Hari itu, Qia ada janji dengan dosen pembimbing. Namun, karena keasikan di depan laptop, dia jadi rada terlambat.
Biasanya, setelah salat dan murajaah, Qia langsung membantu ibunya berkutat di dapur, atau menyiapkan keperluan kuliah. Namun, kali ini ia malah melanjutkan tulisannya. Banyak ide berseliweran di kepala, menurutnya sayang kalau menguap begitu saja. Itu sebabnya, Qia buru-buru mengikat ide-ide itu agar tidak terbang.
"Jangan terburu-buru, Qi, nanti malah tidak bagus hasilnya. Ayo sarapan dulu," kata Ibu sambil menggelengkan-gelengkan kepala.
"Qia sudah terlambat, Bu. Qia tidak ingin Bu Dosen terlalu lama menunggu. La wong Qia yang butuh, kok," jelas Qia setelah menyeruput susu coklat buatan ibunya.
"Ya sudah, pokoknya hati-hati, jangan tergesa-gesa seperti itu. Ibu tidak ingin terjadi sesuatu padamu."
Taqiya mengangguk. Setelah pamit pada kedua orang tuanya, ia buru-buru mengeluarkan sepeda pancal, kemudian mengayuhnya cepat-cepat. Jarak antara rumah dan jalan raya memamg lumayan jauh, sementara gadis itu tidak bisa mengendarai motor. Untungnya, angkot yang ia tunggu segera datang. Untuk sementara, gadis itu merasa lega.
***
Begitu turun dari angkot, Taqiya langsung menuju rumah Aina yang tidak jauh dari jalan raya. Mereka sudah janjian untuk menghadap dosen pembimbing bersama. Kebetulan, hari itu Ardi, suami Aina tidak bisa mengantar. Jadi, Taqiya bisa nebeng ikut motor Aina.
Sepuluh menit kemudian, mereka sudah sampai di depan kampus
"Buruan, Ai, kita sudah terlambat. Aku gak ingin Bu Leni menunggu terlalu lama," ajak Qia cemas begitu Aina menaruh motor matiknya di tempat parkir.
"Iya ... iya ... sabar dong, Qi. Kita Belum terlambat, kok," jawab Aina sambil menggamit lengan Qia. Keduanya lalu melangkah bersama.
***
Area parkir di kampus C Jurusan Teknologi Pangan saat itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang bergerombol di bawah pohon yang rindang. Terdengar celotehan khas anak muda di sela-sela nyanyian sumbang plus genjrang-genjreng suara gitar. Namun, begitu melihat Qia dan Aina melintas, nyanyian sumbang itu berhenti.
Tiba-tiba perasaan Qia tidak enak. Ia tidak ingin berburuk sangka, tetapi firasatnya mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan bakal terjadi.
"Halo, assalamu'alaikum, Qia. Mau menemui dosen pembimbing, ya?" Sebuah suara yang tampak dilembut-lembutkan masuk ke gendang telinga Qia.
"Tuh kan, bener," batin Qia. Gadis itu memegang lengan Aina erat-erat.
Qia menjawab salam itu dalam hati. Namun, ia pura-pura tidak mendengar. Ia mengajak Aina berjalan lebih cepat. Saat itu, Qia ingin fokus pada bimbingan skripsi, tidak ingin diganggu dengan hal yang lain. Itu sebabnya, Qia tidak ingin meladeni mahasiswa-mahasiswa usil yang memang sering menggoda dirinya.
"Qi, kenapa tidak menjawab salam Abang? Kan dosa, Qi? Kamu masih marah, ya, sama Abang? Maaf, kapan hari Abang khilaf. Suer ... Abang janji, gak akan mengulangi lagi. Bisakah kita ngobrol sebentar? Ada hal penting yang ingin Abang sampaikan!" pemuda yang tak lain adalah Bayu, pengamen yang beberapa hari lalu mendatangi Qia di rumahnya mencoba berbicara. Kali ini sambil mendekat ke arah gadis itu.
Qia dan Aina masih tidak menghiraukan. Mereka terus melangkah tanpa mengucap sepatah kata.
"Qi ... tunggu ...." Bayu tidak mau menyerah. Sekarang posisinya tepat berada di depan Qia dan Aina.
Sementara itu, teman-teman Bayu masih bergerombol di tempat semula. Suara genjrang-genjreng masih terdengar, tetapi agak pelan.
"Maaf ya, Kak. Kami sedang terburu-buru." Kali ini Aina yang menjawab. Ia berharap, kakak tingkat yang bergelar mahasiswa abadi itu mau mengerti.
"Sebentar aja, Ai. Tolong bilangin Qia, Abang cuma mau ngomong sebentar."
Aina melirik sebentar ke arah Qia. Wajah gadis itu tampak pucat. Kelihatan sekali kalau Qia sedang ketakutan. Maklum, Bayu selama ini dikenal sebagai preman kampus. Aina jadi tidak tega melihat temannya seperti itu.
"Maaf, Kak. Mungkin lain kali, deh. Soalnya Bu Leni sudah nungguin dari tadi. Mari, Kak!" pamit Aina akhirnya. Tangan gadis itu menggamit lengan Qia dan melangkah dengan cepat.
