NovelToon NovelToon

Gadis-gadis Broken Home

Papa Tia Selingkuh Mama Tia di Rumah Sakit

Sinopsis

Tia, Rani, dan Maya, adalah tiga orang gadis remaja yang berasal dari keluarga “broken home”. Ketiganya bersekolah di SMU favorit “Permata Cinta” kelas XI-2.

Tia, gadis ramping periang, lincah, dan manis, selalu optimis menghadapi hari-harinya walaupun memiliki keluarga yang berantakan. Papanya terpikat pada wanita lain, hampir melupakan tugas dan tanggung jawabnya pada keluarga. Mamanya sakit-sakitan karena derita batin akibat ulah sang ayah.

Rani, gadis montok memiliki wajah lumayan cantik, papanya telah meninggal sejak dia kelas VI SD. Mamanya kawin lagi dengan laki-laki lain yang kurang bertanggung-jawab, hobi berjudi, minuman keras, dan tiada hari bagi sang papa tanpa menguras harta-benda sang mama.

Sedangkan Maya, gadis terakhir ini adalah gambaran sosok gadis yang cantik, lemah-lembut, lugu, dan polos, dengan potongan tubuh ideal. Papa dan mama Maya telah bercerai karena tidak adanya kecocokan dalam berumah-tangga selama 15 tahun yang akhirnya diakhiri dengan keputusan untuk berpisah. Setelah bercerai, sang mama menjadi tulang punggung keluarga yang harus menghidupi keempat anak-anaknya. Masing-masing dari Tia, Rani, dan Maya mengalami gejolak dan kejadian seru dalam hidupnya sebelum akhirnya meraih kebahagiaan.

* * *

Bab 1

Tia berjalan cepat menyusuri koridor Rumah Sakit “Bunda Kasih”. Langkahnya lebar-lebar menjejaki lantai keramik mengkilap putih dengan motif garis-garis hitam halus sehalus benang-benang di permukaannya. Tubuhnya yang ramping berbalut blus merah berlengan panjang dan celana jeans ponggol biru dengan sebuah tali pinggang hitam melilit di pinggangnya. Sepatu hitam bertumit tinggi plus permata ungu yang melekat di atasnya. menimbulkan suara gema yang nyaring tatkala kaki-kakinya yang jenjang menapaki koridor rumah sakit mewah itu.

Rumah Sakit “Bunda Kasih” di siang hari itu tidak begitu ramai. Kesejukan udara di dalam gedung rumah sakit besar dan luas yang dilingkupi AC dan kaca-kaca putih juga hitam di setiap pembatas ruangannya, memberikan rasa tenang dan nyaman bagi orang-orang di dalamnya.

Tia berjalan lurus hingga langkahnya sampai di ujung koridor di mana terdapat sebuah lift di sisi kanannya. Segera dia berbelok dan menekan tanda panah di samping pintu lift itu. Setelah pintu lift terbuka, Tia pun masuk lalu menekan tombol angka 5.

Ya, sms yang masuk ke hp-nya tadi berbunyi, “Penyakit Mama kambuh lagi, Tia, segera ke rumah sakit “Bunda Kasih”, lantai 5 kamar nomor 507.”

Berita, sms, atau telepon yang masuk ke hp-nya dengan bunyi, “Segera ke rumah sakit sekarang, Mama sedang dirawat di sana,” atau “Ke Rumah Sakit “Bunda Kasih” sekarang juga, penyakit Mama kambuh lagi,” dan berbagai kalimat senada yang sama maksudnya, ibarat sudah menjadi santapan rutin Tia semenjak lima tahun belakangan ini.

Berita itu bagaikan berita yang sudah basi yang bila didengar olehnya, tidak lagi menimbulkan gejolak yang cukup berarti di hatinya seperti kali pertama-tama dulu, ketika sang papa baru meninggalkan mereka--dia dan kedua adiknya-- karena beliau lebih memilih hidup dengan wanita lain yang adalah sekretaris di perusahaan yang dipimpinnya.

Tia keluar dari pintu lift di lantai 5. Matanya bertemu dengan tempat piket para suster yang berupa ruangan terbuka yang cukup luas. Beberapa kursi berjejer di belakang meja persegi yang mengelilingi ruangan terbuka segi empat seluas puluhan meter.

