NovelToon NovelToon

The Last Love

Ketiban Sial

Hari ini terasa sangat melelahkan bagi seorang gadis berkuncir kuda yang tengah mengayuh sepeda di tepi jalan. Naas, di tengah perjalanan ia justru terperosok ke dalam selokan karena menghindari pengendara motor yang melaju ke arahnya.

"Aaah," ringis Anggita sembari memegangi sikunya yang terluka, karena bergesekan dengan permukaan selokan kering yang kasar.

"Kamu nggak papa?"

Suara bariton seorang pria mengalihkan atensi gadis itu dari luka yang masih berdarah.

Anggita bangkit dan berdiri berkacak pinggang. Memelototi lelaki yang sudah menabraknya.

"Nggak papa dari mana? Nggak lihat apa sepedaku jadi rusak," cecar Anggita menunjuk sepedanya yang lecet, dan sudah dipastikan stangnya miring.

Ia sangat kesal. Sebelumnya gadis itu berharap dapat segera pulang dan makan nasi bungkus bersama sang adik.

'Oh iya! Nasi bungkusnya?'

Sontak matanya langsung membelalak saat melihat nasi di dalam kertas cokelat itu sudah keluar dari kresek itu dan berceceran. 

Netranya lalu terpejam erat. Menutup wajahnya rapat. Ia ingin menangis dan memaki pria yang telah membuatnya jatuh seperti ini.

"Maaf, aku nggak sengaja," ucap pria itu lagi.

"Nggak sengaja, nggak sengaja! Makanya kalo bawa motor tuh yang bener. Memangnya jalan ini punya nenek moyang kamu," omel Anggita sambil menegakkan sepedanya yang kotor juga rusak.

Dengan emosi yang sudah di ubun-ubun, Anggita langsung melangkah dan menuntun sepedanya. Meninggalkan pria yang sudah merusak sepeda serta nasi bungkus untuk makan malamnya.

"Hei, aku minta maaf! Aku nggak sengaja tadi!" teriaknya.

Anggita mengabaikan permintaan maaf pria itu dan terus mendorong sepeda. Bahkan luka di kakinya tidak lagi ia rasa, serta tangannya yang berdarah.

Anggita mengelap kasar lukanya pada kaos merah muda yang ia kenakan.

Tanpa sadar air matanya jatuh. Gadis bertubuh kecil itu sudah berjanji akan membelikan adiknya nasi bungkus dengan lauk ayam panggang, seperti yang dia mau.

Tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur, musibah tidak dapat dielak.

"Maafin kakak Jihan," lirih Anggita.

Dia kemudian merogoh saku celananya. Mencari sisa uang yang ia punya.

"Tinggal lima ribu? Kami harus makan, apa yang harus kubeli?" lirih Anggita, menimang-nimang uang lima ribu rupiah di tangannya.

Netranya mengedar, menyapu ke seluruh penjuru jalan yang dia lalui.

"Nah, itu ada tukang gorengan!" riang Anggita langsung berjalan ke arah pedagang yang sibuk menggoreng dagangannya.

***

Seperti yang telah Anggita duga. Adiknya sudah menunggu di beranda rumah.

"Kakak jadi beliin Jihan nasi bungkus?" tanya Jihan dengan mata berbinar.

Anggita tidak tega mematahkan binar di mata sang adik dengan berkata jujur, apa yang baru saja ia alami.

"Emm, maaf ya Jihan. Kakak nggak bisa tepatin janji kakak hari ini. Kita makan sama tempe goreng aja ya hari ini," kata Anggita merangkul bahu Jihan dan membawanya masuk.

Kekecewaan terpancar jelas dari senyum Jihan yang mendadak surut.

"Maafin kakak ya, Jihan."

Hanya kata maaf yang dapat gadis itu ucap. Ia tidak sanggup untuk memberinya janji lain, dan membuat dia semakin berharap. Sedang dirinya sendiri ragu untuk bisa menepatinya.

Akhirnya malam itu Anggita dan Jihan hanya makan berlauk dua tempe goreng dan satu bakwan.

Anggita bukanlah gadis yang sudah bekerja. Ia masih menjadi seorang siswi di salah satu sekolah terfavorit di daerahnya. Seragamnya masih seragam putih abu-abu. Menjadi yatim piatu dan harus menjadi ayah, ibu, serta kakak untuk Jihan yang masih berusia tujuh tahun bukanlah hal yang mudah untuk gadis itu. Seorang gadis yang baru menginjak usia enambelas tahun.

