Turun Ranjang
"Sudahlah Alina, ikhlaskan kepergian kakakmu! Sekarang ia sudah tenang di sana. Tak perlu lagi merasakan sakit yang begitu menyiksanya. Kamu harus kuat nak," pinta wanita yang melahirkannya itu dengan raut wajah sendu yang hanya di tanggapi dengan isak tangis dari bibir Alina yang bergetar.
Tubuh tua itu sedikit membungkuk sembari memegang payung hitam untuk menjaga tubuh putrinya agar tidak basah kuyup. Sejak mengetahui putri sulungnya sakit, Riana sudah mempersiapkan hati dan pikirannya untuk menghadapi hari ini. Hari di mana sebagian kepingan hatinya hilang dari dirinya.
Hujan yang turun terus membasahi bumi tiada henti, seolah-olah langit ikut merasakan kesedihan yang Alina rasakan. Masih dengan derai air mata yang belum dapat dibendung Alina masih duduk terpaku memeluk batu nisan wanita yang paling ia sayang.
Amara Ayudia nama yang terukir indah di batu nisan tersebut. Nama seorang wanita yang selalu ada di saat dirinya ingin berbagi keluh kesah, canda serta tawa.
Sekali-sekali Alina menyeka air mata yang terus berjatuhan tanpa bisa ia cegah, bercampur dengan air hujan yang menutupi matanya. Sesak di dadanya tak dapat dia gambarkan, begitu menyiksa.
Alina tahu bukan hanya dia yang paling kehilangan dan terpukul atas kepergian Amara. Tapi mamanya juga, namun malaikat tak bersayap Alina itu begitu tegar dan berusaha menghiburnya yang sedang rapuh.
"Ayo nak kita pulang, hari sudah semakin sore!" ucap Riana kembali membujuk putri bungsunya.
Salah satu tangan keriput itu membantunya serta menuntun untuk keluar area pemakaman tersebut. Sepertinya kesedihan membuat Alina tidak menyadari keadaan di sekitarnya.
Alina menatap sekeliling area pemakaman yang sedang ia lalui yang sudah benar-benar sunyi. Hanya ada dirinya, Riana dan seorang lelaki yang sedari tadi terpaku diam seribu bahasa tanpa ekspresi.
Alina melirik lelaki yang berjalan pelan di sampingnya sembari memegang payung.
"Kenapa dari tadi lelaki itu hanya diam saja? Apa ia tidak merasa sedih sedikit pun? Kenapa ekspresi wajahnya datar-datar saja?" batinnya.
Sedikit terpercik rasa benci pada pria itu di sudut hatinya. Tak bisakah ia sedikit saja bersikap sedih atas kepergian seseorang yang begitu dekat dengannya? Apa hatinya terbuat dari batu? Atau memang ia tak punya perasaan?
Begitu banyak pertanyaan yang timbul di kepala Alina, karena banyaknya pergulatan batin di jiwa Alina membuat ia merasakan pusing yang mendera hebat. Tubuh lemah itupun mulai limbung.
Adrian menangkap tubuh gadis itu cepat, payung yang ia pegang terjatuh ke tanah begitu saja menampung rintik hujan yang turun.
"Alina! Kamu tidak apa-apa? Alina!" panggil Adrian panik begitu pun dengan mamanya.
Suara-suara itu mulai sayup-sayup terdengar di telinganya. Alina hanya diam tubuhnya seakan tak bertenaga sampai ia merasakan tubuhnya mulai terangkat ke udara, sebelum kesadaran ia benar-benar hilang sepenuhnya.
Kehilangan seseorang yang sangat disayang untuk selama-lamanya itu lebih menyakitkan dari apa pun di dunia ini. Bahkan untuk beberapa hari seseorang mungkin akan seperti orang bodoh yang selalu membohongi dirinya sendiri bahwa sosok yang telah pergi itu masih ada dan selalu ada di sana menemaninya. Menikmati ilusi layaknya orang gila.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar nak."
Riana bernapas lega melihat putrinya membuka mata dan mendapatkan kembali kesadarannya. Bola mata dengan bulu yang lentik itu memandangi langit-langit kamarnya yang berwarna putih dengan taburan bintang buatan yang berwarna terang saat gelap.
Alina menolehkan wajah ke kanan, menatap wajah dari pemilik tangan yang mengusap pipiku lembut.
"Alhamdulillah kamu baik-baik saja sayang, kamu membuat kami semua sangat khawatir nak," ujar Riana senang.
