NovelToon NovelToon

Turun Ranjang

Bab 1. Awan hitam

"Sudahlah Alina, ikhlaskan kepergian kakakmu! Sekarang ia sudah tenang di sana. Tak perlu lagi merasakan sakit yang begitu menyiksanya. Kamu harus kuat nak," pinta wanita yang melahirkannya itu dengan raut wajah sendu yang hanya di tanggapi dengan isak tangis dari bibir Alina yang bergetar.

Tubuh tua itu sedikit membungkuk sembari memegang payung hitam untuk menjaga tubuh putrinya agar tidak basah kuyup. Sejak mengetahui putri sulungnya sakit, Riana sudah mempersiapkan hati dan pikirannya untuk menghadapi hari ini. Hari di mana sebagian kepingan hatinya hilang dari dirinya.

Hujan yang turun terus membasahi bumi tiada henti, seolah-olah langit ikut merasakan kesedihan yang Alina rasakan. Masih dengan derai air mata yang belum dapat dibendung Alina masih duduk terpaku memeluk batu nisan wanita yang paling ia sayang.

Amara Ayudia nama yang terukir indah di batu nisan tersebut. Nama seorang wanita yang selalu ada di saat dirinya ingin berbagi keluh kesah, canda serta tawa.

Sekali-sekali Alina menyeka air mata yang terus berjatuhan tanpa bisa ia cegah, bercampur dengan air hujan yang menutupi matanya. Sesak di dadanya tak dapat dia gambarkan, begitu menyiksa.

Alina tahu bukan hanya dia yang paling kehilangan dan terpukul atas kepergian Amara. Tapi mamanya juga, namun malaikat tak bersayap Alina itu begitu tegar dan berusaha menghiburnya yang sedang rapuh.

"Ayo nak kita pulang, hari sudah semakin sore!" ucap Riana kembali membujuk putri bungsunya.

Salah satu tangan keriput itu membantunya serta menuntun untuk keluar area pemakaman tersebut. Sepertinya kesedihan membuat Alina tidak menyadari keadaan di sekitarnya.

Alina menatap sekeliling area pemakaman yang sedang ia lalui yang sudah benar-benar sunyi. Hanya ada dirinya, Riana dan seorang lelaki yang sedari tadi terpaku diam seribu bahasa tanpa ekspresi.

Alina melirik lelaki yang berjalan pelan di sampingnya sembari memegang payung.

"Kenapa dari tadi lelaki itu hanya diam saja? Apa ia tidak merasa sedih sedikit pun? Kenapa ekspresi wajahnya datar-datar saja?" batinnya.

Sedikit terpercik rasa benci pada pria itu di sudut hatinya. Tak bisakah ia sedikit saja bersikap sedih atas kepergian seseorang yang begitu dekat dengannya? Apa hatinya terbuat dari batu? Atau memang ia tak punya perasaan?

Begitu banyak pertanyaan yang timbul di kepala Alina, karena banyaknya pergulatan batin di jiwa Alina membuat ia merasakan pusing yang mendera hebat. Tubuh lemah itupun mulai limbung.

Adrian menangkap tubuh gadis itu cepat, payung yang ia pegang terjatuh ke tanah begitu saja menampung rintik hujan yang turun.

"Alina! Kamu tidak apa-apa? Alina!" panggil Adrian panik begitu pun dengan mamanya.

Suara-suara itu mulai sayup-sayup terdengar di telinganya. Alina hanya diam tubuhnya seakan tak bertenaga sampai ia merasakan tubuhnya mulai terangkat ke udara, sebelum kesadaran ia benar-benar hilang sepenuhnya.

Kehilangan seseorang yang sangat disayang untuk selama-lamanya itu lebih menyakitkan dari apa pun di dunia ini. Bahkan untuk beberapa hari seseorang mungkin akan seperti orang bodoh yang selalu membohongi dirinya sendiri bahwa sosok yang telah pergi itu masih ada dan selalu ada di sana menemaninya. Menikmati ilusi layaknya orang gila.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar nak."

Riana bernapas lega melihat putrinya membuka mata dan mendapatkan kembali kesadarannya. Bola mata dengan bulu yang lentik itu memandangi langit-langit kamarnya yang berwarna putih dengan taburan bintang buatan yang berwarna terang saat gelap.

