"BODOHH !"
"PLAKKK !"
Sebuah tamparan mendarat di pipi Mihrimah, Sekejap mendarat mulus di pipinya yang mulai memerah.
Gadis itu hanya diam saja. Malas dia bersuara, nanti pukulannya akan semakin bertambah.
Sepasang mata tajam memandanginya dari atas hingga ke ujung kaki. Membuat Mihrimah hanya menunduk, tidak berani menatap.
"KELUAR KAU DARI SINI ! ANAK JAHANAM !"
Hati Mihrimah robek, berdarah-darah rasanya. Air matanya yang sedari tadi dia tahan luruh juga. Isak tangisnya terdengar sangat menyedihkan di tengah keheningan malam itu.
BRAKKK !
Suara pintu di banting. Mihrimah masih menangis di dalam kamarnya. Sulit berpikir karena ketakutan yang menjadi-jadi. Di hapusnya berkali-kali air matanya, namun selalu saja mengalir lagi. Tidak pernah kering !
Mihrimah memegang dadanya yang sesak. Hampir sulit dia rasa untuk sekedar bernafas, mungkin karena hatinya sudah terlalu merana. Dia sudah tidak tahan lagi, benar-benar ingin lari !
Mihrimah Helsana Tatia, seorang wanita baik-baik yang kurang beruntung. Orangtuanya sudah bercerai, ibunya bekerja sebagai pelayan Kafe dan sudah menikah lagi, sedangkan ayahnya? Itu tadi, yang menamparnya dan menyebutnya ANAK JAHANAM ! Ya... Ayahnya yang bahkan tidak pernah menghargai dirinya. Ayahnya yang tidak layak di sebut sebagai seorang ayah, kerjanya hanya mabuk, judi dan berlaku kasar padanya jika dia tidak di beri uang, untuk JUDI DAN ALKOHOL tentunya. Lalu kenapa Mihrimah tidak kabur saja? Kenapa masih tinggal di situ? Tidak, dia bukannya betah atau terima di perlakukan layaknya sampah di rumah itu, dia hanya mempertahankan satu-satunya warisan peninggalan mendiang neneknya, rumah itu. Sejak neneknya meninggal setahun yang lalu, Mihrimah tetap bertahan hidup berdua dengan ayahnya yang jahat itu, karena kalau dia keluar dari situ, pastilah rumah akan di gadai atau di jadikan bahan taruhan oleh ayahnya di meja judi. Pastilah !
Sejak kecil, Mihrimah hanya di pedulikan oleh neneknya. Beliaulah yang rela menghabiskan sisa umurnya untuk merawat dan membayar semua biaya kuliah Mihrimah hingga lulus. Orangtuanya sudah bercerai sejak Mihrimah masih sangat kecil, kehidupan kedua orangtuanya dulu juga tidak harmonis, kalau berdasarkan cerita mendiang neneknya kedua orangtuanya itu hampir setiap hari bertengkar, hampir saling membunuh ! Memang pilihan berpisah adalah tepat bagi keduanya, daripada mati konyol di tangan satu sama lain. Begitu kata neneknya dulu.
Mihrimah mengumpulkan kertas-kertas yang tadi di buang oleh ayahnya. Kertas tagihan hutang ayahnya itu dengan para rentenir, yang entah sudah berapa banyak menumpuk. Tadinya ayahnya berniat menjual rumah demi melunasi hutangnya akibat judi, tapi Mihrimah menolak.
Rumah itu memang tidak bisa di jual karena sudah sah di warisakan atas nama dirinya, bukan ayahnya. Karena itulah, ayahnya itu mengamuk sejadi-jadinya karena Mihrimah dengan tegas sekali lagi menolak keras menjual aset satu-satunya peninggalan neneknya tercinta.
Mata Mihrimah sembab, pipinya yang di tempeleng ayahnya barusan masih pedas, dia lega ayahnya sudah keluar dari kamarnya, meninggalkan dirinya sendiri di rumah.
