"Kenapa Mama jadi melarangku begini? Dulu saat aku pergi dari rumah ini, Mama sedikit pun tak peduli. Kenapa sekarang Mama justru keberatan?"
"Dulu dan sekarang berbeda Alina!"
"Apa yang berbeda? Apa karena dulu Mama masih memiliki Amara?" debat Alina. Ia mulai tak tahan dengan apa yang terjadi padanya saat ini. Seakan semua orang ingin menentukan jalan hidupnya dibandingkan dirinya sendiri.
Alina mendapati raut wajah Riana mulai keruh, matanya pun mulai berkaca-kaca. Alina menghela napas, dari dulu ia tak bermaksud menyakiti perasaan mamanya, itu sebabnya ia mengalah dengan pergi merantau seorang diri. Tetapi kali ini berbeda.
Amara yang sejak kecil memiliki tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan mendapatkan perhatian lebih daripada dirinya. Bahkan Alina lupa jika dirinyalah yang anak bungsu di keluarga itu, namun dirinya justru harus mandiri layaknya anak sulung.
"Maafkan aku, tapi aku tak bisa menikah dengan Mas Adrian. Aku mencintai lelaki lain dan kami juga sudah membuat janji untuk menikah tahun ini."
"Tapi Alina, bukannya kamu sudah berjanji dengan Amara. Janji pada orang yang sudah meninggal itu tak bisa diingkari, Nak."
Pak Priyadi membuka suaranya. Ia sebenarnya tak terlalu memaksakan kehendaknya pada putrinya itu, hanya saja ia tak enak hati pada menantu yang sudah begitu baik pada keluarganya.
"Aku tahu, Pa. Tetapi kalian juga lihat sendiri bagaimana posisiku saat itu. Pernikahan bukannya hubungan yang terjalin hanya satu minggu atau sebulan. Tetapi seumur hidup! Bagaimana mungkin kami menikah jika kami tak saling mencintai."
"Aku yakin Mas Adrian juga setuju dengan apa yang aku ucapkan. iya kan Mas?" lanjut Alina meminta pendapat pada lelaki yang hanya diam di sampingnya itu.
"Aku siap untuk menikahimu. Bahkan jika kamu mau, hari ini pun aku sanggup," jawab Adrian membuat Alina tercengang.
"Dasar lelaki. Istrinya baru meninggal dan gundukan tanahnya saja masih basah. Tetapi ia sudah siap untuk menikah lagi. Sebegitu tak sabarnya ia ingin ada teman tidur, kalau begitu kenapa tidak sewa saja para cabe-cabean itu yang pentingkan ia punya uang. Biar tidak ribet hidupnya mendengar omelan istri setiap hari?" cibir Alina di dalam hati.
"Kalau begitu nikahin saja Mbak Seva, janda tanpa anak yang tinggal di ujung komplek. bukannya wanita itu sering ngejar-ngejar, Mas."
Alina mencebikkan bibirnya yang ditanggapi dengan senyuman tipis Adrian. Alina tersentak heran, baru kali ini ia melihat lelaki itu tersenyum. Biasanya sangat susah lelaki itu menarik garis bibirnya membentuk lengkungan walau dalam keadaan ceria sekalipun.
"Alina! jaga ucapanmu. Kamu sadar apa yang kamu katakan, bagaimana Adrian menikah dengan wanita ganjen seperti itu."
"Loh ... apa yang salah, Ma. Mbak Seva ganjen cuma sama Mas Adrian saja, itu pun karena ia memang suka sama Mas Adrian. Mereka juga sama-sama singgel ditinggal pasangan. Jadikan cocok!"
"Tidak, Mama tak setuju. Adrian harus menikah denganmu!" debat Riana. Suasana ruang makan itu mulai memanas.
Alina memicingkan mata memandang mamanya curiga.
"Kenapa Mama yang ngotot dan menentukan Mas Adrian menikah dengan siapa? sebenarnya yang anak Mama dan Papa itu aku atau Mas Adrian?"
"Karena kami orang tuamu. Kami tahu apa yang terbaik untukmu!" ucap Riana tegas.
"Ma ... sudah! Jangan terlalu memaksakan itu pada Alina. Biarkan ia mengambil keputusannya sendiri. Kasih ia waktu!"
