Gadis-gadis Broken Home
Sinopsis
Tia, Rani, dan Maya, adalah tiga orang gadis remaja yang berasal dari keluarga “broken home”. Ketiganya bersekolah di SMU favorit “Permata Cinta” kelas XI-2.
Tia, gadis ramping periang, lincah, dan manis, selalu optimis menghadapi hari-harinya walaupun memiliki keluarga yang berantakan. Papanya terpikat pada wanita lain, hampir melupakan tugas dan tanggung jawabnya pada keluarga. Mamanya sakit-sakitan karena derita batin akibat ulah sang ayah.
Rani, gadis montok memiliki wajah lumayan cantik, papanya telah meninggal sejak dia kelas VI SD. Mamanya kawin lagi dengan laki-laki lain yang kurang bertanggung-jawab, hobi berjudi, minuman keras, dan tiada hari bagi sang papa tanpa menguras harta-benda sang mama.
Sedangkan Maya, gadis terakhir ini adalah gambaran sosok gadis yang cantik, lemah-lembut, lugu, dan polos, dengan potongan tubuh ideal. Papa dan mama Maya telah bercerai karena tidak adanya kecocokan dalam berumah-tangga selama 15 tahun yang akhirnya diakhiri dengan keputusan untuk berpisah. Setelah bercerai, sang mama menjadi tulang punggung keluarga yang harus menghidupi keempat anak-anaknya. Masing-masing dari Tia, Rani, dan Maya mengalami gejolak dan kejadian seru dalam hidupnya sebelum akhirnya meraih kebahagiaan.
* * *
Bab 1
Tia berjalan cepat menyusuri koridor Rumah Sakit “Bunda Kasih”. Langkahnya lebar-lebar menjejaki lantai keramik mengkilap putih dengan motif garis-garis hitam halus sehalus benang-benang di permukaannya. Tubuhnya yang ramping berbalut blus merah berlengan panjang dan celana jeans ponggol biru dengan sebuah tali pinggang hitam melilit di pinggangnya. Sepatu hitam bertumit tinggi plus permata ungu yang melekat di atasnya. menimbulkan suara gema yang nyaring tatkala kaki-kakinya yang jenjang menapaki koridor rumah sakit mewah itu.
Rumah Sakit “Bunda Kasih” di siang hari itu tidak begitu ramai. Kesejukan udara di dalam gedung rumah sakit besar dan luas yang dilingkupi AC dan kaca-kaca putih juga hitam di setiap pembatas ruangannya, memberikan rasa tenang dan nyaman bagi orang-orang di dalamnya.
Tia berjalan lurus hingga langkahnya sampai di ujung koridor di mana terdapat sebuah lift di sisi kanannya. Segera dia berbelok dan menekan tanda panah di samping pintu lift itu. Setelah pintu lift terbuka, Tia pun masuk lalu menekan tombol angka 5.
Ya, sms yang masuk ke hp-nya tadi berbunyi, “Penyakit Mama kambuh lagi, Tia, segera ke rumah sakit “Bunda Kasih”, lantai 5 kamar nomor 507.”
Berita, sms, atau telepon yang masuk ke hp-nya dengan bunyi, “Segera ke rumah sakit sekarang, Mama sedang dirawat di sana,” atau “Ke Rumah Sakit “Bunda Kasih” sekarang juga, penyakit Mama kambuh lagi,” dan berbagai kalimat senada yang sama maksudnya, ibarat sudah menjadi santapan rutin Tia semenjak lima tahun belakangan ini.
Berita itu bagaikan berita yang sudah basi yang bila didengar olehnya, tidak lagi menimbulkan gejolak yang cukup berarti di hatinya seperti kali pertama-tama dulu, ketika sang papa baru meninggalkan mereka--dia dan kedua adiknya-- karena beliau lebih memilih hidup dengan wanita lain yang adalah sekretaris di perusahaan yang dipimpinnya.
Tia keluar dari pintu lift di lantai 5. Matanya bertemu dengan tempat piket para suster yang berupa ruangan terbuka yang cukup luas. Beberapa kursi berjejer di belakang meja persegi yang mengelilingi ruangan terbuka segi empat seluas puluhan meter.