Mungkin ayahnya itu sekarang sedang berfoya-foya dengan pinjaman rentenir yang lain lagi di meja judi, mabuk-mabukan dan tidur bersama para wanita nakal di luar sana. BIARLAH! Begitu pikir Mihrimah saking kesalnya.
Lampu kamarnya sudah mati, Mihrimah mengunci kamarnya dari dalam, bersiap untuk tidur di kasurnya yang sudah menipis karena lama tidak di ganti. Dia melirik jam, sudah pukul 24.00 WIB. Sudah waktunya dia tidur, besok dia harus kerja, seperti biasa menjadi pegawai kantoran di sebuah perusahaan baru di bidang jasa kirim.
Sebenarnya pekerjaannya yang dulu jauh lebih menjanjikan, perusahaanya juga sudah mapan dan lumayan terkenal, tapi lingkungan yang **t**oxic membuatnya lama-kelamaan muak dan memutuskan untuk resign saja dan mencari tempat kerja yang baru.
Baru saja hendak memejamkan kedua matanya, sebuah panggilan Video call masuk ke ponselnya. Panggilan dari grup teman-temannya. Ya, teman-teman yang setia bersamanya sejak SMP hingga kini. Mereka adalah Evi, Pingkan dan Wina. Wajah ketiga temannya itu muncul di layar.
Evi : Hallowwwww ! (Girang)
Pingkan : Haiii guysss... Lagi apaa?
Wina : Aduhhh, udah ngantuk. Hoahemm... (menguap)
Evi : Ahhh elo, emang muka bantal ! (sambil menggerutu)
Wina : Kenapa sih lu pada baru nelpon jam gini, anehhh. Hoahemmm ... ( Menguap lagi)
Pingkan : Rima? Eh, elo kenapa diam? ( Mengamati Mihrimah yang tampak memendam sesuatu)
Mihrimah : Ahh, gak. Biasa aja. ( Berbohong)
Wina : Iyaa, pasti lo ada masalah ya? Kelihatan tuh di muka lo. ( Mulai curiga)
Mihrimah : ( Menggeleng)
Evi : BAPAK LO KAN?? EMANG KETERLALUAN, DIA NGAPAIN LO? KASAR LAGI? LAPORR POLISI AJALAH! ( Emosi dan menggeram)
Mihrimah : Gue gak kenapa-kenapa. Lagian dia tetap ayah gue.
Pingkan : Ahh, elo. Bapak apaan tuh. Keterlaluan, kita semua pada sayang ama lo Rima, cukuplah sengsara yang dia bikin ke elo. ( Sedih)
Wina : Iya, kita semua cemas Rima, cobalah stop semua ini dan pergi aja dari situ. Kalau gak lapor aja polisi. ( Sedih)
Mihrimah : Gue, gak bisa. Gak akan pernah bisa. ( Suara parau)
Malam itu, ketiga temannya menemani Mihrimah yang curhat hingga subuh. Mereka ber-empat menangis bersama dalam keheningan malam yang sudah terlalu larut itu. Tapi, apapun yang ketiga temannya itu sarankan kepada Mihrimah, selalu berujung kepada keputusan Mihrimah yang enggan menyudahi sengsaranya tinggal dengan ayahnya itu. Hari semakin larut, jam sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB. Setelah berpamitan dan bersepakat untuk meluangkan waktu bersama besok di tempat biasa mereka bertemu, mereka menyudahi obrolan di grup Whatsapp itu, mereka semua pun beristirahat.
Mihrimah menarik selimutnya, "Pasti besok bengkak." Katanya sambil meraba kedua matanya yang sembab akibat menangis. Suara kipas angin terdengar berderit-derit karena sudah lama sekali usianya. Hembusan angin dari kipas sesekali menyejukkan ruang kamarnya yang sudah gelap karena lampu di matikan. Dia berharap dia bisa tidur dengan sangat nyenyak malam ini. Dia juga berharap ayahnya tidak usah pulang malam ini, biar saja menginap di luar seperti malam-malam sebelumnya agar dia bisa tenang dan nyaman di rumah.
