Revenge By Law
Lima belas tahun yang lalu
Abi mencoba menarik napas, meski ia harus merasakan sesak yang keterlaluan dari dadanya. Setiap tarikan napas yang berhasil dihirup dengan susah payah, selalu bercampur dengan aroma darah dan kulit hangus di tubuhnya. Wajahnya hanya tergeletak tak berdaya di atas meja interogasi. Ia berusaha melihat sekelilingnya, namun yang terlihat hanya pemandangan buram tak berbentuk.
Satu-satunya indera yang masih menjalankan tugas dengan baik adalah telinganya. Ia mendengar gerakan grasak-grusuk dari beberapa orang dan sedikit obrolan mereka. Meski dalam keadaan sekarat, ia masih mengingat wajah seram kedua orang yang membuatnya babak belur itu. Yang satu memiliki kumis tebal ala penjahat di film-film India, dan yang lain menggunakan plester lebar di pipi kirinya.
Sudah lebih dari sejam ia harus menerima pukulan dan tendangan serius dari dua orang itu. Mereka menuntut ucapan pengakuan salah dari mulut Abi. Sesuatu yang sederhana, tapi Abi tak bisa memberikannya pada mereka. Ia merasa tidak punya kewajiban untuk melakukan itu, bahkan sangat bertentangan dengan prinsip yang dipegangnya. Baginya, meminta maaf ketika melakukan sesuatu yang benar akan menghancurkan jati dirinya, meludah ajaran-ajaran yang selama ini diterimanya, menghina usahanya untuk menjadi orang baik.
Dan prinsip itu bukan hanya membuat tubuhnya harus terjamah pukulan dan tendangan. Kesabaran dua pria itu semakin pudar dan akhirnya stun gun milik mereka harus menjalankan tugas. Arus puluhan miliampere beberapa kali menjalar di sekujur tubuh Abi hingga menyebabkan beberapa bagian kulitnya hangus terbakar, terutama di bagian lehernya. Jeritan meminta belas kasihan yang keluar dari mulut Abi seakan tak mereka hiraukan.
“Baik, aku akan meminta maaf.”
Ucapan lirih itu menyita perhatian dua pria bertubuh tegap tersebut. Mereka melihat Abi yang masih merebahkan kepalanya di atas meja. Salah satu di antara mereka mengangkat tubuh Abi dan menyeretnya ke luar ruangan.
Mereka berpindah ke ruangan lain yang mirip dengan kantor. Sebuah meja pimpinan berada tepat di hadapan pintu masuk. Di dekatnya ada satu set sofa lengkap dengan meja petak berkaki pendek. Di atas sofa itu sudah duduk sepasang suami istri dan di antara mereka duduk remaja berseragam identik dengan yang Abi kenakan saat itu. Wajahnya terdapat beberapa luka. Cukup parah, namun masih jauh lebih baik dengan yang dimiliki Abi.
“Bagaimana? Sudah cukup?” tanya salah satu pria berwajah seram tadi.
Pasangan suami istri itu tersenyum. Pun demikian dengan anak remaja yang terlihat seperti anak mereka.
“Bagaimana, Roy?” Sang ayah melanjutkan pertanyaan itu kepada anaknya.
Anak remaja itu berpikir sejenak lalu berkata, “Aku ingin dia meminta maaf.”
“Tenang saja, dia sudah bersedia melakukannya,” ujar pria berwajah seram lainnya, yang sedang sibuk menopang tubuh Abi.
Mereka tersenyum puas. Terlihat pasangan suami istri itu melanjutkan percakapan akrab mereka dengan orang yang duduk di kursi pimpinan, seorang pria berseragam polisi dengan lambang tiga balok emas di pundaknya. Dia adalah kepala di Polsek itu. Tiba-tiba perhatian mereka teralihkan dengan sebuah suara lirih.
“Aku tidak bersalah. Dia dan temannya mencoba menyerang temanku. Aku hanya ingin melindunginya.”
Salah satu pria seram itu memukul wajah Abi hingga darah kembali mengucur dari hidungnya. Ia kesal karena Abi kembali menolak untuk meminta maaf, tidak seperti kesepakatan terakhir di ruang interogasi tadi. Sang AKP membentak karena bawahannya mencoba mengotori ruangannya dengan darah dan bau amis.
