Tubuh Alina terasa benar-benar lelah setelah menyalami tamu yang begitu banyak seharian. Walaupun pernikahan mereka di gelar sederhana tapi hampir semua kolega bisnis serta teman-teman alumni satu almamater yang datang di acara pernikahan mereka.
Tentu saja Alina tahu itu semua ulah lelaki yang kini menjadi suaminya, karna bisa Alina pastikan ia tidak mengundang seorang teman pun di acara pernikahan mereka.
Alina tidak mengerti entah apa yang ada di pikiran lelaki itu? Alina merasa Adrian begitu bangga menunjukkan pada semua orang jika dirinya bisa menikah lagi setelah 40 hari menyandang status duda tanpa anak?
Benar-benar membuat Alina kesal.
Alina keluar kamar mandi setelah membersihkan diri dengan handuk kecil yang melilit kepalanya. Ia berjalan menuju meja rias yang berada di samping ranjang. Tangannya dengan begitu lincah mengeringkan rambutnya yang basah dengan hair dryer.
Clekk.
Alina melirik dari kaca di hadapannya saat mendengar pintu terbuka. Suaminya masuk ke dalam kamar, kemudian menutup kembali pintu dengan pelan.
"Kamu sudah mandi, Al?" tanya Adrian sambil berjalan mendekat ke tepi ranjang .
"Hmm" jawab Alina enggan, dengan tangan yang masih bekerja dan berkutat dengan kegiatan mengeringkan rambut panjangnya yang memang terbilang lebat.
"Al!"
Alina mematikan hair dryer sementara dan meletakkannya di atas meja, lalu memutar badannya sedikit menoleh ke sumber suara yang memanggil dirinya tadi.
"Ada apa?" tanya Alina. Ia mengernyitkan dahi menerka-nerka apa yang akan ingin suaminya itu katakan.
"Apa kamu masih marah?"
Alina menarik nafas panjang secara kasar.
"Itu tahu, kenapa masih nanya? Aku tak mengerti, kenapa Mas hanya diam saja. Seharusnya Mas membantuku untuk menolak agar pernikahan ini tak terjadi."
Adrian beranjak dari duduknya dan berdiri di belakang Alina. Ia dan Alina menatap pantulan diri mereka dari balik cermin.
"Sekalipun pernikahan ini dilakukan karena permintaan Amara. Tetapi aku tak berniat main-main di dalamnya. Jadi lupakan lelaki itu, aku tak suka jika milikku dipandangi apalagi sampai disentuh oleh orang lain!" ujar Adrian tegas. Ia meremas kedua pundak wanita yang kini berstatus sebagai istrinya.
Alina menegang, kepalanya mendongak ke belakang. Lelaki itu sedang memperingatkan dirinya akan statusnya dan juga mulai menunjukkan sikap posesif terhadap dirinya.
"Aku mandi dulu." Adrian mencium kening Alina tanpa aba-aba terlebih dahulu. Setelah membuat Alina terkejut, lelaki itu memilih untuk berlalu masuk ke dalam kamar mandi begitu saja.
Wajah Alina bersemu merah. Jantungnya tiba-tiba berdebar dengan kuat.
"Sial! Kenapa sikapnya manis sekali. Bikin orang lain salah paham."
Pikiran Alina kacau untuk sesaat, ia tak mengerti kenapa pria yang selalu dingin itu kini mulai sedikit berubah padanya. Adrian kerap memberikan sentuhan-sentuhan kecil yang membuat hatinya menghangat. Sementara dulu pria itu tak pernah bersikap seperti itu pada almarhumah Amara.
"Apa mungkin aku saja yang tak pernah melihatnya? Ya ... mungkin saja. Kerena selama ini Mbak Amara selalu bilang lelaki itu mencintainya."
Alina tersentak kaget saat ia menyadari satu hal yaitu tentang malam pertama mereka. Wanita itu tampak panik, ia menggigit ujung kuku jempol kanannya untuk berpikir.
"Nggak! Aku nggak mau ia menyentuhku. Hubungan apa ini, tanpa cinta apa bedanya aku dengan pekerja se-x komersial di luaran sana."
Cepat-cepat Alina berbaring di atas ranjang dengan posisi memunggungi pintu kamar mandi. Ia menarik selimut dan langsung menutupi tubuhnya.
Jantungnya seakan lari maraton, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Alina cukup cemas bagaimana ia bisa melewatkan malam ini begitu saja.