Alina menolehkan wajah ke kanan, menatap wajah dari pemilik tangan yang mengusap pipiku lembut.

"Alhamdulillah kamu baik-baik saja sayang, kamu membuat kami semua sangat khawatir nak," ujar Riana senang.

Riana selalu menujukkan ketegaran, walau sesungguhnya hati Rianalah yang sedang begitu hancur saat ini. Kehilangan satu putri sudah cukup membuat Riana terpukul, ia tak ingin terjadi sesuatu lagi pada putrinya yang satu lagi.

"Maafkan Alina Ma, sudah bikin Mama dan Papa khawatir," lirih Alina pelan. Ia mengalihkan pandangan matanya pada sosok lelaki paruh baya yang berdiri di samping lelaki yang menggendongnya tadi.

Seketika senyum tipis di bibir Alina meredup. Di antar semua orang yang ada di dalam ruangan itu, hanya lelaki yang berdiri menatapnya kini yang tidak menunjukkan sedikit pun kesedihan atas kematian istrinya. Dan itu membuat Alina benci.

"Sudah tidak apa-apa nak, sekarang kamu makan malam dulu ya, nak. Sudah dari pagi kamu belum makan apa-apa, Mama gak mau kamu jatuh sakit sayang," ucapan Riana mengalihkan atensi Alina.

Riana menyuapkan sesendok nasi dengan sayur sop daging sapi yang merupakan makanan kesukaan Alina. Hanya saja kali ini makanan itu tidak cukup menggugah selera Alina.

"Kenapa? Makanlah walau cuma beberapa suap," bujuk Riana saat ia mengerti keterdiaman putrinya karena enggan menerima makanan yang ada di tangannya itu.

"Makanlah, walau sedikit Sayang. Mama mohon!"

Alina tak mampu lagi menolak melihat wajah wanita itu kembali sendu. Ia membuka mulutnya untuk menerima suapan yang Riana berikan. Alina mengunyah dengan kecepatan paling lambat, makanan itu seakan tak ingin lolos ke dalam kerongkongannya.

"Sudah Ma, aku sudah gak sanggup lagi. Perutku akan sakit jika di paksakan" ujar Alina lirih setelah menerima dua suap nasi ke dalam mulutnya.

Riana hanya mampu menghela napas. Apa yang bisa ia lakukan? Ia tak mampu memaksakan kehendaknya pada Alina jika kenyataannya ia pun merasakan apa yang Alina rasakan saat ini. Makanan yang nikmat itu justru seperti batu-batu kecil yang masuk ke dalam kerongkongan. sakit dan menyiksa.

"Ya sudah kalau gitu, Mama letakkan ini ke belakang dulu ya. Kamu istirahat saja dulu ya nak!"

Alina mengangguk. "Ma, Mama juga istirahat ya! Biarin saja bibi yang mengerjakan semua nya. Aku juga gak mau Mama sakit," ujar Alina sebelum Riana beranjak dari hadapannya. Ia menatap penuh ketulusan kepada Riana berharap Mamanya itu mengerti kekhawatirannya.

Riana menganggukkan kepala seraya tersenyum tipis pada putrinya itu. Hanya mereka berdua lagi wanita yang tersisa dalam keluarga itu, sebagai Ibu dan anak, mereka berdua harus saling menguatkan satu sama lainnya. Riana berdiri dari duduknya menghampiri suaminya untuk mengajak suaminya itu untuk keluar.

Adrian pun melakukan hal yang sama. Mengikuti langkah kaki kedua mertuanya itu untuk meninggalkan kamar.

Sekarang tinggal Alina sendiri yang kembali menatap langit-langit kamarnya yang bercat dasar warna putih dan di di taburi gambar bintang berwarna biru dengan berbagai ukuran.

"Menikah? Haruskah aku menikah dengan laki-laki yang pernah menjadi kakak iparku. Lalu bagaimana dengan Mas Andra kekasih hatiku? Apa yang harus kukatakan padanya nanti. Ahh ... kenapa Mbak Amara justru meminta sesuatu yang sangat sulit kupenuhi di akhir usianya?"

Alina memejamkan mata mencoba melupakan sejenak beban pikirannya saat ini. Permintaan terakhir Amara sungguh mengganggu pikirannya. Ia kembali terkenang di saat Amara membuatnya terbebani dengan permintaannya yang terdengar konyol di telinganya.

