Bab 4
“Raniiiiiii…!!!” suara teriakan berikutnya disusul dengan gerakan tudung saji meja yang dibantingkan menutupi meja makan. Tudung saji tadi dibuka oleh si papa tiri setibanya di rumah. Mungkin perutnya sedang lapar tapi tidak punya duit di kantong dan tidak ada makanan tersedia di meja makan.
Selama seminggu ini sang mama yang sedang bepergian ke luar kota tidak masak seperti kegiatan setiap paginya, sehingga Rani cuma membelikan nasi putih dengan dua-tiga macam lauk yang dijual di dekat rumahnya buat makanan si papa tiri. Karena ini masih pukul lima sore, Rani belum sempat membelikannya, biasanya pukul enam sore lewat baru Rani keluar rumah untuk membeli lauk tersebut dan menyediakannya di meja makan.
Rani melangkah hati-hati menghampiri sosok tubuh tinggi itu setelah dia menutup pintu kamarnya. Sengaja dia mendehem sekali untuk menenangkan sedikit perasaan si papa tiri yang mungkin sedang melonjak karena marah. Entah apa yang dialaminya di luar sana yang membuatnya begitu emosi sampai terbawa-bawa ke dalam rumah. Sedikit-banyak Rani bisa menebaknya, kalau tidak kalah judi, yah mungkin dia belum puas minum-minum tapi duitnya sudah amblas di meja judi.
Mama Rani menitipkan uang tiga juta rupiah pada Rani sebelum berangkat ke luar kota. Duit itu, pesan mamanya, adalah untuk memenuhi segala kebutuhan mereka selama dia ada di luar kota. Tak lupa juga mamanya berpesan untuk memberikan seratus ribu rupiah pada si papa tiri setiap harinya buat uang jajannya di luar sana. Sisanya untuk uang jajan Rani, untuk memenuhi keperluan sekolah, dan untuk membeli makanan.
Rani sudah menjalankan segala apa yang dipesankan mamanya sebelum berangkat itu. Pagi tadi dia sudah memberikan uang seratus ribu rupiah yang ketujuh kali buat si papa tiri, jadi tidak ada lagi jatahnya sekarang seandainya diminta lagi untuk memuaskan kepentingannya di luar sana.
Sosok itu berbalik dan menatap Rani. Dengan hati-hati Rani balik menatapnya. Raut wajah di depannya tampak kurang senang dan bagaikan menyimpan geram. Matanya bengis menghunjam laksana sembilu, menusuk sampai ke ulu hati gadis di depannya.
“Maafkan Rani, Pa, tadi Rani ketiduran sepulang sekolah. Rani tidak tahu kalau Papa akan pulang secepat ini. Sekarang Rani akan keluar untuk mencari dan membeli makanan buat makan malam Papa dan Rani.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Rani berbalik dengan cepat, bermaksud untuk segera melaksanakan niatnya, tapi sebuah suara hentakan di belakangnya mengurungkan langkahnya.
“Tunggu…!”
Rani tersentak. Hatinya berdebar keras, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ada apa lagi ini? pikirnya gelisah. Bukankah yang dibutuhkan si papa tiri saat ini hanyalah makanan untuk mengisi perutnya yang keroncongan karena belum diisi sedari tadi? Atau mungkin bukan makanan yang dia butuhkan, melainkan uang jajannya esok hari yang hendak dia tagih sekarang ini? Oh, Rani tidak akan memberikannya saat ini karena seperti pesan mamanya, jangan diberikan sebelum tibanya hari.
“Sini kau!” perintah suara itu.
Nyali Rani menciut. Perasaannya pun kacau. Pikirannya gamang. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Berbalik dan menghadap sosok angker ini, meminta maaf sekali lagi ataukah menghadapinya dengan berani?
Dengan hati-hati Rani mengepalkan tangannya. Sekonyong-konyong timbul keberaniannya. Dia berbalik dengan mantap dan matanya balas menghunjam wajah di depannya.
"Apa lagi, Pa? Bukankah Rani sudah meminta maaf tadi? Sekarang Rani akan pergi beli makan untuk Papa, tunggu sebentar saja Rani pasti balik,” entah darimana dia dapatkan nyali untuk mengucapkan kata-kata itu.
Sosok di depannya terkesiap. Matanya yang tadi bengis berubah kaku menatap wajah di depannya. Sekonyong-konyong mata itu menjadi liar tatkala tatapannya berpindah ke bagian bawah wajah Rani. Selama ini dia terlalu sibuk dengan kepentingannya di luar sana sehingga dia tidak menyadari perkembangan yang demikian pesat pada tubuh putri tirinya ini. Lihatlah, selain memiliki wajah yang lumayan cantik, Rani juga memiliki tubuh yang sintal dan montok, bentuk tubuhnya yang aduhai bahkan bisa memancing hasrat pria.