Riana selalu menujukkan ketegaran, walau sesungguhnya hati Rianalah yang sedang begitu hancur saat ini. Kehilangan satu putri sudah cukup membuat Riana terpukul, ia tak ingin terjadi sesuatu lagi pada putrinya yang satu lagi.
"Maafkan Alina Ma, sudah bikin Mama dan Papa khawatir," lirih Alina pelan. Ia mengalihkan pandangan matanya pada sosok lelaki paruh baya yang berdiri di samping lelaki yang menggendongnya tadi.
Seketika senyum tipis di bibir Alina meredup. Di antar semua orang yang ada di dalam ruangan itu, hanya lelaki yang berdiri menatapnya kini yang tidak menunjukkan sedikit pun kesedihan atas kematian istrinya. Dan itu membuat Alina benci.
"Sudah tidak apa-apa nak, sekarang kamu makan malam dulu ya, nak. Sudah dari pagi kamu belum makan apa-apa, Mama gak mau kamu jatuh sakit sayang," ucapan Riana mengalihkan atensi Alina.
Riana menyuapkan sesendok nasi dengan sayur sop daging sapi yang merupakan makanan kesukaan Alina. Hanya saja kali ini makanan itu tidak cukup menggugah selera Alina.
"Kenapa? Makanlah walau cuma beberapa suap," bujuk Riana saat ia mengerti keterdiaman putrinya karena enggan menerima makanan yang ada di tangannya itu.
"Makanlah, walau sedikit Sayang. Mama mohon!"
Alina tak mampu lagi menolak melihat wajah wanita itu kembali sendu. Ia membuka mulutnya untuk menerima suapan yang Riana berikan. Alina mengunyah dengan kecepatan paling lambat, makanan itu seakan tak ingin lolos ke dalam kerongkongannya.
"Sudah Ma, aku sudah gak sanggup lagi. Perutku akan sakit jika di paksakan" ujar Alina lirih setelah menerima dua suap nasi ke dalam mulutnya.
Riana hanya mampu menghela napas. Apa yang bisa ia lakukan? Ia tak mampu memaksakan kehendaknya pada Alina jika kenyataannya ia pun merasakan apa yang Alina rasakan saat ini. Makanan yang nikmat itu justru seperti batu-batu kecil yang masuk ke dalam kerongkongan. sakit dan menyiksa.
"Ya sudah kalau gitu, Mama letakkan ini ke belakang dulu ya. Kamu istirahat saja dulu ya nak!"
Alina mengangguk. "Ma, Mama juga istirahat ya! Biarin saja bibi yang mengerjakan semua nya. Aku juga gak mau Mama sakit," ujar Alina sebelum Riana beranjak dari hadapannya. Ia menatap penuh ketulusan kepada Riana berharap Mamanya itu mengerti kekhawatirannya.
Riana menganggukkan kepala seraya tersenyum tipis pada putrinya itu. Hanya mereka berdua lagi wanita yang tersisa dalam keluarga itu, sebagai Ibu dan anak, mereka berdua harus saling menguatkan satu sama lainnya. Riana berdiri dari duduknya menghampiri suaminya untuk mengajak suaminya itu untuk keluar.
Adrian pun melakukan hal yang sama. Mengikuti langkah kaki kedua mertuanya itu untuk meninggalkan kamar.
Sekarang tinggal Alina sendiri yang kembali menatap langit-langit kamarnya yang bercat dasar warna putih dan di di taburi gambar bintang berwarna biru dengan berbagai ukuran.
"Menikah? Haruskah aku menikah dengan laki-laki yang pernah menjadi kakak iparku. Lalu bagaimana dengan Mas Andra kekasih hatiku? Apa yang harus kukatakan padanya nanti. Ahh ... kenapa Mbak Amara justru meminta sesuatu yang sangat sulit kupenuhi di akhir usianya?"
Alina memejamkan mata mencoba melupakan sejenak beban pikirannya saat ini. Permintaan terakhir Amara sungguh mengganggu pikirannya. Ia kembali terkenang di saat Amara membuatnya terbebani dengan permintaannya yang terdengar konyol di telinganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Susi Susiyati
mampir kak
2023-07-23
0
rinny
sambil nunggu up-nya banyak AQ masukan favorit dulu ya kakak.
2023-04-28
1
Uthie
Baru coba fokus mampir nya 👍🤭🙏🙏
2023-04-17
0