Bab 2. Permintaan terakhir

"Alina!" panggil Amara kala itu meminta Alina untuk mendekat ke arahnya.

"Ya, aku di sini Mbak," balas Alina lemah, ia seka air matanya. Kristal bening itu terus mengalir tanpa jeda di pipinya seperti muara sungai yang mengalir deras.

Tubuh Amara penuhi alat-alat penunjang kehidupan yang terpasang di tubuhnya. Alina semakin sedih saat matanya tak sengaja kembali menatap monitor yang menunjukkan gelombang nafas Amara yang semakin melemah.

Sesuai permintaan Amara, ruangan rawatnya yang begitu pekat bau obat-obatan itu. Kini dipenuhi oleh semua anggota keluarga. Alina, Mama dan Papanya serta Adrian. lelaki yang dicintainya sepenuh hati.

"Alina waktu Mbak gak banyak lagi, Mbak mohon kamu mau memenuhi permintaan terakhir Mbak. Agar Mbak bisa pergi dengan tenang. Kamu mau, kan, mengabulkan permintaan Mbak?" Tanya Amara dengan suara yang amat lemah. Mata itu kian sayu, napasnya pun sudah mulai tersengal-sengal seakan tak sampai di tenggorokan.

"Nggak, Mbak gak akan kemana-mana. Mbak pasti sembuh," jawab Alina tersedu-sedu sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Mbak mohon Alina, menikahlah dengan Mas Adrian. Jadilah istri yang baik untuknya, agar Mbak bisa pergi dengan tenang. Mbak benar-benar menyesal dengan apa yang telah Mbak lakukan dulu terhadap Mas Adrian. Mbak mohon padamu Alina, menikahlah dengannya. Biar Mbak bisa menebus rasa bersalah ini Alina. M-mbak mo-hon!"

Gelegarrrrr!

Bagaikan disambar petir Alina mendengar perkataan Amara. Badannya terasa melayang. Telapak kaki seolah tidak lagi menginjak bumi. Alina benar-benar tidak menyangka Amara akan meminta hal seperti ini padanya di akhir hidupnya

Amara menggenggam tangan kanan Alina dengan kuat dengan nafas yang semakin terasa sesak. Alina menatap Kakaknya dengan penuh kebimbangan, jika saja yang di pinta Amara dalam bentuk uang ataupun barang sebagai ganti rugi. Mungkin Alina akan dengan mudah mengabulkannya. Tetapi ini memintanya menjadi pengganti istri bagi suaminya setelah dirinya tiada. Ahhh ... itu benar-benar konyol sekali.

Alina menatap laki-laki yang berdiri di samping Kakaknya berada tepat di seberangnya, lalu beralih menatap Amara seraya menggelengkan kepala.

"Mbak mohon Alina, biarkan Mbak pergi dengan tenang" bisik Amara lagi dengan nafas yang semakin lemah. Membuat Alina benar-benar bingung.

"Mbak jangan seperti ini! Biarkan Mas Adrian hidup dengan wanita yang ia cintai. Jangan buat kami terbebani dengan permintaanmu yang berat untuk dikabulkan."

Amara tersenyum tipis mendengar ucapan Alina padanya. Ia meraih tangan adiknya lalu di genggamnya dengan erat.

"Mbak yakin kalian akan bahagia nantinya Alina. berjan-ji-lah pa-da M-mbak, Ali-na!"

Nafas Amara mulai terasa berat hingga ucapannya menjadi terputus-putus. Tatapan matanya yang memohon membuat Alina menjadi serba salah.

"Ya Allah apa yang harus aku lakukan, haruskan aku memenuhi pemintaan terakhirnya? Lalu bagaimana dengan mas Andra kekasihku? Aku sungguh bingung ya Allah," batin Alina bimbang.

Alina melihat kedua orang tuanya. Mama Alina menutup wajahnya yang banjir air mata dengan kedua telapak tangannya. Alina yakin Mama nya berusaha menahan Isak tangisnya agar tidak terdengar. Sedangkan Papa Alina menganggukkan kepalanya dengan pelan seolah ia meminta Alina menyanggupi permintaan Amara.

Alina menyeka air matanya , ditariknya nafas panjang dan dihembuskannya secara perlahan mencoba mengontrol emosi agar air mata itu tidak terjatuh lagi.