Di setiap lantai rumah sakit ini ada tempat piket para suster, di mana para suster duduk mencatat data-data pasien, menelepon dokter mengabarkan keadaan pasien, melaporkan tindakan atau obat-obatan apa yang telah mereka berikan pada pasien di saat dokter yang bersangkutan telah datang, atau ketika sang dokter sedang duduk sejenak menulis di situ, mempersiapkan obat untuk tiap kamar pasien, dan lain-lain lagi kegiatan yang mereka lakukan di tempat itu.

Tia berjalan melewati ruangan terbuka itu. Matanya melirik sejenak pada wajah-wajah suster jaga di situ yang beberapa di antaranya telah menjadi wajah yang familiar di matanya semenjak mamanya menjadi langganan tetap rumah sakit mewah ini.

Semenjak sang mama sering keluar-masuk tempat ini karena hatinya yang tersakiti oleh sang papa yang melupakan janji untuk tetap setia sehidup-semati di waktu muda, semenjak itu pula dia jadi akrab mengunjungi tempat ini.

Tia sudah hafal semua sudut dan ruang di rumah sakit ini, bahkan dia dengan mudah dapat menyebutkan tempat kasir, tempat piket suster, tempat UGD, kantin, ruang ICU, ruang operasi, laboratorium, dll, bila seseorang menanyakannya sewaktu-waktu.

Tia menguakkan pintu kamar 507 yang terletak cukup di ujung. Ketika dia melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu, dilihatnya sang mama sedang berbaring di ranjang yang kedua dari pintu masuk. Ada dua buah ranjang di kamar kelas II seluas 6x4 meter itu. Juga ada sebuah toilet di dalamnya.

Seandainya saja sang papa masih bertanggung-jawab penuh terhadap keluarga mereka, pastilah mamanya tidak akan dibiarkan menginap di kamar kelas II, melainkan di kamar kelas I yang cuma dihuni oleh seorang pasien, atau mungkin di kamar VIP yang mana terdapat dua buah ranjang--satu untuk pasien dan satu untuk penjaga--ditambah dengan sofa dan meja untuk bersantai di dalam ruangan yang luas, tidak sesempit ini.

Tanpa papanya, mereka harus memilih kamar dengan harga sewa yang ekonomis, sekitar Rp 175.000,-/malam.

Wajah kuyu melankolis yang masih menyisakan kesan ayu dan cantik di usia mendekati 40 tahun itu menoleh, ketika Tia berjalan beberapa langkah mendekatinya. Senyum kusut-masai yang dipaksakan di bibir pucat-pasi tanpa polesan apa-apa membuat hati Tia berdesir perih bagai digores beling tajam.

Setelah langkahnya sampai di samping ranjang bersprei putih beralaskan sebuah bantal di kepala sang mama yang sedang terbaring, Tia pun membuka percakapan.

“Bagaimana keadaanmu, Ma?” tanyanya pendek. Tangan Tia terjulur menyentuh tangan sang mama. Dengan perlahan dielusnya tangan itu mulai dari pergelangan hingga ke lengan atas. Bersamaan itu kepalanya bergerak menghampiri wajah mamanya. Setelah dekat dia pun mendaratkan sebuah kecupan hangat penuh rindu di kening sosok yang telah melahirkannya itu.

“Dari mana saja kamu?” tanya wanita yang bernama Siska itu. Suaranya terdengar parau, kecil, dan lemah.

Tia menghela napas berat. Disibakkannya rambut berombak sebahu yang dicatnya dengan sedikit warna pirang bercampur merah. Wajahnya yang bulat kecil namun tampak manis karena dihiasi sebutir tahi lalat hitam di dagu kiri itu, tersenyum kaku.

“Tidak dari mana-mana, Ma. Tia nginap di rumah Rani seminggu ini. Mamanya Rani harus ke luar kota demi keperluan bisnis. Di rumahnya tidak ada orang lain selain papa tirinya, jadi Tia diminta Rani temani dia. Sori, Ma, Tia lupa beritahu Mama sebelumnya.”

* * *

Perbincangan Tia dan Mamanya

Bab 2

"Betulkah itu, Tia? Jangan membohongi Mama…,” ucap Siska perlahan.

“Betullah itu, Ma. Tia tidak berbohong. Tia ini bukan pembohong seperti Papa yang …,” ucapan Tia terhenti.

Dia merasa telah kelepasan bicara. Ingin dia tarik kembali kata- katanya tapi terlanjur sudah. Alhasil, Tia hanya mampu menatap hati-hati ke wajah Siska. Menyebut sesosok nama yang kini dibenci oleh mamanya itu di saat-saat seperti ini, hanya akan membuat hati sang mama bertambah sedih dan sakit.

