Ya ... Alina hanya perlu untuk patuh dan mengerti. Mengerti akan keadaan Amara dan mengerti tentang perasaan Riana. Lalu siapa yang akan mengerti perasaan serta keinginannya? Dan pada akhirnya dirinyalah yang harus mengalah.
Alina memenuhi permintaan terakhir Amara untuk menikah dengan Adrian. Dengan terpaksa! Sekali lagi digaris bawahi. Dengan terpaksa!
Setelah acara tahlilan 40 hari meninggalnya Amara, acara pernikahan Alina dan Adrian di gelar dengan sederhana. Sesuai dengan permintaan Alina yang tak begitu excited dengan pernikahannya sendiri.
Lagi-lagi pada akhirnya semuanya tidak sesuai permintaanya. Semua dekorasi pernikahan itu terkesan mewah dan elegan dengan pelaminan yang hampir menutupi seluruh lahan halaman rumah hingga ke jalan, karena Alina menolak menyelenggarakan pesta di gedung.
Ruang tamu yang cukup luas itu dipenuhi kain berwarna ungu dan pink soft dengan taburan bunga mawar merah hidup di setiap sudut ruangan dengan jumlah yang cukup banyak.
Tak terkecuali kamar yang di pakai Alina saat ini. Gadis yang sebentar lagi akan berganti status di KK serta KTP itu pun saat ini memandangi pantulan wajahnya di cermin. Cantik walau tanpa senyuman.
Alina tampak begitu anggun dan elegan dalam balutan kebaya modern clasic yang begitu pas menutupi tubuh rampingnya. Keanggunan itu pun dipadukan dengan make-up flowless yang menghiasi wajahnya.
"Al, kamu sudah siap?" Suara Riana membuyarkan lamunan Alina. Wanita paruh baya itu tak kalah cantiknya, kini berdiri di dekat pintu dengan kebaya modern berwarna coklat tua dengan hijab yang menutupi kepalanya.
"Sudah siap dari tadi, Bu," jawab penata rias sopan. Sementara sang pengantin hanya diam tanpa suara, tatapan matanya begitu putus asa.
Riana menghela napas setelah berada di dekat putrinya. Di tariknya dagu Alina pelan dengan tangannya hingga pandangan mata mereka berdua bertemu.
"Wajahmu jangan pasang mode kecut gitu donk, Al. Kamu ini mau menikah, bukan menghadiri pemakaman. Senyum!" titah Riana.
"Aku seperti anak tiri yang mau di nikah paksa sama Ibu tirinya saja. Sebenarnya aku anak kandung atau anak pungut sih?" batin Alina menggerutu, tetapi tetap saja ia berusaha tersenyum walau terlihat canggung dan aneh.
"Nah ... gitu kan enak. Ayo Sayang, kita turun ke bawah. Calon suamimu sudah menunggu."
Riana melepaskan tangannya pada dagu putrinya dan beralih membantu putrinya untuk berdiri, kemudian melangkah ke luar secara perlahan.
"Mama tahu saat ini kamu sangat marah sama Mama, Al. Mungkin kamu merasa Mama tak adil padamu. Tapi percayalah, Nak. Tak ada seorang Ibu pun di dunia ini yang tak menginginkan putri-putri bahagia," ucap Riana di tengah perjalanan mereka, ia menatap wajah putrinya dengan pandangan mata yang teduh.
Riana tersenyum mengusap lembut lengan Alina dalam rangkulannya.
Hari ini Alina seperti orang bisu ia tak sedikit pun menjawab perkataan mamanya. Semua orang tua memang menginginkan kebahagiaan anak-anaknya dan merasa mereka lebih tahu apa yang terbaik untuk anaknya.
Hingga tak jarang mengabaikan pendapat dan keinginan anaknya sendiri. Tetapi tak jarang sikap serba tahu yang dimiliki orang tua justru menjadi bumerang yang membuat anak-anaknya menderita.
Setiap langkah yang Alina lalui terasa begitu berat dengan hati gelisah. Ada rasa takut yang mendominasi daripada rasa bahagia. Kini ia berada di ujung tangga, tempat di mana pengantin pria dan pak penghulu serta semua tamu undangan yang hadir menunggu kedatangannya.