Pak Priyadi mencoba memberi pengertian pada istrinya. Tetapi Riana tak sesabar itu, ia tahu betul bagaimana watak putrinya yang pemberontak itu. Jika ia memberi waktu sama saja memberi kesempatan untuk Alina mencari cara melarikan diri dengan rencana yang matang. Banyak akal yang akan dilakukan wanita muda itu selanjutnya.
Alina berdiri dari duduknya, ia menatap Riana lalu beralih pada Adrian secara bergantian. Pandangan mereka berdua pun bertemu, tatapan redup yang terasa hangat sangat berbeda dengan tatapan mata Alina yang penuh dengan permusuhan dengan lelaki itu.
"Aku bukan anak kecil lagi yang bisa Mama atur dalam berpakaian. Dulu Mama bisa mengaturku baju adan warna apa yang boleh aku pakai dan apa yang tidak boleh aku pakai. Tetapi sekarang tidak, ini hidupku! Aku yang menentukannya. Tak bisakah Mama berlaku adil padaku, membebaskan aku untuk menikah dengan lelaki pilihanku seperti Mama mendukung keinginan Amara untuk menikahinya!" marah Alina. Emosinya sudah tak terbendung lagi. Ini terasa tak adil untuknya.
Kenapa ia yang harus selalu menuruti keinginan kedua orang tuanya? Sementara kedua orang tuanya selalu menuruti keinginan kakaknya?
"Alina duduk! Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik. Jika kamu belum siap, aku akan memberikan kamu waktu untuk berpikir," ucap Adrian membuka suaranya. Tangannya yang panjang ingin menyentuh lengan Alina namun wanita itu langsung menghindar dan mengalihkan pandangan ke depan.
"Aku bukan belum siap menikah, tetapi aku tidak ingin menikah dengannya. Karena apa! Karena aku sudah memilih calonku sendiri dan aku berencana untuk membawanya ke sini dan memperkenalkannya pada Papa dan Mama. Aku yakin kalian pasti akan suka jika sudah bertemu dengannya. Namanya Mas Andra, ia lelaki mapan dan juga baik. Dan yang pasti kami berdua saling mencintai."
Adrian terpaku mendengar ucapan Alina. rahangnya mengetat dengan kedua tangan yang mengepal di atas paha. Riana sadar akan hal itu.
"Belum tentu lelaki itu baik, Al. Bagaimana kalau ia pura-pura baik di hadapanmu? Kamu hanya sedang dibutakan oleh perhatian sesaat yang diberikan pria itu. Bisa saja—"
Belum sempat Riana menyelesaikan ucapannya, putri bungsunya itu sudah lebih dulu memotong ucapannya dengan segala argumentasi yang ia miliki.
"Ma, cukup! Jangan terlalu berpandangan buruk pada seseorang yang bahkan belum Mama temui. Lagian Ini adalah hidupku, jadi biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri! Sama seperti saat Mama mendukung Mbak Amara yang begitu ngotot ingin menikahi Mas Adrian walau Mas Adrian menolak."
Alina melangkah mundur hingga mendorong kursi ke belakang. Lalu beranjak pergi, perdebatan ini tak ada habisnya jika ia terus berada di sana.
"Pokoknya Mama tak setuju dengan lelaki pilihanmu itu! Jika kamu tak menikah dengan Adrian, Mama jangan anggap saja Mama sudah mati dalam hidupmu ini!" teriak Riana begitu tegas dengan suara yang lantang.
Ia berdiri dari duduknya memandang punggung Alina yang terpaku di tempat, karena langkah kaki wanita itu terhenti.
"Apa karena ini adalah permintaan Mbak Amara? Hingga Mama begitu tega mengabaikan perasaanku?" tanya Alina tanpa menoleh.
Bulir kristal berlomba-lomba mengalir di pipi, kemudian bermuara di ujung dagu sebelum akhirnya terjun bebas ke bawah. Alina memejamkan sejenak matanya yang menghangat dengan hati yang semakin berdenyut nyeri.
"Bukan karena permintaan Amara saja. Ini permintaan Mama, dan Mama melakukan itu untuk kebahagiaanmu, Al. tolong mengerti!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Rifa Endro
well ada udang di balik bakwan kayaknya.
2023-06-27
0
Uthie
seperti ada sesuatu rahasia yg masih belum terkuak apa....
2023-04-17
1