Belum berapa menit memejamkan mata, Mihrimah kembali membuka matanya, dia sudah tidak bisa tidur lagi, sudah insomnia. Malam itu dia habiskan jam demi jam dengan merenung saja sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Kenapa nasibku begini, Tuhan." Bisiknya dalam hati. Dia menahan diri agar tidak lagi menangis karena sudah terlalu banyak menangis. Hanya neneknya lah yang dia perlukan saat ini, tapi kini nenek sudah tidak ada. Biasanya, setiap kali habis di bentak ayahnya, neneknya akan memeluknya dan menasehatinya untuk selalu bersabar dalam hal apapun. Pikirannya kini membuat hati Mihrimah tambah sakit, karena semakin dia memikirkan tentang neneknya yang sudah tiada, dia akan semakin menyadari kalau dia saat ini sudah sendirian, tidak ada nenek lagi sebagai tempatnya bersandar, ya... Dia kesepian.
Kring... Kring... !
Baru saja rasanya Mihrimah memejamkan mata, dering alaram di ponselnya sudah berbunyi.
"Hoaaahemmm..." Dia mengucek kedua matanya berulang kali, masih ngantuk.
Langkahnya sempoyongan menuju kamar mandi, dia kurang tidur ! Tapi, terpaksa harus segera bersiap untuk berangkat kerja.
Dengan lesu, Mihrimah sudah menunggu angkot yang biasa dia tumpangi setiap pagi. Angkot itu memang rutin lewat tidak di sekitar rumahnya.
"Lesu amat, non?" Supir angkot yang sudah biasa Mihrimah tumpangi menyapa ketika dia naik.
"Kurang tidur, kek." Jawab Mihrimah yang biasa memanggil beliau dengan sapaan Kakek Basri karena usianya yang sudah kepala 6. Kakek Basri masih setia bekerja meskipun kadang sudah batuk-batuk saat menyupir. Kata kakek, dia sudah konsul beberapa kali ke puskesmas, tapi selalu saja kumat lagi.
"Jangan terlalu capek, non, masih muda. Istirahatlah yang cukup ya." Ujar kakek Basri ketika arah mobil angkotnya mulai dekat dengan tempat tujuan Mihrimah. Mihrimah mengangguk, tanda kalau dia mendengarkan nasehat beliau yang selalu di anggapnya sebagai kakek sendiri.
"Ini kek..." Kata Mihrimah dari luar kaca mobil setelah turun dari angkot.
"Simpan aja, buat jajan. " Ucap kakek Basri yang seperti biasa selalu menolak meski sudah berkali-kali Mihrimah paksa untuk mengambil uangnya. Mobil kakek pun lekas berlalu meninggalkan Mihrimah, biasanya kalau sudah begitu Mihrimah hanya bisa tersenyum saja. Dia tahu, kakek Basri benar-benar peduli dengannya meski mereka tidak punya hubungan keluarga. Perlakuan kakek padanya membuat dia sedikit terhibur karena setidaknya masih ada juga sosok orangtua yang care dengannya tidak seperti ayahnya.
Seisi kantor sudah sibuk, hari ini Mihrimah datang belakangan.
"Anak baru, jangan biasakan datang belakangan!" Tegur seorang senior yang memang di juluki si 'bawel' di kantor itu. Mihrimah sengaja tidak menjawab, dia hanya mengangguk saja supaya seniornya itu lekas pergi dari mejanya. Lagian dia merasa tidak terlambat, kecuali sudah terlambat.
Beberapa costumer sudah mengambil antrian, lalu menulis tujuan dan alamat paket akan di kirim di tiket kecil yang tersedia di depan meja pelayanan.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu." Sapa Mihrimah ramah, dia pun kemudian sudah tenggelam dalam kesibukan melayani pelanggan yang sudah dipanggil sesuai dengan nomor urut.
"Makan dulu, Ma, Istirahat." Ucap Zeyn ramah, Zeyn adalah teman sekantornya di bagian gudang belakang yang bertugas sebagai supervisor. Zeyn memang beberapa hari terkahir, sejak Mihrimah masuk menjadi pegawai baru di situ, secara intens mulai mendekatinya.
