NovelToon NovelToon

Revenge By Law

PASAL 1

Lima belas tahun yang lalu

Abi mencoba menarik napas, meski ia harus merasakan sesak yang keterlaluan dari dadanya. Setiap tarikan napas yang berhasil dihirup dengan susah payah, selalu bercampur dengan aroma darah dan kulit hangus di tubuhnya. Wajahnya hanya tergeletak tak berdaya di atas meja interogasi. Ia berusaha melihat sekelilingnya, namun yang terlihat hanya pemandangan buram tak berbentuk.

Satu-satunya indera yang masih menjalankan tugas dengan baik adalah telinganya. Ia mendengar gerakan grasak-grusuk dari beberapa orang dan sedikit obrolan mereka. Meski dalam keadaan sekarat, ia masih mengingat wajah seram kedua orang yang membuatnya babak belur itu. Yang satu memiliki kumis tebal ala penjahat di film-film India, dan yang lain menggunakan plester lebar di pipi kirinya.

Sudah lebih dari sejam ia harus menerima pukulan dan tendangan serius dari dua orang itu. Mereka menuntut ucapan pengakuan salah dari mulut Abi. Sesuatu yang sederhana, tapi Abi tak bisa memberikannya pada mereka. Ia merasa tidak punya kewajiban untuk melakukan itu, bahkan sangat bertentangan dengan prinsip yang dipegangnya. Baginya, meminta maaf ketika melakukan sesuatu yang benar akan menghancurkan jati dirinya, meludah ajaran-ajaran yang selama ini diterimanya, menghina usahanya untuk menjadi orang baik.

Dan prinsip itu bukan hanya membuat tubuhnya harus terjamah pukulan dan tendangan. Kesabaran dua pria itu semakin pudar dan akhirnya stun gun milik mereka harus menjalankan tugas. Arus puluhan miliampere beberapa kali menjalar di sekujur tubuh Abi hingga menyebabkan beberapa bagian kulitnya hangus terbakar, terutama di bagian lehernya. Jeritan meminta belas kasihan yang keluar dari mulut Abi seakan tak mereka hiraukan.

“Baik, aku akan meminta maaf.”

Ucapan lirih itu menyita perhatian dua pria bertubuh tegap tersebut. Mereka melihat Abi yang masih merebahkan kepalanya di atas meja. Salah satu di antara mereka mengangkat tubuh Abi dan menyeretnya ke luar ruangan.

Mereka berpindah ke ruangan lain yang mirip dengan kantor. Sebuah meja pimpinan berada tepat di hadapan pintu masuk. Di dekatnya ada satu set sofa lengkap dengan meja petak berkaki pendek. Di atas sofa itu sudah duduk sepasang suami istri dan di antara mereka duduk remaja berseragam identik dengan yang Abi kenakan saat itu. Wajahnya terdapat beberapa luka. Cukup parah, namun masih jauh lebih baik dengan yang dimiliki Abi.

“Bagaimana? Sudah cukup?” tanya salah satu pria berwajah seram tadi.

Pasangan suami istri itu tersenyum. Pun demikian dengan anak remaja yang terlihat seperti anak mereka.

“Bagaimana, Roy?” Sang ayah melanjutkan pertanyaan itu kepada anaknya.

Anak remaja itu berpikir sejenak lalu berkata, “Aku ingin dia meminta maaf.”

“Tenang saja, dia sudah bersedia melakukannya,” ujar pria berwajah seram lainnya, yang sedang sibuk menopang tubuh Abi.

Mereka tersenyum puas. Terlihat pasangan suami istri itu melanjutkan percakapan akrab mereka dengan orang yang duduk di kursi pimpinan, seorang pria berseragam polisi dengan lambang tiga balok emas di pundaknya. Dia adalah kepala di Polsek itu. Tiba-tiba perhatian mereka teralihkan dengan sebuah suara lirih.

“Aku tidak bersalah. Dia dan temannya mencoba menyerang temanku. Aku hanya ingin melindunginya.”

Salah satu pria seram itu memukul wajah Abi hingga darah kembali mengucur dari hidungnya. Ia kesal karena Abi kembali menolak untuk meminta maaf, tidak seperti kesepakatan terakhir di ruang interogasi tadi. Sang AKP membentak karena bawahannya mencoba mengotori ruangannya dengan darah dan bau amis.

“Bukankah dia sudah bilang kalau dia hanya bercanda? Semua temanmu yang melihat kejadian itu bilang kalau kau yang duluan menyerang,” kata pria berwajah seram lainnya.

“Aku tidak menyerangnya duluan. Aku hanya memegang tangannya. Justru dia dan teman-temannya yang terlebih dulu memukulku,” bantah Abi.

“Itu sudah termasuk menyerangnya.”