***

Karena sepedanya rusak, terpaksa Anggita pergi ke sekolah jalan kaki. Dengan keadaan kaki yang sakit, serta siku yang perih saat tak sengaja tertekuk.

Baru saja gadis berseragam batik SMA itu memasuki gerbang, suara klakson mobil dari belakang sudah lebih dulu mengagetkannya, juga beberapa siswa lain yang juga tengah melintas.

Ia bergerak ke pinggir. Melipir saat sebuah mobil mewah melintas di dekatnya. Dia melihat banyak siswi yang menatap ke arah mobil itu dengan senyum yang begitu lebar.

'Siapa memangnya yang ada di mobil itu?' tanya Anggita membatin.

Bukan karena tertarik, ia hanya penasaran dan ingin tahu siapa yang berada di dalam sana. Hingga keluarlah seorang siswa dengan seragam rapi dari dalam mobil.

"Oh, ternyata murid sekolah ini juga." Anggita  kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Tidak lagi tertarik pada sosok yang menjadi pusat perhatian di halaman depan sekolah.

Namun, mendadak langkahnya terhenti. Kala melihat wajah pria yang tadi membelakanginya.

"Dia? Dia sekolah di sini?" kaget Anggita.

Anggita langsung memalingkan wajah saat melihat lelaki hendak menoleh ke arahnya. Langkah gadis itu yang semula lambat, berubah cepat. Ingin segera sampai di kelas.

"Elo kenapa, Git? Kok kayak dikejer-kejer setan gitu?" tanya teman sebangku Anggita.

"Nggak papa. Cuma pengen cepet sampe di kelas aja," kilahnya.

Anggita langsung membuka tas, dan mengeluarkan buku catatan kimia. Sebab pagi ini mereka akan ulangan harian.

Suara riuh dan sorak-sorai para kaum hawa di kelasnya menggema. Memanggil nama seorang pria.

"Galang!"

"Calon imamku!"

"Calon suamiku!"

"Baby honey! Galang!"

Masih banyak lagi panggilan-panggilan aneh yang Anggita dengar. Ia kemudian menoleh ke arah kiri.

"Aaah, dia lagi," erangnya pelan.

'Siapa sebenarnya dia? Kenapa semuanya histeris banget waktu ngeliat dia. Emangnya dia dewa? Pangeran? Masih gantengan juga almarhum ayah,' kata Anggita dalam hati.

Karena sudah tahu siapa yang mereka teriaki, Anggita memalingkan wajah ke arah lain. Bahkan, tubuhnya pun bergerak ke arah kiri.

"Git, liat tuh! My Prince gue. Ya ampun kok dia makin hari makin cakep sih, aah, gemesin."

Dahi Anggita berkerut dalam. Kedua ujung matanya pun ikut mengecil. Dengan gerakan kaku, ia menatap Rania yang terus menarik-narik lengan seragamnya.

"Biasa aja. Nggak usah berlebihan gitu. Nanti patah hati nangis," ejek Anggita.

"Iiihh, lo gitu ah. Coba aja lo lihat dia. Dia itu most wonted-nya sekolah ini. Udah ganteng, pinter, baik lagi," puji Rania terus-menerus.

Telinga Anggita terasa panas mendengarnya.

"Terus? Setelah kamu lihatin dia, nanti ulangan kamu bakalan lancar?" tanyanya sarkas.

Rania mengerucutkan bibirnya dan menepuk pelan lengan Anggita.

"Lo nggak bisa bikin gue seneng dikit aja ya, Git? Baru aja dapet semangat habis lihat muka gantengnya Galang, lo malah bahas ulangan," gerutu Rania pada Anggita.

"Karena ada yang lebih penting dari mengagumi dia," balas Anggita kembali fokus membaca.

Ia kemudian melirik Rania yang kini ikut membuka buku catatannya. Dia pikir teman sebangkunya hendak belajar, ternyata dia membuat sebuah tulisan yang membuat Anggita terbelalak.

***

Aku Siap Tanggung Jawab

Kelopak mata Anggita melebar saat membaca kalimat yang tertera pada pertengahan buku tulis teman sebangkunya.

GALANG MARRY ME dengan gambar hati dan tanda seru di sampingnya.

“Eeeh, kamu mau ke mana?” tanya Anggita saat Rania beranjak dari duduknya. Bertepatan dengan Galang yang berjalan melewati jendela kelas mereka.