"Maafkan Tia, Ma. Tidak seharusnya Tia menyebut nama Papa di hadapan Mama, apalagi di saat Mama dalam keadaan seperti ini,” dengan wajah bersalah Tia menundukkan kepalanya setelah melihat perubahan ekspresi di wajah Siska yang sekonyong-konyong berubah menjadi kelam, geram dan seolah menyimpan sejumput dendam.

"Tidak apa-apa,” ucap Siska ketus sambil memalingkan wajahnya. Kepalanya berbalik ke kiri, ke arah pintu masuk. Secara tak sengaja matanya bertemu dengan sesosok pasien di samping tempat baringnya.

Pasien itu, seorang wanita lewat paroh baya berusia sekitar 60-an. Di sampingnya ada seorang laki-laki tua yang menjagainya sambil duduk di lantai dengan wajah menghadap ke arah wanita itu. Tangan laki-laki tua itu memegangi pergelangan tangan si wanita. Sementara tangan yang satu lagi mengelus keningnya. Siska melihat laki-laki tua itu sesekali membisikkan sesuatu ke telinga si wanita dengan lembut. Dan si wanita yang mendengarnya pun tersenyum sambil mengangguk pelan. Laki-laki tua itu pastilah suami dari si wanita, pikir Siska.

Oh, lihatlah, adegan mesra dan harmonis yang ditunjukkan oleh dua makhluk di depan matanya itu, bagai mengiris-iris hati Siska menjadi serpihan-serpihan kecil yang tidak lagi berbentuk utuh.

Adegan tersebut seolah melengkapi kalimat tadi yang diucapkan Tia, putri sulungnya, dari ketiga anak--dua perempuan dan seorang laki-laki--yang telah diberikan oleh laki-laki tampan dan kaya yang menikahinya 18 tahun lalu, tapi kemudian laki-laki itu mengkhianatinya setelah rumah tangga mereka bina selama 13 tahun. Di manakah letak kesetiaan itu? Ke manakah perginya janji-janji setia sehidup-semati yang pernah mereka ucapkan dulu?

"Ma…,” Tia menghentakkan lamunan Siska yang seolah mengembara kembali ke masa-masa dulu. Dia merasa harus menghalangi mamanya mengingat kembali kejadian-kejadian buruk yang menimpa keluarga mereka semenjak sang papa berpindah hati pada wanita lain, wanita yang usianya lebih muda 15 tahun dari usia sang mama. Tentunya dengan usia yang jauh lebih muda dari Siska--Melani--demikian nama wanita itu--laksana sesosok bunga mekar nan harum yang siap bersaing merebut hati dan perhatian juga cinta dari Sony, papa Tia dengan kedua adiknya--Roy dan Debi--yang saat ini keduanya masih duduk di bangku SMP kelas II dan III.

"Kamu sudah makan?” tanya sang mama ketika wajahnya sudah berbalik lagi menghadap Tia. Matanya menatap sedikit ke luar jendela besar berkaca putih yang dilapisi gordyen biru langit.

Karena siang hari, gordyen tersebut disibakkan ke samping hingga Siska dapat melihat warna biru langit dan awan putih di luar sana lewat jendela kaca. Jika dia berdiri seperti Tia, pastilah hatinya akan sedikit terhibur karena memandang deretan pepohonan di bawah sana yang bisa kelihatan dari lantai 5 ini.

Tia tersenyum lega. Kemarahan mamanya tadi hanya sekejap. Siska memang berhati kasih. Walaupun disakiti, dia masih mampu mengasihi, terutama mengasihi ketiga putra-putrinya.

“Sudah, Ma, tadi Rani menraktir Tia makan mie di kaki lima sepulang sekolah. Waktu Roy mengirim sms ke hp Tia, Tia barusan habis makan mie dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah Rani. Tapi karena adanya kejadian ini, Mama masuk rumah sakit, dengan terpaksa Tia harus balik ke rumah alias tidak bisa lagi mengabulkan penuh permintaan Rani untuk menemaninya selama dua minggu di rumahnya.”

