The Last Love
Hari ini terasa sangat melelahkan bagi seorang gadis berkuncir kuda yang tengah mengayuh sepeda di tepi jalan. Naas, di tengah perjalanan ia justru terperosok ke dalam selokan karena menghindari pengendara motor yang melaju ke arahnya.
"Aaah," ringis Anggita sembari memegangi sikunya yang terluka, karena bergesekan dengan permukaan selokan kering yang kasar.
"Kamu nggak papa?"
Suara bariton seorang pria mengalihkan atensi gadis itu dari luka yang masih berdarah.
Anggita bangkit dan berdiri berkacak pinggang. Memelototi lelaki yang sudah menabraknya.
"Nggak papa dari mana? Nggak lihat apa sepedaku jadi rusak," cecar Anggita menunjuk sepedanya yang lecet, dan sudah dipastikan stangnya miring.
Ia sangat kesal. Sebelumnya gadis itu berharap dapat segera pulang dan makan nasi bungkus bersama sang adik.
'Oh iya! Nasi bungkusnya?'
Sontak matanya langsung membelalak saat melihat nasi di dalam kertas cokelat itu sudah keluar dari kresek itu dan berceceran.
Netranya lalu terpejam erat. Menutup wajahnya rapat. Ia ingin menangis dan memaki pria yang telah membuatnya jatuh seperti ini.
"Maaf, aku nggak sengaja," ucap pria itu lagi.
"Nggak sengaja, nggak sengaja! Makanya kalo bawa motor tuh yang bener. Memangnya jalan ini punya nenek moyang kamu," omel Anggita sambil menegakkan sepedanya yang kotor juga rusak.
Dengan emosi yang sudah di ubun-ubun, Anggita langsung melangkah dan menuntun sepedanya. Meninggalkan pria yang sudah merusak sepeda serta nasi bungkus untuk makan malamnya.
"Hei, aku minta maaf! Aku nggak sengaja tadi!" teriaknya.
Anggita mengabaikan permintaan maaf pria itu dan terus mendorong sepeda. Bahkan luka di kakinya tidak lagi ia rasa, serta tangannya yang berdarah.
Anggita mengelap kasar lukanya pada kaos merah muda yang ia kenakan.
Tanpa sadar air matanya jatuh. Gadis bertubuh kecil itu sudah berjanji akan membelikan adiknya nasi bungkus dengan lauk ayam panggang, seperti yang dia mau.
Tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur, musibah tidak dapat dielak.
"Maafin kakak Jihan," lirih Anggita.
Dia kemudian merogoh saku celananya. Mencari sisa uang yang ia punya.
"Tinggal lima ribu? Kami harus makan, apa yang harus kubeli?" lirih Anggita, menimang-nimang uang lima ribu rupiah di tangannya.
Netranya mengedar, menyapu ke seluruh penjuru jalan yang dia lalui.
"Nah, itu ada tukang gorengan!" riang Anggita langsung berjalan ke arah pedagang yang sibuk menggoreng dagangannya.
***
Seperti yang telah Anggita duga. Adiknya sudah menunggu di beranda rumah.
"Kakak jadi beliin Jihan nasi bungkus?" tanya Jihan dengan mata berbinar.
Anggita tidak tega mematahkan binar di mata sang adik dengan berkata jujur, apa yang baru saja ia alami.
"Emm, maaf ya Jihan. Kakak nggak bisa tepatin janji kakak hari ini. Kita makan sama tempe goreng aja ya hari ini," kata Anggita merangkul bahu Jihan dan membawanya masuk.
Kekecewaan terpancar jelas dari senyum Jihan yang mendadak surut.
"Maafin kakak ya, Jihan."
Hanya kata maaf yang dapat gadis itu ucap. Ia tidak sanggup untuk memberinya janji lain, dan membuat dia semakin berharap. Sedang dirinya sendiri ragu untuk bisa menepatinya.
Akhirnya malam itu Anggita dan Jihan hanya makan berlauk dua tempe goreng dan satu bakwan.
Anggita bukanlah gadis yang sudah bekerja. Ia masih menjadi seorang siswi di salah satu sekolah terfavorit di daerahnya. Seragamnya masih seragam putih abu-abu. Menjadi yatim piatu dan harus menjadi ayah, ibu, serta kakak untuk Jihan yang masih berusia tujuh tahun bukanlah hal yang mudah untuk gadis itu. Seorang gadis yang baru menginjak usia enambelas tahun.