Abi memegang dadanya yang kembali terasa sakit. Melihat kondisi tubuhnya saat ini, ia sudah terlalu banyak bicara. Pasokan oksigen yang terkurung di dalam dadanya tinggal sedikit lagi dan ia masih kesulitan untuk bernapas. Tapi sifatnya yang keras kepala membuatnya tak ingin berhenti untuk membela diri.

“Logika macam apa itu? Aku tahu kalian mencoba untuk membohongiku. Tapi sayangnya, aku bukanlah orang bodoh.”

Seisi ruangan menggeleng kepala seakan mulai lelah untuk menanggapi kengototan seorang anak SMA yang bukan siapa-siapa itu. Sang kapolsek akhirnya berdiri dari kursinya kemudian berjalan perlahan ke arah Abi. Setelah berada di hadapannya, ia memegang pundak Abi dan sedikit menunduk hingga wajah mereka hampir berdekatan.

“Jika kau tidak bodoh, kau pasti tahu kalau negara ini adalah negara hukum. Hukum yang memiliki kekuasaan tertinggi di negara ini. Sebagai aparat penegak hukum, kami bertindak sesuai dengan hukum dan kami sangat memahami hukum, jauh lebih baik daripada bocah ingusan sepertimu. Jadi, mempertanyakan logika hukum pada kami sama saja dengan menghina kami. Kau harus belajar hukum terlebih dahulu sebelum melakukannya.”

Wajah sang kapolsek mendadak berubah. Jauh lebih menyeramkan dari kedua anak buahnya itu. Bahkan tubuh Abi yang telah dalam kondisi lemas karena penganiayaan tadi, semakin lemas hanya karena melihat wajah itu.

Melihat atasannya sudah berada di puncak kekesalan, kedua pria yang menginterogasi Abi tadi menyeret pemuda itu dan bersiap untuk membawanya keluar. Namun, bukannya merasa takut, Abi malah menepis genggaman tangan mereka hingga tubuhnya yang lemah hampir terjatuh. Dan tanpa diduga, ia memegang lencana di pundak sang kapolsek untuk menopang tubuhnya. Matanya membara seakan membalas amarah dari pria yang ada di hadapannya itu.

“Kalau begitu, aku akan kembali. Aku akan belajar hukum dan kembali untuk membalaskan semua perbuatan kalian dengan senjata yang sama dengan yang kalian pakai untuk menyiksaku hari ini. Aku akan membuat kalian menderita sehingga kalian menyesali semua yang telah kalian lakukan padaku hari ini. Aku berjanji dan meski itu akan terjadi sebulan, setahun atau puluhan tahun dari sekarang, aku pasti akan melakukannya.”

Seisi ruangan mendadak hening. Entah karena ancaman itu atau karena tatapan tajam Abi. Tiba-tiba mereka tertawa. Salah satu pria berwajah seram memukul kepala Abi hingga tubuhnya jatuh berlutut ke lantai.

“Belajar hukum? Kau ingin menjadi pengacara? Jaksa? Atau hakim? Dengar, kau akan dipenjara, itu artinya sekolah akan mengeluarkanmu. Kau juga akan memiliki catatan kejahatan. Kau pikir dengan keadaanmu sekarang kau bisa bermimpi setinggi itu?”

Abi hanya diam mendengar ejekan itu. Wajahnya menegang dan giginya berkertak. Ia menatap seluruh orang di ruangan itu, satu per satu. Ia berharap tidak akan melupakan wajah-wajah itu dan kesakitan yang ia rasakan hari itu. Hatinya dipenuhi oleh serangkaian janji untuk membalaskan perbuatan mereka semua.

                  *

Saat ini

Kepala Abi terkulai tak berdaya di atas meja. Tangannya yang terborgol sedang menekan perutnya untuk sedikit mengurangi rasa sakit yang cukup besar. Memang, sejak tadi perutnya adalah area pukulan dengan frekuensi terbanyak.

Abi melirik, ada dua orang polisi berpakaian pegawai kantoran sedang membahas tentang restoran khas India yang baru buka di pasar Minggu. Sikap mereka sangat santai, tidak terlihat seperti orang yang sedang menyiksa sesamanya. Dari pembicaraan mereka, Abi bisa mengidentifikasi jika polisi berkumis tebal adalah Aipda Carlos dan polisi yang terlihat lebih muda adalah Briptu Donny.

Kemudian mereka kembali melemparkan pertanyaan yang sama pada Abi dan lagi-lagi mereka mendapatkan jawaban yang sama. Dengan wajah kesal, Briptu Donny mengeluarkan stun gun dan sesekali menekan tombolnya. Aipda Carlos mengingatkan agar jangan sampai mengenai area yang mudah terlihat.

Abi sama sekali tak menyangka kejadian paling kelam di dalam hidupnya lima belas tahun yang lalu akan kembali menimpanya. Padahal ia sudah berusaha untuk sedapat mungkin tidak berurusan dengan polisi dan orang kaya pembuat onar seperti Roy. Tapi ternyata takdir berkata lain.

