A, B ,C ,D I LOVE YOU
"BODOHH !"
"PLAKKK !"
Sebuah tamparan mendarat di pipi Mihrimah, Sekejap mendarat mulus di pipinya yang mulai memerah.
Gadis itu hanya diam saja. Malas dia bersuara, nanti pukulannya akan semakin bertambah.
Sepasang mata tajam memandanginya dari atas hingga ke ujung kaki. Membuat Mihrimah hanya menunduk, tidak berani menatap.
"KELUAR KAU DARI SINI ! ANAK JAHANAM !"
Hati Mihrimah robek, berdarah-darah rasanya. Air matanya yang sedari tadi dia tahan luruh juga. Isak tangisnya terdengar sangat menyedihkan di tengah keheningan malam itu.
BRAKKK !
Suara pintu di banting. Mihrimah masih menangis di dalam kamarnya. Sulit berpikir karena ketakutan yang menjadi-jadi. Di hapusnya berkali-kali air matanya, namun selalu saja mengalir lagi. Tidak pernah kering !
Mihrimah memegang dadanya yang sesak. Hampir sulit dia rasa untuk sekedar bernafas, mungkin karena hatinya sudah terlalu merana. Dia sudah tidak tahan lagi, benar-benar ingin lari !
Mihrimah Helsana Tatia, seorang wanita baik-baik yang kurang beruntung. Orangtuanya sudah bercerai, ibunya bekerja sebagai pelayan Kafe dan sudah menikah lagi, sedangkan ayahnya? Itu tadi, yang menamparnya dan menyebutnya ANAK JAHANAM ! Ya... Ayahnya yang bahkan tidak pernah menghargai dirinya. Ayahnya yang tidak layak di sebut sebagai seorang ayah, kerjanya hanya mabuk, judi dan berlaku kasar padanya jika dia tidak di beri uang, untuk JUDI DAN ALKOHOL tentunya. Lalu kenapa Mihrimah tidak kabur saja? Kenapa masih tinggal di situ? Tidak, dia bukannya betah atau terima di perlakukan layaknya sampah di rumah itu, dia hanya mempertahankan satu-satunya warisan peninggalan mendiang neneknya, rumah itu. Sejak neneknya meninggal setahun yang lalu, Mihrimah tetap bertahan hidup berdua dengan ayahnya yang jahat itu, karena kalau dia keluar dari situ, pastilah rumah akan di gadai atau di jadikan bahan taruhan oleh ayahnya di meja judi. Pastilah !
Sejak kecil, Mihrimah hanya di pedulikan oleh neneknya. Beliaulah yang rela menghabiskan sisa umurnya untuk merawat dan membayar semua biaya kuliah Mihrimah hingga lulus. Orangtuanya sudah bercerai sejak Mihrimah masih sangat kecil, kehidupan kedua orangtuanya dulu juga tidak harmonis, kalau berdasarkan cerita mendiang neneknya kedua orangtuanya itu hampir setiap hari bertengkar, hampir saling membunuh ! Memang pilihan berpisah adalah tepat bagi keduanya, daripada mati konyol di tangan satu sama lain. Begitu kata neneknya dulu.
Mihrimah mengumpulkan kertas-kertas yang tadi di buang oleh ayahnya. Kertas tagihan hutang ayahnya itu dengan para rentenir, yang entah sudah berapa banyak menumpuk. Tadinya ayahnya berniat menjual rumah demi melunasi hutangnya akibat judi, tapi Mihrimah menolak.
Rumah itu memang tidak bisa di jual karena sudah sah di warisakan atas nama dirinya, bukan ayahnya. Karena itulah, ayahnya itu mengamuk sejadi-jadinya karena Mihrimah dengan tegas sekali lagi menolak keras menjual aset satu-satunya peninggalan neneknya tercinta.
Mata Mihrimah sembab, pipinya yang di tempeleng ayahnya barusan masih pedas, dia lega ayahnya sudah keluar dari kamarnya, meninggalkan dirinya sendiri di rumah.
Mungkin ayahnya itu sekarang sedang berfoya-foya dengan pinjaman rentenir yang lain lagi di meja judi, mabuk-mabukan dan tidur bersama para wanita nakal di luar sana. BIARLAH! Begitu pikir Mihrimah saking kesalnya.
Lampu kamarnya sudah mati, Mihrimah mengunci kamarnya dari dalam, bersiap untuk tidur di kasurnya yang sudah menipis karena lama tidak di ganti. Dia melirik jam, sudah pukul 24.00 WIB. Sudah waktunya dia tidur, besok dia harus kerja, seperti biasa menjadi pegawai kantoran di sebuah perusahaan baru di bidang jasa kirim.
