Beberapa jam sebelum jumpa pers
Denis duduk di teras rumahnya. Hanya singlet putih kusam dan sarung kotak-kotak yang membungkus tubuh kurusnya. Sesekali ia menghirup aroma kopi di gelas sebelum menyeruputnya dengan wajah puas. Udara dingin tak dihiraukannya. Pagi itu memang sangat tepat untuk menikmati segelas kopi.
“Nis, Tante Jenny mana?” tanya Tio, warga kampung sebelah yang sering berkunjung ke Batavia Baru.
“Tak tahu. Tadi malam dia pergi entah ke mana. Sepertinya tadi malam anak buahnya, si Nani, yang jaga kafe. Kenapa, Yo?”
“Katanya si Abi ditangkap polisi. Dituduh jadi kurir narkoba, kudengar.”
“Oalah, Abi. Nasib sialmu belum berhenti juga,” tukas Denis sambil geleng kepala. “Tapi kalau masalah yang berhubungan sama hukum seperti itu, kita tak perlu mencemaskan Abi.”
“Kenapa, Nis?”
Denis adalah teman sebaya Abi. Mereka sama-sama memiliki ibu seorang pel*cur yang sekarang sudah memiliki kafe sendiri. Meski bukan sahabat baik, Denis sudah cukup mengenal Abi. Hal ini dikarenakan kafe dan tempat tinggal mereka bersebelahan dan Denis sangat dekat dengan ibunya. Dari ibunya ia selalu mendapatkan informasi tentang warga lokalisasi, termasuk Abi.
“Abi itu anaknya kelewat cerdas. Seandainya tidak dikeluarkan dari sekolah, dia akan menjadi orang yang sukses.”
“Tapi dia kan putus sekolah waktu SMA. Secerdas apapun orang, kalau tidak pernah kuliah hukum, pasti tidak paham hukum. Kau seperti tidak tahu saja bagaimana orang kalangan bawah seperti kita sering dikerjai aparat dengan mengatasnamakan hukum.”
“Nah, ini yang banyak orang tidak tahu. Kau masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika Abi ditangkap polisi karena kasus penipuan?” Pertanyaan Denis itu mendapatkan jawaban berupa anggukan dari Tio. “Itu bukan kasus penipuan biasa. Saat masih bekerja di warnet, dia nyambi jadi joki skripsi. Menurut polisi, dia sudah membuat belasan skripsi dan dua tesis untuk mahasiswa hukum. Hebatnya, semuanya itu mendapatkan nilai sempurna dan bukan hasil plagiat dari karya orang lain.”
“Lho, tidak mungkin. Dari mana dia belajar hukum?”
“Nah, itu yang menjadi misteri selama ini.”
* * *
Setelah jumpa pers
Media di seantero negeri, baik media cetak, elektronik maupun online, saat ini dipenuhi oleh berita tentang seorang terduga kurir narkoba yang mengaku disiksa oleh pihak kepolisian ketika proses penyidikan. Berita tentang selebritis, politik atau olahraga seakan tidak terlihat penting. Berbagai talkshow membahas tentang kejadian ini. Hampir semua kalangan, dari artis sampai pakar hukum, memberikan pendapat. Bahkan muncul kembali orang-orang yang mengaku pernah mengalami perlakuan yang diterima oleh Abi.
Puluhan wartawan setia bersemayam dalam waktu yang cukup lama di depan kantor polisi untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap dari pihak kepolisian dan jika memungkinkan dari Abi langsung. Namun, sampai saat ini mereka belum mendapatkan apa-apa.
Sementara itu, para pejabat kepolisian panik karena kejadian ini. Padahal mereka sedang gencar melakukan kampanye untuk memperbaiki citra kepolisian yang baru saja rusak karena kasus pembunuhan berencana dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh salah satu perwira mereka.
Tentu saja mereka menyalahkan seseorang, yaitu Abimanyu Alexander. Karena satu orang itu, tingkat kepercayaan publik pada kepolisian negeri ini kembali terjun bebas. Kini lembaga tersebut mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat.
Dan Abi dikembalikan ke ruang interogasi.
“Siapa kau sebenarnya, Brengsek?”
Tatapan penuh amarah dari Briptu Donny menusuk mata Abi yang kembali babak belur terkena hajaran. Ia merasa bertanggung jawab atas kejadian tersebut mengingat di hadapannyalah Abi menandatangani surat pernyataan yang mereka buat. Di sekitar mereka ada beberapa polisi, termasuk Aipda Carlos dan Iptu Simon. Abi menatap mereka satu per satu lalu tersenyum.
“Aku hanya orang biasa. Hanya driver ojol biasa, anak seorang pelacur yang besar dan tinggal di lokalisasi, putus sekolah saat SMA, sebelumnya punya dua catatan kejahatan, yaitu penganiayaan ringan dan penipuan.”
Jawaban Abi itu membuat Aipda Carlos terperanjat. Dia sampai tak sadar mengoceh, “Apakah dia punya pendengaran super?”
Briptu Donny menarik bagian depan baju Abi lalu tangannya yang lain bersiap untuk melayangkan pukulan berikutnya. Namun, Abi hanya tersenyum dan tak menunjukkan kegentaran sedikitpun.
“Apakah sebagai polisi kau tidak tahu? Pasal 4 PERKAPOLRI nomor 15 Tahun 2006 Tentang Kode Etik profesi penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib mematuhi norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesusilaan, kesopanan serta nilai-nilai kemanusiaan. Ah, pasti kau tahu. Hanya saja kau minim kode etik.”
Briptu Donny benar-benar melayangkan pukulannya ke arah wajah Abi hingga ia tersungkur dan darah mengalir dari mulutnya.
