“Nanti berhenti di kafe dekat kamu nabrak aku kemarin aja,” jawab Anggita singkat.
“Kafe Flora Sweet itu?” tanya Galang memastikan, karena jika tidak salah ingat kafe tersebutlah, yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat Anggita terjatuh karena dirinya.
Anggita mengangguk pelan.
Karena Anggita tidak lagi seketus sebelumnya, Galang pun memberanikan diri untuk menanyakan lebih banyak hal kepada gadis di sampingnya.
“Kamu kerja di sana?”
“Iya.”
“Oh,” beo Galang mengangguk pelan.
“Kalau orang tua kamu?” tanya Galang lagi.
“Kenapa? Kamu mau buat biografi tentang aku?” tanya Anggita balik, karena ia tidak suka jika ranah privasinya diusik oleh siapa pun.
Bahkan teman-teman di sekolahnya hanya tahu jika dia seorang anak yatim piatu, yang selalu bekerja paruh waktu, dan bersekolah di sekolah elit tersebut karena mendapat bea siswa. Sebagai balasannya, Anggita harus siap untuk mengikuti banyak ajang perlombaan dan nilai sekaligus peringkatnya tidak boleh turun.
“Nggak. Kalau gitu, kenapa kamu nggak buat autobiografi aja, biar nanti aku baca. Jadi, kamu nggak perlu jawab pertanyaan-pertanyaan aku,” jawab Galang menyengir lebar.
“Pak, saya turun di sini aja,” pinta Anggita tanpa melihat Galang.
Sontak lelaki itu terkejut akan permintaan gadis di sampingnya.
“Eh, jangan. Jalannya masih jauh. Nanti luka kamu tambah parah,” cegah Galang cepat.
“Pak, jalan terus aja. Temen saya cuma bercanda,” jawab Galang pada supirnya.
Beruntung sang supir tidak jadi menghentikan laju mobil, dan terus berjalan.
“Oke. Aku diem dan nggak akan nanya lagi. Kecuali kamu sendiri yang mau cerita,” pungkas Galang menenangkan Anggita.
Sisa perjalanan menuju kafe tempat Anggita bekerja, hanya ditemani keheningan.
Sebab Galang takut jika Anggita berbuat nekad, dan Anggita yang memilih untuk diam.
Lagi pula tak ada gunanya juga menceritakan tentang kehidupannya pada orang asing yang baru dia kenal. Tak ada faedah dan manfaatnya juga.
“Makasih, besok saya bisa pergi dan pulang sendiri,” ujar Anggita sekaligus memberi peringatan tegas pada Galang.
“Memangnya aku ada bilang besok mau jemput dan antar kamu pulang?” balas Galang membuat Anggita sangat malu. Namun, gadis itu dapat mengendalikan raut mukanya dengan baik, sehingga ia tidak terlihat gugup sedikitpun.
Dengan senyum yang terkembang indah, Anggita pun berkata, “Oke. Bagus kalo gitu. Jadi, kamu juga harus pegang kata-kata kamu itu, biar aku nggak anggap kamu sebagai pecundang,” tukas Anggita kemudian berbalik meninggalkan Galang dan mobil sedan hitamnya.
“Ayo, lanjut lagi, Pak,” ajak Galang setelah melihat Anggita memasuki pintu kafe.
“Pak, pertanyaan saya tadi itu, memangnya nggak seharusnya ditanyain ya, Pak?” tanya Galang karena tanggapan Anggita jauh berbeda dari gadis pada umumnya.
“Ndak juga, Den. Mungkin temen Aden itu ndak nyaman aja ditanya-tanya. Bisa juga karena Aden ndak dekat sama dia,” jawab pak supir dengan senyum ramah.
Galang kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, seraya mengangguk pelan. Membenarkan ucapan supirnya.
“Mungkin juga ya, Pak. Karena saya baru ketemu sama dia dua hari ini,” balas Galang dengan suara pelan.
Namun, sorot mata tajam yang Anggita tampakkan kepadanya, membuat Galang merasa jika netra gelap itu menyimpan banyak luka.
Di sisi lain, Anggita berusaha untuk tetap bekerja semaksimal mungkin, meskipun beberapa kali ia nyaris menumpahkan minuman karena tangannya yang mendadak lemas.
“Anggita, kamu duduk aja, atau nggak kamu catat pesanan pengunjung aja, biar mbak sama yang lain aja yang antar pesanan ke meja,” ujar salah satu teman kerja Anggita.
