NovelToon NovelToon

Taqiya'S Scret

Gadis Pemimpi

Bab 1. Gadis Pemimpi

"Jreng ... Jreng ... Jreng ... Aku cintaaa ... padamu, sungguh ...."

"Lewati, Mas ... lewati."

Taqiya yang sedang terburu-buru melongok sebentar  sambil memberi kode pada dua pengamen yang berada tepat di depan pintu pagar.

"Aku cintaaaa padamu, haruskah kuulangi ... dari mulutku sendiri, aku cintaaa ....'

"Prei, Mas, lewati aja!" ucap Taqiya lagi. Kali ini setengah berteriak agar dua pengamen itu mendengar.

Entah tidak mendengar atau memang sengaja, dua lelaki yang sedang genjrang-genjreng itu masih meneruskan aksinya. Taqiya jadi rada kesal. Pasalnya, siang itu ia harus menghadiri rapat. Ia tidak mau terlambat.

Namun, karena dua pengamen itu masih genjrang-genjreng, mau tidak mau, akhirnya Taqiya merogoh tas kecilnya untuk mencari lembar dua ribuan dan menyerahkan pada mereka.

"Terima kasih," kata salah seorang yang kebetulan lebih dekat dengan Taqiya. Lelaki itu memakai topi yang dilesakkan ke depan sehingga menutup wajah. Namun, tidak hanya selembar uang dua ribuan yang diambil, tetapi pengamen bertopi itu juga mencomot tangan Taqiya yang sedang terulur.

Tentu saja Taqiya terkejut. "Hei, Mas, jangan kurang ajar, ya!" Bentak Taqiya marah sambil menghentakkan tangannya.

"Halo, Qia ... Gimana kabar?" tanya lelaki itu cuek. Ia membuka sedikit topinya sambil cengar-cengir menatap Taqiya.

"Bayu ....!?" seru Taqiya terkejut. Pemuda itu adalah preman kampus yang entah kenapa akhir-akhir ini sangat usil mengganggunya.

Taqiya tidak habis pikir, bagaimana pemuda sangar itu bisa tahu tempat tinggalnya? Karena merasa terganggu, Taqiya membalikkan badan dan berteriak memanggil ayahnya.

"Ayaaaah ...."

Pengamen bernama Bayu itu terkejut. Belum sampai Qia berteriak untuk yang kedua kali, pemuda itu buru-buru menarik tangan temannya dan kabur. Tentu saja ia tidak mau digeruduk orang satu kampung.

Taqiya mendengkus kesal. Ia tidak menyangka bakal mengalami pelecehan seperti itu. Bayu memang sering mengganggunya di kampus, tetapi tidak pernah berani pegang-pegang seperti tadi. Lagipula, selama ini Qia tidak pernah menggubris sama sekali.

"Kenapa, Qi?" tanya ayahnya yang tergopoh-gopoh mendengar teriakan tadi. Lelaki yang kenyang makan asam garam itu tampak cemas. Pasalnya, Qia tidak pernah teriak-teriak seperti itu.

"Ada pengamen gila, Yah. Tapi sekarang sudah pergi."

"Apa? Kamu gak apa-apa, Qi?" Lelaki itu sangat terkejut. Raut mukanya menampakkan kecemasan yang luar biasa.

"Iya, Yah, Qia baik-baik saja.

"Benar?"

"Iya, Yah," jawab Qia mencoba meyakinkan. Untungnya sang ayah tidak bertanya-tanya lagi.

Qia buru-buru merapikan buku literasi yang tadi mau dimasukkan ke dalam tas, kemudian pamit pada ayahnya. Setelah itu, ia masuk ke dalam untuk mencari ibunya.

...

Siang itu, di ruang rapat ....

"Kamu nguap terus, Qi," bisik Ningrum yang duduk di sebelah Taqiya sambil menyikut pelan lengannya. Gadis bergamis blewah itu langsung gelagapan.

"Sorry, Rum, boring banget. Jadi ngantuk, deh," jawab Qia sambil berbisik pula. Ia lalu memperbaiki posisi duduknya.

Rapat kali ini memang terasa sangat membosankan. Taqiya sendiri heran, mengapa  ketua yayasan  mengundangnya dalam pertemuan kali ini. Terus terang, gadis duapuluh dua tahun itu merasa tidak pantas.

