Abi kembali ke ruang interogasi dengan penyidik yang berbeda dan kasus yang berbeda. Briptu Sartono dan Bripka Heru, dua polisi yang wajahnya tak kalah sangar dibanding penyidik yang menginterogasi sebelumnya.
Mata Abi melirik ke arah plastik-plastik di atas meja yang berisi bermacam benda. Ada pisau berlumuran darah, gelas dan pemantik berwarna perak. Ia pernah melihat benda ini sebelumnya dan memiliki firasat buruk saat melihatnya kembali sekarang.
“Kau pernah melihatnya, bukan? Ya, kami menemukannya di rumah Mischa Radjasa. Di semua benda ini ada sidik jarimu,” ujar Bripka Heru. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke wajah Abi dengan tatapan tajam dan kembali berbicara dengan nada lebih rendah, “Pada interogasi sebelumnya, kau bilang kau hanya menjemput barang yang diberikan oleh seseorang tanpa masuk ke dalam rumah. Lalu, kenapa benda-benda ini ada di sana?”
Abi membalas tatapan tajam itu sejenak lalu memalingkan pandangannya sambil tersenyum. Dengan santai ia berkata, “Aku tidak akan memberikan keterangan apapun tanpa didampingi pengacara.”
“Lalu, mana pengacaramu?!” Bripka Heru mendobrak meja sambil berteriak marah, membuat Briptu Sartono yang ada di sampingnya terperanjat. “Akui saja kalau kau yang membunuh Mischa, menyangkal kalau kau menerima paket itu darinya lalu memfitnah kepolisian dengan drama penganiayaan agar kami tidak mencari Mischa dan akhirnya mengetahui pembunuhan yang kau lakukan.”
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Ucapan Abi itu membuat Bripka Heru semakin marah. “Undang-undang apa lagi itu?”
“Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 18 ayat (1).”
Bripka Heru terdiam, sementara Briptu Sartono terlihat bingung melihat kondisi aneh itu. Dengan sedikit malu, Bripka Heru merespons informasi itu, “A, aku sudah tahu. Jangan mengajariku tentang undang-undang.”
“Ada juga Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil And Political Rights pasal 14 ayat (2). Mau dengar?”
Polisi berkumis tipis itu mengangkat jari telunjuknya pada Abi tanda perintah untuk diam. “Sudah kukatakan, jangan mengajariku tentang undang-undang. Saya penegak hukum dan tidak mungkin tidak mengetahuinya.”
“Presumption of innocence.”
Bripka Heru yang sudah berusaha untuk tenang kembali kesal dengan wajah seakan memohon agar Abi tidak membicarakan hal yang terlalu berat untuknya. “Apa lagi itu? Sekarang kau membahas undang-undang nomor berapa lagi?”
Seisi ruangan mendadak sunyi. Abi tidak berkata-kata lagi dan hanya tersenyum. Sementara Briptu Sartono semakin canggung melihat Bripka Heru yang bingung dengan kesunyian itu.
“Artinya asas praduga tak bersalah, Pak,” bisik Briptu Sartono pada seniornya itu.
Bisikan itu membuat Bripka Heru merasa malu dan setelah itu ia tidak banyak bicara. Ia berpura-pura memeriksa dokumen, sementara Abi hanya memandangnya. Berbeda dengan penyidikan sebelumnya yang penuh kekerasan, kali ini ia menyaksikan sedikit hiburan.
“Melihat tindak pidana yang disangkakan padamu, apakah kau tahu jika kau tak mampu menunjuk penasihat hukum, maka pejabat yang bersangkutan akan menunjuk sendiri penasihat hukum untukmu?”
Briptu Sartono seakan hendak menyelamatkan muka rekannya dengan mengajukan pertanyaan yang mengandung ancaman. Abi tersenyum. Sebelum menerima pertanyaan itu, ia juga sudah memikirkannya. Ia tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi untuk menunjuk seorang penasihat hukum yang tepat. Ya, ia tidak bisa sembarang menunjuk karena dalam kasusnya, cukup banyak pihak yang terlibat. Penasihat hukum yang salah justru akan menjadi ancaman baginya.
“Setidaknya ia lebih cerdas darimu,” kata Abi pada Bripka Heru, membuat polisi itu semakin marah karena malu.
* * *
“Pengacaranya belum dapat?” tanya Tejo saat melihat Abi hanya termenung sementara tahanan lain sedang serius menatap televisi yang ada di luar ruang tahanan.
