Tanpa pikir panjang, Anggita langsung menyentil dahi Rania.
“Kamu udah gila ya? Mana ada orang yang kepingin ditabrak. Jangan aneh-aneh coba,” gerutu Anggita menggeleng heran.
“Ya jangan kuat-kuat. Yang penting gue bisa dapat perhatian lebih dari Galang,” jawab Rania semakin mengkhayal jika Galang akan menggendong dan mengobati lukanya.
“Git, udah itu gimana? Pasti kalo semua cewek di sekolah ini tahu, mereka iri banget sama lo. Gue juga iri,” celoteh Rania.
“Gimana apanya? Ya terus aku berdiri, dan pulang ke rumah. Kamu pikir kejadian ini kayak di novel-novel gitu?” gerutu Anggita karena imajinasi temannya sudah terlampau jauh dari realita yang ada.
“Hehe, kali aja, kan,” jawab Rania menyengir kuda.
Anggita hanya menggeleng pelan, dan tidak lagi melanjutkan pembicaraan mereka karena guru yang mengajar sudah berada di ambang pintu kelas.
Penderitaan manis yang Anggita alami, tidak hanya berakhir pagi tadi. Justru semakin bertambah runyam saat Galang mendatangi kelasnya dengan membawa beberapa makanan serta minuman saat jam istirahat.
“Hai, aku bawa makanan untuk kamu,” sapa Galang seraya meletakkan barang bawannya di atas meja Anggita yang sudah kosong.
“Aku nggak minta. Kamu makan aja sendiri,” jawab Anggita seraya mengeluarkan bekal makanannya dan berjalan ke luar kelas.
Melihat Anggita yang menghindar untuk kesekian kali, Galang pun kembali mengejarnya.
“Ini makanan untuk kalian. Bagi-bagi ya, jangan diborong sendiri,” ujar Galang pada teman sekelas Anggita.
Semuanya pun bersorak senang karena mereka tidak perlu berdesak-desakkan dan mengantri lama di kantin.
“Thank you, Galang!” sahut mereka dengan keras karena Galang sudah berjalan menjauh.
Sayangnya tidak semua teman sekelas Anggita, senang akan keberuntungan yang mereka dapat karena gadis itu. Beberapa di antara mereka tidak suka pada sikap Anggita, yang terkesan terlalu jual mahal pada most wanted sekolah tersebut.
Di sisi lain, Anggita memilih untuk duduk di taman sekolah. Tepatnya pada bangku yang dibentuk melingkar dengan sebuah payung lebar menaungi, sembari menikmati bekal makan siang yang ia bawa.
Beruntung Galang masih dapat mengamati gadis itu dari jarak beberapa meter, meskipun wajah Anggita hanya dapat ia amati dari samping. Sesekali embusan angin menerpa anak rambut Anggita, dan hal itu tampak indah di mata Galang.
‘Eh, kenapa gue jadi malah merhatiin dia?’ gumam Galang merasa ada yang aneh dengan dirinya.
Namun, bukan pergi dan mengalihkan pandangannya. Galang justru semakin memusatkan perhatiannya pada Anggita saat gadis itu memberi makan seekor kucing yang berjalan mendekatinya.
Anggita kemudian berdiri, dan menatap Galang yang berdiri beberapa meter di belakangnya sejak tadi.
“Nama kamu Galang?” tanya Anggita setelah sejak tadi ia terus berbicara dengan nada ketus.
Dengan senyum lebar, yang memperlihatkan kedua lesung pipinya, Galang mengangguk pelan. Begitu manis dan indah saat dipandang. Sayangnya tidak untuk Anggita, yang sama sekali tidak memikirkan perihal cinta.
“Kenapa? Kamu butuh sesuatu? Atau butuh bantuan aku?” tawar Galang karena Anggita hanya diam mengamatinya.
“Udah mau bel masuk. Jadi, mendingan sekarang kamu ke kelas kamu. Aku bisa jalan sendiri, dan jangan temuin aku lagi,” tutur Anggita menatap Galang tanpa senyum.
“Beneran? Coba kamu senyum? Kalau kamu senyum, baru aku percaya kamu baik-baik aja,” jawab Galang terus mengamati dan mengikuti Anggita.
“Oke. Tapi setelah ini kamu jauh-jauh dari aku,” pinta Anggita sebelum menuruti perkataan Galang.
“Tergantung,” jawab Galang menggedikkan bahu pelan.
Kesal karena sikap ramahnya dipermainkan, Anggita pun mengerucutkan bibir dan hendak meninggalkan Galang.
“Eh, iya-iya. Aku cuma bercanda,” kata Galang.