Taqiya hanyalah guru ekstrakurikuler kelas menulis yang baru beberapa bulan  direkrut di sela-sela kesibukannya di kampus. Ia sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk tentang yayasan dan program-program pengajaran di sana. Karena itu, Qia memutuskan duduk di kursi paling belakang. Dengan begitu, ia tidak merasa canggung dan yang lebih penting, gadis itu bisa menghindari tatapan tidak wajar dari Andre, sang ketua yayasan. Memang bukan tatapan kurang ajar, tetapi ia tetap tidak suka.

Taqiya tidak begitu mengerti arti tatapan itu. Hanya saja, Gadis itu merasa risih. Ditambah dengan tatapan sinis beberapa guru muda yang masih jomlo, betul-betul membuatnya merasa tidak nyaman.

Memang pernah ada selentingan kalau Andre menaruh hati padaTaqiya. Gosip itu ia dengar dari Ningrum, temannya sekaligus tetangga yang juga mengajar di sana. Akan tetapi, Taqiya tidak percaya. Lagi pula, ia sama sekali tidak tertarik dengan gosip murahan seperti itu.

"Dia itu sempurna, loh, Qi. Udah ganteng, tajir, punya kuasa, lagi. Kamu lihat, guru-guru muda di sini pada sibuk cari perhatian!  Mereka berlomba-lomba dengan berbagai cara, hanya ingin disapa dan mendapat senyum dari Pak Andre. Lah kamu, yang super duper cuek, malah mendapat perhatian lebih," tutur Ningrum suatu ketika. Saat itu, mereka sedang berbincang santai di rumah Ningrum.

"Justru itu, aku jadi merasa tidak enak. Apa ... sebaiknya aku keluar saja, ya?"

Gadis yang akrab disapa Qia itu bergumam, seolah pada dirinya sendiri. Tangannya meraih teh manis yang disuguhkan Ningrum, kemudian menyesap beberapa teguk. Lalu cangkir bening itu dia putar secara perlahan dengan kedua tangan, pertanda dirinya sedang berpikir keras.

"Eh, jangan dong, Qi!" cegah Ningrum buru-buru. Tentu saja ia menjadi panik. Apa yang akan ia katakan pada Pak Andre nanti kalau Qia jadi keluar? Tidak mungkin ia berterus terang dengan mengatakan kalau Taqiya sengaja keluar untuk menghindari lelaki itu.

Lagi pula, kedekatannya  dengan Taqiya membuat posisi Ningrum  di yayasan menjadi penting. Terus terang, saat ini Ningrum menjadi salah satu guru kepercayaan Andre karena keberadaan Taqiya. Tentu saja Ningrum  tidak ingin kehilangan tambang emasnya yang sangat berharga.

"Kenapa? Daripada pusing gak keruan dan dimusuhi banyak orang, mending aku keluar. Toh, sebenarnya aku tidak butuh-butuh amat dengan pekerjaan itu. Lagipula, skripsiku butuh banyak perhatian, takutnya malah keteteran. Tar malah gak kelar-kelar. Mana ... Pak Andre selalu bikin aku risih, lagi," gerutu Taqiya.

Ningrum mengeryitkan dahi. Ia heran dengan sikap Qia. Andre adalah impian gadis-gadis muda. Akan tetapi, sahabatnya itu malah menghindar.

"Benar, kamu tidak tertarik sama sekali?" selidik Ningrum.

"Gak," jawab Qia mantap.

"Tapi kenapa?" tanya Ningrum penasaran.

"Dia terlalu kaya, Rum,  juga sangat tampan. Kubayangkan, diriku pasti tidak akan sempat berbenah karena terlalu sibuk mengawasi dia. Aku sadar, orang seperti itu pasti menjadi incaran banyak wanita. Aku tidak yakin bisa hidup tenang dengannya," jawab Qia pelan.

Sekarang ia meletakkan cangkir teh yang tadi ke atas meja. Tatapan gadis itu mengarah ke Ningrum yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Kamu ini aneh. Pak Andre itu sangat baik, Qi. Ia tidak seperti pemuda kebanyakan. Aku yakin, kekhawatiranmu itu tidak akan terbukti. Lagipula, kamu tidak bisa meramal masa depan. Jangan berandai-andai seperi itu, Qi! Memangnya, kamu pingin kriteria yang seperti apa lagi?" kata Ningrum dengan nada tanya.

Taqiya terdiam, ia menghela napas. Mata gadis itu tampak menerawang. Tiba-tiba seulas senyum tergores di bibirnya. Ningrum jadi makin penasaran.