Abi tidak menjawab pertanyaan itu dan tetap asyik dengan beban pikirannya. Tejo tidak mencoba berusaha untuk mendapatkan jawabannya dan melanjutkan kegiatan menonton.
Wajar jika Abi pusing. Penasihat hukum pilihannya menolak untuk membelanya, sementara yang menawarkan diri tidak memiliki kualifikasi yang diinginkannya. Bahkan, sebagian dari mereka terlihat jelas tidak benar-benar berniat ingin membantunya.
“Bajingan, pasti dia yang mengirim pengacara-pengacara bodoh itu,” gumam Abi yang membuat rekan sekamarnya melihatnya dengan keheranan, menyangka ia sedang berbicara dengan mereka.
“Hei, si yang paling tersakiti polisi,” Amran memanggil Abi dengan sebutan bernada ejekan. Penghuni lain yang mendengarnya tidak tertawa lagi karena sudah terbiasa mendengarnya.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Abi merespons ucapan rekan sekamarnya meski hanya balas melihat tanpa suara. Tatapannya pun masih terlihat kosong. Ia seakan bersiap mendengar apapun perkataan Amran selanjutnya dengan terpaksa.
“Sebaiknya kau cari pengacara perempuan saja. Kau tidak hanya butuh dibela, tapi diberi kasih sayang,” lanjut Amran yang mengundang tawa seisi kamar. Tapi Abi sama sekali tidak bisa tertawa.
“Seperti dia?” tanya salah seorang penghuni kamar sambil menunjuk televisi.
Berita televisi saat itu adalah tentang konflik antara sebuah perusahaan bernama PT. Adhimulya Perkasa melawan warga setempat. Konflik bermula dari gugatan warga bahwa perusahaan tersebut melakukan aktivitas di luar Hak Guna Usaha (HGU). Sayangnya, gugatan tersebut ditolak di pengadilan negeri setempat.
Warga, bersama salah satu LSM di sana, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di tahap ini terjadi hal yang menarik. PT. Adhi Mulya Sejahtera nyaris mendapatkan kemenangan beruntun. Namun, salah satu pengacara dari Top Justice Law Firm yang membela mereka secara tak sengaja mengungkapkan pelanggaran lain yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Pelanggaran tersebut adalah pencemaran lingkungan. Ternyata selama ini PT. Adhi Mulya Sejahtera membuang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke sungai terdekat.
Masyarakat pun membenarkan hal tersebut setelah menemukan data pasien di puskesmas terdekat. Selama beberapa bulan terakhir, tepatnya sejak perusahaan itu berdiri, banyak masyarakat yang mengalami masalah pernapasan dan kerusakan hati yang dicurigai berasal dari bahan berbahaya bernama Barium. Belum lagi kandungan Arsen yang sudah mencemari sungai yang berpotensi menyebabkan penyakit kanker.
Keputusan akhirnya, PT. Adhi Mulya Sejahtera yang awalnya dituntut untuk mengembalikan hak milik warga berupa beberapa meter persegi tanah, kini harus tutup total karena terbukti melakukan pencemaran lingkungan yang sangat parah.
“Siapa nama pengacara itu?”
Seluruh penghuni kamar melihat Abi yang untuk pertama kalinya dalam hari ini bersuara. Ia sedang terpana melihat seorang pengacara wanita bertubuh mungil dengan gestur kebingungan menghadapi kamera. Beberapa rekan pengacara yang ada di sampingnya sesekali melemparkan tatapan kesal ke arahnya. Bahkan, direktur PT. Adhi Mulya Sejahtera hampir saja menyerangnya ketika mereka baru keluar dari ruang sidang. Ia adalah pengacara yang ‘berjasa’ dalam kehancuran kliennya.
“Indira Christina. Kenapa? Kau benar-benar ingin dia menjadi pengacaramu?”
Abi tersenyum. Matanya berbinar-binar seperti seorang petualang yang baru saja menemukan harta karun. Tangannya mengepal seakan sedang menggenggam seonggok kebahagiaan. Orang seperti itu yang ia cari selama ini.
“Aku harus menunjuknya sebagai penasihat hukumku. Jika tidak, aku akan menyesal seumur hidupku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Kustri
kyne Abi tau siapa org yg di blkg masalah ini
2023-05-06
1