"Aah? Iya." Jawab Mihrimah sedikit gugup. Zeyn selalu membuat Mihrimah berdebar, dia sangat tampan dan ramah kepadanya. Kadang Zeyn bela-belain ke kantor depan meskipun tempat kerjanya di bagian belakang hanya untuk bertegur sapa dengannya, dan seringkali membelikannya ice cofee yang harganya lumayan mahal.
"Ini, minum." Kata Zeyn sambil menyodorkan satu cup ice cofee, seperti biasa. Mihrimah langsung senyum tidak enak hati.
"Jangan setiap hari, lah, Zeyn. Gak usah repot-repot." Kata Mihrimah segan.
"Lahh...kalau di kamu nya di ajak keluar ngopi bareng gak bisa. Iya, kan?" Goda Zeyn. Mihrimah memang banyak alasan tiap kali Zeyn mengajaknya pergi berdua. Padahal sudah berulang kali Zeyn memberikan sinyal kalau dia ingin mengajak Mihrimah berkencan.
Ya... Dia memang tengah gencar mendekati Mihrimah. Bagaimana tidak? Mihrimah sangat manis dan lembut. Wajahnya juga menarik meski tubuhnya cenderung kurus. Kulitnya putih, dan rambutnya yang pendek sangat cocok dengan bentuk wajahnya. Cara berpakaian Mihrimah juga sopan dan sederhana, memang dirinyalah tipe ideal bagi Zeyn. Zeyn sendiri juga merupakan pria sebaya Mihrimah, dia tampan dan bersemangat.
Zeyn juga tidak neko-neko dalam berpenampilan, namun bisa mencuri perhatian banyak gadis di kantor itu. Hanya saja satu yang menjadi kekurangan Zeyn, dia pemilih sehingga sulit punya pacar. Tapi begitu melihat sosok Mihrimah yang baru masuk di tempatnya bekerja, dia langsung jatuh hati.
Zeyn sudah duduk di sebelah Mihrimah. Beberapa teman-teman lain melirik kebersamaan mereka. Beberapa nampak cuek namun kebanyakan tidak senang karena berpikir kalau Mihrimah masih anak baru tapi sudah genit di kantor, atau Mihrimah pasti tebar pesona sehingga Zeyn si populer di perusahaan itu bisa naksir padanya. Tapi Zeyn cuek saja, dia merasa tidak perlu ragu mendekati Mihrimah si anak baru. Karena dia suka! Tinggalah Mihrimah yang dengan tidak enak hati merasa jika kehadirannya kini semakin tidak di senangi di situ karena Zeyn mendekatinya.
"Ayolah, sesekali kita jalan." Ajak Zeyn sesaat sebelum kembali ke gudang belakang sebagai pengawas. Wajah Zeyn yang tampan penuh harap. Mihrimah masih tidak menjawab.
"Nantilah, aku kabari." Balas Mihrimah dengan senyum yang sedikit di paksakan.
"GENIT !" Ucap beberapa rekan sekantornya yang sirik sesaat setelah Zeyn pergi. Hati Mihrimah sakit, namun ditahannya. Dia fokus pada tugasnya, dia tidak ingin lagi bermasalah di tempat kerjanya yang baru ini. Dia ingin mencari uang sebanyak-banyaknya, agar bisa lekas keluar dari kesulitan hidupnya.
Detik demi detik jam berputar, antrian terakhir pelanggan sudah selesai. Tinggalah merekap semua data yang ada. Dia mengerjakan semua tugasnya hari itu dengan sempurna. Tidak ada kesalahan.
"Hari yang hebat!" Pujinya pada diri sendiri. Mihrimah sudah bersiap akan pulang. Langit sudah mulai berganti senja, warna putih terang di langit perlahan memudar memantulkan cahaya orange yang indah.
"Aku antar, yuk." Ajak Zeyn sembari membantu Mihrimah yang sedikit berkemas di mejanya.