Suara dari ponsel Aipda Carlos berdering. Si empunya segera mengangkat panggilan tersebut dan berjalan ke luar.

“Halo, Pak. Iya, sedang dalam proses. Ada sedikit masalah karena dia ngotot kalau yang mengirim sabu-sabu itu bukan Mischa.” Aipda Carlos berhenti berbicara seakan sedang mendengar sesuatu yang serius. “Bukan, dia bukan siapa-siapa. Kami sudah menyelidiki latar belakangnya. Dia hanya driver ojol biasa, anak seorang pelacur yang besar dan tinggal di lokalisasi, putus sekolah saat SMA, sebelumnya punya dua catatan kejahatan, yaitu penganiayaan ringan dan penipuan. Sepertinya dia sudah akan menyerah. Kami akan membuatnya mengaku jika sabu-sabu itu milik Mischa.”

Polisi itu menutup ponselnya dan kembali masuk ke dalam ruang interogasi. Ia tersenyum ketika melihat ada selembar kertas di hadapan Abi, sudah dibubuhi tanda tangannya. Briptu Donny yang berada di samping Abi juga ikut tersenyum.

“Saatnya melakukan jumpa pers.”

Beberapa jam kemudian, Abi dibawa ke halaman depan kantor polisi dengan wajah tertutup topeng. Dengan menahan sakit, ia berjalan sambil ditarik secara paksa oleh salah satu polisi. Ia melihat beberapa wartawan sudah berkumpul menghadap meja panjang yang di atasnya tergeletak sebuah kotak kardus kecil berwarna coklat. Abi sangat mengenal benda itu, benda yang membuatnya berurusan dengan pihak kepolisian lagi. Kemudian ia diarahkan untuk berdiri menghadap tembok di belakang meja panjang itu.

Beberapa saat kemudian, datang beberapa orang dengan sarung tangan karet. Wajah mereka sangat berwibawa dan sorot matanya tegas. Mereka mengambil tempat duduk di belakang meja panjang itu.

Selama hampir seperempat jam, Abi hanya bisa mendengar ocehan salah satu anggota polisi yang menggunakan sarung tangan tadi. Ia adalah Iptu Simon, Kasat Resnarkoba yang menjadi penyidik kasus ini. Pria itu menerangkan kronologis penangkapannya kemarin dan menjawab pertanyaan dengan lugas. Kemudian Abi mengingat beberapa adegan di ruang interogasi beberapa jam yang lalu.

“Kau tahu ancaman bagi kurir narkoba? Menurut pasal 111, 112, 113, 114 dan 132, kau bisa dihukum minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati. Melihat jumlah barang yang kau bawa, bukan tidak mungkin kau akan dihukum mati.”

Demikian ancaman Briptu Donny. Abi tidak menjawab. Ia sibuk menahan rasa sakit akibat pukulan yang bertubi-tubi mereka muntahkan ke tubuhnya. Ia sadar, setelah bertindak sebagai polisi jahat, kini mereka akan berperan sebagai polisi baik yang ingin menolongnya.

“Pikirkanlah, kau tidak perlu mati hanya untuk menyelamatkan orang yang bukan siapa-siapamu. Berapa pun ia memberikanmu uang, itu tidak sebanding dengan nyawamu.”

Abi mengangkat kepalanya dan menatap polisi itu dengan mata sayu akibat lebam. Kemudian ia menjawab dengan lirih, “Tapi itu bukan dia dan aku tidak dibayar selain ongkos pengiriman sesuai aplikasi.”

Polisi itu menghela napas dan tiba-tiba menyetrum perut bagian kirinya dengan stun gun. “Kau hanya perlu mengatakan apa yang kau lihat! Kenapa kau begitu keras kepala?”

Sambil mengingat kejadian menyeramkan itu, Abi hendak menyentuh bekas setruman tadi karena mendadak terasa perih. Namun, polisi yang ada di sebelahnya menahan setiap pergerakannya yang tidak perlu.

Tiba-tiba terjadi kehebohan para insan pers. Ternyata hal itu dipicu oleh salah satu ucapan Iptu Simon. “Menurut keterangan pelaku, narkoba tersebut bukan miliknya, melainkan milik seorang artis berinisial MR. Pelaku yang merupakan driver ojol hanya mengantar barang yang berisi narkoba sesuai pesanan yang dilakukan oleh MR. Kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kebenaran dari keterangan tersebut. Untuk MR sendiri, kami sudah melakukan upaya pemanggilan, namun yang bersangkutan belum diketahui keberadaannya.”