"Aku ingin seperti Ustazah Kamila dan suaminya. Lihatlah! Mereka tidak kaya, bahkan bisa dibilang sangat sederhana. Akan tetapi, kulihat mereka sangat bahagia. Suaminya sangat sabar dan penyayang. Ibadahnya tekun dan wajahnya selalu tampak bersinar. Ia tidak terlalu tampan, tapi selalu menatap Ustazah Kamila dengan tatapan penuh cinta. Kabarnya, beliau juga tidak segan membantu pekerjaan Ustazah di rumah. So sweet ....

Lihatlah anak-anak mereka. Bocah-bocah itu selalu santun dan menurut sama orang tua.  Mereka juga tidak risih dengan kerudung dan gamis yang mereka kenakan. Aku ingin seperti itu. Apakah impianku ini terlalu berlebihan, Rum? Apakah keinginanku ini terlalu muluk?" tanyaTaqia pelan. Mata gadis itu masih terlihat menerawang.

Ningrum  terdiam. Ia tidak menyangka kalau Taqiya memiliki keinginan seperti itu. Ia paham tentang apa yang baru saja dikatakan Qia. Ia kenal, siapa Ustazah Kamila dan suaminya.  Mereka adalah guru mengaji di tempat tinggal Ningrum dan Qia. Sedikit banyak, Ningrum dan Qia tahu beberapa hal tentang kehidupan sepasang suami istri itu.

Kalau sudah begitu, Ningrum tidak bisa berbuat apa-apa.  Sebenarnya apa yang diimpikan Taqiya itu juga menjadi impiannya. Namun, ia tidak seperti Taqiya. Ia masih sering tergoda dengan nikmatnya dunia.

"Kamu benar. Meski aku merasa senang jika kamu bisa bersanding dengan Pak Andre, tetapi aku tetap mendukung keinginanmu, Qi," kata Ningrum.

"Iya, Rum. Aku senang kamu mau mengerti. Saat ini, aku sedang  berusaha memantaskan diri, agar mendapat jodoh seperti itu, seperti  yang pernah dikatakan Ustazah Kamila," kata Qia. Lagi-lagi Ningrum hanya terdiam.

Itu adalah pembicaraan Taqiya dengan Ningrum beberapa hari yang lalu. Dan sekarang, gadis itu harus menghadapi situasi tidak menyenangkan karena ketua yayasan menaruh hati padanya.

Taqiya masih terus menerawang.

Pikiran gadis itu mengembara ke mana-mana. Para guru masih bersemangat mengikuti rapat. Silih berganti mereka bersuara untuk mengemukakan pendapat. Sesekali ruangan itu terdengar riuh, kemudian senyap, lalu ramai lagi. Sungguh, Taqiya tidak memperhatikan itu semua.

Sementara itu, Andre yang dari tadi memperhatikan Taqiya sambil memimpin rapat, menjadi penasaran. Apa sebenarnya yang dipikirkan gadis itu? Kadang Taqiya  terlihat senyum-senyum sendiri, kadang sangat murung, kemudian berubah cerah kembali.

Andre menjadi gemas dibuatnya.  Sempat terbersit dalam benak pemuda itu untuk mengerjai Taqiya, tetapi ia merasa tidak tega. Entah mengapa, kali ini ia betul-betul ingin merealisasikan keinginan itu. Namun, bagaimana caranya? Ia sendiri bingung. Pemuda itu tidak ingin kalau Taqiya tersinggung dan jadi benci padanya.

"Bagaimana, apa ada usulan dari Ustaz dan Ustazah semua?" tanya Adre akhirnya. Pria muda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Tidak ada jawaban, semua bungkam, begitu juga dengan Ningrum yang duduk di samping Qia. Di hadapan para pengajar itu, segala pendapat dan gagasan dari Andre selalu tampak sempurna.

"Bagaimana dengan Ustazah Taqiya? Apa ada usulan terkait pengembangan kemampuan siswa?" tanya Andre tiba-tiba.

Taqiya yang sejak tadi melamun tentu saja tidak tanggap. Ia hanya diam saja. Pikiran gadis itu masih tetap menerawang.

"Qi ...," bisik Ningrum sambil menggoyang-goyang lengan Taqia. Seketika, gadis itu menjadi gelagapan.