"Nggak apa-apa kamu temani Rani di rumahnya, Mama akan segera pulih. Menurut dokter yang datang cek tadi, Mama hanya kelelahan dan stress, hingga sekujur tubuh lemas tak bertenaga. Untung tadi Bik Sumi sempat membopong Mama sebelum Mama jatuh ke lantai dan memanggilkan taksi untuk membawa Mama ke rumah sakit ini.”

"Ohya, di mana Bik Sumi? Mama sudah makan?” tanya Tia bagai teringat. “Bik Sumi yang menelepon Roy ya, memberitahu kalau Mama masuk rumah sakit. Terus Roy sms Tia tadi.”

"Betul, Bik Sumi kusuruh pulang ke rumah, memasak makan siang untuk Roy dan Debi. Kasihan jika adik-adikmu pulang sekolah nanti tapi makan siang belum tersedia.”

"Jadi, Mama sudah makan belum?” ulang Tia lagi.

"Sudah ada botol infus yang memberi Mama makan,” jawab Siska sambil tersenyum.

Tia memandang botol infus yang digantungkan di tiang infus, yang mana selang infus dari botol infus itu dihubungkan dari botol ke urat nadi sang mama di pergelangan tangan kanannya.

Pintu kamar 507 dibuka dari luar. Seorang wanita berseragam biru mendorong meja gerobak tempat menaruh makan para pasien. Setelah gerobak makan itu didorong ke dekat ranjang Siska, petugas dapur berseragam itu menghidangkan sepiring bubur dengan dua macam lauk di atasnya berikut semangkuk sup. Tanpa berkata apa-apa, petugas dapur itu kembali lagi mendorong gerobak makan itu ke luar dari kamar dan menutup pintunya.

Tia memerhatikan bubur putih di atas piring itu. Dengan spontan tangannya mengambil makanan itu berikut sendok yang telah disediakan.

“Tia suapi Mama makan ya?” tawar Tia pada Siska sambil tersenyum manis.

"Mama emoh makan, Tia, biar itu untuk Tia saja. Mungkin Tia belum kenyang tadi karena cuma makan mie.”

“Nggaklah, Tia sudah kenyang kok. Ini untuk Mama saja,” kata Tia sambil menaruh piring itu ke atas rak kecil di samping ranjang, lalu dia pun mulai menyendoki bubur itu dan menyuapkannya ke mulut Siska.

Karena Tia sudah menyendokkan bubur itu hingga ke mulut sang mama, mau tak mau Siska membuka juga mulutnya dan mencicipi perlahan rasa bubur putih yang cuma disirami beberapa sendok sup dan sedikit irisan wortel dan buncis.

“Rasanya enak juga,” kata Siska sambil tersenyum kecil, memandang sang putri dengan mata sayang.

"Syukurlah Mama sudah bisa makan sambil tersenyum,” kata Tia membalas senyum sang mama. “Di rumah, Tia jarang melihat Mama tersenyum lagi semenjak Papa pergi meninggalkan kita. Seandainya saja Mama bisa tersenyum setiap hari seperti saat ini, Tia berjanji akan lebih betah tinggal di rumah menemani Mama. Tia tidak akan keluyuran lagi dengan teman-teman…”

Tia melirik ekspresi wajah sang mama yang tiba-tiba berubah murung mendengar kata-katanya. Pasti karena nama papanya disebut, membuat mamanya tidak bisa lagi tersenyum.

Siska melarang anak-anaknya menyebut nama suaminya di depannya. Bahkan dia berpesan pada mereka supaya menganggap papa mereka sudah mati. Tapi bagaimanapun dia melarang atau berpesan, tidak dapat memungkiri kenyataan kalau mereka tetap ayah dan anak, satu darah, satu daging, tiada satu hal pun yang bisa menghapus keadaan itu.

"Sebaiknya kamu pulang ke rumah, Tia, dan mandi. Lihat apakah adik-adikmu sudah sampai di rumah dan makan hidangan yang dimasak Bik Sumi.”

"Baiklah, Ma,” Tia memindahkan piring berisi bubur dan mangkuk berisi sup yang dia letakkan di atas rak kecil di samping ranjang tadi, ke atas meja persegi panjang di dekat tembok di ujung ranjang. Sebentar lagi para petugas dapur di rumah sakit ini akan datang memeriksa satu-persatu kamar dan memunguti kembali piring juga mangkuk sisa makan siang para pasien.

"Aku pulang dulu ya, Ma,” kata Tia sambil mencium kening sang mama, lalu dia pun berbalik, berjalan menuju pintu dan membukanya. Kembali kedua kakinya yang jenjang mulus dibaluti celana jeans ponggol itu menapaki keramik putih yang melapisi lantai Rumah Sakit “Bunda Kasih” di siang itu.