“Bukankah dia sudah bilang kalau dia hanya bercanda? Semua temanmu yang melihat kejadian itu bilang kalau kau yang duluan menyerang,” kata pria berwajah seram lainnya.
“Aku tidak menyerangnya duluan. Aku hanya memegang tangannya. Justru dia dan teman-temannya yang terlebih dulu memukulku,” bantah Abi.
“Itu sudah termasuk menyerangnya.”
Abi memegang dadanya yang kembali terasa sakit. Melihat kondisi tubuhnya saat ini, ia sudah terlalu banyak bicara. Pasokan oksigen yang terkurung di dalam dadanya tinggal sedikit lagi dan ia masih kesulitan untuk bernapas. Tapi sifatnya yang keras kepala membuatnya tak ingin berhenti untuk membela diri.
“Logika macam apa itu? Aku tahu kalian mencoba untuk membohongiku. Tapi sayangnya, aku bukanlah orang bodoh.”
Seisi ruangan menggeleng kepala seakan mulai lelah untuk menanggapi kengototan seorang anak SMA yang bukan siapa-siapa itu. Sang kapolsek akhirnya berdiri dari kursinya kemudian berjalan perlahan ke arah Abi. Setelah berada di hadapannya, ia memegang pundak Abi dan sedikit menunduk hingga wajah mereka hampir berdekatan.
“Jika kau tidak bodoh, kau pasti tahu kalau negara ini adalah negara hukum. Hukum yang memiliki kekuasaan tertinggi di negara ini. Sebagai aparat penegak hukum, kami bertindak sesuai dengan hukum dan kami sangat memahami hukum, jauh lebih baik daripada bocah ingusan sepertimu. Jadi, mempertanyakan logika hukum pada kami sama saja dengan menghina kami. Kau harus belajar hukum terlebih dahulu sebelum melakukannya.”
Wajah sang kapolsek mendadak berubah. Jauh lebih menyeramkan dari kedua anak buahnya itu. Bahkan tubuh Abi yang telah dalam kondisi lemas karena penganiayaan tadi, semakin lemas hanya karena melihat wajah itu.
Melihat atasannya sudah berada di puncak kekesalan, kedua pria yang menginterogasi Abi tadi menyeret pemuda itu dan bersiap untuk membawanya keluar. Namun, bukannya merasa takut, Abi malah menepis genggaman tangan mereka hingga tubuhnya yang lemah hampir terjatuh. Dan tanpa diduga, ia memegang lencana di pundak sang kapolsek untuk menopang tubuhnya. Matanya membara seakan membalas amarah dari pria yang ada di hadapannya itu.
“Kalau begitu, aku akan kembali. Aku akan belajar hukum dan kembali untuk membalaskan semua perbuatan kalian dengan senjata yang sama dengan yang kalian pakai untuk menyiksaku hari ini. Aku akan membuat kalian menderita sehingga kalian menyesali semua yang telah kalian lakukan padaku hari ini. Aku berjanji dan meski itu akan terjadi sebulan, setahun atau puluhan tahun dari sekarang, aku pasti akan melakukannya.”
Seisi ruangan mendadak hening. Entah karena ancaman itu atau karena tatapan tajam Abi. Tiba-tiba mereka tertawa. Salah satu pria berwajah seram memukul kepala Abi hingga tubuhnya jatuh berlutut ke lantai.
“Belajar hukum? Kau ingin menjadi pengacara? Jaksa? Atau hakim? Dengar, kau akan dipenjara, itu artinya sekolah akan mengeluarkanmu. Kau juga akan memiliki catatan kejahatan. Kau pikir dengan keadaanmu sekarang kau bisa bermimpi setinggi itu?”
Abi hanya diam mendengar ejekan itu. Wajahnya menegang dan giginya berkertak. Ia menatap seluruh orang di ruangan itu, satu per satu. Ia berharap tidak akan melupakan wajah-wajah itu dan kesakitan yang ia rasakan hari itu. Hatinya dipenuhi oleh serangkaian janji untuk membalaskan perbuatan mereka semua.