"Ada apa?" bisik Qia tak mengerti. Matanya menatap Ningrum dengan penuh tanda tanya.

"Kamu ditanya Pak Andre," jawab Ningrum sambil berbisik pula.

Taqia mengalihkan pandangan ke lelaki itu. Sang ketua yayasan tampak tersenyum sembari menunggu jawaban. Tentu saja gadis itu menjadi malu. Wajah tanpa polesan itu terlihat memerah.

"I ... iya, Pak?" tanya Taqiya terbata. Andre menahan tawa melihat tingkah lucu Taqiya.

"Barangkali ada usulan dari Ustazah terkait pengembangan potensi dan kemampuan siswa?" tanya Andre.

"Tidak, Pak.  Saya rasa sudah cukup," jawab Taqiya retoris.

Sekali lagi Andre tersenyum. "Apanya yang sudah cukup?" tanya Andre dalam hati. Ia yakin seratus persen kalau Taqiya tidak tahu apa-apa tentang apa yang mereka bicarakan tadi. Ia tahu kalau sedari tadi gadis itu tidak memperhatikan sama sekali. Akan tetapi, ia tidak tega kalau harus menegurnya.

"Ah, Qia ... andai apa yang ada di dalam benakmu itu adalah aku, pasti terasa sempurna hidupku," batin Andre.

Bersambung

Bab 2. Pengagum Rahasia

Cinta Putih

Aku mencari

Sepotong cinta putih murni

Di tengah kefanaan yang merajai

Di saat nafsu menjadi pengendali

Bukan,

Bukan cinta semu belaka

Bagai dongeng di kala senja

Kisah sang putri dan pangeran berkuda

Di taman impian selaksa makna

Di antara rumput dan pepohonan

Bunga-bunga elok bermekaran

Harum kemuning semerbak mewangi

Kumbang dan kupu-kupu menari-nari

Indah menyentuh relung hati

Bukan,

Bukan cinta berselimut fana

Tapi cinta langka yang hampir punah

Kokoh, hanya berharap lillah

Akulah pecinta gila

Mendamba rasa tak perduli kesah

Mencinta tak hirau derita

Biar kupungut

Biar kujumput

Cinta yang terserak

Cinta putih yang sejati

Seindah untaian kasih

Fatimah Azzahrah dan Sayyidina Ali

Aku terhenyak

Duduk tersimpuh menengadah

Berharap setitik saja

Datangnya cinta serupa

Penghilang segala dahaga

Laksana embun pagi penyejuk jiwa

Yaa illahi Robbi,

Sungguh kumendamba

Sungguh, ingin kumerasa

Cinta putih seperti mereka

.......................................................

Sudah puluhan kali Andre membaca puisi itu, tetapi ia tidak pernah bosan. Puisi itu seolah mewakili hati, jiwa, dan pikirannya. Bagi Andre, dirinyalah sang pendamba rasa. Dialah sang pecinta gila.

Sungguh aneh, tetapi nyata. Bahkan saat orang yang ia cintai sama sekali tidak tertarik padanya, ia tetap saja memuja.

Andre tahu, siapa penulisnya. Kemilau Senja, nama yang sangat cantik, secantik tulisan-tulisannya di media sosial.

Awalnya, pemuda itu hanya iseng baca-baca di beranda medsosnya. Maklum, setelah penat bekerja, ia ingin sedikit mencari hiburan. Ia menggulir dengan cepat status-status yang berseliweran itu. Tiba-tiba matanya menangkap satu judul yang tidak biasa,"Perjaka Mencari Cinta".

Wuiik, pas banget dengan dirinya. Mata Andre langsung terbuka. Rasa penasaran mulai mengalahkan penat dan lelah yang ia rasa. Pemuda itu pun akhirnya menekuri abjad demi abjad yang tergores di sana. Kadang ia tertawa sendiri, kadang juga kesal dan marah karena tidak setuju dengan pendapat Kemilau Senja. Coba saja simak sepenggal tulisannya.

Di zaman yang serba edan ini, perjaka semakin langka. Emak-emak semakin kesulitan mencarikan jodoh yang terbaik untuk putri-putri mereka.

Sebenarnya, gejala apakah ini?Bisakah kegundahan para emak ini tersolving dengan sempurna?

Siapa yang tidak marah, coba?