Beruntung Bayu tidak memaksa. Ia menggeser sedikit tubuhnya dan membiarkan dua wanita cantik itu lewat. Namun, tatapannya tidak lepas dari mereka.
"Ha ha ha ha, kasihan ... Jagoan kita dicueki!" Terdengar suara tawa sahut-menyahut. Bayu hanya diam, wajahnya tampak datar.
"Lagian, anak masjid diembat juga," celetuk yang lain.
Suara mereka cukup keras sehingga masih terdengar oleh Qia dan Aina.
"Memangnya kenapa kalau anak masjid? Justru karena Qia anak masjid, gue mau deketin dia. Lagian, gue serius, kok, sama dia," jawab Bayu ringan.
"Ha ha ha ha. Gak level, Bay. Preman kampus ngarep anak masjidan, mana mau dia? Berani taruhan?"
celetuk sebuah suara diiringi derai tawa yang lain.
"Ogah!" sahut Bayu cepat.
"Ha ha ha ... Kenapa? Lo takut? Belum-belum udah menyerah duluan, gitu kok ngotot mau dapetin Qia?"
"Siapa bilang gue menyerah. Gue, sih yakin, bisa dapetin Qia."
"Trus, ngapain lo nolak taruhan dengan kita?"
"Dasar songong lo! Qia tuh, gak pantas dijadikan bahan taruhan, ngerti gak, lo?" jawab Bayu sambil menjitak kepala temannya yang bicara tadi.
"Trus ... mau lo, apa?"
"Gue memang preman, Bro, tapi soal pasangan hidup, gue gak main-main. Bagi gue, nikah itu sekali seumur hidup, jadi gue gak mau sembarangan. Jelek-jelek gini gue masih bisa mikir, gue gak bakal nanam benih gue di sembarang lahan," jawab Bayu serius.
Saking seriusnya, teman-teman Bayu yang lain pada diam, lebih tepatnya bengong. Tumben-tumbennya Bayu, pemuda yang suka berantem itu ngomong dengan benar.
"Lo serius, Bro?" tanya salah seorang dari mereka.
"Seriuslah. Apa kalian lihat kalau gue seperti sedang main-main?" Semprot Bayu sewot.
"Trus, gadis-gadis yang selama ini lo pacarin itu mau di kemanakan?" todong seorang teman.
"Mereka mah, cuma mainan, Bro, buat seneng-seneng. Kalau buat dikenalin ke emak gue, yang pantes ya ... Qia itu."
Semua yang ada di situ saling pandang, hampir tidak percaya. Selama ini Bayu memang dikenal sebagai playboy kelas kakap. Satu-satunya keahlian yang dimiliki Bayu adalah merayu wanita. Namun, untuk menghadapi Qia, dia seolah mati gaya. Itu yang membuatnya semakin penasaran dan lama-lama jatuh cinta sungguhan. Hanya saja, Qia tidak pernah menganggapnya. La wong Qia sendiri sedang belajar memantaskan diri, berharap mendapat jodoh yang baik, dunia dan akhirat, mana sempat meladeni preman kampus macam Bayu.
Sementara itu, Qia yang belum terlalu jauh dari tempat itu, masih mendengar apa yang diperbincangkan cowok-cowok tadi. Bukannya bangga, ia malah bergidik, ngeri. Gadis itu semakin erat mencengkeram lengan Aina membuat wanita muda bermata biru itu menoleh padanya.
"Memangnya, apa yang terjadi antara kamu dengan Kak Bayu? Kenapa dia ngotot pingin minta maaf?" tanya Aina keheranan.
Qia melirik sejenak ke arah Aina, kemudian menatap lurus ke depan. Ia lalu mulai bercerita.
"Jujur aku nggak ngerti apa maunya Kak Bayu. Kapan hari dia datang ke rumah, nyamar sebagai pengamen. Awalnya, aku gak ngerti kalau itu dia. Pas kukasih uang receh, tiba-tiba dia nyomot tangan aku juga. Aku kan kaget setengah mati. Seumur-umur, baru kali itu dilecehkan oleh seorang lelaki. Pas aku teriak panggil ayah, eeeh ... dia lari terbirit-birit sama temannya," tutur Qia.
"Ya Allah, nekat banget, sih, dia. Kamu yang hati-hati ya, Qi. Apa perlu, aku kasih tahu persoalan ini ke Mas Ardi dan Bram. Kayaknya Kak Bayu itu perlu diberi pelajaran," kata Aina prihatin. Jujur, ia sangat mengkhawatirkan Qia.
Sontak Qia menoleh ke arah Aina. Tentu saja ia menolak. Sungguh, Qia merasa malu kalau suami dan ipar Aina mengetahui hal ini.
"Ya sudah, kalau ada apa-apa, kamu harus cerita Qi. Insyaaallah kami siap membantu."
Qia mengangguk. Tiba-tiba benaknya dipenuhi dengan gambar wajah Bayu. Sebenarnya ia sangat takut. Ia khawatir kalau Bayu berbuat nekat.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Atik Setya
kok aku gak asing dengan nama Aina, ya, Cikgu?
2023-05-22
1
Atik Setya
pernah ngalamin yang beginian. hihihi
2023-05-22
1
Atik Setya
jadi kepingin ngintip si Qia
2023-05-22
1