“Galang marry me!” teriaknya seraya melambaikan tangan yang mengenggam buku bertuliskan kalimat yang sama.

“Nia! Malu ih!” kata Anggita memaksa Rania untuk menurunkan tangannya.

Tanpa sengaja ia dan Galang saling tertukar pandang. Membuat pria yang tengah menjadi pusat perhatian itu sadar, jika gadis yang ia tatap merupakan perempuan yang sama, dengan yang dirinya temui kemarin sore.

‘Itukan cewek kemarin,’ batin Galang.

Ia berputar arah, dan berjalan menuju pintu kelas Anggita.

Kedatangan Galang membuat banyak gadis di kelas Anggita memekik tertahan, karena dapat menikmati ketampanan Galang dari jarak dekat. Terutama Rania. Oleh karena Galang berjalan ke arahnya.

“Aaah, gue mau pingsan,” pekiknya tertahan pada Anggita.

“Git, dia ke sini. Dia pasti baca tulisan gue, terus mau terima gue,” ujar Rania bergegas merapikan rambut serta pakaiannya.

Sedang Anggita yang melihat Galang berjalan ke arah mejanya, hanya memutar bola matanya dengan malas, dan mengalihkan pandangannya dari lelaki itu.

“Gimana luka kamu? Aku baru tahu kalau kita satu sekolah, dan tetanggaan kelasnya.”

“Eemm … aku juga siap untuk tanggung jawab.”

Kalimat terakhir Galang, sukses membuat seluruh pasang mata tertuju pada mereka berdua, dengan mata terbelalak, dan mulut terbuka lebar.

“Apa sih, aku nggak papa. Jadi, nggak usah pura-pura baik,” jawab Anggita dengan ketus, dan semakin fokus pada bukunya.

Merasa kalah saing oleh buku di atas meja tersebut, Galang langsung merebut dan menutup buku biologi milik Anggita.

“Kamu tahu nggak? Nggak sopan, kalau ada orang yang nanya baik-baik tapi kamu cuekin gitu aja,” ujar Galang dengan tenang dan ramah.

“Tau, dan kamu pengecualiannya,” jawab Anggita seraya berdiri hendak mengambil bukunya.

“Laras Anggita,” ujar Galang membaca name tag yang berada di baju Anggita.

“Nama kamu bagus,” pujinya, menimbulkan sorak-sorai dari teman-teman Galang yang berdiri tidak jauh darinya.

“Eitss, nggak sopan kalau ngambil sesuatu itu pakai tangan kiri, Laras. Kamu tahukan, kalau buku ini banyak ilmunya. Jadi, harus kamu perlakukan dengan baik,” terang Galang semakin meninggikan tangannya saat Anggita hendak menjangkau buku tersebut.

Kesal karena terus dipermainkan, Anggita langsung menendang tulang kering kaki kiri Galang, dan langsung menyambar bukunya.

Tanpa mengucapkan maaf, Anggita langsung berjalan ke luar kelas, dan mengabaikan suara riuh dari teman-teman yang menyorakinya.

Napas gadis itu memburu cepat, dan sesekali meringis pelan.

“Kamu harus kuat, Anggita. Nggak boleh lemah, nggak boleh cengeng,” ujar Anggita menyemangati diri, hingga ia tiba di ruang UKS, untuk memeriksa dan mengobati lukanya.

Galang yang melihat Anggita pergi, langsung berjalan menyusul gadis itu, karena ia bertanggung jawab atas luka Anggita.

“Hati-hati, untung nggak jatuh lagi,” ujar Galang menahan tubuh Anggita yang terhuyung ke depan, karena tangannya tidak dapat menggapai kotak obat yang ada di atasnya.

“Lepas!” sergah Anggita langsung mendorong tubuh Galang agar menjaga jarak dengannya.

“Kamu galak banget, sih. Aku cuma mau bantu kamu aja,” gerutu Galang seraya mengambil kotak obat, dan hendak memeriksa luka Anggita.

“Aku bisa sendiri,” tolak Anggita mengambil obat tersebut, dan menjauh dari Galang.

Lagi-lagi lelaki itu hendak kembali mendekatinya.

“Diem di situ, atau aku pergi?” ancam Anggita pada Galang.

“Iya-iya, aku di sini aja,” jawab Galang tetap berada di tempat duduknya, dan membiarkan Anggita mengobati lukanya sendiri.

Ekor mata Anggita melirik jendela UKS yang dipenuhi oleh teman-temannya.