“Beneran nggak papa, Mbak?” tanya Anggita tidak enak, jika merepotkan yang lainnya.
“Iya, nggak papa,” timpal temannya yang lain.
“Daripada nanti beneran ada pesanan yang nggak sampe ke meja?” sambung yang lainnya.
“Ya, udah. Makasih ya, Mbak,” ujar Anggita menuruti saran teman sekerjanya yang berumur jauh di atasnya.
Anggita sangat bersyukur karena ia mendapat kerja, dimana teman kerjanya memiliki solidaritas dan rasa kekeluargaan yang tinggi, hingga ia tidak merasakan lelah sedikitpun selama bekerja di tempat ini.
Setelah melepas lelah sejenak, Anggita pun bergegas mengganti pakaian dan segera pulang.
“Eh, kamu pulang naik apa, Git? Jam segini udah susah mau nyari angkot,” ujar Farah yang menyadari jika Anggita datang tidak membawa kendaraan.
“Jalan kaki kayaknya, Mbak,” jawab Anggita tidak ambil pusing.
“Eh, kok jalan kaki? Oh, atau jangan-jangan mau dijemput sama pacar kamu tadi ya?” goda Farah setengah berbisik.
“Mana ada. Itu cuma temenku aja, Mbak,” jawab Anggita mengibaskan tangannya.
“Temen apa demen?” goda Farah lagi karena selama mengenal Anggita, ia tidak pernah melihat gadis itu dekat dengan laki-laki.
“Siapa yang punya pacar? Anggita punya pacar?” tanya Citra menyerobot.
“Heem,” sahut Farah dengan dehaman.
“Udah, jangan pacaran dulu, Git. Inget ya pesan aku. Nggak selamanya pacar itu jadi penyemangat kamu kerja ataupun belajar. Bisa aja yang terjadi malah sebaliknya. Jadi, saran aku mending sekarang kamu fokus belajar sama kerja aja dulu. Lagian kan ada kita-kita yang selalu hibur dan dukung kamu,” terang Citra karena ia telah menganggap Anggita sebagai adiknya sendiri. Sebab Anggita merupakan karyawan termuda di kafe tersebut, sehingga rasa untuk melindungi gadis itu sangat tinggi.
“Iya, Mbak. lagian aku juga nggak pacaran, kok. Mbak Farah tadi cuma bercanda aja,” jawab Anggita mengangguk patuh.
“Ya udah, kalo gitu kamu pulang sama aku aja,” ajak Citra.
“Terus aku gimana?” tanya Farah menunjuk diri, karena selama ini ia selalu pulang ditumpangi oleh Citra.
“Nanti aku balik lagi. Kamu tunggu aja di sini. Kamu mau kalo besok nih anak malah libur, karena sakit?” jawab Citra.
“Ya udah. Kamu naik aja duluan, Git. Aku tunggu di sini,” ujar Farah mengizinkan Anggita untuk menaiki motor Citra lebih dulu.
***
Di sisi lain, seorang lelaki sebaya Anggita tengah diintrogasi oleh kedua orang tuanya. Dengan duduk di satu sofa, serta sepasang suami istri duduk tepat pada sofa di hadapannya.
Galang Putra Bimantara. Lelaki itu sangat tegang saat kedua orang tuanya, menatap dia dengan tajam.
“Siapa perempuan itu Galang?” tanya Rosa seraya melipat tangan di depan dada.
“Dia cuma teman satu sekolah Galang, Ma. Galang nggak sengaja nabrak dia kemarin. Jadi, Galang cuma mau tanggung jawab aja,” jujur Galang menatap kedua netra orang tuanya bergantian.
“Hanya karena itu?” tanya Agra, papanya Galang.
“Iya, Pa. Nggak ada alasan lain,” jawab Galang berusaha tetap tenang, meskipun kini jantungnya berdebar kencang.
Selama ini ia tidak pernah diintimidasi oleh orang tuanya perihal perempuan, sebab yang ada dipikiran kedua orang tuanya adalah dia harus menjadi yang terbaik.
***
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Erni Fitriana
wahhhh ada cepu nih...ampe galang diintrogaai bonyok nyah
2024-07-28
0
blue sea
Haaa pengen jadi Anggita. duh, klepek-klepek deh sama Galang
2023-04-14
0