Menurut Andre, tulisan itu tidak berdasar dan sangat tendensius, betul-betul menyudutkan kaum Adam seperti dirinya. Ia yakin seratus persen, bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini yang betul-betul menjaga kehormatan, bahkan jumlahnya masih banyak. Begitu juga dengan wanita. Meski tak dapat dimungkiri, orang-orang yang kebablas dalam pergaulan juga tidak sedikit.

Akan tetapi, Andre sangat setuju bahwa semua itu terjadi karena kondisi. Sistemlah yang membentuk mereka berbuat seperti itu. Akses yang mudah, aturan yang longgar dan tidak tegas, kehidupan hedonis dan serba instan, keinginan untuk eksis dan berbagai anak turunan kapitalistik inilah yang menjadi pemicunya. Sayang, tulisan itu bersambung.

Penasaran dengan solusi yang ditawarkan, membuat Andre mengubek-ubek isi beranda Kemilau Senja. Agak sulit juga, karena beranda sang penulis dipenuhi dengan tag dari teman-temannya.

Akan tetapi, demi memuaskan rasa ingin tahu, ia rela naik turun beranda itu. Ternyata tulisan Kemilau cukup banyak. Ada kisah inspiratif, cerita bersambung, cerpen, bahkan puisi. Gaya tulisan yang renyah, polos dan kadang terkesan konyol, membuat Andre menyukainya.

Sejak saat itu, Andre mulai jatuh cinta pada setiap tulisan Kemilau Senja.

Sayangnya, tak ada satu pun foto yang terpampang di sana. Yang ia tahu, saat ini Kemilau masih jomlo seperti dirinya. Ia membayangkan, gadis itu pasti secantik tokoh-tokoh yang ia tulis dalam novelnya.

Bisa ditebak, Andre semakin jatuh cinta. Bahkan bisa dikatakan, pemuda itu kini mulai terobsesi pada Kemilau.

Tak hanya membaca tulisan di medsos saja, pemuda itu pun membeli semua buku yang ditulis oleh Kemilau senja. Bahkan, diam-diam ia bergabung dalam grup menulis yang dibuat gadis itu, padahal ia tahu kalau semua membernya adalah wanita.

"Gila kamu, Ndre! Kalau ketahuan gimana? Bisa-bisa, tuh cewek jadi benci sama kamu, loh," kata Boy, sepupu Andre. Waktu itu mereka sedang berbincang di teras rumah.

"Cuma kamu saja yang tahu. Kalau kamu tidak ember, gak bakalan ketahuan, lah," jawab Andre.

Si Boy hanya geleng-geleng kepala mengetahui kenekatan sepupunya. Andre yang saat itu sedang bersandar di salah satu kursi, hanya senyum-senyum saja.

"Trus, kamu pakai nama apa?" tanya Boy lagi. Ia yakin, gadis itu pasti tidak akan memberi izin untuk gabung di grup yang berisi wanita semua.

"Andrea," jawab Andre singkat.

"Gila ... benar-benar gila! Kamu, tuh ya! Hemmm ...."

Kembali, si Boy geleng-geleng kepala. Akan tetapi, Andre tidak perduli. Ia memang pecinta gila, seperti yang digambarkan Kemilau Senja dalam puisinya. Hingga suatu ketika, ia menemukan nama Ningrum di grup menulis yang dia ikuti dan dibimbing oleh Kemilau Senja.

***

Ningrum berdiri di depan pintu ruang kerja Andre dengan hati berdebar. Ia tidak tahu kenapa ketua yayasan itu memanggilnya. Seingatnya, ia tidak pernah melakukan kesalahan. Namun, tak urung ada rasa takut juga di hatinya. Pasalnya, Andre itu rada jutek, jarang berkomunikasi dengan para guru, kecuali ada hal penting yang mau dibicarakan.

Ningrum mengetuk pintu dan mengucap salam. Kebetulan pintu ruangan itu tidak tertutup. Di ruangan itu ada beberapa pengurus yayasan yang menempati meja masing-masing.

"Silakan duduk dulu, Ustazah. Saya menandatangani berkas-berkas ini sebentar," kata Andre sopan.

Ningrum mengangguk. Tanpa bicara, gadis itu duduk dengan menahan debaran aneh di dadanya. Apalagi saat tatapannya beralih ke arah wajah tampan yang sedang menekuri kertas-kertas itu, detak jantungnya semakin tak keruan.