‘Se-terkenal apa sih, cowok ini? Sampai mereka segitunya banget,’ batin Anggita berusaha untuk menahan diri.

“Kamu keluar aja,” usir Anggita tiba-tiba pada Galang.

“Lho! Kenapa? Aku kan nggak ganggu kamu. Aku dari tadi diem di sini,” jawab Galang memegang kursi yang ia duduki.

Anggita memutar bola mata jengah, dan melirik jendela di dekatnya.

Galang pun mengikuti arah pandang Anggita dan mulai paham apa yang membuat gadis itu mengusirnya.

Ia pun tersenyum dan mengeluarkan ponselnya. Mengetikkan sesuatu, dan hanya hitungan detik, kerumunan itu perlahan menjauh dan lenyap.

“Nah, sekarang kamu bisa obatin luka kamu lagi,” lontar Galang mempersilakan Anggita.

Namun, Anggita tidak menanggapinya. Saat akan menutup luka di sikunya menggunakan plester, gadis itu cukup kesusahan.

“Laras, kamu itu tahu kegunaan dari kata tolong nggak?” tanya Galang mengambil alih plester di tangan Anggita dan mulai menutupi luka gadis itu.

Karena tidak mendapat jawaban, Galang menengadahkan kepala, dan membuat tatapan keduanya kembali bertemu dan terkunci.

“Hei, aku nanya kamu,” ujar Galang menyadarkan Anggita dari lamunannya.

“Iya, tahu,” jawab Anggita singkat.

“Makasih,” lanjut Anggita hendak langsung meninggalkan Galang.

Inilah kali pertama seorang Galang Putra Bimantara mendapatkan respon dingin dan cuek dari seorang gadis, setelah selama ini ia selalu dikejar oleh banyak siswi di sekolah, bahkan juga namanya terkenal di sekolah lain.

“Salah gue segede apa sih, sampai itu cewek kok cueknya minta ampun. Atau jangan-jangan dia berasal dari kutub ya? Jadi kaku gitu,” celoteh Galang masih terus memperhatikan punggung Anggita yang perlahan menjauh dan hilang dari pandangannya.

Sesampainya di kelas bel masuk pun berbunyi, dan tidak lama kemudian, guru mata pelajaran pertama masuk. Anggita bernapas lega, karena gurunya datang tepat waktu, sehingga ia dapat mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari teman sekelasnya. 

“Git, Galang tadi itu sebenarnya mau tanggung jawab tentang apa sama elo?” tanya Rania berbisik.

Gadis itu pun saling bertukar pandang dengan siswi lain, yang juga tidak sabar untuk menunggu jawaban dari Anggita.

“Nggak ada,” jawab Anggita pelan, dan terus memperhatikan penjelasan gurunya.

“Masa sih, nggak ada? Nggak mungkin dia ngomong gitu, kalo nggak terjadi apa-apa antara elo sama dia sebelumnya,” terka Rania semakin memecah konsentrasi Anggita.

“Nia, nanti ditanya kamu nggak tahu lho. Mending perhatiin dulu pelajaran ini,” ujar Anggita mengalihkan pembicaraan.

Rania hanya mengerucutkan bibir sebal, karena ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Anggita.

“Padahal gue kan mau tahu aja. Siapa tahu nanti gue bisa dekat sama dia juga, kayak cara yang lo lakuin,” lirih Rania hanya mendapat gelengan pelan dari Anggita.

Saat akan pertukaran guru, kelas mereka mendapat waktu kosong lima menit menjelang guru yang mengajar selanjutnya datang. Tentu hal tersebut tidak akan disia-siakan oleh para siswi sekelas Anggita.

“Git, Galang itu mau tanggung jawab apa sama kamu?” tanya teman Anggita yang lain.

Anggita yang enggan membahas tentang Galang, hanya menunjuk luka di tangan dan kakinya.

“Gue nggak ngerti Anggita, jangan pake bahasa isyarat dong,” bujuk Rania menggoyangkan lengan kiri Anggita.

“Dia nabrak aku kemarin,” bisik Anggita tidak ingin temannya yang lain dengar.

“Apa? Elo ditabrak Galang?” tanya Rania dengan suara keras, hingga mereka kembali menjadi pusat perhatian.

“Aaaaa lo beruntung banget siih!”

“Gue juga mau ditabrak sama dia,” ujar Rania dengan tatapan penuh harap.

*** 

Bersambung. 