Seluruh awak media yang meliput secara bersamaan mengangkat tangan sambil meminta giliran untuk melemparkan pertanyaan. Informasi tentang keterlibatan seorang artis akan menjadi sebuah berita besar yang merupakan santapan mewah bagi mereka. Untuk itu, mereka perlu mengorek lebih banyak lagi keterangan. Bahkan ada beberapa wartawan yang langsung melemparkan pertanyaan kepada Abi.

“*Van rechtswege nieting; null and void***.**”

Suasana mendadak hening. Sebuah suara lantang terdengar entah dari mana asalnya. Para polisi dan awak media di sana celingak-celinguk mencari sumber suara itu.

“Suatu proses peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum.”

Suara itu kembali terdengar. Akhirnya mereka menemukan asal suara itu ketika seorang pria berbaju jingga yang sebelumnya selalu membelakangi mereka, kini berbalik badan.

“KUHAP pasal 117 ayat 1, Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.”

Abi membuka topengnya dan mengangkat baju hingga sebatas dada. Terlihat jelas wajah dan tubuhnya yang penuh dengan luka lebam dan luka bakar.

Untuk beberapa detik awal, para awak media hanya terperangah melihat tubuh penuh luka mengerikan dan serta mendengar ucapan lantang Abi, seakan momen tersebut melumpuhkan kemampuan berpikir mereka sejenak. Kemudian, terjadi kehebohan dan mereka segera mengabadikan pemandangan itu dengan kamera mereka masing-masing.

“Sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di dalam hukum dan wajib menjunjung tinggi hukum, saya menyatakan semua keterangan yang disampaikan pihak penyidik dengan mengatasnamakan saya tidak benar dan tidak sah secara hukum.”

Situasi semakin heboh dengan pernyataan Abi tersebut. Sebagian memastikan apakah tindak kekerasan selama penyidikan benar terjadi, sebagian lagi memastikan apakah MR tidak benar terlibat dalam kasus tersebut.

“Pasal 54 KUHAP, Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

Setelah menyebutkan pasal tersebut, Abi menghela napas lalu melanjutkan kalimatnya, “Saya membutuhkan pengacara.”

PASAL 2

Sehari yang lalu

Abi keluar dari rumahnya dengan sebotol air di tangan kirinya. Tangan yang lain menggenggam ponsel yang sejak tadi mengeluarkan nada-nada singkat. Mata Abi tak lepas dari layar ponselnya. Sambil bersiap-siap ia menantikan pesanan masuk.

Saat itu masih pukul 7 pagi, tapi bagi Abi yang biasanya mulai mengojek sejak subuh, ia sudah sangat telat. Ia tak sempat lagi mendapatkan penumpang anak sekolahan, apalagi ibu-ibu yang hendak belanja ke pasar. Ia hanya berharap ada beberapa orang yang berangkat kerja menggunakan jasa ojolnya.

Ah, dompetku.

Setelah teringat dengan salah satu barang terpentingnya, Abi kembali masuk ke rumah. Ia berjalan melewati ruang tamu yang sudah berisik karena suara televisi yang sedang menyiarkan berita gosip. Kabar tentang seorang artis bernama Mischa Radjasa yang mendapatkan kepopuleran luar biasa tahun ini dan sedang bersiap untuk meniti karir internasionalnya tidak menarik minat Abi. Ia hanya penasaran dengan penampilan pria yang beberapa waktu lalu digosipkan sedang dekat dengan penyanyi idolanya, lalu memalingkan wajahnya setelah melihat tidak ada yang spesial dari artis tersebut.

Bagaimana bisa Tracy menyukainya?

Abi kembali berjalan keluar rumah sambil mengancingkan resleting jaket ojolnya. Ia mengenakan helm dan sarung tangannya lalu menghidupkan mesin motor. Dengan perlahan, ia meletakkan ponselnya ke standing ponsel yang tersangkut di spion motor. Dan petualangannya mengais rejeki di jalan raya hari itu dimulai.

Abimanyu Alexander. Ia hanya seorang pemuda biasa yang gagal menamatkan masa studinya di SMA dan harus puas dengan ijazah SMP. Karena suatu hal yang akan kita bahas di masa yang akan datang, ia tidak bisa mengambil paket C, apalagi kuliah. Karena hal tersebut, dan juga latar belakang hidupnya yang sama sekali tidak bisa dibanggakan, ia tidak berani bermimpi untuk memiliki pekerjaan di perusahaan besar dengan penghasilan besar.

Sejak dikeluarkan dari sekolahnya, ia hanya bekerja serabutan. Salah satu pekerjaan terbaiknya hanyalah sebagai petugas kebersihan di salah satu perusahaan konstruksi. Ia pernah bekerja sebagai penjaga warnet, pedagang online, office boy, satpam klub malam dan berakhir sebagai pengemudi ojek online, pekerjaan yang sudah dia tekuni selama kurang lebih 5 tahun.