“Bodoh! Jangan di bagian wajah!” Aipda Carlos membentak rekannya itu.
Iptu Simon sejak tadi hanya diam menatap Abi. Perasaan malu masih melekat di pundaknya atas kejadian di depan pers tadi. Lebih dari itu, ketakutan menyergap pikirannya. Ia harus bersiap untuk menerima hukuman, baik dari kepolisian dan juga dari 'dia'.
“Mengapa kau yakin dia bukan Mischa Radjasa? Badan kurus, putih, tinggi sekitar 180 cm, berambut pirang dan memiliki tato bunga di leher dan anting pistol di telinga kiri.”
Iptu Simon berjalan menghampiri Abi. Ia berusaha bersikap tenang meski hati dan otaknya seperti akan meledak.
Abi menatap Iptu Simon lekat, membuat seisi ruangan menunggu jawabannya. Tapi Abi malah kembali tersenyum dan berkata, “Saya menolak untuk memberi keterangan apapun lagi tanpa didampingi oleh pengacara.”
Kini Iptu Simon tak lagi sanggup menahan emosinya. Ia memegang pistol yang ada di pinggangnya dan mengambil sikap hendak menembak. Suasana di ruangan itu semakin menegangkan. Untung saja, ketegangan itu buyar saat ponsel Iptu Simon berbunyi. Wajah marah pria itu mendadak berubah menjadi penuh ketakutan ketika melihat sebuah nama di layar ponselnya.
“Halo!”
[Wah, wah, wah. Tak kusangka kau mengecewakanku separah ini.]
Keringat mulai mengalir dari kening Iptu Simon saat mendengar suara itu. Ia segera bergegas ke luar ruangan, sementara wajah Briptu Donny dan Aipda Carlos juga ikut memucat.
“Ma, maafkan kami, Tuan. Kami benar-benar tidak menyangka kalau dia -”
[Kau tahu orang seperti apa yang paling kubenci? Orang yang meminta maaf sebelum memikirkan cara untuk memperbaiki kesalahannya.]
Kaki Iptu Simon gemetar. Bahkan hanya dengan mendengar suaranya melalui ponsel, ia bisa merasakan aura mengerikan dari sosok misterius tersebut.
“Sa, saya sudah memikirkannya, Tuan. Kami akan menghabisi anak itu tanpa jejak dan kami akan membuat publik segera melupakan keberadaannya. Lalu kami -”
[Ternyata kalian benar-benar sebodoh itu.]
Selaan pria itu membuat Iptu Simon semakin ketakutan. Ia semakin yakin kalau bencana besar akan segera menimpa hidupnya.
[Aku tidak ingin kalian melukainya lagi. Dia lebih pintar dari yang kalian kira. Semakin kalian melukainya, semakin besar senjatanya melawan kalian. Dan dia bukan tipe orang yang mudah dibunuh. Dia seperti Samson, yang sebelum mati akan menghancurleburkan musuhnya terlebih dulu.]
Pria itu menjeda kalimatnya. Sementara Iptu Simon masih memikirkan apa yang pria itu ingin ia lakukan.
[Mulai saat ini, aku tidak ingin kalian menggunakan kekerasan, apalagi harus ada pertumpahan darah hanya untuk melawan satu orang biasa. Gunakan kecerdasan kalian.]
Kemudian terdengar nada panjang tanda panggilan telah berakhir. Sekarang Iptu Simon bisa kembali bernapas dengan normal. Ia melihat sosok Abi melalui cermin satu arah yang menghubungkan ruang interogasi dengan ruang di sebelahnya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
Sementara itu di tempat lain, sang pria misterius baru saja menutup teleponnya. Ia kembali mengelap koleksi pistol kunonya dengan hati-hati. Asistennya yang sedari tadi setia berdiri di sampingnya membuka suara.
“Apakah saya tidak perlu turun tangan langsung untuk membereskan situasi ini, Tuan?”
“Tidak perlu. Aku penasaran dengan pemuda itu dan ingin melihat sejauh mana dia bisa melawan. Jika dia cukup tangguh, dia akan menjadi alat yang tepat bagi kita untuk mengetahui siapa yang layak untuk menjadi bagian dari kerajaan yang akan kubangun.”
“Tapi, melihat bagaimana yang terjadi sekarang, akan sangat beresiko jika kita tidak mengawasi mereka.”
Pria misterius itu menyentuh pundak asistennya lalu berkata, “Aku akan hadir di tengah mereka. Bukan sebagai penolong, melainkan sebagai wasit yang akan memastikan pertarungan berjalan dengan jujur. Namun, bila mereka terlalu bodoh dan pemuda itu berhasil mengganggu rencana kita, aku akan memberikanmu kesempatan untuk bertindak.”
Sang asisten berhenti membantah tuannya. Ia merasa ucapan tuannya yang terakhir cukup untuk mengakhiri kekhawatirannya. Saat ini ia berusaha untuk melupakan pemuda itu dan apa yang baru saja dilakukannya lalu berkonsentrasi melayani tuannya yang masih asyik membersihkan senjata-senjata kuno miliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Kustri
rugi g baca novel ini
blm buka profil author'a, apa sblm ini ada karya yg lain... keren!
2023-05-06
3
Gani Bela
sejauh yang aku baca ceritanya bagus.cara penulisan kata katanya juga bagus.kemudian temanya menarik khas Indonesia.Tidak seperti hampir seluruh novel2 di aplikasi noveltoon yg mengangkat tema percintaan terus orang luar negri tapi ceritanya sangat2 membosankan,terus penulisnya kayak tidak pernah belajar bahasa indonesia.semanga terus ya Author💪💪ceritanya bagus.
2023-05-03
1