Mata Tomi, papa tiri Rani yang sebenarnya masih berusia lumayan muda itu--sekitar 40 tahun--mau tak mau tergoda juga ketika dia memerhatikan dengan lebih seksama lagi tubuh di depannya. Dada Rani yang padat dengan bentuk pinggul seperti gitar meliuk, membuat Tomi menelan ludah ketika dia menyadari akan hal itu.
Tiba-tiba Rani merinding. Kedua tangan dan kakinya gemetar karena instingnya membisikkan padanya ada sesuatu hal buruk yang bakal terjadi.. Jika dia lengah sedikit, bukan tidak mungkin garis hidupnya akan berubah sejak malam ini. Sesuatu yang buruk itu akan memusnahkan segala harapan, impian, dan cita-citanya.
Tangan Tomi bergerak menyentuh kepala Rani, pas di atas telinga kirinya, hingga sentuhan itu mengenai rambut hitam-legam sebahu yang dimilikinya.
Rani terkesima. Hatinya berdesir. Apakah betul bisikan instingnya, papa tirinya yang sebenarnya berwajah ganteng di balik kebengisannya itu akan melakukan suatu hal buruk padanya? Rani berdesir bukan saja karena ketakutannya akan hal buruk itu, tapi juga karena seumur hidupnya dia tidak pernah disentuh pria manapun dengan cara seperti itu.
Mungkin mamanya tetap bertahan memiliki suami seperti Tomi yang tidak bertanggung-jawab, karena Tomi memiliki wajah yang ganteng dan garang atau dianya mampu memuaskan Wenny, mama Rani itu, secara lahiriah, sehingga Wenny bagaikan telah dibutakan matanya walaupun Tomi memiliki sifat dan prilaku yang buruk. Entahlah, Rani tidak tahu alasan yang pasti dari sang mama.
“Kau cantik juga ternyata, aku baru menyadarinya sekarang, hehe…,” suara dari tubuh kekar yang biasanya sangar dan kasar itu tiba-tiba berubah lembut dan ramah tatkala matanya menghunjam lebih dalam lagi ke setiap lekuk-liuk wajah juga tubuh putri tirinya itu.
“Jangan, Pa…,” Rani mendesis tatkala tangan kekar itu bergerak ke bawah hendak menyentuh sesuatu yang spesial di dadanya. Rani menahan tangan itu dengan tangannya sendiri sehingga tangan pria itu terhenti di samping lehernya.
Mata Rani menatap gelisah sosok di depannya. Napasnya seolah berhenti sesaat. Hatinya kacau. Pikirannya buntu. Gerakan tadi hanyalah gerakan refleks yang tidak diperintah oleh otak, hati, apalagi instingnya.
“Tidak apa-apa, Rani, Papa hanya ingin menyayangimu saja,” bisik laki-laki itu lembut. Suaranya merayu.
Rani bergidik. Dia merasakan adanya hasrat terpendam dan maksud tersirat dari kalimat itu.
“Rani harus pergi sekarang, Pa, Rani harus keluar rumah untuk membeli makanan,” katanya dengan suara tegas dan kaku.
“Aku selalu dapatkan apa yang aku inginkan, Rani,” kata laki-laki itu berubah kasar. Sekonyong-konyong tangannya yang satu lagi bergerak membekap mulut Rani, dan tangannya yang tadi ditahan Rani sudah berhasil dia lepaskan dan gunakan untuk mendekap sekaligus menggendong tubuh Rani, lalu tubuh sintal itu dia bawa ke dalam kamar tidur Rani yang berjarak beberapa meter dari dapur itu.
Tubuh Rani dihempaskan Tomi ke atas ranjang bersprei merah jambu. Rani tidak dapat melakukan perlawanan yang cukup berarti tatkala dirinya menjadi pelampiasan nafsu setan dari papa tirinya di sore hari yang mendung itu, semendung kejadian naas yang bakal membuat kelam hari-hari selanjutnya dari gadis suci yang telah ternoda kini.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
ANAA K
Tetap semangat kak
2021-10-11
1
triana 13
like
2021-07-19
1
Nailil Ilma
yuk yuk kak semangat
Nyicil dulu ya🤭
Salam dari Cinta Anak Pesantren
2021-07-18
1