*
Saat ini
Kepala Abi terkulai tak berdaya di atas meja. Tangannya yang terborgol sedang menekan perutnya untuk sedikit mengurangi rasa sakit yang cukup besar. Memang, sejak tadi perutnya adalah area pukulan dengan frekuensi terbanyak.
Abi melirik, ada dua orang polisi berpakaian pegawai kantoran sedang membahas tentang restoran khas India yang baru buka di pasar Minggu. Sikap mereka sangat santai, tidak terlihat seperti orang yang sedang menyiksa sesamanya. Dari pembicaraan mereka, Abi bisa mengidentifikasi jika polisi berkumis tebal adalah Aipda Carlos dan polisi yang terlihat lebih muda adalah Briptu Donny.
Kemudian mereka kembali melemparkan pertanyaan yang sama pada Abi dan lagi-lagi mereka mendapatkan jawaban yang sama. Dengan wajah kesal, Briptu Donny mengeluarkan stun gun dan sesekali menekan tombolnya. Aipda Carlos mengingatkan agar jangan sampai mengenai area yang mudah terlihat.
Abi sama sekali tak menyangka kejadian paling kelam di dalam hidupnya lima belas tahun yang lalu akan kembali menimpanya. Padahal ia sudah berusaha untuk sedapat mungkin tidak berurusan dengan polisi dan orang kaya pembuat onar seperti Roy. Tapi ternyata takdir berkata lain.
Suara dari ponsel Aipda Carlos berdering. Si empunya segera mengangkat panggilan tersebut dan berjalan ke luar.
“Halo, Pak. Iya, sedang dalam proses. Ada sedikit masalah karena dia ngotot kalau yang mengirim sabu-sabu itu bukan Mischa.” Aipda Carlos berhenti berbicara seakan sedang mendengar sesuatu yang serius. “Bukan, dia bukan siapa-siapa. Kami sudah menyelidiki latar belakangnya. Dia hanya driver ojol biasa, anak seorang pelacur yang besar dan tinggal di lokalisasi, putus sekolah saat SMA, sebelumnya punya dua catatan kejahatan, yaitu penganiayaan ringan dan penipuan. Sepertinya dia sudah akan menyerah. Kami akan membuatnya mengaku jika sabu-sabu itu milik Mischa.”
Polisi itu menutup ponselnya dan kembali masuk ke dalam ruang interogasi. Ia tersenyum ketika melihat ada selembar kertas di hadapan Abi, sudah dibubuhi tanda tangannya. Briptu Donny yang berada di samping Abi juga ikut tersenyum.
“Saatnya melakukan jumpa pers.”
Beberapa jam kemudian, Abi dibawa ke halaman depan kantor polisi dengan wajah tertutup topeng. Dengan menahan sakit, ia berjalan sambil ditarik secara paksa oleh salah satu polisi. Ia melihat beberapa wartawan sudah berkumpul menghadap meja panjang yang di atasnya tergeletak sebuah kotak kardus kecil berwarna coklat. Abi sangat mengenal benda itu, benda yang membuatnya berurusan dengan pihak kepolisian lagi. Kemudian ia diarahkan untuk berdiri menghadap tembok di belakang meja panjang itu.
Beberapa saat kemudian, datang beberapa orang dengan sarung tangan karet. Wajah mereka sangat berwibawa dan sorot matanya tegas. Mereka mengambil tempat duduk di belakang meja panjang itu.
Selama hampir seperempat jam, Abi hanya bisa mendengar ocehan salah satu anggota polisi yang menggunakan sarung tangan tadi. Ia adalah Iptu Simon, Kasat Resnarkoba yang menjadi penyidik kasus ini. Pria itu menerangkan kronologis penangkapannya kemarin dan menjawab pertanyaan dengan lugas. Kemudian Abi mengingat beberapa adegan di ruang interogasi beberapa jam yang lalu.
“Kau tahu ancaman bagi kurir narkoba? Menurut pasal 111, 112, 113, 114 dan 132, kau bisa dihukum minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati. Melihat jumlah barang yang kau bawa, bukan tidak mungkin kau akan dihukum mati.”