Semua orang yang mengenalnya, terutama yang mengetahui kejadian saat ia dikeluarkan dari sekolah, pasti merasa kasihan padanya. Dilihat dari sudut manapun, Abi adalah korban ketidakadilan. Bahkan masih sering menjadi topik pembicaraan tetangganya bagaimana 15 tahun yang lalu Abi datang dengan tubuh penuh luka dan diantar oleh mobil polisi. Salah satu polisi mengatakan jika ia pelaku penganiayaan dan baru saja ditahan di kantor polisi. Tidak perlu otak pintar untuk merasa aneh melihat pelaku penganiayaan babak belur layaknya orang yang habis dianiaya.

Abi adalah anak yang baik. Semua tetangganya tahu akan hal itu. Ia selalu bersikap sopan dan terkenal suka membantu tetangganya. Meski besar di lingkungan lokalisasi, Abi tidak pernah melakukan kenakalan seperti teman sebayanya di sana. Maka wajar jika mereka tidak percaya Abi menganiaya orang lain. Dan akhirnya mereka mencapai kesimpulan jika Abi mendapatkan perlakuan tidak adil dari para polisi itu.

Bagi Abi sendiri, kejadian itu adalah bagian terkelam dari hidupnya. Cita-citanya untuk menjadi arsitek harus pupus dalam sekejap. Padahal, ia baru saja menerima pemberitahuan bahwa dirinya telah lolos PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan atau jalur penerimaan mahasiswa bagi siswa yang memiliki minat dan bakat) di salah satu universitas terkenal.

Namun, Abi sudah mulai berdamai dengan keadaan. Sudah lama ia merelakan mimpinya untuk menjadi seorang arsitek. Saat ini ia hanya fokus dengan kehidupan yang dipercayakan padanya. Ia masih menyimpan memori buruk itu, terutama kejadian selama di kantor polisi. Tapi untuk saat ini, Abi memilih untuk fokus dulu pada karirnya sebagai driver ojol.

“Rame?” tanya salah satu driver yang juga menunggu pesanan di belakang mal Sukajadi pada Abi.

“Sepi, Bang. Tadi terlambat keluar,” jawab Abi seraya mencari posisi yang nyaman untuk memarkirkan motornya. “Tapi memang akhir-akhir ini sering sepi.”

Pria itu tertawa sambil menyalakan rokoknya. “Tentu saja. Sekarang driver makin banyak. Pokoknya setiap setelah hari raya, driver bakal bertambah. Lihat saja sekarang, jaket dan helm Ekstrim ada di setiap jalan.”

Abi hanya ikut tertawa. Ia tidak bisa menyangkal pernyataan pria itu. Selama menjadi pengemudi ojol, ia sudah bermitra dengan setidaknya 5 layanan transportasi online. Ekstrim adalah salah satu layanan baru yang awalnya kurang populer karena tarifnya yang terlalu murah sehingga sedikit yang berminat untuk menjadi driver. Abi menjadi driver sejak awal aplikasi tersebut muncul. Karena sedikitnya driver, pelanggan selalu kecewa karena pesanannya terlalu lama dieksekusi dan berdampak juga dengan sedikitnya jumlah pelanggan.

Sejak layanan tersebut menaikkan harga, namun tetap lebih murah daripada layanan lainnya, banyak orang yang mendaftar untuk menjadi driver dan hal itu berdampak dengan makin banyaknya pelanggan. Akan tetapi, peningkatan jumlah driver akhir-akhir ini terlihat tidak wajar. Abi yang biasa mendapatkan setidaknya 20 pelanggan setiap hari, kini hanya bisa mencapai setengahnya.

Maka, sangat wajar ketika ia bisa mendapatkan pesanan dengan tarif besar, seperti saat ini.

“Wah, masuk. Paus?” tanya pria tadi saat mendengar bunyi nada tanda masuk pesanan dari ponsel Abi. Kata Paus merujuk pada istilah untuk pesanan dengan tarif besar.

“Lumayan, Bang. Tapi delivery.”

“Kalau sekarang kita tidak bisa hanya mengharapkan pelanggan penumpang. Yang penting dapat saja.”

Abi tersenyum lalu pamit. Ia segera menuju lokasi penjemputan sesuai dengan titik yang diberikan oleh pelanggan. Cukup jauh dari tempatnya tadi. Sekitar 5 kilometer. Ia pun bingung kenapa tidak ada driver lain yang mendapatkan pesanan tersebut.

Setelah hampir sampai di titik penjemputan, akhirnya Abi mengerti kenapa tidak ada driver di dekat sana. Ternyata daerah itu cukup sepi dan jarang terlihat rumah. Bahkan rumah terakhir yang ia lihat berjarak sekitar satu setengah kilometer dari lokasi pelanggannya.

Meski demikian, ia terperangah dengan rumah tempat ia menjemput pesanan. Sangat besar. Bahkan ia harus mendongak untuk melihat ujung atas pagarnya. Matanya mencari dan akhirnya menemukan tombol bel. Setelah menekannya, ia berdiri menunggu sambil memeriksa ponselnya.