"Saya ingin menghidupkan dunia literasi di sekolah kita. Ustazah Ningrum kan guru Bahasa Indonesia. Apakah Ustazah bisa membimbing anak-anak di ekstra kurikuler menulis?" tanya Andre tiba-tiba setelah merampungkan tanda tangan terakhir.

Ningrum yang sedang melamun sambil mengagumi wajah tampan di depannya tentu saja gelagapan. Untungnya ia segera bisa menguasai keadaan.

"Maaf Pak Andre, saya memang guru Bahasa Indonesia. Tapi, kemampuan literasi saya sangat standar. Kalau sekadar nulis saja, insyaallah bisa. Tapi kalau untuk membuat bermacam genre tulisan, seperti novel, cerpen, artikel populer, dan sebagainya, sebaiknya kita merekrut penulis sungguhan saja, Pak," jawab Ningrum berterus-terang.

Jujur, dunia literasi memang baru diterjuninya. Itu pun setelah ia menjadi salah satu guru penggerak. Meski ia sarjana sastra, tetapi tidak serta-merta mahir dalam dunia literasi.

"Apa Ustazah punya kenalan seorang penulis!" pancing Andre. Ia berharap, Ningrum menyodorkan nama Kemilau Senja.

"Ada, Pak. Namun, saat ini teman saya itu sedang menyelesaikan skripsi. Saya tidak tahu apakah ia bersedia atau tidak. Maklum, dia sangat sibuk."

Wajah Andre terlihat cerah. Ada sedikit tarikan ke atas di sudut bibirnya.

"Boleh saya tahu, siapa namanya?" tanya Andre tidak sabar.

"Namanya Taqiya. Dia tetangga saya. Ia sering menulis opini di media, juga beberapa tulisan fiksi. Saya akan menanyakan padanya, insyaallah," jelas Ningrum.

Andre diam beberapa saat. Lengkungan di sudut bibirnya seketika hilang. Sejujurnya ia agak kecewa dengan nama itu. Namun, entah mengapa ia tidak menolak ketika Ningrum mengatakan akan menanyakan kesanggupan Taqiya. Lagipula, tidak pantas rasanya ia mencabut kata-katanya.

Singkat kata, jadilah Taqiya mengajar di sana. Itu adalah awal mula kenapa Taqiya bisa mengajar di yayasan yang dipimpin oleh Andre.

Awalnya tidak ada yang istimewa. Namun, suatu ketika, Taqiya tanpa sengaja mengirim pesan ke Andre dengan nomor yang biasa dipakai khusus untuk identitas Kemilau Senja. Saat itu, ia sedang terburu-buru. Andre mengundangnya untuk menghadiri rapat bulanan, sementara ia sudah memiliki janji dengan dosen pembimbingnya di kampus.

Andre hampir tidak dipercaya, tentu saja ia sangat bahagia karena apa yang ia harapkan kini menjadi kenyataan. Ia kini bisa melihat secara langsung sosok penulis yang ia kagumi meski harus memendam rasa dalam diam.

Bersambung

Bab 3. Preman Kampus

Hari itu, Qia ada janji dengan dosen pembimbing. Namun, karena keasikan di depan laptop, dia jadi rada terlambat.

Biasanya, setelah salat dan murajaah, Qia langsung membantu ibunya berkutat di dapur, atau menyiapkan keperluan kuliah. Namun, kali ini ia malah melanjutkan tulisannya. Banyak ide berseliweran di kepala, menurutnya sayang kalau menguap begitu saja. Itu sebabnya, Qia buru-buru mengikat ide-ide itu agar tidak terbang.

"Jangan terburu-buru, Qi, nanti malah tidak bagus hasilnya. Ayo sarapan dulu," kata Ibu sambil menggelengkan-gelengkan kepala.

"Qia sudah terlambat, Bu. Qia tidak ingin Bu Dosen terlalu lama menunggu. La wong Qia yang butuh, kok," jelas Qia setelah menyeruput susu coklat buatan ibunya.

"Ya sudah, pokoknya hati-hati, jangan tergesa-gesa seperti itu. Ibu tidak ingin terjadi sesuatu padamu."

Taqiya mengangguk. Setelah pamit pada kedua orang tuanya, ia buru-buru mengeluarkan sepeda pancal, kemudian mengayuhnya cepat-cepat. Jarak antara rumah dan jalan raya memamg lumayan jauh, sementara gadis itu tidak bisa mengendarai motor. Untungnya, angkot yang ia tunggu segera datang. Untuk sementara, gadis itu merasa lega.