Penderitaan Manis

Tanpa pikir panjang, Anggita langsung menyentil dahi Rania. 

“Kamu udah gila ya? Mana ada orang yang kepingin ditabrak. Jangan aneh-aneh coba,” gerutu Anggita menggeleng heran.

“Ya jangan kuat-kuat. Yang penting gue bisa dapat perhatian lebih dari Galang,” jawab Rania semakin mengkhayal jika Galang akan menggendong dan mengobati lukanya.

“Git, udah itu gimana? Pasti kalo semua cewek di sekolah ini tahu, mereka iri banget sama lo. Gue juga iri,” celoteh Rania.

“Gimana apanya? Ya terus aku berdiri, dan pulang ke rumah. Kamu pikir kejadian ini kayak di novel-novel gitu?” gerutu Anggita karena imajinasi temannya sudah terlampau jauh dari realita yang ada.

“Hehe, kali aja, kan,” jawab Rania menyengir kuda.

Anggita hanya menggeleng pelan, dan tidak lagi melanjutkan pembicaraan mereka karena guru yang mengajar sudah berada di ambang pintu kelas.

Penderitaan manis yang Anggita alami, tidak hanya berakhir pagi tadi. Justru semakin bertambah runyam saat Galang mendatangi kelasnya dengan membawa beberapa makanan serta minuman saat jam istirahat.

“Hai, aku bawa makanan untuk kamu,” sapa Galang seraya meletakkan barang bawannya di atas meja Anggita yang sudah kosong.

“Aku nggak minta. Kamu makan aja sendiri,” jawab Anggita seraya mengeluarkan bekal makanannya dan berjalan ke luar kelas.

Melihat Anggita yang menghindar untuk kesekian kali, Galang pun kembali mengejarnya.

“Ini makanan untuk kalian. Bagi-bagi ya, jangan diborong sendiri,” ujar Galang pada teman sekelas Anggita.

Semuanya pun bersorak senang karena mereka tidak perlu berdesak-desakkan dan mengantri lama di kantin.

“Thank you, Galang!” sahut mereka dengan keras karena Galang sudah berjalan menjauh.

Sayangnya tidak semua teman sekelas Anggita, senang akan keberuntungan yang mereka dapat karena gadis itu. Beberapa di antara mereka tidak suka pada sikap Anggita, yang terkesan terlalu jual mahal pada most wanted sekolah tersebut.

Di sisi lain, Anggita memilih untuk duduk di taman sekolah. Tepatnya pada bangku yang dibentuk melingkar dengan sebuah payung lebar menaungi, sembari menikmati bekal makan siang yang ia bawa.

Beruntung Galang masih dapat mengamati gadis itu dari jarak beberapa meter, meskipun wajah Anggita hanya dapat ia amati dari samping. Sesekali embusan angin menerpa anak rambut Anggita, dan hal itu tampak indah di mata Galang.

‘Eh, kenapa gue jadi malah merhatiin dia?’ gumam Galang merasa ada yang aneh dengan dirinya.

Namun, bukan pergi dan mengalihkan pandangannya. Galang justru semakin memusatkan perhatiannya pada Anggita saat gadis itu memberi makan seekor kucing yang berjalan mendekatinya.

Anggita kemudian berdiri, dan menatap Galang yang berdiri beberapa meter di belakangnya sejak tadi.

“Nama kamu Galang?” tanya Anggita setelah sejak tadi ia terus berbicara dengan nada ketus.

Dengan senyum lebar, yang memperlihatkan kedua lesung pipinya, Galang mengangguk pelan. Begitu manis dan indah saat dipandang. Sayangnya tidak untuk Anggita, yang sama sekali tidak memikirkan perihal cinta.

“Kenapa? Kamu butuh sesuatu? Atau butuh bantuan aku?” tawar Galang karena Anggita hanya diam mengamatinya.

“Udah mau bel masuk. Jadi, mendingan sekarang kamu ke kelas kamu. Aku bisa jalan sendiri, dan jangan temuin aku lagi,” tutur Anggita menatap Galang tanpa senyum.

“Beneran? Coba kamu senyum? Kalau kamu senyum, baru aku percaya kamu baik-baik aja,” jawab Galang terus mengamati dan mengikuti Anggita.

“Oke. Tapi setelah ini kamu jauh-jauh dari aku,” pinta Anggita sebelum menuruti perkataan Galang.

“Tergantung,” jawab Galang menggedikkan bahu pelan.

