Taqiya'S Scret
Bab 1. Gadis Pemimpi
"Jreng ... Jreng ... Jreng ... Aku cintaaa ... padamu, sungguh ...."
"Lewati, Mas ... lewati."
Taqiya yang sedang terburu-buru melongok sebentar sambil memberi kode pada dua pengamen yang berada tepat di depan pintu pagar.
"Aku cintaaaa padamu, haruskah kuulangi ... dari mulutku sendiri, aku cintaaa ....'
"Prei, Mas, lewati aja!" ucap Taqiya lagi. Kali ini setengah berteriak agar dua pengamen itu mendengar.
Entah tidak mendengar atau memang sengaja, dua lelaki yang sedang genjrang-genjreng itu masih meneruskan aksinya. Taqiya jadi rada kesal. Pasalnya, siang itu ia harus menghadiri rapat. Ia tidak mau terlambat.
Namun, karena dua pengamen itu masih genjrang-genjreng, mau tidak mau, akhirnya Taqiya merogoh tas kecilnya untuk mencari lembar dua ribuan dan menyerahkan pada mereka.
"Terima kasih," kata salah seorang yang kebetulan lebih dekat dengan Taqiya. Lelaki itu memakai topi yang dilesakkan ke depan sehingga menutup wajah. Namun, tidak hanya selembar uang dua ribuan yang diambil, tetapi pengamen bertopi itu juga mencomot tangan Taqiya yang sedang terulur.
Tentu saja Taqiya terkejut. "Hei, Mas, jangan kurang ajar, ya!" Bentak Taqiya marah sambil menghentakkan tangannya.
"Halo, Qia ... Gimana kabar?" tanya lelaki itu cuek. Ia membuka sedikit topinya sambil cengar-cengir menatap Taqiya.
"Bayu ....!?" seru Taqiya terkejut. Pemuda itu adalah preman kampus yang entah kenapa akhir-akhir ini sangat usil mengganggunya.
Taqiya tidak habis pikir, bagaimana pemuda sangar itu bisa tahu tempat tinggalnya? Karena merasa terganggu, Taqiya membalikkan badan dan berteriak memanggil ayahnya.
"Ayaaaah ...."
Pengamen bernama Bayu itu terkejut. Belum sampai Qia berteriak untuk yang kedua kali, pemuda itu buru-buru menarik tangan temannya dan kabur. Tentu saja ia tidak mau digeruduk orang satu kampung.
Taqiya mendengkus kesal. Ia tidak menyangka bakal mengalami pelecehan seperti itu. Bayu memang sering mengganggunya di kampus, tetapi tidak pernah berani pegang-pegang seperti tadi. Lagipula, selama ini Qia tidak pernah menggubris sama sekali.
"Kenapa, Qi?" tanya ayahnya yang tergopoh-gopoh mendengar teriakan tadi. Lelaki yang kenyang makan asam garam itu tampak cemas. Pasalnya, Qia tidak pernah teriak-teriak seperti itu.
"Ada pengamen gila, Yah. Tapi sekarang sudah pergi."
"Apa? Kamu gak apa-apa, Qi?" Lelaki itu sangat terkejut. Raut mukanya menampakkan kecemasan yang luar biasa.
"Iya, Yah, Qia baik-baik saja.
"Benar?"
"Iya, Yah," jawab Qia mencoba meyakinkan. Untungnya sang ayah tidak bertanya-tanya lagi.
Qia buru-buru merapikan buku literasi yang tadi mau dimasukkan ke dalam tas, kemudian pamit pada ayahnya. Setelah itu, ia masuk ke dalam untuk mencari ibunya.
...
Siang itu, di ruang rapat ....
"Kamu nguap terus, Qi," bisik Ningrum yang duduk di sebelah Taqiya sambil menyikut pelan lengannya. Gadis bergamis blewah itu langsung gelagapan.
"Sorry, Rum, boring banget. Jadi ngantuk, deh," jawab Qia sambil berbisik pula. Ia lalu memperbaiki posisi duduknya.
Rapat kali ini memang terasa sangat membosankan. Taqiya sendiri heran, mengapa ketua yayasan mengundangnya dalam pertemuan kali ini. Terus terang, gadis duapuluh dua tahun itu merasa tidak pantas.
Taqiya hanyalah guru ekstrakurikuler kelas menulis yang baru beberapa bulan direkrut di sela-sela kesibukannya di kampus. Ia sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk tentang yayasan dan program-program pengajaran di sana. Karena itu, Qia memutuskan duduk di kursi paling belakang. Dengan begitu, ia tidak merasa canggung dan yang lebih penting, gadis itu bisa menghindari tatapan tidak wajar dari Andre, sang ketua yayasan. Memang bukan tatapan kurang ajar, tetapi ia tetap tidak suka.