Beberapa saat kemudian, pintu pagar terbuka dan terlihat seorang pria keluar. Badannya kurus dengan tinggi sekitar 180 cm. Rambutnya yang lebat pirang sangat serasi dengan kulitnya yang putih. Ia mengenakan hoodie putih dan celana skinny jeans biru. Sekilas ia terlihat seperti artis asal Korea Selatan yang saat ini sedang digandrungi anak muda. Namun, yang terlihat mencolok adalah tato bunga di leher, anting berbentuk pistol di telinga kiri dan sarung tangan kulit dengan motif unik yang ia kenakan.

Kemudian, ia menyerahkan sebuah kotak kardus berwarna coklat yang dipenuhi oleh lakban berwarna senada. Abi menatap dengan curiga, namun ia harus menerima barang itu.

“Berapa?” tanya pria itu.

“Tiga puluh satu ribu delapan ratus.”

Pria itu mengeluarkan dompetnya lalu mengambil selembar uang seratus ribu lalu menyerahkannya pada Abi. “Ambil saja kembaliannya.”

Saat pria itu ingin menutup pintu pagar, Abi memegang tangannya. Sejenak mereka saling bertatapan tajam. Lalu Abi menyodorkan genggaman tangan dan membuka telapaknya. “Ini kembaliannya, Pak.”

Tepat enam puluh delapan ribu dua ratus uang yang ada di telapak tangannya itu. Si pelanggan terkejut lalu mengambilnya dengan ragu. Kali ini ia benar-benar menutup pagar dan masuk ke rumahnya.

Abi melihat lagi ke arah pintu pagar. Ia sangat yakin kalau pria itu adalah pria yang sama dengan yang ia lihat tadi pagi. Perawakan dan penampilannya benar-benar sama. Ya, tak salah lagi. Dia adalah Mischa Radjasa, artis muda yang sedang naik daun.

Lokasi pengantarannya cukup jauh, sekitar lima belas kilometer. Sambil mengendarai motornya, pikiran Abi melayang liar. Ia mencoba menganalisis pelanggannya itu. Berbagai pertanyaan menyergap logikanya, menimbulkan pertanyaan baru setiap kali ia menemukan jawaban.

Tiba-tiba ia melihat tiga orang polisi berdiri di ujung jalan. Dadanya sesak dan tubuhnya mendadak gemetar. Keringat mulai mengalir dari keningnya. Sejak lima belas tahun yang lalu, ia seperti ketakutan setiap kali melihat seragam polisi. Meski setelah kejadian itu ia masih sering berurusan dengan polisi berseragam, traumanya tidak pernah bisa sembuh seratus persen.

“Selamat siang,” kata salah satu polisi sambil memberi hormat setelah menghentikan motor Abi. “Boleh kami lihat surat-suratnya?”

Firasat Abi tidak enak. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Benar saja, ketika hendak menyerahkan SIM dan STNK miliknya, polisi yang lain mengambil kotak paket yang hendak diantarnya. Ia bertanya tentang isinya sambil membentak. Abi menjawab tidak tahu, karena memang itu kenyataannya.

Tanpa permisi, polisi itu membuka kotak tersebut secara paksa. Saat melihat isinya, ia terperangah dan segera menggenggam tangan Abi. Sangat erat sehingga Abi hampir menjerit kesakitan.

“Anda ditahan karena diduga membawa narkoba jenis sabu.”

Seketika langit seakan runtuh di atas kepala Abi. Meski sudah memiliki firasat buruk, ia sangat belum siap untuk menghadapi situasi ini.

PASAL 3

Beberapa jam sebelum jumpa pers

Denis duduk di teras rumahnya. Hanya singlet putih kusam dan sarung kotak-kotak yang membungkus tubuh kurusnya. Sesekali ia menghirup aroma kopi di gelas sebelum menyeruputnya dengan wajah puas. Udara dingin tak dihiraukannya. Pagi itu memang sangat tepat untuk menikmati segelas kopi.

“Nis, Tante Jenny mana?” tanya Tio, warga kampung sebelah yang sering berkunjung ke Batavia Baru.

“Tak tahu. Tadi malam dia pergi entah ke mana. Sepertinya tadi malam anak buahnya, si Nani, yang jaga kafe. Kenapa, Yo?”

“Katanya si Abi ditangkap polisi. Dituduh jadi kurir narkoba, kudengar.”

“Oalah, Abi. Nasib sialmu belum berhenti juga,” tukas Denis sambil geleng kepala. “Tapi kalau masalah yang berhubungan sama hukum seperti itu, kita tak perlu mencemaskan Abi.”

“Kenapa, Nis?”