"Apa gak ngerepotin?" Tanya Mihrimah ragu-ragu. Zeyn menggeleng, dia justru akan bahagia jika wanita di depannya ini mau di bonceng pulang dengannya.
Suasana kantor sudah mulai sepi, Mihrimah sekali lagi melirik sekitarnya untuk memastikan kalau percakapan mereka tidak di dengar siapapun.
"Gimana? Ayo pulang bareng." Ajak Zeyn sekali lagi. Mihrimah akhirnya berani mengangguk. Kebetulan dia sudah sering di tawari untuk pulang bareng oleh Zeyn. Tapi selalu dia tolak, Biarlah untuk kali ini saja, begitu pikir Mihrimah dalam batinnya.
Mereka berdua pun turun ke lantai dasar menaiki tangga belakang, sengaja tidak lewat lift karena biasanya lift selalu ramai yang mengawasi. Sepanjang perjalanan ke parkiran motor, Zeyn senyum-senyum kegirangan. Pada akhirnya impiannya tercapai, Mihrimah akhirnya mau pulang bersamanya, sebuah kemajuan yang patut dibanggakan olehnya! Ini merupakan suatu penanda bagi dia, kalau dia bisa segera masuk ke dalam hidup Mihrimah. Asyik !
"Naiklah." Kata Zeyn sesaat setelah mesin motornya menyala. Dia tersenyum manis sekali, Mihrimah sampai pangling melihat senyum Zeyn yang merekah lebar sekali.
Angin malam melewati tubuh mereka berdua di atas motor, sesekali Zeyn seperti sengaja melambatkan laju motornya agar lebih lama bisa bersama dengan Mihrimah di atas motor. Ahh, lagian kapan lagi? Begitu batinnya berbisik. Sementara di boncengan belakang, Mihrimah masih deg-degan karena untuk pertama kalinya dia pulang diantar pria, dan itu adalah Zeyn, lelaki terganteng di tempatnya bekerja.
Mihrimah tidak banyak berandai-andai, meski dia tahu kalau Zeyn selalu mencari peluang untuk mendekati dirinya. Dalam hati kecilnya, dia minder, kalau-kalau Zeyn nantinya akan berpikir jelek tentang background keluarganya yang amburadul. Terlebih lagi dengan tabiat ayahnya, sangat tidak layak ! Begitu isi hatinya yang berulang kali berteriak di dalam, membuatnya lekas untuk sadar diri.
"Makasih banyak, ya Zeyn... Makasih." Mihrimah yang sudah tiba di rumah bolak-balik mengucapkan terima kasih. Zeyn menyunggingkan senyum manisnya, heran dengan sikap formal Mihrimah kepadanya.
"Iya iya, mau sampai berapa kali Rima ucapin makasih? Nanti sekali lagi dapat bonus pelukan loh..." Goda Zeyn yang langsung membuat Mihrimah menunduk malu.
"Masuklah." Ucap Zeyn yang belum mau pergi sebelum memastikan Mihrimah masuk ke dalam rumah. Mihrimah terpesona dengan sikap dan pribadi Zeyn yang gentelmen.
"Iya." Jawab Mihrimah singkat. Dia pun masuk ke dalam rumah, baru sampai di depan pintu, ponselnya berdering. Panggilan dari Wina.
"KEMANA SIH? KITA HARI INI KAN JANJIAN BEREMPAT. NAH, LO MANA?" Suara Wina mengeras, siap untuk marah.
"ADUHHHH. Lupa gue !" Mihrimah langsung menepuk keningnya. Dia benar-benar lupa kalau hari ini seharusnya sepulang kerja dia ada janji dengan teman-temannya di Kafe Delisha tempat mereka nongkrong.
TUT...TUT...TUT...!
Telpon sengaja di putuskan. Sudah pasti Wina dan teman-teman lain marah. Dia melirik jam tangannya. Sudah pukul 19.00 WIB, padahal mereka janjinya pukul 18.00 WIB, sudah lewat sejam yang lalu.
"Kenapa Ma?" Tanya Zeyn yang masih di situ.