Pintu kamar mandi terbuka menampilkan Adrian dengan handuk kecil yang menutupi bagian bawahnya. Aluna mulai panik, tetapi sebisa mungkin ia menutupi kepanikan itu dengan pura-pura tidur.
Langkah kaki Adrian mulai bergerak, lelaki itu pergi ke arah lemari pakaian. Pakaiannya yang semula ada di kamar Amara telah berpindah di lemari Alina. Ia memakai pakaiannya dengan cepat kemudian ikut bergabung bersama Alina berbaring di ranjang pengantin.
Waktu berjalan begitu lambat bagi Alina. Rasanya ia ingin cepat-cepat memutar jarum jam itu ke angka jam 6 pagi. Dan menyeret mentari untuk pulang lebih cepat menggantikan rembulan agar dirinya bisa beranjak dari ranjang itu segera.
Satu kamar dan satu ranjang dengan seorang lelaki cukup membuat dirinya tak nyaman. Bukan karena Adrian berwajah jelek, lelaki itu justru berwajah tampan seperti pahatan dewa Yunani dengan rahang yang begitu tegas.
Tubuh kekar dan juga dada bidang miliknya sebenarnya cukup membuat dirinya nyaman jika ingin bersandar dalam pelukan pria yang halal baginya. Akan tetapi, tampa adanya cinta semua itu tak akan bisa terwujud.
"Aku tahu kamu belum tidur. Tak perlu khawatir, aku tak akan memaksamu. Jadi tenanglah!" kata Adrian. Ia membalikkan tubuhnya, menatap punggung Alina yang di baluti pakaian tidur bergambar boneka beruang kecil di seluruh bagian piyama tersebut. Tenang tak ada jawaban.
Tak ada lingerie, senyuman menggoda serta deru napas yang memburu menghiasi kamar tersebut. Hanya ada kesunyian dari kedua belah pihak. Alina membuka matanya tanpa berbalik menoleh ke belakang.
"Aku tahu ini akan sulit, tetapi setidaknya melihat dirimu berbaring tenang di sampingku seperti ini saja cukup membuat hatiku tenang. Apa kau tahu seberapa lama aku menunggumu, Al." batin Adrian. Laki itu menghela napas begitu pelan.
Alina mencoba menutup matanya kembali. Kini ia bisa sedikit bernapas lega karena yakin jika suaminya itu tak akan menerkamnya di saat ia pura-pura tidur. Alina tak tahu sampai kapan ia kan bersikap seperti orang asing pada suaminya.
Dering ponsel membangunkannya. Alina tak sadar sejak kapan ia mulai terlelap, tetapi yang ia ketahui saat ia membuka mata, ia mendapati dada bidang di hadapannya.
Alina tersentak kaget dengan posisi tidurnya. Kepala yang menjadikan tangan kekar sebagai bantalan sementara tangan yang satunya lagi melingkar di pinggangnya.
"Kamu sudah bangun, Sayang." Suara serak Adrian kembali mengejutkan. Sebuah ciu-man singkat mendarat di keningnya sebagai ucapan selamat pagi.
Alina mendorong dada bidang itu untuk menjauh. Tetapi lengan kekar yang menahan pinggulnya justru membuat jarak di antara mereka semakin terkikis. Hangat tubuh pria itu serta aroma maskulin terasa di indra penciumannya, menimbulkan rona merah di wajahnya.
Jantungnya seakan meledak, walau bagaimanapun ini pertama kalinya ia tidur di atas ranjang bersama seorang pria walau tak melakukan hubungan intim. Tetapi sentuhan intens ini saja cukup membuat tubuhnya merinding.
"Jangan banyak bergerak dan biarkan seperti ini 5 menit lagi saja. Aku masih ngantuk dan matahari pun juga belum muncul," pinta Adrian dengan mata yang masih terpejam.
"Lepaskan aku! Kamu membuatku sesak, Mas!" Alina tak mengindahkan ucapan pria itu ia sedikit memberontak di balik rangkulan pria itu yang erat.
Mata Alina melebar sempurna saat ia telentangkan tubuhnya dalam pelukan suaminya dan merasakan sesuatu yang keras menyentuh pinggangnya.
"Arkkkh! Tongkatmu hidup!" teriaknya histeris.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Uthie
seruu.. penasaran kelanjutannya lagi 👍😁💪💪
2023-04-17
0
Ai yuli
ya pasti hiduplah orang kamu nya g mau diem,kan s adrian normal x al,😂😂
2023-04-16
0