut program beasiswa? Ke mana? Kenapa gak ngasih tahu Kakak dulu sebelumnya soal itu? Kakak ini sekarang suami kamu, Kiana! Apa kamu lupa, kalau kamu itu sudah punya suami?” Arya begitu serius menanyakan hal itu pada Kiana.
Kiana terduduk lemas dan menunduk saja mendengar perkataan Arya. Dia merasa bersalah tidak memberitahu pria yang sudah menjadi suaminya itu. Sementara orang tuanya, sudah Kiana beritahu.
“Kiana ikut program beasiswa yang ke luar negeri. Maaf, Kiana gak ngasih tahu Kakak dulu, waktunya gak sempet.” Lirih Kiana merasa bersalah sekaligus takut Arya marah padanya karena itu.
Arya membuang nafas kasar dan memalingkan wajahnya, lalu menatap Kiana kembali, “posisi aku sekarang ini suami kamu Kiana, bukan saudara kamu. Lain kali kalau kamu mau minta izin, izin sama aku, bukan sama orang tua kamu. Paham?”
Kiana mengangguk lemas ketakutan, “iya, paham.”
“Sekarang kamu ganti baju, terus ke rumah sakit buat periksa takutnya hamil.” Kata Arya sambil berdiri.
Keputusan Arya membuat Kiana terkejut sampai menengadahkan kepalanya untuk menatap Arya, “Kakak! Kiana udah bilang kan kalau Kiana itu gak mau! Kenapa Kakak paksa Kiana?!” Maki Kiana dengan tetap duduk di posisinya.
Sadar akan kemarahan Kiana, Arya harus membujuknya dulu supaya mau. Dia berjongkok di depan Kiana dan menggenggam tangannya, “Kiana, kita harus pastiin dulu semua ini. Kalau semisalnya keluhan kamu ini bukanlah kehamilan, justru penyakit yang serius,
gimana? Kamu mau?”
Kiana terdiam langsung dan dalam hatinya membenarkan perkataan itu, “hmm ya udah, Kiana mau. Tapi kalau ini hasilnya kehamilan gimana?”
Tentu aku tidak akan beri kamu izin buat ambil beasiswa itu. Aku tidak mau dengan kamu pergi di saat hamil, kamu malah hilangkan dia karena kehadirannya yang tidak kamu terima.
“Kita bahas ini nanti. Karena belum tentu juga sekarang ini kamu hamil.” Bohong Arya supaya Kiana berhenti bertanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments