"Alina!" panggil Amara kala itu meminta Alina untuk mendekat ke arahnya.
"Ya, aku di sini Mbak," balas Alina lemah, ia seka air matanya. Kristal bening itu terus mengalir tanpa jeda di pipinya seperti muara sungai yang mengalir deras.
Tubuh Amara penuhi alat-alat penunjang kehidupan yang terpasang di tubuhnya. Alina semakin sedih saat matanya tak sengaja kembali menatap monitor yang menunjukkan gelombang nafas Amara yang semakin melemah.
Sesuai permintaan Amara, ruangan rawatnya yang begitu pekat bau obat-obatan itu. Kini dipenuhi oleh semua anggota keluarga. Alina, Mama dan Papanya serta Adrian. lelaki yang dicintainya sepenuh hati.
"Alina waktu Mbak gak banyak lagi, Mbak mohon kamu mau memenuhi permintaan terakhir Mbak. Agar Mbak bisa pergi dengan tenang. Kamu mau, kan, mengabulkan permintaan Mbak?" Tanya Amara dengan suara yang amat lemah. Mata itu kian sayu, napasnya pun sudah mulai tersengal-sengal seakan tak sampai di tenggorokan.
"Nggak, Mbak gak akan kemana-mana. Mbak pasti sembuh," jawab Alina tersedu-sedu sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Mbak mohon Alina, menikahlah dengan Mas Adrian. Jadilah istri yang baik untuknya, agar Mbak bisa pergi dengan tenang. Mbak benar-benar menyesal dengan apa yang telah Mbak lakukan dulu terhadap Mas Adrian. Mbak mohon padamu Alina, menikahlah dengannya. Biar Mbak bisa menebus rasa bersalah ini Alina. M-mbak mo-hon!"
Gelegarrrrr!
Bagaikan disambar petir Alina mendengar perkataan Amara. Badannya terasa melayang. Telapak kaki seolah tidak lagi menginjak bumi. Alina benar-benar tidak menyangka Amara akan meminta hal seperti ini padanya di akhir hidupnya
Amara menggenggam tangan kanan Alina dengan kuat dengan nafas yang semakin terasa sesak. Alina menatap Kakaknya dengan penuh kebimbangan, jika saja yang di pinta Amara dalam bentuk uang ataupun barang sebagai ganti rugi. Mungkin Alina akan dengan mudah mengabulkannya. Tetapi ini memintanya menjadi pengganti istri bagi suaminya setelah dirinya tiada. Ahhh ... itu benar-benar konyol sekali.
Alina menatap laki-laki yang berdiri di samping Kakaknya berada tepat di seberangnya, lalu beralih menatap Amara seraya menggelengkan kepala.
"Mbak mohon Alina, biarkan Mbak pergi dengan tenang" bisik Amara lagi dengan nafas yang semakin lemah. Membuat Alina benar-benar bingung.
"Mbak jangan seperti ini! Biarkan Mas Adrian hidup dengan wanita yang ia cintai. Jangan buat kami terbebani dengan permintaanmu yang berat untuk dikabulkan."
Amara tersenyum tipis mendengar ucapan Alina padanya. Ia meraih tangan adiknya lalu di genggamnya dengan erat.
"Mbak yakin kalian akan bahagia nantinya Alina. berjan-ji-lah pa-da M-mbak, Ali-na!"
Nafas Amara mulai terasa berat hingga ucapannya menjadi terputus-putus. Tatapan matanya yang memohon membuat Alina menjadi serba salah.
"Ya Allah apa yang harus aku lakukan, haruskan aku memenuhi pemintaan terakhirnya? Lalu bagaimana dengan mas Andra kekasihku? Aku sungguh bingung ya Allah," batin Alina bimbang.
Alina melihat kedua orang tuanya. Mama Alina menutup wajahnya yang banjir air mata dengan kedua telapak tangannya. Alina yakin Mama nya berusaha menahan Isak tangisnya agar tidak terdengar. Sedangkan Papa Alina menganggukkan kepalanya dengan pelan seolah ia meminta Alina menyanggupi permintaan Amara.
Alina menyeka air matanya , ditariknya nafas panjang dan dihembuskannya secara perlahan mencoba mengontrol emosi agar air mata itu tidak terjatuh lagi.