"Aku harus tegar!" bisik Alina di dalam hati menyemangati dirinya sendiri.

"Baiklah Mbak, aku akan penuhi permintaan Mbak" ujar Alina akhirnya membuat Amara tersenyum. Seolah merasa lega dari beban yang telah menghimpit hatinya.

"Terima kasih Alina, terima kasih. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Ma! Pa! Maafkan Amara karna belum bisa membahagiakan Mama dan Papa. Maaf! Aku menyayangi kalian semua."

Amara meraih tangan suaminya dan menyatukan jemari tangan itu pada Alina kemudian ia memberikan senyuman termanis yang bisa ia berikan. Mungkin akan menjadi senyuman terakhir darinya.

"Maafkan aku Mas, dan terima kasih atas semua kesabaran yang telah engkau berikan untukku. Aku mencintaimu!"

Amara mulai menutup matanya secara perlahan bersamaan dengan monitor yang menunjukkan garis lurus serta berbunyi nyaring.

Tittttt!

"Amara! Hu hu hu" tangis Bu Riana akhirnya pecah melihat layar monitor yang menunjuk kan garis lurus. Menambah pilu hati Alina melihat Amara telah menghembuskan nafas terakhirnya.

Ia telah tiada! Ia meninggalkan mereka semua untuk selama-lamanya. Setelah berjuang selama 2 tahun melawan leukimia yang di deritanya.

Lamunan Alina buyar bersamaan dengan air mata yang kembali turun. Ia bangun dan menyenderkan punggungnya di sandaran tempat tidur.

Matanya kini kembali sembab, ia menekukkan kedua kakinya untuk menjadi sandaran kepala dengan posisi tangan yang memeluk betis.

"Kamu egois Mbak. Sangat egois!"

~ ~ ~

Tak terasa sudah seminggu kepergian Amara dalam hidup keluarga Pak Priyadi. Semua berkumpul di meja makan saling berhadapan. Di mana Riana berdampingan dengan suaminya, sedangkan Alina dengan Adrian yang terdapat satu bangku kosong di antara mereka berdua. Mereka semua menikmati makanan mereka dengan diam.

Sebagai seorang wanita karier yang terbiasa bersiap-siap ke kantor setiap hari membuat pagi ini dan pagi sebelumnya selama satu minggu belakangan ini terasa berbeda untuk Alina.

"Kenapa hanya makan roti itu saja, Al?" Adrian memulai perbincangan. Alina melirik lelaki itu sekilas.

"Aku terbiasa seperti ini," jawabnya acuh. Sepotong roti gandum tanpa selai, serta setengah gelas susu rendah lemak yang menjadi menu sarapan wanita itu setiap hari. Sementara siang hari gadis itu akan makan dengan porsi yang sedikit, ia juga melewatkan makan malam. Dengan pola makan yang cukup ketat seperti itu membuat tubuhnya terlihat ramping dan terawat.

"Al, tentang rencana pernikahan kalian—"

"Masalah itu jangan kita bahas dulu, ya, Ma. karena lusa aku akan kembali ke luar kota. Aku sudah memikir hal ini dengan baik. Aku belum siap untuk menikah dengan Mas Adrian untuk saat ini. lagi pula, Mbak Amara juga baru saja meninggal," ujar gadis berambut panjang itu memotong ucapan Raina.

Adrian tersentak, begitu dengan Raina. "Kamu mau kembali bekerja, Al. bukankah kamu sudah mengajukan pengunduran diri?"

"Belum, Ma. Aku hanya mengajukan cuti panjang untuk sementara waktu dan bosku pun mengizinkannya. Lagi pula aku juga merasa bosan jika harus berdiam diri di rumah dalam waktu yang lama. Dan aku juga minta maaf sama Papa dan Mama. Mungkin acara tahlilan 40 hari Mbak Amara aku tak bisa datang."

"Apa maksud dari ucapanmu ini, Alina. Apa kamu mau meninggalkan Mama dan Papa sendiri di sini? Apa kamu lupa dengan janjimu dnegan almarhumah Mbakmu?" Raina mulai marah. Ia menatap putrinya tajam membuat Alina menelan ludahnya dengan susah payah.

