Bab 5
Rani berjalan tertatih-tatih menyusuri sepanjang Jalan Anggrek Biru yang cukup lebar keesokan harinya. Dia tidak tahu ke mana langkahnya harus dibawa pergi setelah kejadian buruk yang menimpanya malam tadi.
Pagi tadi, Rani terbangun dan mendapati sosok laki-laki yang telah merenggut keperawanannya semalam sore itu telah menghilang entah ke mana. Bukan itu saja, laci lemari bajunya yang dia taruh duit sebesar dua juta rupiah yang dititipkan mamanya sebelum beliau keluar kota pun ikut raib bersama dengan raibnya sang papa tiri. Dua buah cincin yang dibelikan mamanya, yang melingkari jari manis dan jari tengahnya lenyap tak berbekas.
Bukan main laki-laki itu, setelah mendapatkan pemuasan nafsu setan, masih juga menggerogoti harta-benda korbannya. Kejam dan benar-benar sadis! Sang mama tidak menyadari, atau pura-pura tidak menyadari, bahwasanya dia telah salah memilih suami, yang semula diharapkan akan menjadi seorang ayah pengganti yang baik bagi putri sekaligus anak semata-wayangnya, tapi kemudian sosok tersebut malah menghancurkan hidup dan keluarganya.
Apa mau dikata, apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Memang benar kata orang, berhati-hatilah kita dan bukalah mata lebar-lebar bila hendak memilih suami atau istri. Salah memilih pasangan hidup, menyesal seumur hidup. Kali ini, mama Rani bukan saja memilih pasangan hidup yang salah yang membuatnya menyesal seumur hidup, tapi juga salah memilih suami yang mengakibatkan hancurnya masa depan sang putri.
Udara di siang itu terasa amat menyengat kulit dan tubuh Rani yang hanya berbalut baju kaos putih dan celana jeans ponggol biru. Pagi tadi, dia terbangun dari pingsannya dan bagaikan baru menyadari kejadian buruk yang menimpanya semalam sore. Rani cuma mampu menangis dan menyesali keteledorannya. Hampir tiga jam dia duduk menangis di tepi ranjang, memikirkan kembali kilas-balik kejadian semalam sore yang telah menghancurkan segala harapan juga impiannya.
Setelah puas menangis, Rani beranjak menuju kamar mandi, membersihkan sekujur tubuh dan rambutnya dengan air di kamar mandi. Sambil mandi dan menggosoki tubuhnya dengan sabun, dia terus terpikir akan kejadian itu dan sekonyong-konyong dia menangis lagi. Berkali-kali dia membilas wajahnya yang berteteskan air mata, tapi berkali-kali pula airmata itu kembali turun membasahi pipinya. Airmata itu bagaikan tak habis-habisnya mengalir dan mengalir terus.
Selesai mandi, Rani menyambar baju dan celana jeans sekadarnya untuk menutupi badannya yang telah menjadi korban kekerasan. Dengan perasaan hampa, dia menyisiri rambut hitam sebahunya. Pikirannya kosong. Tidak ada lagi yang diinginkannya saat ini selain segera keluar dari rumah yang menjadi neraka baginya kini.
Rani ingin pergi jauh, pergi meninggalkan rumah ini sebelum mamanya pulang dan mengetahui kejadian serius ini. Dia takut sekali membayangkan bagaimana reaksi sang mama jika tahu sang suami meniduri putrinya. Biarlah sang mama tak pernah tahu, biarlah dia yang menanggung beban ini sendirian. Bila mamanya ada di rumah nanti, Rani cuma akan menelepon dan pura-pura berkata dia lagi menginap di rumah teman yang keluarganya juga sedang ke luar kota.
Setelah membereskan tempat tidurnya, Rani bergegas keluar dari rumah dengan membawa beberapa stel pakaian sekadarnya juga tas berisikan buku-buku pelajaran sekolah. Untuk beberapa hari ke depan, dia akan bolos sekolah, sampai hatinya tenang kembali dan kejadian ini mereda, barulah dia akan pikirkan lagi langkah selanjutnya.
Perut Rani lapar bukan main. Semenjak semalam siang sampai siang ini belum sempat diisi sedikit pun makanan. Cuma air putih yang menyegarkan kerongkongannya yang terasa kering dan air putih itu jugalah yang terus diminumnya untuk mengusir rasa laparnya sedari tadi. Rani bukan saja tidak memiliki uang sepersen pun di tubuhnya, karena semua uang yang dititipkan mamanya telah diambil Tomi, si papa tiri, tapi Rani juga kehilangan dua buah cincin emas yang melingkari jari tangannya, padahal cincin emas itu sebenarnya bisa dia jual atau uangkan untuk menjadi bekalnya buat seminggu ke depan, sambil menunggu kepulangan sang mama.
Tiba-tiba Rani teringat dua sahabatnya, Tia dan Maya. Bagaimana jika sekarang dia menelepon Tia atau Maya, karena jam-jam segini biasanya adalah lonceng pulang sekolah, saat mana mereka bertiga--Tia, Rani, dan Maya--berjalan berbarengan ke terminal untuk menumpang angkutan kota yang akan membawa mereka pulang ke rumah masing-masing.