Di setiap lantai rumah sakit ini ada tempat piket para suster, di mana para suster duduk mencatat data-data pasien, menelepon dokter mengabarkan keadaan pasien, melaporkan tindakan atau obat-obatan apa yang telah mereka berikan pada pasien di saat dokter yang bersangkutan telah datang, atau ketika sang dokter sedang duduk sejenak menulis di situ, mempersiapkan obat untuk tiap kamar pasien, dan lain-lain lagi kegiatan yang mereka lakukan di tempat itu.
Tia berjalan melewati ruangan terbuka itu. Matanya melirik sejenak pada wajah-wajah suster jaga di situ yang beberapa di antaranya telah menjadi wajah yang familiar di matanya semenjak mamanya menjadi langganan tetap rumah sakit mewah ini.
Semenjak sang mama sering keluar-masuk tempat ini karena hatinya yang tersakiti oleh sang papa yang melupakan janji untuk tetap setia sehidup-semati di waktu muda, semenjak itu pula dia jadi akrab mengunjungi tempat ini.
Tia sudah hafal semua sudut dan ruang di rumah sakit ini, bahkan dia dengan mudah dapat menyebutkan tempat kasir, tempat piket suster, tempat UGD, kantin, ruang ICU, ruang operasi, laboratorium, dll, bila seseorang menanyakannya sewaktu-waktu.
Tia menguakkan pintu kamar 507 yang terletak cukup di ujung. Ketika dia melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu, dilihatnya sang mama sedang berbaring di ranjang yang kedua dari pintu masuk. Ada dua buah ranjang di kamar kelas II seluas 6x4 meter itu. Juga ada sebuah toilet di dalamnya.
Seandainya saja sang papa masih bertanggung-jawab penuh terhadap keluarga mereka, pastilah mamanya tidak akan dibiarkan menginap di kamar kelas II, melainkan di kamar kelas I yang cuma dihuni oleh seorang pasien, atau mungkin di kamar VIP yang mana terdapat dua buah ranjang--satu untuk pasien dan satu untuk penjaga--ditambah dengan sofa dan meja untuk bersantai di dalam ruangan yang luas, tidak sesempit ini.
Tanpa papanya, mereka harus memilih kamar dengan harga sewa yang ekonomis, sekitar Rp 175.000,-/malam.
Wajah kuyu melankolis yang masih menyisakan kesan ayu dan cantik di usia mendekati 40 tahun itu menoleh, ketika Tia berjalan beberapa langkah mendekatinya. Senyum kusut-masai yang dipaksakan di bibir pucat-pasi tanpa polesan apa-apa membuat hati Tia berdesir perih bagai digores beling tajam.
Setelah langkahnya sampai di samping ranjang bersprei putih beralaskan sebuah bantal di kepala sang mama yang sedang terbaring, Tia pun membuka percakapan.
“Bagaimana keadaanmu, Ma?” tanyanya pendek. Tangan Tia terjulur menyentuh tangan sang mama. Dengan perlahan dielusnya tangan itu mulai dari pergelangan hingga ke lengan atas. Bersamaan itu kepalanya bergerak menghampiri wajah mamanya. Setelah dekat dia pun mendaratkan sebuah kecupan hangat penuh rindu di kening sosok yang telah melahirkannya itu.
“Dari mana saja kamu?” tanya wanita yang bernama Siska itu. Suaranya terdengar parau, kecil, dan lemah.
Tia menghela napas berat. Disibakkannya rambut berombak sebahu yang dicatnya dengan sedikit warna pirang bercampur merah. Wajahnya yang bulat kecil namun tampak manis karena dihiasi sebutir tahi lalat hitam di dagu kiri itu, tersenyum kaku.
“Tidak dari mana-mana, Ma. Tia nginap di rumah Rani seminggu ini. Mamanya Rani harus ke luar kota demi keperluan bisnis. Di rumahnya tidak ada orang lain selain papa tirinya, jadi Tia diminta Rani temani dia. Sori, Ma, Tia lupa beritahu Mama sebelumnya.”
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
hai kak author👋 Takdir Si Gadis Bisu izin mampir tabur like ya😘
2021-11-13
1
ANAA K
Semangat kak
2021-10-11
1
Puan Harahap
hadir thor
2021-09-06
1