"Emmm anu... Bisa anterin aku lagi?" Balas Mihrimah ragu-ragu.
"Kemana?" Tanya Zeyn lagi.
"Ketemu teman-temanku." Jawab Mihrimah.
Zeyn mengangguk, langsung setuju. Kini rasa bahagianya bertambah, setelah berhasil untuk pertama kalinya mengantarkan Mihrimah kerumah, kini dia akan mengantarkan wanita incarannya itu untuk bertemu dengan teman-temannya. Ini kesempatan! Begitu pikir Zeyn.
Tanpa berlama-lama, Zeyn langsung menyalakan mesin motornya, Mihrimah langsung kembali naik ke atas motor dan bersama dengan Zeyn menuju ke kafe Delisha.
Sekitar dua puluh lima menit, mereka sudah tiba di kafe itu. Mihrimah melepas helm di kepalanya dan langsung masuk ke dalam kafe, sementara Zeyn menyusul dari belakang.
Pandangan Wina, Evi dan Pinkan sontak tertuju kepada Mihrimah yang datang terburu-buru bersama seorang pria. Mereka merasa surprised karena untuk pertama kalinya bisa melihat Mihrimah datang dengan seseorang.
"Siapa?" Tanya Pingkan mengawali percakapan setelah Mihrimah dan Zeyn tiba di meja mereka.
"Teman kantor." Jawab Mihrimah agak canggung.
"Kenalin, gue Zeyn." Kata Zeyn sambil mengulurkan tangannya. Teman-teman Mihrimah sampai salah tingkah menatap ketampanan wajah Zeyn.
"Aaaa.. Gue Wina." Wina duluan menyambut uluran tangan Zeyn. Kemudian di susul oleh Pingkan lalu Evi. Mereka bertiga sampai pangling saat Zeyn tersenyum dengan ramahnya.
"Mohon maaf sebelumnya kalau mendadak ikutan nimbrung di sini. Tadi Mihrimah minta di anter pas banget gue yang nganterin dia pulang kerumah." Kata Zeyn.
"Ahhh...gak apa. Kita malah senang.sering-sering aja..." Balas Evi kegenitan. Yang lain juga tidak mau kalah, sibuk ikut mencari perhatian Zeyn.
"Sssttt... Ehh maaf ya Zeyn... Teman-temanku ini rada- rada." Ucap Mihrimah yang tidak enak hati dengan tingkah teman-temannya yang mulai kecentilan semua. Zeyn membalas senyum,
" Tidak apa-apa." Balasnya kemudian.
Mereka memesan makanan dan minuman lalu larut dalam percakapan. Ketiga teman Mihrimah itu senang karena Zeyn ada di tengah-tengah mereka. Suasana jadi serba asik dan tidak membosankan. Apalagi Zeyn selalu mampu membawa suasana menjadi lebih enjoy.
"Besok-besok ikut lagi, Ya Zeyn." Ucap Pingkan kegirangan. Zeyn mengangguk setuju, dia juga senang.
" Husssh... Sibuk dia. Lagian Ada-ada aja." Celetuk Mihrimah.
"Ah... Gak juga. Boleh kok kalau memang di harapkan kehadiran gue." Jawab Zeyn yang juga tidak mau kalah kesempatan agar bisa ikut nimbrung lagi nantinya. Itu akhirnya dia bakal semakin dekat dengan Mihrimah. Dia ingin bisa masuk ke dalam hidup Mihrimah, bukan hanya sebagai teman di lingkungan kerja tapi lebih dari itu. Dia ingin memiliki Mihrimah. Dia ingin Mihrimah jadi miliknya, titik.
Hari mulai semakin malam. Setelah memutuskan untuk pulang, mereka segera meninggalkan kafe.
"Anterin teman kita sampai rumah ya Zeyn. Hati-hati." Pesan Evi sesaat sebelum mereka bertiga pulang duluan naik mobil. Zeyn mengangguk, mobil mereka pun melaju meninggalkan halaman kafe.
