Kelopak mata Anggita melebar saat membaca kalimat yang tertera pada pertengahan buku tulis teman sebangkunya.
GALANG MARRY ME dengan gambar hati dan tanda seru di sampingnya.
“Eeeh, kamu mau ke mana?” tanya Anggita saat Rania beranjak dari duduknya. Bertepatan dengan Galang yang berjalan melewati jendela kelas mereka.
“Galang marry me!” teriaknya seraya melambaikan tangan yang mengenggam buku bertuliskan kalimat yang sama.
“Nia! Malu ih!” kata Anggita memaksa Rania untuk menurunkan tangannya.
Tanpa sengaja ia dan Galang saling tertukar pandang. Membuat pria yang tengah menjadi pusat perhatian itu sadar, jika gadis yang ia tatap merupakan perempuan yang sama, dengan yang dirinya temui kemarin sore.
‘Itukan cewek kemarin,’ batin Galang.
Ia berputar arah, dan berjalan menuju pintu kelas Anggita.
Kedatangan Galang membuat banyak gadis di kelas Anggita memekik tertahan, karena dapat menikmati ketampanan Galang dari jarak dekat. Terutama Rania. Oleh karena Galang berjalan ke arahnya.
“Aaah, gue mau pingsan,” pekiknya tertahan pada Anggita.
“Git, dia ke sini. Dia pasti baca tulisan gue, terus mau terima gue,” ujar Rania bergegas merapikan rambut serta pakaiannya.
Sedang Anggita yang melihat Galang berjalan ke arah mejanya, hanya memutar bola matanya dengan malas, dan mengalihkan pandangannya dari lelaki itu.
“Gimana luka kamu? Aku baru tahu kalau kita satu sekolah, dan tetanggaan kelasnya.”
“Eemm … aku juga siap untuk tanggung jawab.”
Kalimat terakhir Galang, sukses membuat seluruh pasang mata tertuju pada mereka berdua, dengan mata terbelalak, dan mulut terbuka lebar.
“Apa sih, aku nggak papa. Jadi, nggak usah pura-pura baik,” jawab Anggita dengan ketus, dan semakin fokus pada bukunya.
Merasa kalah saing oleh buku di atas meja tersebut, Galang langsung merebut dan menutup buku biologi milik Anggita.
“Kamu tahu nggak? Nggak sopan, kalau ada orang yang nanya baik-baik tapi kamu cuekin gitu aja,” ujar Galang dengan tenang dan ramah.
“Tau, dan kamu pengecualiannya,” jawab Anggita seraya berdiri hendak mengambil bukunya.
“Laras Anggita,” ujar Galang membaca name tag yang berada di baju Anggita.
“Nama kamu bagus,” pujinya, menimbulkan sorak-sorai dari teman-teman Galang yang berdiri tidak jauh darinya.
“Eitss, nggak sopan kalau ngambil sesuatu itu pakai tangan kiri, Laras. Kamu tahukan, kalau buku ini banyak ilmunya. Jadi, harus kamu perlakukan dengan baik,” terang Galang semakin meninggikan tangannya saat Anggita hendak menjangkau buku tersebut.
Kesal karena terus dipermainkan, Anggita langsung menendang tulang kering kaki kiri Galang, dan langsung menyambar bukunya.
Tanpa mengucapkan maaf, Anggita langsung berjalan ke luar kelas, dan mengabaikan suara riuh dari teman-teman yang menyorakinya.
Napas gadis itu memburu cepat, dan sesekali meringis pelan.
“Kamu harus kuat, Anggita. Nggak boleh lemah, nggak boleh cengeng,” ujar Anggita menyemangati diri, hingga ia tiba di ruang UKS, untuk memeriksa dan mengobati lukanya.
Galang yang melihat Anggita pergi, langsung berjalan menyusul gadis itu, karena ia bertanggung jawab atas luka Anggita.
“Hati-hati, untung nggak jatuh lagi,” ujar Galang menahan tubuh Anggita yang terhuyung ke depan, karena tangannya tidak dapat menggapai kotak obat yang ada di atasnya.
“Lepas!” sergah Anggita langsung mendorong tubuh Galang agar menjaga jarak dengannya.
“Kamu galak banget, sih. Aku cuma mau bantu kamu aja,” gerutu Galang seraya mengambil kotak obat, dan hendak memeriksa luka Anggita.
“Aku bisa sendiri,” tolak Anggita mengambil obat tersebut, dan menjauh dari Galang.
Lagi-lagi lelaki itu hendak kembali mendekatinya.
“Diem di situ, atau aku pergi?” ancam Anggita pada Galang.