Taqiya tidak begitu mengerti arti tatapan itu. Hanya saja, Gadis itu merasa risih. Ditambah dengan tatapan sinis beberapa guru muda yang masih jomlo, betul-betul membuatnya merasa tidak nyaman.
Memang pernah ada selentingan kalau Andre menaruh hati padaTaqiya. Gosip itu ia dengar dari Ningrum, temannya sekaligus tetangga yang juga mengajar di sana. Akan tetapi, Taqiya tidak percaya. Lagi pula, ia sama sekali tidak tertarik dengan gosip murahan seperti itu.
"Dia itu sempurna, loh, Qi. Udah ganteng, tajir, punya kuasa, lagi. Kamu lihat, guru-guru muda di sini pada sibuk cari perhatian! Mereka berlomba-lomba dengan berbagai cara, hanya ingin disapa dan mendapat senyum dari Pak Andre. Lah kamu, yang super duper cuek, malah mendapat perhatian lebih," tutur Ningrum suatu ketika. Saat itu, mereka sedang berbincang santai di rumah Ningrum.
"Justru itu, aku jadi merasa tidak enak. Apa ... sebaiknya aku keluar saja, ya?"
Gadis yang akrab disapa Qia itu bergumam, seolah pada dirinya sendiri. Tangannya meraih teh manis yang disuguhkan Ningrum, kemudian menyesap beberapa teguk. Lalu cangkir bening itu dia putar secara perlahan dengan kedua tangan, pertanda dirinya sedang berpikir keras.
"Eh, jangan dong, Qi!" cegah Ningrum buru-buru. Tentu saja ia menjadi panik. Apa yang akan ia katakan pada Pak Andre nanti kalau Qia jadi keluar? Tidak mungkin ia berterus terang dengan mengatakan kalau Taqiya sengaja keluar untuk menghindari lelaki itu.
Lagi pula, kedekatannya dengan Taqiya membuat posisi Ningrum di yayasan menjadi penting. Terus terang, saat ini Ningrum menjadi salah satu guru kepercayaan Andre karena keberadaan Taqiya. Tentu saja Ningrum tidak ingin kehilangan tambang emasnya yang sangat berharga.
"Kenapa? Daripada pusing gak keruan dan dimusuhi banyak orang, mending aku keluar. Toh, sebenarnya aku tidak butuh-butuh amat dengan pekerjaan itu. Lagipula, skripsiku butuh banyak perhatian, takutnya malah keteteran. Tar malah gak kelar-kelar. Mana ... Pak Andre selalu bikin aku risih, lagi," gerutu Taqiya.
Ningrum mengeryitkan dahi. Ia heran dengan sikap Qia. Andre adalah impian gadis-gadis muda. Akan tetapi, sahabatnya itu malah menghindar.
"Benar, kamu tidak tertarik sama sekali?" selidik Ningrum.
"Gak," jawab Qia mantap.
"Tapi kenapa?" tanya Ningrum penasaran.
"Dia terlalu kaya, Rum, juga sangat tampan. Kubayangkan, diriku pasti tidak akan sempat berbenah karena terlalu sibuk mengawasi dia. Aku sadar, orang seperti itu pasti menjadi incaran banyak wanita. Aku tidak yakin bisa hidup tenang dengannya," jawab Qia pelan.
Sekarang ia meletakkan cangkir teh yang tadi ke atas meja. Tatapan gadis itu mengarah ke Ningrum yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Kamu ini aneh. Pak Andre itu sangat baik, Qi. Ia tidak seperti pemuda kebanyakan. Aku yakin, kekhawatiranmu itu tidak akan terbukti. Lagipula, kamu tidak bisa meramal masa depan. Jangan berandai-andai seperi itu, Qi! Memangnya, kamu pingin kriteria yang seperti apa lagi?" kata Ningrum dengan nada tanya.
Taqiya terdiam, ia menghela napas. Mata gadis itu tampak menerawang. Tiba-tiba seulas senyum tergores di bibirnya. Ningrum jadi makin penasaran.
"Aku ingin seperti Ustazah Kamila dan suaminya. Lihatlah! Mereka tidak kaya, bahkan bisa dibilang sangat sederhana. Akan tetapi, kulihat mereka sangat bahagia. Suaminya sangat sabar dan penyayang. Ibadahnya tekun dan wajahnya selalu tampak bersinar. Ia tidak terlalu tampan, tapi selalu menatap Ustazah Kamila dengan tatapan penuh cinta. Kabarnya, beliau juga tidak segan membantu pekerjaan Ustazah di rumah. So sweet ....
Lihatlah anak-anak mereka. Bocah-bocah itu selalu santun dan menurut sama orang tua. Mereka juga tidak risih dengan kerudung dan gamis yang mereka kenakan. Aku ingin seperti itu. Apakah impianku ini terlalu berlebihan, Rum? Apakah keinginanku ini terlalu muluk?" tanyaTaqia pelan. Mata gadis itu masih terlihat menerawang.