Mungkin cuma mereka bertiga yang bila pulang atau pergi ke sekolah “Permata Cinta’ dengan menaiki angkot, karena selebihnya adalah anak-anak orang kaya yang menyetir mobil atau moge sendiri, kalaupun tidak pasti ada supir pribadi yang mengantar jemput para anak orang-orang kaya itu.
Tia sudah bersekolah di sekolah “Permata Cinta” semenjak SD. Waktu itu papanya masih milik mereka dan bertanggung-jawab penuh pada keluarga, sehingga ketiga anaknya pun dia sekolahkan di sekolah favorit itu.
Rani, walaupun berasal dari keluarga sederhana, tapi mamanya bekerja keras memajukan usaha bisnis bajunya demi membayar uang sekolah sang anak yang mencapai Rp 350.000,- perbulan.
Sedangkan Maya, selain mamanya yang merupakan orangtua tunggal semenjak beliau bercerai dengan papanya, bekerja keras membuka warung nasi yang cukup laris di depan rumah--kadang dibantu ketiga adiknya Maya--dan Maya juga ikut mencari uang sendiri dengan bekerja sebagai pelayan bar di malam harinya, untuk mencukupi uang sekolah dan segala keperluan pribadinya.
Rani mencari-cari hp Nokia yang biasanya dia taruh di dalam tas sekolahnya. Hatinya mulai gelisah ketika dia tak menemukan hp yang biasanya dengan mudah bisa didapatkannya dari dalam tas itu. Seolah tak percaya, Rani membongkar-bongkar lagi isi dalam tasnya, tetapi barang yang dicarinya tetap tidak ada.
Rani hampir saja menangis, apakah mungkin Tomi telah mengambil hp-nya juga? Setelah mengambil kehormatannya, mengambil duit dua juta rupiah yang ada di laci lemari bajunya, mengambil dua buah cincin yang melingkar di jarinya, masih juga mengambil satu-satunya hp--benda berharga--yang dia taruh di dalam tasnya. Oh, sungguh kejam papa tirinya itu bagaikan tidak lagi memiliki hati nurani.
Jadi, ke mana dia harus pergi sekarang ini? Ke mana langkah kakinya harus dia bawa pergi? Rani tidak tahu tujuannya sama sekali, dia hanya mampu terus berjalan sambil matanya menatap liar ke sekeliling jalanan yang siang itu dipenuhi oleh cukup banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Perutnya yang sudah lapar sedari tadi semakin keroncongan. Bahkan kini terasa melilit.
Langkah Rani terhenti di depan sebuah warung nasi. Ada seorang ibu penjual nasi yang sedang sibuk menyendok nasi dan lauk-pauk ke atas piring-piring yang akan disajikannya ke dalam warung itu. Ingin sekali Rani meminta sepiring nasi dari ibu itu dan memberanikan dirinya untuk berkata bahwasanya dia tidak memiliki uang sepersen pun untuk membayar nasi itu, bolehkah?
Tapi entah kenapa tidak ada sedikit pun suara yang bisa keluar dari mulutnya, karena seumur hidup ini dia tidak pernah meminta makan dari orang lain, jadi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk mengemis.
Ibu yang sedang sibuk melayani pelanggan itu bahkan tidak sempat memerhatikan Rani, seorang perempuan muda yang kelaparan yang berdiri di depan kaca etalase warung nasinya. Selain itu, dia juga terlalu sibuk bertanya dan menatap pada beberapa orang pembeli yang mengelilinginya, menunggu antrian untuk dibungkuskan pesanan. Cuma sekilas saja matanya menangkap sesosok gadis muda yang berdiri di depan etalase kaca jualannya itu. Dia pikir, mungkin gadis itu adalah teman yang menunggu temannya yang sedang membeli nasi.
Ketika ibu itu selesai membungkus makanan untuk para pembeli juga untuk belasan pelanggan yang duduk di dalam, gadis itu pun telah menghilang dari pandangannya. Saat itu dia baru berpikir, apakah mungkin gadis tadi berdiri di depan etalase kaca jualannya untuk meminta makan? Walaupun sekilas, tapi dia sempat melihat gadis muda itu seperti sedang menahan lapar dengan wajah pucat dan memelas.
Tiba-tiba dia merasa menyesal, kenapa tadi dia tidak berhenti sejenak membungkus makanan atau menyendok nasi ke atas piring-piring, lalu bertanya pada gadis itu sebentar, apakah dia butuh makanan? Zaman sekarang ini, cukup banyak orang yang lebih mementingkan bisnis dan kepentingannya sendiri, sehingga kadang-kadang lupa untuk berbagi atau memerhatikan sesama. Walaupun tidak semuanya begitu.
Rasanya, sudah teramat jauh Rani berjalan menyusuri sepanjang jalan Anggrek Biru di siang hari yang menyengat itu, sebelum dia merasakan ada seseorang yang memanggil namanya dari balik kaca sebuah mobil. Rani hanya sempat menoleh sejenak sebelum tubuhnya limbung dan jatuh ke atas tanah di samping trotoar itu.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
ANAA K
Semangat selalu kak👍🏾 jangan lupa mampir yah😉🙏🏿
2021-10-11
1
Nurliah Kisarani Lia
kasihan rani.....
2021-07-25
1
triana 13
semangat kak
2021-07-19
1