Demikian ancaman Briptu Donny. Abi tidak menjawab. Ia sibuk menahan rasa sakit akibat pukulan yang bertubi-tubi mereka muntahkan ke tubuhnya. Ia sadar, setelah bertindak sebagai polisi jahat, kini mereka akan berperan sebagai polisi baik yang ingin menolongnya.
“Pikirkanlah, kau tidak perlu mati hanya untuk menyelamatkan orang yang bukan siapa-siapamu. Berapa pun ia memberikanmu uang, itu tidak sebanding dengan nyawamu.”
Abi mengangkat kepalanya dan menatap polisi itu dengan mata sayu akibat lebam. Kemudian ia menjawab dengan lirih, “Tapi itu bukan dia dan aku tidak dibayar selain ongkos pengiriman sesuai aplikasi.”
Polisi itu menghela napas dan tiba-tiba menyetrum perut bagian kirinya dengan stun gun. “Kau hanya perlu mengatakan apa yang kau lihat! Kenapa kau begitu keras kepala?”
Sambil mengingat kejadian menyeramkan itu, Abi hendak menyentuh bekas setruman tadi karena mendadak terasa perih. Namun, polisi yang ada di sebelahnya menahan setiap pergerakannya yang tidak perlu.
Tiba-tiba terjadi kehebohan para insan pers. Ternyata hal itu dipicu oleh salah satu ucapan Iptu Simon. “Menurut keterangan pelaku, narkoba tersebut bukan miliknya, melainkan milik seorang artis berinisial MR. Pelaku yang merupakan driver ojol hanya mengantar barang yang berisi narkoba sesuai pesanan yang dilakukan oleh MR. Kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kebenaran dari keterangan tersebut. Untuk MR sendiri, kami sudah melakukan upaya pemanggilan, namun yang bersangkutan belum diketahui keberadaannya.”
Seluruh awak media yang meliput secara bersamaan mengangkat tangan sambil meminta giliran untuk melemparkan pertanyaan. Informasi tentang keterlibatan seorang artis akan menjadi sebuah berita besar yang merupakan santapan mewah bagi mereka. Untuk itu, mereka perlu mengorek lebih banyak lagi keterangan. Bahkan ada beberapa wartawan yang langsung melemparkan pertanyaan kepada Abi.
“*Van rechtswege nieting; null and void***.**”
Suasana mendadak hening. Sebuah suara lantang terdengar entah dari mana asalnya. Para polisi dan awak media di sana celingak-celinguk mencari sumber suara itu.
“Suatu proses peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum.”
Suara itu kembali terdengar. Akhirnya mereka menemukan asal suara itu ketika seorang pria berbaju jingga yang sebelumnya selalu membelakangi mereka, kini berbalik badan.
“KUHAP pasal 117 ayat 1, Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.”
Abi membuka topengnya dan mengangkat baju hingga sebatas dada. Terlihat jelas wajah dan tubuhnya yang penuh dengan luka lebam dan luka bakar.
Untuk beberapa detik awal, para awak media hanya terperangah melihat tubuh penuh luka mengerikan dan serta mendengar ucapan lantang Abi, seakan momen tersebut melumpuhkan kemampuan berpikir mereka sejenak. Kemudian, terjadi kehebohan dan mereka segera mengabadikan pemandangan itu dengan kamera mereka masing-masing.
“Sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di dalam hukum dan wajib menjunjung tinggi hukum, saya menyatakan semua keterangan yang disampaikan pihak penyidik dengan mengatasnamakan saya tidak benar dan tidak sah secara hukum.”
Situasi semakin heboh dengan pernyataan Abi tersebut. Sebagian memastikan apakah tindak kekerasan selama penyidikan benar terjadi, sebagian lagi memastikan apakah MR tidak benar terlibat dalam kasus tersebut.
“Pasal 54 KUHAP, Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Setelah menyebutkan pasal tersebut, Abi menghela napas lalu melanjutkan kalimatnya, “Saya membutuhkan pengacara.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Laila Zayn
wow...... sepertinya seru nih. mampir ya, thor.... ☺
2024-05-31
0
Kita_Yama
Ayo editor!! rekomendasinya banyakiin
2023-05-07
2
Kita_Yama
Novel sebagus ini kenapa sepii????😭
2023-05-07
0