***

Begitu turun dari angkot, Taqiya langsung menuju rumah Aina yang tidak jauh dari jalan raya.  Mereka sudah janjian untuk menghadap dosen pembimbing bersama. Kebetulan, hari itu Ardi, suami Aina tidak bisa mengantar. Jadi, Taqiya bisa nebeng ikut motor Aina.

Sepuluh menit kemudian, mereka sudah sampai di depan kampus

"Buruan, Ai, kita sudah terlambat. Aku gak ingin Bu Leni menunggu terlalu lama," ajak Qia cemas begitu Aina menaruh motor matiknya di tempat parkir.

"Iya ... iya ... sabar dong, Qi. Kita Belum terlambat, kok," jawab Aina sambil menggamit lengan Qia. Keduanya lalu melangkah bersama.

***

Area parkir di kampus C Jurusan Teknologi Pangan saat itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang bergerombol di bawah pohon yang rindang. Terdengar celotehan khas anak muda di sela-sela nyanyian sumbang plus genjrang-genjreng suara gitar. Namun, begitu melihat Qia dan Aina melintas, nyanyian sumbang itu berhenti.

Tiba-tiba perasaan Qia tidak enak. Ia tidak ingin berburuk sangka, tetapi firasatnya mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan bakal terjadi.

"Halo, assalamu'alaikum, Qia. Mau menemui dosen pembimbing, ya?" Sebuah suara yang tampak dilembut-lembutkan masuk ke gendang telinga Qia.

"Tuh kan, bener," batin Qia. Gadis itu memegang lengan Aina erat-erat.

Qia menjawab salam itu dalam hati. Namun, ia pura-pura tidak mendengar.  Ia mengajak Aina berjalan lebih cepat. Saat itu, Qia ingin fokus pada bimbingan skripsi, tidak ingin diganggu dengan hal yang lain. Itu sebabnya, Qia tidak ingin meladeni mahasiswa-mahasiswa usil yang memang sering menggoda dirinya.

"Qi, kenapa tidak menjawab salam Abang? Kan dosa, Qi? Kamu masih marah, ya, sama Abang? Maaf, kapan hari Abang khilaf. Suer ... Abang janji, gak akan mengulangi lagi. Bisakah kita ngobrol sebentar? Ada hal penting yang ingin Abang sampaikan!" pemuda yang tak lain adalah Bayu, pengamen yang beberapa hari lalu mendatangi Qia di rumahnya mencoba berbicara. Kali ini sambil mendekat ke arah gadis itu.

Qia dan Aina masih tidak menghiraukan. Mereka terus melangkah tanpa mengucap sepatah kata.

"Qi ... tunggu ...." Bayu tidak mau menyerah. Sekarang posisinya tepat berada di depan Qia dan Aina.

Sementara itu, teman-teman Bayu masih bergerombol di tempat semula. Suara genjrang-genjreng masih terdengar, tetapi agak pelan.

"Maaf ya, Kak. Kami sedang terburu-buru." Kali ini Aina yang menjawab. Ia berharap, kakak tingkat yang bergelar mahasiswa abadi itu mau mengerti.

"Sebentar aja, Ai. Tolong bilangin Qia, Abang cuma mau ngomong sebentar."

Aina melirik sebentar ke arah Qia. Wajah gadis itu tampak pucat. Kelihatan sekali kalau Qia sedang ketakutan. Maklum, Bayu selama ini dikenal sebagai preman kampus. Aina jadi tidak tega melihat temannya seperti itu.

"Maaf, Kak. Mungkin lain kali, deh. Soalnya Bu Leni sudah nungguin dari tadi. Mari, Kak!" pamit Aina akhirnya. Tangan gadis itu menggamit lengan Qia dan melangkah dengan cepat.

Beruntung Bayu tidak memaksa. Ia menggeser sedikit tubuhnya dan membiarkan dua wanita cantik itu lewat. Namun, tatapannya tidak lepas dari mereka.

"Ha ha ha ha, kasihan ... Jagoan kita dicueki!" Terdengar suara tawa sahut-menyahut. Bayu hanya diam, wajahnya tampak datar.

"Lagian, anak masjid diembat juga," celetuk yang lain.

Suara mereka cukup keras sehingga masih terdengar oleh Qia dan Aina.

"Memangnya kenapa kalau anak masjid? Justru karena Qia anak masjid, gue mau deketin dia. Lagian, gue serius, kok, sama dia," jawab Bayu ringan.