***
Karena sepedanya rusak, terpaksa Anggita pergi ke sekolah jalan kaki. Dengan keadaan kaki yang sakit, serta siku yang perih saat tak sengaja tertekuk.
Baru saja gadis berseragam batik SMA itu memasuki gerbang, suara klakson mobil dari belakang sudah lebih dulu mengagetkannya, juga beberapa siswa lain yang juga tengah melintas.
Ia bergerak ke pinggir. Melipir saat sebuah mobil mewah melintas di dekatnya. Dia melihat banyak siswi yang menatap ke arah mobil itu dengan senyum yang begitu lebar.
'Siapa memangnya yang ada di mobil itu?' tanya Anggita membatin.
Bukan karena tertarik, ia hanya penasaran dan ingin tahu siapa yang berada di dalam sana. Hingga keluarlah seorang siswa dengan seragam rapi dari dalam mobil.
"Oh, ternyata murid sekolah ini juga." Anggita kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Tidak lagi tertarik pada sosok yang menjadi pusat perhatian di halaman depan sekolah.
Namun, mendadak langkahnya terhenti. Kala melihat wajah pria yang tadi membelakanginya.
"Dia? Dia sekolah di sini?" kaget Anggita.
Anggita langsung memalingkan wajah saat melihat lelaki hendak menoleh ke arahnya. Langkah gadis itu yang semula lambat, berubah cepat. Ingin segera sampai di kelas.
"Elo kenapa, Git? Kok kayak dikejer-kejer setan gitu?" tanya teman sebangku Anggita.
"Nggak papa. Cuma pengen cepet sampe di kelas aja," kilahnya.
Anggita langsung membuka tas, dan mengeluarkan buku catatan kimia. Sebab pagi ini mereka akan ulangan harian.
Suara riuh dan sorak-sorai para kaum hawa di kelasnya menggema. Memanggil nama seorang pria.
"Galang!"
"Calon imamku!"
"Calon suamiku!"
"Baby honey! Galang!"
Masih banyak lagi panggilan-panggilan aneh yang Anggita dengar. Ia kemudian menoleh ke arah kiri.
"Aaah, dia lagi," erangnya pelan.
'Siapa sebenarnya dia? Kenapa semuanya histeris banget waktu ngeliat dia. Emangnya dia dewa? Pangeran? Masih gantengan juga almarhum ayah,' kata Anggita dalam hati.
Karena sudah tahu siapa yang mereka teriaki, Anggita memalingkan wajah ke arah lain. Bahkan, tubuhnya pun bergerak ke arah kiri.
"Git, liat tuh! My Prince gue. Ya ampun kok dia makin hari makin cakep sih, aah, gemesin."
Dahi Anggita berkerut dalam. Kedua ujung matanya pun ikut mengecil. Dengan gerakan kaku, ia menatap Rania yang terus menarik-narik lengan seragamnya.
"Biasa aja. Nggak usah berlebihan gitu. Nanti patah hati nangis," ejek Anggita.
"Iiihh, lo gitu ah. Coba aja lo lihat dia. Dia itu most wonted-nya sekolah ini. Udah ganteng, pinter, baik lagi," puji Rania terus-menerus.
Telinga Anggita terasa panas mendengarnya.
"Terus? Setelah kamu lihatin dia, nanti ulangan kamu bakalan lancar?" tanyanya sarkas.
Rania mengerucutkan bibirnya dan menepuk pelan lengan Anggita.
"Lo nggak bisa bikin gue seneng dikit aja ya, Git? Baru aja dapet semangat habis lihat muka gantengnya Galang, lo malah bahas ulangan," gerutu Rania pada Anggita.
"Karena ada yang lebih penting dari mengagumi dia," balas Anggita kembali fokus membaca.
Ia kemudian melirik Rania yang kini ikut membuka buku catatannya. Dia pikir teman sebangkunya hendak belajar, ternyata dia membuat sebuah tulisan yang membuat Anggita terbelalak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Erni Fitriana
mampir thor
2024-07-27
0
Su Tejo
Mampir baca thor ...
2024-07-27
0
Rayu Coe IG : rayu_coe
SEMANGAAAQT BESTIEEE🥰🥰🥰🥰🥰
2023-06-19
0