* * *

Rani Sahabat Tia

Bab 3

Rani mengutak-atik hp di tangannya. Sms yang masuk barusan berasal dari Tia yang memberitahukan perihal dirinya yang tidak bisa menemani Rani melewati malam ini dan malam-malam selanjutnya karena harus menjagai sang mama yang sedang dirawat-inap di Rumah Sakit “Bunda Kasih”.

Bukan main gelisahnya hati Rani mendapati kabar ini. Karena itu berarti, dia harus berani melewati malam ini dan seminggu lagi malam berikutnya sendirian, sementara mamanya ke luar kota.

Sebenarnya dia berani saja andaikata di rumahnya itu tidak berpenghuni lain, seorang papa tiri yang temperamental, suka mabuk dan judi, yang senantiasa menghabiskan uang/harta yang selama ini dicari mamanya dengan susah-payah.

Papa kandung Rani telah meninggal tiga tahun lalu karena penyakit jantung. Setahun setelah sang papa meninggal, mamanya menikah lagi dengan laki-laki lain, yaitu papa tirinya. Mulanya belum ketahuan sifat asli dari si papa tiri yang temperamental dan suka mabuk plus judi, karena laki-laki itu begitu pintar merayu mama Rani hingga matanya pun dibutakan oleh cinta.

Setelah beberapa bulan menikah, barulah mama Rani tahu sifat asli dari suaminya. Tetapi tampaknya mama Rani sudah telanjur mencintai si laki-laki perayu sehingga dia pun rela jika uang dan harta yang dikumpulkannya dari hasil bisnis bajunya, dihabiskan oleh sang suami di meja judi.

Sudah seminggu mama Rani ke luar kota dalam rangka mencari baju-baju baru dan model baru untuk dijadikan barang dagangannya. Selama seminggu itu pula Tia menemani Rani melewati malam-malamnya. Tetapi mulai malam ini dan seminggu ke depan, Rani harus melewati malam-malam sendirian. Ah, sungguh mengerikan jika teringat dia harus tinggal di dalam rumah seorang diri dengan seorang laki-laki temperamental yang kadang suka membentaknya itu.

Tidak mungkin dia meminta bantuan Maya untuk menemaninya, karena Maya selalu punya kerja sampingan hampir tiap malam, menjadi petugas bar demi membantu meringankan beban mamanya yang harus menghidupi empat orang anak setelah bercerai dengan suaminya.

Rani menghentikan langkahnya ketika kakinya sampai di depan pintu sebuah rumah petak yang pintunya bercat hijau tua dengan dinding berwarna hijau lumut. Di depan rumah itu ada halaman yang cukup luas dipenuhi beraneka-macam bunga di dalam pot-pot bunga.

Selain menjalankan bisnis bajunya, mama Rani juga hobi menanam dan merawat berjenis-jenis bunga. Tak jarang bila bunga-bunga tersebut mekar karena dirawat dengan baik, bunga-bunga itu akan diminta atau dibeli oleh tetangga maupun langganan-langganannya. Biasanya mama Rani akan memberikan kepada mereka secara gratis ataupun menjualnya jika mereka ingin membelinya.

Rani merogoh isi dalam tasnya untuk mencari sesuatu. Setelah ketemu apa yang dicarinya yaitu sebuah kunci pintu, dia pun memasukkan kunci itu ke lobang pintu dan memutarnya dua kali. Pintu terkuak, menimbulkan bunyi engsel berderit dari daun pintu yang didorong Rani ke arah dalam.

Sunyi di ruang tamu. Pasti sang papa tiri belum pulang. Mungkin dia sedang minum tuak di kedai yang ada di persimpangan jalan. Atau mungkin juga dia ada di rumah salah satu kawannya dalam rangka “mengadu nasib”.

Ah, apapun itu, Rani harus berani melewati malam ini. Jika tidak di rumah sendiri, ke mana lagi dia harus pergi? Tia ada di rumah sakit menjagai mamanya, sedangkan Maya pasti sudah capek nanti sepulang kerja dari bar hampir tengah malam, Rani tidak tega merepotkannya. Selain mereka berdua, Rani tidak memiliki teman akrab lain, apalagi famili.

