Sejak menerima tawaran Ningrum untuk mengajar ekstra kurikuler di yayasan sekolah Bina Insani, Qia tampak lebih sibuk. Skripsinya memang belum kelar, tetapi ia juga menyempatkan diri untuk menulis opini dan novel. Sebenarnya, menjadi guru bukanlah pilihannya, apalagi jurusan dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia mengajar.
Namun, Qia seorang penulis. Ia berpikir tidak ada salahnya berbagi ilmu yang selama ini ia dapat secara otodidak. Toh, ia juga membuka kelas menulis secara online dengan nama Kemilau Senja. Jadi, tidak masalah kalau sekarang ia menjadi pengajar di sekolah Ningrum. Apalagi, yang ia ajarkan adalah sesuatu yang sangat disukainya sejak kecil, menulis.
Sore itu Taqiya memutuskan untuk pergi ke rumah Ningrum. Hampir tiga minggu mereka tidak berjumpa. Memang, sekarang ini sekolah sedang masa ujian. Jadi, semua kegiatan eksrakurikuler ditiadakan. Karena itu, tidak ada alasan bagi Qia untuk datang ke sekolah.
Ningrum sendiri akhir-akhir ini sering tidak datang ke pengajian di rumah Ustazah Kamila. Ia memang sangat sibuk. Maklum, temannya itu ditunjuk oleh Andre sebagai ketua pelaksana ujian. Karena itu, mereka jadi jarang bertemu.
Rumah Ningrum tidak terlalu jauh. Cukup sepuluh menit bersepeda, Qia sudah sampai. Apalagi, sore-sore begini, gang kecil di tempat mereka agak sepi karena anak-anak yang biasanya bermain kini sedang mengaji.
"Hai, Qi! Kebetulan kamu datang. Ayo, masuk!" ajak Ningrum setelah mereka berbalas salam dan cipika-cipiki.
"Wah, pucuk dicinta ulam tiba," jawab Taqiya sambil tertawa ringan.
"Iya, Qi. Aku mau antar undangan buat kamu," kata Ningrum sambil tertawa pula.
"Undangan? Alhamdulillah, kamu mau nikah, ya? Kok gak pernah cerita? Keterlaluan banget sih, Rum? Dengan siapa? Pak Andre ngelamar kamu, ya?" cecar Qia dengan mata berbinar gembira.
"Eih, satu-satu dong, Qi! Kalau kamu nyerocos gitu, bagaimana aku bisa menjawab?" jawab Ningrum.
"Iya ... iya, aku minta maaf. Habisnya, aku terlalu gembira. Akhirnya kamu bagi-bagi undangan juga," kata Qia.
Ningrum terdiam. Ia menatap Taqiya penuh arti. Ia tahu, sahabatnya itu tidak sedang mengolok-olok. Akan tetapi, entah kenapa, hati Ningrum terasa perih.
"Bukan undangan nikah, Qi. Lagian, kamu tahu kan, Pak Andre tidak mungkin melamarku? Pak Andre itu sukanya sama kamu," jawab Ningrum lirih. Wajah manis itu berubah menjadi sendu.
Taqiya tercekat. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Sungguh, Qia tidak bermaksud menyakiti hati Ningrum. Selain karena alasan yang sudah pernah dia sampaikan waktu itu, sebenarnya Qia selalu menghindari Andre karena ingin menjaga hati Ningrum. Ia tahu, selama ini Ningrum juga menyukai Andre. Hanya saja, gadis itu tidak pernah menampakkannya seperti guru-guru muda lain. Ningrum lebih memilih menyimpan perasaan itu rapat-rapat. Namun, Qia tahu apa yang dirasakan Ningrum. Sebagai seorang penulis, ia memang selalu dituntut untuk peka.
"Maafkan aku, Rum. Aku tidak bermaksud ...."
"Sudahlah, tidak usah dibahas lagi! Aku tidak apa-apa, kok. Tapi, tolong jangan bilang kayak gitu lagi, ya! Aku malu, Qi, kalau ada yang denger. Nanti dikira aku yang ngebet! Lagian, Pak Andre gak mungkin melamar aku. Itu sih jauh api dari panggang," kata Ningrum dengan mimik serius.
"Hei, mana bisa begitu? Segala sesuatu itu mungkin, Rum. Lagian, kalian itu cocok, loh. Dunia kalian sama. Sepertinya kalian saling mengeri satu sama lain. Kurasa, itu juga modal utama," balas Taqiya.
"Qi, please! Jangan ngomongin itu lagi, ya! Kamu tahu kan, Pak Andre itu maunya sama kamu, bukan yang lain," kata Ningrum.
"Dia hanya belum menyadarinya saja, Rum. Aku tidak bermaksud melambungkan anganmu. Tapi, itu adalah hasil analisaku yang mendalam."
"Hemmm, sekarang ngomongnya pakai analisa-analisa segala," gurau Ningrum, mencoba untuk menetralisir kebat-kebit di hatinya. Benarkah yang dikatakan Taqiya barusan? Sungguh, Ningrum tidak ingin bergayut pada angan kosong.
"Itu betul, Rum. Lagian, aku tidak bisa menerima Pak Andre," kata Qia serius.
"Tapi kenapa?"
"Kamu sudah tahu alasannya, Rum. Lagipula, Ahad besok, ada seorang ikhwan yang akan datang ke rumah bersama dengan kedua orang tuanya. Untuk itulah aku datang kemari, buat kasih kabar ke kamu, sebagai seorang teman," jawab Qia mantap.