Denis adalah teman sebaya Abi. Mereka sama-sama memiliki ibu seorang pel*cur yang sekarang sudah memiliki kafe sendiri. Meski bukan sahabat baik, Denis sudah cukup mengenal Abi. Hal ini dikarenakan kafe dan tempat tinggal mereka bersebelahan dan Denis sangat dekat dengan ibunya. Dari ibunya ia selalu mendapatkan informasi tentang warga lokalisasi, termasuk Abi.

“Abi itu anaknya kelewat cerdas. Seandainya tidak dikeluarkan dari sekolah, dia akan menjadi orang yang sukses.”

“Tapi dia kan putus sekolah waktu SMA. Secerdas apapun orang, kalau tidak pernah kuliah hukum, pasti tidak paham hukum. Kau seperti tidak tahu saja bagaimana orang kalangan bawah seperti kita sering dikerjai aparat dengan mengatasnamakan hukum.”

“Nah, ini yang banyak orang tidak tahu. Kau masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika Abi ditangkap polisi karena kasus penipuan?” Pertanyaan Denis itu mendapatkan jawaban berupa anggukan dari Tio. “Itu bukan kasus penipuan biasa. Saat masih bekerja di warnet, dia nyambi jadi joki skripsi. Menurut polisi, dia sudah membuat belasan skripsi dan dua tesis untuk mahasiswa hukum. Hebatnya, semuanya itu mendapatkan nilai sempurna dan bukan hasil plagiat dari karya orang lain.”

“Lho, tidak mungkin. Dari mana dia belajar hukum?”

“Nah, itu yang menjadi misteri selama ini.”

* * *

Setelah jumpa pers

Media di seantero negeri, baik media cetak, elektronik maupun online, saat ini dipenuhi oleh berita tentang seorang terduga kurir narkoba yang mengaku disiksa oleh pihak kepolisian ketika proses penyidikan. Berita tentang selebritis, politik atau olahraga seakan tidak terlihat penting. Berbagai talkshow membahas tentang kejadian ini. Hampir semua kalangan, dari artis sampai pakar hukum, memberikan pendapat. Bahkan muncul kembali orang-orang yang mengaku pernah mengalami perlakuan yang diterima oleh Abi.

Puluhan wartawan setia bersemayam dalam waktu yang cukup lama di depan kantor polisi untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap dari pihak kepolisian dan jika memungkinkan dari Abi langsung. Namun, sampai saat ini mereka belum mendapatkan apa-apa.

Sementara itu, para pejabat kepolisian panik karena kejadian ini. Padahal mereka sedang gencar melakukan kampanye untuk memperbaiki citra kepolisian yang baru saja rusak karena kasus pembunuhan berencana dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh salah satu perwira mereka.

Tentu saja mereka menyalahkan seseorang, yaitu Abimanyu Alexander. Karena satu orang itu, tingkat kepercayaan publik pada kepolisian negeri ini kembali terjun bebas. Kini lembaga tersebut mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat.

Dan Abi dikembalikan ke ruang interogasi.

“Siapa kau sebenarnya, Brengsek?”

Tatapan penuh amarah dari Briptu Donny menusuk mata Abi yang kembali babak belur terkena hajaran. Ia merasa bertanggung jawab atas kejadian tersebut mengingat di hadapannyalah Abi menandatangani surat pernyataan yang mereka buat. Di sekitar mereka ada beberapa polisi, termasuk Aipda Carlos dan Iptu Simon. Abi menatap mereka satu per satu lalu tersenyum.

“Aku hanya orang biasa. Hanya driver ojol biasa, anak seorang pelacur yang besar dan tinggal di lokalisasi, putus sekolah saat SMA, sebelumnya punya dua catatan kejahatan, yaitu penganiayaan ringan dan penipuan.”

Jawaban Abi itu membuat Aipda Carlos terperanjat. Dia sampai tak sadar mengoceh, “Apakah dia punya pendengaran super?”

Briptu Donny menarik bagian depan baju Abi lalu tangannya yang lain bersiap untuk melayangkan pukulan berikutnya. Namun, Abi hanya tersenyum dan tak menunjukkan kegentaran sedikitpun.

“Apakah sebagai polisi kau tidak tahu? Pasal 4 PERKAPOLRI nomor 15 Tahun 2006 Tentang Kode Etik profesi penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib mematuhi norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesusilaan, kesopanan serta nilai-nilai kemanusiaan. Ah, pasti kau tahu. Hanya saja kau minim kode etik.”

Briptu Donny benar-benar melayangkan pukulannya ke arah wajah Abi hingga ia tersungkur dan darah mengalir dari mulutnya.

“Bodoh! Jangan di bagian wajah!” Aipda Carlos membentak rekannya itu.

Iptu Simon sejak tadi hanya diam menatap Abi. Perasaan malu masih melekat di pundaknya atas kejadian di depan pers tadi. Lebih dari itu, ketakutan menyergap pikirannya. Ia harus bersiap untuk menerima hukuman, baik dari kepolisian dan juga dari 'dia'.