"Aku harus tegar!" bisik Alina di dalam hati menyemangati dirinya sendiri.
"Baiklah Mbak, aku akan penuhi permintaan Mbak" ujar Alina akhirnya membuat Amara tersenyum. Seolah merasa lega dari beban yang telah menghimpit hatinya.
"Terima kasih Alina, terima kasih. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Ma! Pa! Maafkan Amara karna belum bisa membahagiakan Mama dan Papa. Maaf! Aku menyayangi kalian semua."
Amara meraih tangan suaminya dan menyatukan jemari tangan itu pada Alina kemudian ia memberikan senyuman termanis yang bisa ia berikan. Mungkin akan menjadi senyuman terakhir darinya.
"Maafkan aku Mas, dan terima kasih atas semua kesabaran yang telah engkau berikan untukku. Aku mencintaimu!"
Amara mulai menutup matanya secara perlahan bersamaan dengan monitor yang menunjukkan garis lurus serta berbunyi nyaring.
Tittttt!
"Amara! Hu hu hu" tangis Bu Riana akhirnya pecah melihat layar monitor yang menunjuk kan garis lurus. Menambah pilu hati Alina melihat Amara telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Ia telah tiada! Ia meninggalkan mereka semua untuk selama-lamanya. Setelah berjuang selama 2 tahun melawan leukimia yang di deritanya.
Lamunan Alina buyar bersamaan dengan air mata yang kembali turun. Ia bangun dan menyenderkan punggungnya di sandaran tempat tidur.
Matanya kini kembali sembab, ia menekukkan kedua kakinya untuk menjadi sandaran kepala dengan posisi tangan yang memeluk betis.
"Kamu egois Mbak. Sangat egois!"
~ ~ ~
Tak terasa sudah seminggu kepergian Amara dalam hidup keluarga Pak Priyadi. Semua berkumpul di meja makan saling berhadapan. Di mana Riana berdampingan dengan suaminya, sedangkan Alina dengan Adrian yang terdapat satu bangku kosong di antara mereka berdua. Mereka semua menikmati makanan mereka dengan diam.
Sebagai seorang wanita karier yang terbiasa bersiap-siap ke kantor setiap hari membuat pagi ini dan pagi sebelumnya selama satu minggu belakangan ini terasa berbeda untuk Alina.
"Kenapa hanya makan roti itu saja, Al?" Adrian memulai perbincangan. Alina melirik lelaki itu sekilas.
"Aku terbiasa seperti ini," jawabnya acuh. Sepotong roti gandum tanpa selai, serta setengah gelas susu rendah lemak yang menjadi menu sarapan wanita itu setiap hari. Sementara siang hari gadis itu akan makan dengan porsi yang sedikit, ia juga melewatkan makan malam. Dengan pola makan yang cukup ketat seperti itu membuat tubuhnya terlihat ramping dan terawat.
"Al, tentang rencana pernikahan kalian—"
"Masalah itu jangan kita bahas dulu, ya, Ma. karena lusa aku akan kembali ke luar kota. Aku sudah memikir hal ini dengan baik. Aku belum siap untuk menikah dengan Mas Adrian untuk saat ini. lagi pula, Mbak Amara juga baru saja meninggal," ujar gadis berambut panjang itu memotong ucapan Raina.
Adrian tersentak, begitu dengan Raina. "Kamu mau kembali bekerja, Al. bukankah kamu sudah mengajukan pengunduran diri?"
"Belum, Ma. Aku hanya mengajukan cuti panjang untuk sementara waktu dan bosku pun mengizinkannya. Lagi pula aku juga merasa bosan jika harus berdiam diri di rumah dalam waktu yang lama. Dan aku juga minta maaf sama Papa dan Mama. Mungkin acara tahlilan 40 hari Mbak Amara aku tak bisa datang."
"Apa maksud dari ucapanmu ini, Alina. Apa kamu mau meninggalkan Mama dan Papa sendiri di sini? Apa kamu lupa dengan janjimu dnegan almarhumah Mbakmu?" Raina mulai marah. Ia menatap putrinya tajam membuat Alina menelan ludahnya dengan susah payah.
Sepertinya tak mudah baginya untuk meminta pengertian pada wanita yang telah melahirkannya itu.
"Pokoknya Mama tak setuju kamu berangkat!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Uthie
lanjut 👍
2023-04-17
0