"Jadi, kamu mau dilamar? Kapan prosesnya? Kok, aku gak dikasih tahu?" cecar Ningrum dengan mata terbelalak.
"Maafkan aku, Rum. Akhir-akhir ini, kamu sangat sibuk. Bahkan, ke kajian pun agak jarang. Kita juga hampir tidak pernah ketemu. Kamu ingat kan, saat kubilang kalau aku ingin memantaskan diri? Sebenarnya, saat itu, ada ikhwan yang ingin bertaaruf denganku. Tapi karena belum pasti, aku belum berani cerita," jelas Taqiya lirih. Sejujurnya ia merasa bersalah, karena tidak cerita dari awal pada Ningrum.
Ningrum menatap Taqiya tak berkedip. Ia hampir tak percaya. Sungguh, keteguhan hati temannya itu kini telah berbuah. Doa-doanya kini telah diijabah. Sebenarnya ia sangat bahagia untuk Taqiya. Akan tetapi, bagaimana dengan Andre?
"Selamat ya, Qi. Akhirnya Allah menjawab doa-doamu. Kamu mendapat jodoh sesuai dengan apa yang kau impikan. Aku turut berbahagia, tapi ...."
"Tapi kenapa?" tanya Qia tak mengerti.
"Bagaimana dengan Pak Andre? Ia pasti sangat sedih," jawab Ningrum lirih. Semula, wajah manis itu terlihat bahagia. Akan tetapi, begitu bibirnya menyebut nama Andre, wajah gadis itu seketika berubah murung. Taqiya jadi merasa prihatin.
"Kamu sangat peduli pada Pak Andre rupanya. Kamu memang paling mengerti dirinya. Aku yakin, bersamamu, ia akan baik-baik saja. Berdoalah, Rum! Mintalah pada Allah, agar Pak Andre menyadari perasaan yang sesungguhnya. Aku juga berdoa, dari lubuk hati yang paling dalam, semoga jodohmu adalah dia," kata Taqiya dengan tulus.
Ningrum menangkap ketulusan itu lewat mata Taqiya. Karena itu, mata Ningrum berkaca-kaca. Wajahnya mulai terasa panas. Rasa yang selama ini ia pendam secara diam-diam, kini akhirnya terluapkan bak bendungan jebol. Ia tak dapat lagi menahan gejolak hatinya. Saat Taqiya menyentuh tangannya untuk memberikan dukungan, ia sudah tidak sanggup lagi menahan diri. Butiran-butiran bening itu pun akhirnya mengalir juga di pipi Ningrum. Gadis itu mulai terisak di pelukan Taqiya.
Qia membiarkan Ningrum meluapkan semua emosi. Gadis itu hanya menepuk-nepuk pundak sang teman untuk menenangkannya. Beberapa saat kemudian, Ningrum melepaskan pelukan itu.
"Terima kasih, ya, Qi! Kamu memang paling mengerti aku," kata Ningrum setelah berhasil menguasai diri. Qia hanya tersenyum.
"Oh ya, kalau boleh tahu, siapa lelaki yang beruntung itu?" tanya Ningrum lagi.
Taqiya menghela napas sejenak. Kemudian menatap temannya lekat-lekat.
"Namanya Prasetyo. Ia seorang wartawan senior di salah satu media nasional. Pucuk dicinta ulam tiba, ternyata ia sudah lama menjadi murid Ustaz Hanif, suami Ustazah Kamila," tutur Qia pelan. Mata kelinci itu terlihat berbinar. Jelas sekali kalau Taqiya sangat bahagia.
"Alhamdulillah, seperti yang kamu impikan. Aku ikut bahagia, Qi," jawab Ningrum tulus.
Sesaat suasana menjadi hening. Kedua gadis itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ningrum ingat perkataan Taqiya dulu.
"Begitu orangnya, begitu pula jodohnya, Qi."
Taqiya sangat rajin mengaji dan menebar kebaikan, baik melalui lisan atau tulisan. Karena itu, Allah memberinya jodoh yang serupa. Tidak seperti dirinya, yang akhir-akhir ini lebih mengedepankan urusan dunia.
Ada satu lagi kesamaan mereka. Taqiya dan calon imamnya sama-sama kuli tinta. Mereka memang sangat cocok. Dengan tulus, Ningrum berdoa, semoga Allah memberkahi mereka.
Entah apa yang akan ia sampaikan pada Andre besok. Yang jelas, lelaki itu pasti sangat sedih. Akan tetapi, ia bisa apa? Ia tidak bisa mengatur jalan hidup Taqiya. Ia juga tidak bisa memaksa Andre, pujaannya untuk mengalihkan hati padanya. Akhirnya, Ningrum hanya bisa pasrah.
"Oh ya, tadi kamu mau ngasih undangan apa?" tanya Qia. Tiba-tiba ia teringat ucapan Ningrum tadi.
"Oh iya, ya. Aku juga hampir lupa. Untung kamu ingatkan," jawab Ningrum sambil beranjak. "Sebentar, ya!"
Taqiya mengangguk. Ia menunggu dengan sabar. Tiba-tiba telepon gengam milik Taqiya bergetar. Serta-merta ia merogoh tas kecil miliknya dan mengambil benda pintar itu.
Sebuah pesan lewat WA masuk. Qia mengernyitkan kening.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Atik Setya
saya pernah baca ini. tapi di mana, lupa. asyik, bisa baca lagi. jazakillah khoyron katsiron, Cikgu.
2023-05-22
0
Atik Setya
hihihi lucu si Qia
2023-05-22
0
Atik Setya
serasa ada diriku di sini. ups
2023-05-22
0