Anggita pun berbalik, dan tersenyum lebar. Senyum yang begitu manis di mata Galang karena mata Anggita menyipit saat bibir gadis itu melengkung ke atas.
“Sudah, ‘kan? Jadi, ingat perjanjian kita tadi,” ujar Anggita melanjutkan langkahnya yang tertunda, karena jalannya begitu lambat, ia takut jika nanti akan terlambat sampai di kelas.
Anggita sedikit menyesal karena dia memilih untuk pergi jauh dari kelas, sehingga ia kini justru harus berjalan dengan langkah tertatih. Padahal, sebelumnya ia telah berpikir untuk diam di kelas sampai jam pulang, tetapi yang terjadi justru diluar dugaan.
Setibanya di kelas, beberapa teman Anggita mengucapkan terima kasih, karena mereka akhirnya mendapat makanan enak dengan cuma-cuma.
Dahi Anggita mengernyit, karena ia merasa tidak melakukan apa pun pada teman-temannya.
“Ih, lo tuh ya! Orang pada ngomong makasih, lo malah diem aja, kayak orang linglung,” kata Rania menyentuh lengan Anggita.
“Mereka makasih kenapa?” tanya Anggita pada Rania.
“Makasih karena makanan yang dikasih Galang ke lo tadi. Kan kita-kita yang ngabisin. Lagian, lo kenapa nolak sih, Git? Lo nggak lihat ya itu semua makanan enak dan mahal di kantin kita. Harganya jauh dari bekal yang lo bawa,” celoteh Rania tidak habis pikir pada keras kepalanya Anggita.
“Nggak papa. Selera orang kan beda-beda,” jawab Anggita tanpa rasa menyesal.
“Dasar ya, lo tuh aneh,” ejek Rania seraya memajukan bibir bawahnya.
Namun, Anggita hanya diam, tanpa merasa tersinggung ataupun marah pada teman sebangkunya.
Tidak lama kemudian, mereka pun melanjutkan pelajaran seperti biasa, hingga akhirnya bel pulang yang dinanti-nanti pun berbunyi.
Anggita dengan sengaja menunggu teman sekelasnya pulang lebih dulu, karena tidak ingin berdesak-desakkan. Baru saja ia sampai di gerbang sekolah. Langkahnya kembali dicegat oleh lelaki yang sama.
“Kamu itu mau apa sih sebenarnya?” tanya Anggita dengan wajah kesal.
“Aku mau ajak kamu pulang bareng,” jawab Galang dengan santai, serta tidak merasa tersinggung akan tanggapan Anggita.
“Aku bisa pulang sendiri. Kamu juga udah janji, ‘kan nggak akan dekat-dekat aku,” protes Anggita.
“Kapan aku janji? Aku nggak ngomong gitu. Aku cuma nurutin kata-kata kamu tadi, dan ini udah jam pulang sekolah, jadi nggak ada larangan lagi untuk aku ketemu kamu,” papar Galang.
Anggita mengerang tertahan, karena lelaki di hadapannya tidak mudah menyerah.
“Kali ini aja ya, aku nggak mau jadi bahan gosipan anak-anak di kelasku, karena kamu,” jujur Anggita mengungkapkan ketidaknyamanannya.
“Nanti kita bahas di dalam. Kita masuk ke mobil aja dulu. Panas banget,” balas Galang seraya mengibaskan tangannya ke area leher.
"Ckckck!" Anggita berdecak pelan mendengar ucapan Galang, serta raut mukanya yang tampak sangat takut bila kulitnya terpapar sinar matahari.
"Katanya most wonted, kena panas dikit aja ngeluh," ledeknya.
"Panas siang dan terik gini nggak baik untuk kesehatan. Yang ada bikin sakit," balas Galang tidak terima.
Akhirnya Anggita pun menurut dan duduk pada bangku deretan kedua mobil, dan Galang di sampingnya.
“Ayo jalan, Pak,” ujar Galang pada supir pribadinya.
“Baik, Den,” jawab sang supir seraya menyalakan mesin mobil.
“Rumah kamu di mana?” tanya Galang saat mobil mulai melaju meninggalkan sekolah mereka.
"Bisa makin nggak tenang hidupku kalo dia tau rumah aku," gerundel Anggita sambil mengalihkan pandangan ke arah kaca mobil.
***
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Erni Fitriana
dianterin..sbil mikir gimana caranya supaya gak ketauan rumah kita y gittt...😆😆😆aku pernah nih waktu SMU beginihhhhhh
2024-07-28
0
blue sea
udah jatuh cinta banget x ya si Rania sama Galang
2023-04-14
0