Kesal karena sikap ramahnya dipermainkan, Anggita pun mengerucutkan bibir dan hendak meninggalkan Galang.

“Eh, iya-iya. Aku cuma bercanda,” kata Galang.

Anggita pun berbalik, dan tersenyum lebar. Senyum yang begitu manis di mata Galang karena mata Anggita menyipit saat bibir gadis itu melengkung ke atas.

“Sudah, ‘kan? Jadi, ingat perjanjian kita tadi,” ujar Anggita melanjutkan langkahnya yang tertunda, karena jalannya begitu lambat, ia takut jika nanti akan terlambat sampai di kelas.

Anggita sedikit menyesal karena dia memilih untuk pergi jauh dari kelas, sehingga ia kini justru harus berjalan dengan langkah tertatih. Padahal, sebelumnya ia telah berpikir untuk diam di kelas sampai jam pulang, tetapi yang terjadi justru diluar dugaan.

Setibanya di kelas, beberapa teman Anggita mengucapkan terima kasih, karena mereka akhirnya mendapat makanan enak dengan cuma-cuma.

Dahi Anggita mengernyit, karena ia merasa tidak melakukan apa pun pada teman-temannya.

“Ih, lo tuh ya! Orang pada ngomong makasih, lo malah diem aja, kayak orang linglung,” kata Rania menyentuh lengan Anggita.

“Mereka makasih kenapa?” tanya Anggita pada Rania.

“Makasih karena makanan yang dikasih Galang ke lo tadi. Kan kita-kita yang ngabisin. Lagian, lo kenapa nolak sih, Git? Lo nggak lihat ya itu semua makanan enak dan mahal di kantin kita. Harganya jauh dari bekal yang lo bawa,” celoteh Rania tidak habis pikir pada keras kepalanya Anggita.

“Nggak papa. Selera orang kan beda-beda,” jawab Anggita tanpa rasa menyesal.

“Dasar ya, lo tuh aneh,” ejek Rania seraya memajukan bibir bawahnya.

Namun, Anggita hanya diam, tanpa merasa tersinggung ataupun marah pada teman sebangkunya.

Tidak lama kemudian, mereka pun melanjutkan pelajaran seperti biasa, hingga akhirnya bel pulang yang dinanti-nanti pun berbunyi.

Anggita dengan sengaja menunggu teman sekelasnya pulang lebih dulu, karena tidak ingin berdesak-desakkan. Baru saja ia sampai di gerbang sekolah. Langkahnya kembali dicegat oleh lelaki yang sama.

“Kamu itu mau apa sih sebenarnya?” tanya Anggita dengan wajah kesal.

“Aku mau ajak kamu pulang bareng,” jawab Galang dengan santai, serta tidak merasa tersinggung akan tanggapan Anggita.

“Aku bisa pulang sendiri. Kamu juga udah janji, ‘kan nggak akan dekat-dekat aku,” protes Anggita.

“Kapan aku janji? Aku nggak ngomong gitu. Aku cuma nurutin kata-kata kamu tadi, dan ini udah jam pulang sekolah, jadi nggak ada larangan lagi untuk aku ketemu kamu,” papar Galang.

Anggita mengerang tertahan, karena lelaki di hadapannya tidak mudah menyerah.

“Kali ini aja ya, aku nggak mau jadi bahan gosipan anak-anak di kelasku, karena kamu,” jujur Anggita mengungkapkan ketidaknyamanannya.

“Nanti kita bahas di dalam. Kita masuk ke mobil aja dulu. Panas banget,” balas Galang seraya mengibaskan tangannya ke area leher.

"Ckckck!" Anggita berdecak pelan mendengar ucapan Galang, serta raut mukanya yang tampak sangat takut bila kulitnya terpapar sinar matahari.

"Katanya most wonted, kena panas dikit aja ngeluh," ledeknya.

"Panas siang dan terik gini nggak baik untuk kesehatan. Yang ada bikin sakit," balas Galang tidak terima.

Akhirnya Anggita pun menurut dan duduk pada bangku deretan kedua mobil, dan Galang di sampingnya.

“Ayo jalan, Pak,” ujar Galang pada supir pribadinya.

“Baik, Den,” jawab sang supir seraya menyalakan mesin mobil.

“Rumah kamu di mana?” tanya Galang saat mobil mulai melaju meninggalkan sekolah mereka.

"Bisa makin nggak tenang hidupku kalo dia tau rumah aku," gerundel Anggita sambil mengalihkan pandangan ke arah kaca mobil.

***

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!