"Ha ha ha ha. Gak level, Bay. Preman kampus ngarep anak masjidan, mana mau dia? Berani taruhan?" 

celetuk sebuah suara diiringi derai tawa yang lain.

"Ogah!" sahut Bayu cepat.

"Ha ha ha ... Kenapa? Lo takut? Belum-belum udah menyerah duluan, gitu kok ngotot mau dapetin Qia?"

"Siapa bilang gue menyerah. Gue, sih yakin, bisa dapetin Qia."

"Trus, ngapain lo nolak taruhan dengan kita?"

"Dasar songong lo! Qia tuh, gak pantas dijadikan bahan taruhan, ngerti gak, lo?" jawab Bayu sambil menjitak kepala temannya yang bicara tadi.

"Trus ... mau lo, apa?"

"Gue memang preman, Bro, tapi soal pasangan hidup, gue gak main-main. Bagi gue, nikah itu sekali seumur hidup, jadi gue gak mau sembarangan. Jelek-jelek gini gue masih bisa mikir, gue gak bakal nanam benih gue di sembarang lahan," jawab Bayu serius.

Saking seriusnya, teman-teman Bayu yang lain pada diam, lebih tepatnya bengong. Tumben-tumbennya Bayu, pemuda yang suka berantem itu ngomong dengan benar.

"Lo serius, Bro?" tanya salah seorang dari mereka.

"Seriuslah. Apa kalian lihat kalau gue seperti sedang main-main?" Semprot Bayu sewot.

"Trus, gadis-gadis yang selama ini lo pacarin itu mau di kemanakan?" todong seorang teman.

"Mereka mah, cuma mainan, Bro, buat seneng-seneng. Kalau buat dikenalin ke emak gue, yang pantes ya ... Qia itu."

Semua yang ada di situ saling pandang, hampir tidak percaya. Selama ini Bayu memang dikenal sebagai playboy kelas kakap. Satu-satunya keahlian yang dimiliki Bayu adalah merayu wanita. Namun, untuk menghadapi Qia, dia seolah mati gaya. Itu yang membuatnya semakin penasaran dan lama-lama jatuh cinta sungguhan. Hanya saja, Qia tidak pernah menganggapnya. La wong Qia sendiri sedang belajar memantaskan diri, berharap mendapat jodoh yang baik, dunia dan akhirat, mana sempat meladeni preman kampus macam Bayu.

Sementara itu, Qia yang belum terlalu jauh dari tempat itu, masih mendengar apa yang diperbincangkan cowok-cowok tadi. Bukannya bangga, ia malah bergidik, ngeri. Gadis itu semakin erat mencengkeram lengan Aina membuat wanita muda bermata biru itu menoleh padanya.

"Memangnya, apa yang terjadi antara kamu dengan Kak Bayu? Kenapa dia ngotot pingin minta maaf?" tanya Aina keheranan.

Qia melirik sejenak ke arah Aina, kemudian menatap lurus ke depan. Ia lalu mulai bercerita.

"Jujur aku nggak ngerti apa maunya Kak Bayu. Kapan hari dia datang ke rumah, nyamar sebagai pengamen. Awalnya, aku gak ngerti kalau itu dia. Pas kukasih uang receh, tiba-tiba dia nyomot tangan aku juga. Aku kan kaget setengah mati. Seumur-umur, baru kali itu dilecehkan oleh seorang lelaki. Pas aku teriak panggil ayah, eeeh ... dia lari terbirit-birit sama temannya," tutur Qia.

"Ya Allah, nekat banget, sih, dia. Kamu yang hati-hati ya, Qi. Apa perlu, aku kasih tahu persoalan ini ke Mas Ardi dan Bram. Kayaknya Kak Bayu itu perlu diberi pelajaran," kata Aina prihatin. Jujur, ia sangat mengkhawatirkan Qia.

Sontak Qia menoleh ke arah Aina. Tentu saja ia menolak. Sungguh, Qia merasa malu kalau suami dan ipar Aina mengetahui hal ini.

"Ya sudah, kalau ada apa-apa, kamu harus cerita Qi. Insyaaallah kami siap membantu."

Qia mengangguk. Tiba-tiba benaknya dipenuhi dengan gambar wajah Bayu. Sebenarnya ia sangat takut. Ia khawatir kalau Bayu berbuat nekat.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!