Ningrum terdiam. Ia tidak menyangka kalau Taqiya memiliki keinginan seperti itu. Ia paham tentang apa yang baru saja dikatakan Qia. Ia kenal, siapa Ustazah Kamila dan suaminya. Mereka adalah guru mengaji di tempat tinggal Ningrum dan Qia. Sedikit banyak, Ningrum dan Qia tahu beberapa hal tentang kehidupan sepasang suami istri itu.
Kalau sudah begitu, Ningrum tidak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya apa yang diimpikan Taqiya itu juga menjadi impiannya. Namun, ia tidak seperti Taqiya. Ia masih sering tergoda dengan nikmatnya dunia.
"Kamu benar. Meski aku merasa senang jika kamu bisa bersanding dengan Pak Andre, tetapi aku tetap mendukung keinginanmu, Qi," kata Ningrum.
"Iya, Rum. Aku senang kamu mau mengerti. Saat ini, aku sedang berusaha memantaskan diri, agar mendapat jodoh seperti itu, seperti yang pernah dikatakan Ustazah Kamila," kata Qia. Lagi-lagi Ningrum hanya terdiam.
Itu adalah pembicaraan Taqiya dengan Ningrum beberapa hari yang lalu. Dan sekarang, gadis itu harus menghadapi situasi tidak menyenangkan karena ketua yayasan menaruh hati padanya.
Taqiya masih terus menerawang.
Pikiran gadis itu mengembara ke mana-mana. Para guru masih bersemangat mengikuti rapat. Silih berganti mereka bersuara untuk mengemukakan pendapat. Sesekali ruangan itu terdengar riuh, kemudian senyap, lalu ramai lagi. Sungguh, Taqiya tidak memperhatikan itu semua.
Sementara itu, Andre yang dari tadi memperhatikan Taqiya sambil memimpin rapat, menjadi penasaran. Apa sebenarnya yang dipikirkan gadis itu? Kadang Taqiya terlihat senyum-senyum sendiri, kadang sangat murung, kemudian berubah cerah kembali.
Andre menjadi gemas dibuatnya. Sempat terbersit dalam benak pemuda itu untuk mengerjai Taqiya, tetapi ia merasa tidak tega. Entah mengapa, kali ini ia betul-betul ingin merealisasikan keinginan itu. Namun, bagaimana caranya? Ia sendiri bingung. Pemuda itu tidak ingin kalau Taqiya tersinggung dan jadi benci padanya.
"Bagaimana, apa ada usulan dari Ustaz dan Ustazah semua?" tanya Adre akhirnya. Pria muda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tidak ada jawaban, semua bungkam, begitu juga dengan Ningrum yang duduk di samping Qia. Di hadapan para pengajar itu, segala pendapat dan gagasan dari Andre selalu tampak sempurna.
"Bagaimana dengan Ustazah Taqiya? Apa ada usulan terkait pengembangan kemampuan siswa?" tanya Andre tiba-tiba.
Taqiya yang sejak tadi melamun tentu saja tidak tanggap. Ia hanya diam saja. Pikiran gadis itu masih tetap menerawang.
"Qi ...," bisik Ningrum sambil menggoyang-goyang lengan Taqia. Seketika, gadis itu menjadi gelagapan.
"Ada apa?" bisik Qia tak mengerti. Matanya menatap Ningrum dengan penuh tanda tanya.
"Kamu ditanya Pak Andre," jawab Ningrum sambil berbisik pula.
Taqia mengalihkan pandangan ke lelaki itu. Sang ketua yayasan tampak tersenyum sembari menunggu jawaban. Tentu saja gadis itu menjadi malu. Wajah tanpa polesan itu terlihat memerah.
"I ... iya, Pak?" tanya Taqiya terbata. Andre menahan tawa melihat tingkah lucu Taqiya.
"Barangkali ada usulan dari Ustazah terkait pengembangan potensi dan kemampuan siswa?" tanya Andre.
"Tidak, Pak. Saya rasa sudah cukup," jawab Taqiya retoris.
Sekali lagi Andre tersenyum. "Apanya yang sudah cukup?" tanya Andre dalam hati. Ia yakin seratus persen kalau Taqiya tidak tahu apa-apa tentang apa yang mereka bicarakan tadi. Ia tahu kalau sedari tadi gadis itu tidak memperhatikan sama sekali. Akan tetapi, ia tidak tega kalau harus menegurnya.
"Ah, Qia ... andai apa yang ada di dalam benakmu itu adalah aku, pasti terasa sempurna hidupku," batin Andre.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Caca Patty
keren
2023-09-13
0
Eka Suryati
Begitukah Qia
2023-07-23
0
Eka Suryati
Ada udang dibalik batu lo
2023-07-23
0