Sebenarnya pekerjaannya yang dulu jauh lebih menjanjikan, perusahaanya juga sudah mapan dan lumayan terkenal, tapi lingkungan yang **t**oxic membuatnya lama-kelamaan muak dan memutuskan untuk resign saja dan mencari tempat kerja yang baru.
Baru saja hendak memejamkan kedua matanya, sebuah panggilan Video call masuk ke ponselnya. Panggilan dari grup teman-temannya. Ya, teman-teman yang setia bersamanya sejak SMP hingga kini. Mereka adalah Evi, Pingkan dan Wina. Wajah ketiga temannya itu muncul di layar.
Evi : Hallowwwww ! (Girang)
Pingkan : Haiii guysss... Lagi apaa?
Wina : Aduhhh, udah ngantuk. Hoahemm... (menguap)
Evi : Ahhh elo, emang muka bantal ! (sambil menggerutu)
Wina : Kenapa sih lu pada baru nelpon jam gini, anehhh. Hoahemmm ... ( Menguap lagi)
Pingkan : Rima? Eh, elo kenapa diam? ( Mengamati Mihrimah yang tampak memendam sesuatu)
Mihrimah : Ahh, gak. Biasa aja. ( Berbohong)
Wina : Iyaa, pasti lo ada masalah ya? Kelihatan tuh di muka lo. ( Mulai curiga)
Mihrimah : ( Menggeleng)
Evi : BAPAK LO KAN?? EMANG KETERLALUAN, DIA NGAPAIN LO? KASAR LAGI? LAPORR POLISI AJALAH! ( Emosi dan menggeram)
Mihrimah : Gue gak kenapa-kenapa. Lagian dia tetap ayah gue.
Pingkan : Ahh, elo. Bapak apaan tuh. Keterlaluan, kita semua pada sayang ama lo Rima, cukuplah sengsara yang dia bikin ke elo. ( Sedih)
Wina : Iya, kita semua cemas Rima, cobalah stop semua ini dan pergi aja dari situ. Kalau gak lapor aja polisi. ( Sedih)
Mihrimah : Gue, gak bisa. Gak akan pernah bisa. ( Suara parau)
Malam itu, ketiga temannya menemani Mihrimah yang curhat hingga subuh. Mereka ber-empat menangis bersama dalam keheningan malam yang sudah terlalu larut itu. Tapi, apapun yang ketiga temannya itu sarankan kepada Mihrimah, selalu berujung kepada keputusan Mihrimah yang enggan menyudahi sengsaranya tinggal dengan ayahnya itu. Hari semakin larut, jam sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB. Setelah berpamitan dan bersepakat untuk meluangkan waktu bersama besok di tempat biasa mereka bertemu, mereka menyudahi obrolan di grup Whatsapp itu, mereka semua pun beristirahat.
Mihrimah menarik selimutnya, "Pasti besok bengkak." Katanya sambil meraba kedua matanya yang sembab akibat menangis. Suara kipas angin terdengar berderit-derit karena sudah lama sekali usianya. Hembusan angin dari kipas sesekali menyejukkan ruang kamarnya yang sudah gelap karena lampu di matikan. Dia berharap dia bisa tidur dengan sangat nyenyak malam ini. Dia juga berharap ayahnya tidak usah pulang malam ini, biar saja menginap di luar seperti malam-malam sebelumnya agar dia bisa tenang dan nyaman di rumah.
Belum berapa menit memejamkan mata, Mihrimah kembali membuka matanya, dia sudah tidak bisa tidur lagi, sudah insomnia. Malam itu dia habiskan jam demi jam dengan merenung saja sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Kenapa nasibku begini, Tuhan." Bisiknya dalam hati. Dia menahan diri agar tidak lagi menangis karena sudah terlalu banyak menangis. Hanya neneknya lah yang dia perlukan saat ini, tapi kini nenek sudah tidak ada. Biasanya, setiap kali habis di bentak ayahnya, neneknya akan memeluknya dan menasehatinya untuk selalu bersabar dalam hal apapun. Pikirannya kini membuat hati Mihrimah tambah sakit, karena semakin dia memikirkan tentang neneknya yang sudah tiada, dia akan semakin menyadari kalau dia saat ini sudah sendirian, tidak ada nenek lagi sebagai tempatnya bersandar, ya... Dia kesepian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
🍾⃝Tᴀͩɴᷞᴊͧᴜᷡɴͣɢ🇵🇸💖
Aku mampir di sini juga rupanya ini buku terbarumu.
2023-06-11
1
😺 Aning 😾
Aku mau comment... tp udh di wakili wkwkwk
2023-06-07
1
Kerincing_kaki
hehehheehe ...jangan sampaiii kita yg ketampar kannn kakak thorr
2023-05-22
0