Sepertinya tak mudah baginya untuk meminta pengertian pada wanita yang telah melahirkannya itu.

"Pokoknya Mama tak setuju kamu berangkat!"

Bab 3. Aku tak ingin menikah!

"Kenapa Mama jadi melarangku begini? Dulu saat aku pergi dari rumah ini, Mama sedikit pun tak peduli. Kenapa sekarang Mama justru keberatan?"

"Dulu dan sekarang berbeda Alina!"

"Apa yang berbeda? Apa karena dulu Mama masih memiliki Amara?" debat Alina. Ia mulai tak tahan dengan apa yang terjadi padanya saat ini. Seakan semua orang ingin menentukan jalan hidupnya dibandingkan dirinya sendiri.

Alina mendapati raut wajah Riana mulai keruh, matanya pun mulai berkaca-kaca. Alina menghela napas, dari dulu ia tak bermaksud menyakiti perasaan mamanya, itu sebabnya ia mengalah dengan pergi merantau seorang diri. Tetapi kali ini berbeda.

Amara yang sejak kecil memiliki tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan mendapatkan perhatian lebih daripada dirinya. Bahkan Alina lupa jika dirinyalah yang anak bungsu di keluarga itu, namun dirinya justru harus mandiri layaknya anak sulung.

"Maafkan aku, tapi aku tak bisa menikah dengan Mas Adrian. Aku mencintai lelaki lain dan kami juga sudah membuat janji untuk menikah tahun ini."

"Tapi Alina, bukannya kamu sudah berjanji dengan Amara. Janji pada orang yang sudah meninggal itu tak bisa diingkari, Nak."

Pak Priyadi membuka suaranya. Ia sebenarnya tak terlalu memaksakan kehendaknya pada putrinya itu, hanya saja ia tak enak hati pada menantu yang sudah begitu baik pada keluarganya.

"Aku tahu, Pa. Tetapi kalian juga lihat sendiri bagaimana posisiku saat itu. Pernikahan bukannya hubungan yang terjalin hanya satu minggu atau sebulan. Tetapi seumur hidup! Bagaimana mungkin kami menikah jika kami tak saling mencintai."

"Aku yakin Mas Adrian juga setuju dengan apa yang aku ucapkan. iya kan Mas?" lanjut Alina meminta pendapat pada lelaki yang hanya diam di sampingnya itu.

"Aku siap untuk menikahimu. Bahkan jika kamu mau, hari ini pun aku sanggup," jawab Adrian membuat Alina tercengang.

"Dasar lelaki. Istrinya baru meninggal dan gundukan tanahnya saja masih basah. Tetapi ia sudah siap untuk menikah lagi. Sebegitu tak sabarnya ia ingin ada teman tidur, kalau begitu kenapa tidak sewa saja para cabe-cabean itu yang pentingkan ia punya uang. Biar tidak ribet hidupnya mendengar omelan istri setiap hari?" cibir Alina di dalam hati.

"Kalau begitu nikahin saja Mbak Seva, janda tanpa anak yang tinggal di ujung komplek. bukannya wanita itu sering ngejar-ngejar, Mas."

Alina mencebikkan bibirnya yang ditanggapi dengan senyuman tipis Adrian. Alina tersentak heran, baru kali ini ia melihat lelaki itu tersenyum. Biasanya sangat susah lelaki itu menarik garis bibirnya membentuk lengkungan walau dalam keadaan ceria sekalipun.

"Alina! jaga ucapanmu. Kamu sadar apa yang kamu katakan, bagaimana Adrian menikah dengan wanita ganjen seperti itu."

"Loh ... apa yang salah, Ma. Mbak Seva ganjen cuma sama Mas Adrian saja, itu pun karena ia memang suka sama Mas Adrian. Mereka juga sama-sama singgel ditinggal pasangan. Jadikan cocok!"

"Tidak, Mama tak setuju. Adrian harus menikah denganmu!" debat Riana. Suasana ruang makan itu mulai memanas.

Alina memicingkan mata memandang mamanya curiga.

"Kenapa Mama yang ngotot dan menentukan Mas Adrian menikah dengan siapa? sebenarnya yang anak Mama dan Papa itu aku atau Mas Adrian?"

"Karena kami orang tuamu. Kami tahu apa yang terbaik untukmu!" ucap Riana tegas.