“Mengapa kau yakin dia bukan Mischa Radjasa? Badan kurus, putih, tinggi sekitar 180 cm, berambut pirang dan memiliki tato bunga di leher dan anting pistol di telinga kiri.”

Iptu Simon berjalan menghampiri Abi. Ia berusaha bersikap tenang meski hati dan otaknya seperti akan meledak.

Abi menatap Iptu Simon lekat, membuat seisi ruangan menunggu jawabannya. Tapi Abi malah kembali tersenyum dan berkata, “Saya menolak untuk memberi keterangan apapun lagi tanpa didampingi oleh pengacara.”

Kini Iptu Simon tak lagi sanggup menahan emosinya. Ia memegang pistol yang ada di pinggangnya dan mengambil sikap hendak menembak. Suasana di ruangan itu semakin menegangkan. Untung saja, ketegangan itu buyar saat ponsel Iptu Simon berbunyi. Wajah marah pria itu mendadak berubah menjadi penuh ketakutan ketika melihat sebuah nama di layar ponselnya.

“Halo!”

[Wah, wah, wah. Tak kusangka kau mengecewakanku separah ini.]

Keringat mulai mengalir dari kening Iptu Simon saat mendengar suara itu. Ia segera bergegas ke luar ruangan, sementara wajah Briptu Donny dan Aipda Carlos juga ikut memucat.

“Ma, maafkan kami, Tuan. Kami benar-benar tidak menyangka kalau dia -”

[Kau tahu orang seperti apa yang paling kubenci? Orang yang meminta maaf sebelum memikirkan cara untuk memperbaiki kesalahannya.]

Kaki Iptu Simon gemetar. Bahkan hanya dengan mendengar suaranya melalui ponsel, ia bisa merasakan aura mengerikan dari sosok misterius tersebut.

“Sa, saya sudah memikirkannya, Tuan. Kami akan menghabisi anak itu tanpa jejak dan kami akan membuat publik segera melupakan keberadaannya. Lalu kami -”

[Ternyata kalian benar-benar sebodoh itu.]

Selaan pria itu membuat Iptu Simon semakin ketakutan. Ia semakin yakin kalau bencana besar akan segera menimpa hidupnya.

[Aku tidak ingin kalian melukainya lagi. Dia lebih pintar dari yang kalian kira. Semakin kalian melukainya, semakin besar senjatanya melawan kalian. Dan dia bukan tipe orang yang mudah dibunuh. Dia seperti Samson, yang sebelum mati akan menghancurleburkan musuhnya terlebih dulu.]

Pria itu menjeda kalimatnya. Sementara Iptu Simon masih memikirkan apa yang pria itu ingin ia lakukan.

[Mulai saat ini, aku tidak ingin kalian menggunakan kekerasan, apalagi harus ada pertumpahan darah hanya untuk melawan satu orang biasa. Gunakan kecerdasan kalian.]

Kemudian terdengar nada panjang tanda panggilan telah berakhir. Sekarang Iptu Simon bisa kembali bernapas dengan normal. Ia melihat sosok Abi melalui cermin satu arah yang menghubungkan ruang interogasi dengan ruang di sebelahnya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

Sementara itu di tempat lain, sang pria misterius baru saja menutup teleponnya. Ia kembali mengelap koleksi pistol kunonya dengan hati-hati. Asistennya yang sedari tadi setia berdiri di sampingnya membuka suara.

“Apakah saya tidak perlu turun tangan langsung untuk membereskan situasi ini, Tuan?”

“Tidak perlu. Aku penasaran dengan pemuda itu dan ingin melihat sejauh mana dia bisa melawan. Jika dia cukup tangguh, dia akan menjadi alat yang tepat bagi kita untuk mengetahui siapa yang layak untuk menjadi bagian dari kerajaan yang akan kubangun.”

“Tapi, melihat bagaimana yang terjadi sekarang, akan sangat beresiko jika kita tidak mengawasi mereka.”

Pria misterius itu menyentuh pundak asistennya lalu berkata, “Aku akan hadir di tengah mereka. Bukan sebagai penolong, melainkan sebagai wasit yang akan memastikan pertarungan berjalan dengan jujur. Namun, bila mereka terlalu bodoh dan pemuda itu berhasil mengganggu rencana kita, aku akan memberikanmu kesempatan untuk bertindak.”

Sang asisten berhenti membantah tuannya. Ia merasa ucapan tuannya yang terakhir cukup untuk mengakhiri kekhawatirannya. Saat ini ia berusaha untuk melupakan pemuda itu dan apa yang baru saja dilakukannya lalu berkonsentrasi melayani tuannya yang masih asyik membersihkan senjata-senjata kuno miliknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!