"Yuk." Ajak Zeyn. Mihrimah mengikuti langkah Zeyn ke parkiran motor. Tiba-tiba ada rasa hangat di hati Mihrimah, perasaan yang dia sendiri tidak tahu apa. Hanya saja, mendadak dia senang bisa kenal Zeyn. Dia mulai merasa suka pada Zeyn, tapi dia berusaha bersikap biasa saja untuk menyembunyikan perasaannya.
Mihrimah menatap punggung Zeyn dari belakang. Begitu bidang dan gagah. Dia masih bertanya-tanya, apakah benar Zeyn tidak akan menjauhinya saat tahu kalau keluarganya kacau balau? Apalagi kalau sampai tahu bagaimana ayah kandungnya bersikap selama ini.
Tidak terasa kini mereka sudah sampai lagi di depan rumah Mihrimah.
"Makasih sekali lagi, ya Zeyn. Aku ngerepotin, ya?" Tanya Mihrimah setelah turun dari motor. Zeyn dengan cepat menggeleng.
"Aku senang akhirnya bisa mengantarmu. Setelah ini, aku pasti mimpi indah, Rima." Kata Zeyn dengan nada suara yang lembut dan dalam. Padangan mata mereka beradu, jantung mereka sama-sama berdebar-debar. Seperti saling bersahutan di dalam sana.
"Aaaa.. Aku masuk dulu." Ucap Mihrimah yang langsung membuyarkan suasana.
"Aaa.. Iya, masuklah." Balas Zeyn ikut salah tingkah.
Mihrimah masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu setelah melambaikan tangan ke arah Zeyn. Suara motor Zeyn sudah terdengar jauh. Mihrimah memegang dadanya yang masih berdegup kencang. Dia tidak tahu kenapa kini Zeyn bisa membuatnya jadi salah tingkah.
"Apa Aku suka Zeyn?" Begitu bisik Mihrimah kepada dirinya sendiri. Ponselnya bergetar, sebuah pesan Whatsapp masuk.
Poto mereka tadi sudah ada di dalam grup pertemanan. Mihrimah memandang poto dirinya yang duduk di sebelah Zeyn.
"Dia memang tampan." Ucap Mihrimah spontan.
"Ahhh kenapa sih dia selalu di pikiranku!" Tegur Mihrimah kepada dirinya sendiri.
Hari semakin larut, di tempat lain Zeyn sudah masuk ke dalam rumahnya.
"Kemana aja sih? Dari tadi aku tungguin." Seorang wanita mengejutkan Zeyn yang muncul setelah lampu di nyalakan.
"Aahhh TERKEJUT GUE!" Balas Zeyn sambil mengelus dadanya.
"Dari mana?? Jawab!" Tanya wanita itu lagi. Zeyn menggeleng, cuek saja lalu pergi malas untuk meladeninya.
"Keterlaluan ya! Malah pergi lagi..." Protes wanita itu menggerutu.
"Kita udah putus, ingat. Balikin kunci rumah ini, dan pulang!" Perintah Zeyn yang langkahnya di tahan oleh wanita itu. Sontak si wanita langsung berteriak-teriak tidak terima untuk mencari simpati Zeyn lagi. Zeyn tidak menggubris, karena kelakuan mantannya itu memang seperti itu, dia seperti sudah terbiasa. Zeyn langsung masuk kamar dan mengunci pintu kamarnya.
BRAKKKKK !
Terdengar suara pintu depan di banting sangat keras. Elma sudah pergi. Ya, gadis seksi bernama Elma Lunara yang sudah resmi menjadi mantan Zeyn beberapa bulan lalu. Namun, Elma mantannya itu masih tidak bisa terima kalau hubungan mereka berakhir. Hubungan mereka sudah terlalu jauh, bahkan Elma sudah memegang kunci rumah Zeyn. Dia bisa bebas masuk dan keluar dari situ. Itu karena dia sering menginap di rumah Zeyn dan menghabiskan malamnya berdua dengan Zeyn. Lalu kenapa mereka putus? Ya... Zeyn bosan. Cuma itu satu-satunya alasan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!