"Ma ... sudah! Jangan terlalu memaksakan itu pada Alina. Biarkan ia mengambil keputusannya sendiri. Kasih ia waktu!"

Pak Priyadi mencoba memberi pengertian pada istrinya. Tetapi Riana tak sesabar itu, ia tahu betul bagaimana watak putrinya yang pemberontak itu. Jika ia memberi waktu sama saja memberi kesempatan untuk Alina mencari cara melarikan diri dengan rencana yang matang. Banyak akal yang akan dilakukan wanita muda itu selanjutnya.

Alina berdiri dari duduknya, ia menatap Riana lalu beralih pada Adrian secara bergantian. Pandangan mereka berdua pun bertemu, tatapan redup yang terasa hangat sangat berbeda dengan tatapan mata Alina yang penuh dengan permusuhan dengan lelaki itu.

"Aku bukan anak kecil lagi yang bisa Mama atur dalam berpakaian. Dulu Mama bisa mengaturku baju adan warna apa yang boleh aku pakai dan apa yang tidak boleh aku pakai. Tetapi sekarang tidak, ini hidupku! Aku yang menentukannya. Tak bisakah Mama berlaku adil padaku, membebaskan aku untuk menikah dengan lelaki pilihanku seperti Mama mendukung keinginan Amara untuk menikahinya!" marah Alina. Emosinya sudah tak terbendung lagi. Ini terasa tak adil untuknya.

Kenapa ia yang harus selalu menuruti keinginan kedua orang tuanya? Sementara kedua orang tuanya selalu menuruti keinginan kakaknya?

"Alina duduk! Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik. Jika kamu belum siap, aku akan memberikan kamu waktu untuk berpikir," ucap Adrian membuka suaranya. Tangannya yang panjang ingin menyentuh lengan Alina namun wanita itu langsung menghindar dan mengalihkan pandangan ke depan.

"Aku bukan belum siap menikah, tetapi aku tidak ingin menikah dengannya. Karena apa! Karena aku sudah memilih calonku sendiri dan aku berencana untuk membawanya ke sini dan memperkenalkannya pada Papa dan Mama. Aku yakin kalian pasti akan suka jika sudah bertemu dengannya. Namanya Mas Andra, ia lelaki mapan dan juga baik. Dan yang pasti kami berdua saling mencintai."

Adrian terpaku mendengar ucapan Alina. rahangnya mengetat dengan kedua tangan yang mengepal di atas paha. Riana sadar akan hal itu.

"Belum tentu lelaki itu baik, Al. Bagaimana kalau ia pura-pura baik di hadapanmu? Kamu hanya sedang dibutakan oleh perhatian sesaat yang diberikan pria itu. Bisa saja—"

Belum sempat Riana menyelesaikan ucapannya, putri bungsunya itu sudah lebih dulu memotong ucapannya dengan segala argumentasi yang ia miliki.

"Ma, cukup! Jangan terlalu berpandangan buruk pada seseorang yang bahkan belum Mama temui. Lagian Ini adalah hidupku, jadi biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri! Sama seperti saat Mama mendukung Mbak Amara yang begitu ngotot ingin menikahi Mas Adrian walau Mas Adrian menolak."

Alina melangkah mundur hingga mendorong kursi ke belakang. Lalu beranjak pergi, perdebatan ini tak ada habisnya jika ia terus berada di sana.

"Pokoknya Mama tak setuju dengan lelaki pilihanmu itu! Jika kamu tak menikah dengan Adrian, Mama jangan anggap saja Mama sudah mati dalam hidupmu ini!" teriak Riana begitu tegas dengan suara yang lantang.

Ia berdiri dari duduknya memandang punggung Alina yang terpaku di tempat, karena langkah kaki wanita itu terhenti.

"Apa karena ini adalah permintaan Mbak Amara? Hingga Mama begitu tega mengabaikan perasaanku?" tanya Alina tanpa menoleh.

Bulir kristal berlomba-lomba mengalir di pipi, kemudian bermuara di ujung dagu sebelum akhirnya terjun bebas ke bawah. Alina memejamkan sejenak matanya yang menghangat dengan hati yang semakin berdenyut nyeri.

"Bukan karena permintaan Amara saja. Ini permintaan Mama, dan Mama melakukan itu untuk kebahagiaanmu, Al. tolong mengerti!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!