Perlahan, Rani berjalan menuju kamarnya. Tas sekolahnya dia letakkan di atas meja belajar yang ada di samping ranjang. Di samping meja belajar itu, ada sebuah lemari baju berwarna coklat maroon. Rani mengambil pakaian dari dalam lemari itu lalu membawanya ke kamar mandi. Pintu kamar mandi dia tutup setelah pakaian itu digantungkannya di tiang gantungan baju.

Sambil mandi, pikirannya melayang ke pelajaran sekolah yang tadi diserapnya. Ada banyak pr yang harus dia kerjakan sore ini, esok juga banyak ulangan. Rani termasuk anak yang rajin dan hobi belajar, karena dia tidak mau mengecewakan mamanya yang telah bersusah-payah mencari uang untuk membayar uang sekolahnya.

Dia belajar giat supaya bisa masuk dalam rangking 5 besar di kelasnya. Tahun lalu dia hanya menduduki peringkat ke-5, tahun ini dia ingin memperbaikinya menjadi peringkat ke-2 atau ke-3.

Seandainya tamat nanti dengan nilai bagus, Rani ingin segera mencari kerja di salah satu perusahaan atau bank, mendapat pengalaman kerja dan gaji, lalu gajinya akan dia gunakan untuk meringankan beban sang mama.

Sebagai anak tunggal, dia sadar menjadi satu-satunya tumpuan harapan bagi mamanya di masa depan, apalagi dengan keadaan sang mama yang memiliki seorang suami yang tidak bertanggung-jawab, beban itu terasa semakin berat di pundaknya. Ya, aku harus rajin belajar supaya menjadi seorang yang sukses suatu hari nanti, tekadnya.

Lima belas menit berlalu. Selesai sudah, sekujur tubuhnya telah diguyur air dan disabuni dengan sabun wangi. Rani mematikan kran air di bak mandi yang tadi dibukanya untuk mengisi bak yang kosong setengah. Air yang mengguyur tubuhnya barusan terasa sedikit menyegarkan otot-otot tubuhnya yang pegal dan kegerahan akibat cuaca terik di luar sana yang membakar kulitnya. Saatnya untuk tidur siang sejenak, setelah itu baru bangun untuk mengerjakan pr dan belajar, pikir Rani.

Rani berjalan pelan memasuki kamarnya. Setelah sisiran dan membedaki wajahnya, dia membaringkan tubuhnya yang lelah ke atas tempat tidur dan mencoba untuk tidur. Perlahan tapi pasti, dia dininabobokkan oleh belaian angin siang yang membelai lembut tubuhnya.

Angin itu mencuri masuk lewat jendela kaca kamar tidurnya yang dibiarkan terbuka setengah. Pikirannya yang tadi mumet karena berbagai persoalan, perlahan-lahan merenggang. Tak lama kemudian, Rani pun melayang ke alam mimpi. Dia terlelap.

Kira-kira pukul lima sore, Rani terbangun. Suara ribut-ribut dari ruang tamu membuatnya tak mungkin lagi terlelap. Dengan hati berdebar karena tersentak akibat suara keras di ruang tamu itu.

Rani pun mengucek-ucek matanya dengan cepat dan melompat bangun. Itu suara khas dari papa tirinya yang biasanya pulang ke rumah bila tiba jam makan. Biasanya sekitar pukul tujuh malam si papa tiri balik ke rumah, sedangkan ini masih pukul lima sore. Pasti ada sesuatu hal serius yang terjadi yang membuatnya pulang cepat, pikir Rani.

Rani merapikan pakaiannya di samping ranjang. Dia beranjak pelan menuju pintu kamar tidurnya dan membukanya perlahan. Diintipnya sosok tubuh tinggi-tegap yang sedang berdiri membelakangi pintu kamar tidurnya dari jarak lima-enam meter dengan mata menghadap ke meja makan.

“Raniiiii…!!!” teriakan membahana dari sesosok pria bertubuh kekar dan hitam itu, bagaikan hendak memecahkan gendang telinga Rani, membuyarkan segala lamunan dan ketenangan siapapun juga yang ada di dalam rumah itu. Gemanya pasti sudah terdengar sampai ke tetangga sebelah rumah.

Seperti biasanya, para tetangga tidak akan ikut campur, walaupun secara diam-diam mereka saling berbisik, menggunjingkan tentang penghuni rumah bernomor 25-E yang suara ribut-ributnya sering terasa mengganggu ketenangan mereka.

* * *

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!