Pandangan mata Alina tak sengaja beradu pada mata Adrian yang menatapnya intens. Sontak saja hal itu membuat jantung Alina yang tenang kini mulai berdetak tak karuan.
Riana tersenyum. Ia menuntun putrinya untuk duduk tepat di sebelah Adrian yang berhadapan dengan Pak Penghulu. Sementara dirinya duduk tepat di belakang pasangan mempelai, bergabung duduk di samping wanita yang memakai kebaya senada dengannya yang tak lain adalah besannya—Mama Adrian.
"Saya terima nikah dan kawinnya Alina putri Ayudia binti Muhammad Priyadi dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta 1 set perhiasan dengan berat 50 gram di bayar tunai!" seru Adrian lantang dengan sekali hembusan napas. Suaranya terdengar begitu lancar di telinga Alina.
"Sah para saksi?"
"Sah!"
"Sah!" Teriak bahagia para saksi menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Pak Penghulu.
Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.
Hamdalah dan doa-doa untuk sepasang pengantin mulai terdengar menggema di ruangan tersebut.
Hari ini Alina resmi menyandang status seorang Istri dari Adrian Pratama. Status yang dulu membuat Amara bahagia menyandang nya. Tetapi tidak untuk Alina.
Semuanya terasa seperti mimpi buruk untuknya. Tanpa terasa air matanya jatuh kembali membasahi pipi. Perasaan Alina campur aduk; marah, kesal, sedih. Entah kata-kata apalagi yang cocok untuk menggambarkan perasaannya saat ini.
Jika biasanya para pengantin akan menangis karena bahagia, Alina justru sedang menangis pilu membayangkan sosok lelaki yang ia cintai sedang berada jauh di seberang sana. Apa yang akan ia katakan padanya nanti?
Sungguh tak sanggup hati Alina membayangkan kekecewaan pria yang ia cintai itu. Bagaimana jika pria itu membencinya? Alina menatap sekilas laki-laki di sampingnya saat ini yang terlihat sedikit tegang.
"Heh lucu sekali dia. Seperti pernikahan ini adalah pernikahannya yang pertama kali saja." batin Alina mengejek senyum malu yang ditunjukkan Adrian saat candaan para tamu mulai terlontar padanya.
Sebenarnya Alina dan Adrian sudah kenal cukup lama, Adrian adalah salah satu senior Alina dulu di kampus yang merupakan seangkatan dengan Amara. Usia Alina dan Amara hanya terpaut 2 tahun itu sebabnya di kampus Alina dan Amara hanya berbeda 1 tingkat.
Alina, Amara dan Adrian. Hampir setiap waktu mereka bertiga bertemu. Semua itu karena Mara yang selalu memaksanya untuk menemani bagai bayangan saat dirinya ingin bertemu dengan Adrian, walau terkadang Alina enggan. Dan semua itu terjadi selama mereka kuliah.
Setelah lulus kuliah, Alina lebih memilih bekerja di luar kota tidak seperti Amara yang telah bekerja satu kantor dengan Adrian. Dan setahu Alina hubungan mereka berjalan dengan sangat baik.
Alina pikir mungkin itu sebabnya Amara dan Adrian memutuskan untuk menikah hampir 1 tahun yang lalu. Di saat Amara masih dalam tahap kemoterapi untuk mengobati penyakit leukimia yang dideritanya.
Adrian menyodorkan tangannya sebagai pertanda jika Alina harus memberikan salam pertama sebagai tanda hormat kepada suaminya.
Hal yang tak di sangka-sangka Alina, ketika tangan Adrian mengapit dagunya yang sedari tadi menunduk untuk terangkat ke atas. Mengarahkan pandangan mata Alina untuk bertemu menatap manik mata lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu.
Lelaki itu tersenyum dan beberapa detik kemudian ia mengecup kening Alina dengan lembut. Alina tersentak. Ia tak sedikit pun merasakan kebahagiaan, justru merasa seolah kehidupannya akan runtuh terikat dalam benang emas yang sulit untuk ia putuskan simpulnya yang baru saja terpasang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Rifa Endro
kek ada yang janggal. Ada sesuatu yang tersbunyi. I don't know
2023-06-27
0
Ida Andayani
up banyak banyak thor
2023-04-15
0