“Iya-iya, aku di sini aja,” jawab Galang tetap berada di tempat duduknya, dan membiarkan Anggita mengobati lukanya sendiri.
Ekor mata Anggita melirik jendela UKS yang dipenuhi oleh teman-temannya.
‘Se-terkenal apa sih, cowok ini? Sampai mereka segitunya banget,’ batin Anggita berusaha untuk menahan diri.
“Kamu keluar aja,” usir Anggita tiba-tiba pada Galang.
“Lho! Kenapa? Aku kan nggak ganggu kamu. Aku dari tadi diem di sini,” jawab Galang memegang kursi yang ia duduki.
Anggita memutar bola mata jengah, dan melirik jendela di dekatnya.
Galang pun mengikuti arah pandang Anggita dan mulai paham apa yang membuat gadis itu mengusirnya.
Ia pun tersenyum dan mengeluarkan ponselnya. Mengetikkan sesuatu, dan hanya hitungan detik, kerumunan itu perlahan menjauh dan lenyap.
“Nah, sekarang kamu bisa obatin luka kamu lagi,” lontar Galang mempersilakan Anggita.
Namun, Anggita tidak menanggapinya. Saat akan menutup luka di sikunya menggunakan plester, gadis itu cukup kesusahan.
“Laras, kamu itu tahu kegunaan dari kata tolong nggak?” tanya Galang mengambil alih plester di tangan Anggita dan mulai menutupi luka gadis itu.
Karena tidak mendapat jawaban, Galang menengadahkan kepala, dan membuat tatapan keduanya kembali bertemu dan terkunci.
“Hei, aku nanya kamu,” ujar Galang menyadarkan Anggita dari lamunannya.
“Iya, tahu,” jawab Anggita singkat.
“Makasih,” lanjut Anggita hendak langsung meninggalkan Galang.
Inilah kali pertama seorang Galang Putra Bimantara mendapatkan respon dingin dan cuek dari seorang gadis, setelah selama ini ia selalu dikejar oleh banyak siswi di sekolah, bahkan juga namanya terkenal di sekolah lain.
“Salah gue segede apa sih, sampai itu cewek kok cueknya minta ampun. Atau jangan-jangan dia berasal dari kutub ya? Jadi kaku gitu,” celoteh Galang masih terus memperhatikan punggung Anggita yang perlahan menjauh dan hilang dari pandangannya.
Sesampainya di kelas bel masuk pun berbunyi, dan tidak lama kemudian, guru mata pelajaran pertama masuk. Anggita bernapas lega, karena gurunya datang tepat waktu, sehingga ia dapat mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari teman sekelasnya.
“Git, Galang tadi itu sebenarnya mau tanggung jawab tentang apa sama elo?” tanya Rania berbisik.
Gadis itu pun saling bertukar pandang dengan siswi lain, yang juga tidak sabar untuk menunggu jawaban dari Anggita.
“Nggak ada,” jawab Anggita pelan, dan terus memperhatikan penjelasan gurunya.
“Masa sih, nggak ada? Nggak mungkin dia ngomong gitu, kalo nggak terjadi apa-apa antara elo sama dia sebelumnya,” terka Rania semakin memecah konsentrasi Anggita.
“Nia, nanti ditanya kamu nggak tahu lho. Mending perhatiin dulu pelajaran ini,” ujar Anggita mengalihkan pembicaraan.
Rania hanya mengerucutkan bibir sebal, karena ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Anggita.
“Padahal gue kan mau tahu aja. Siapa tahu nanti gue bisa dekat sama dia juga, kayak cara yang lo lakuin,” lirih Rania hanya mendapat gelengan pelan dari Anggita.
Saat akan pertukaran guru, kelas mereka mendapat waktu kosong lima menit menjelang guru yang mengajar selanjutnya datang. Tentu hal tersebut tidak akan disia-siakan oleh para siswi sekelas Anggita.
“Git, Galang itu mau tanggung jawab apa sama kamu?” tanya teman Anggita yang lain.
Anggita yang enggan membahas tentang Galang, hanya menunjuk luka di tangan dan kakinya.
“Gue nggak ngerti Anggita, jangan pake bahasa isyarat dong,” bujuk Rania menggoyangkan lengan kiri Anggita.
“Dia nabrak aku kemarin,” bisik Anggita tidak ingin temannya yang lain dengar.
“Apa? Elo ditabrak Galang?” tanya Rania dengan suara keras, hingga mereka kembali menjadi pusat perhatian.
“Aaaaa lo beruntung banget siih!”
“Gue juga mau ditabrak sama dia,” ujar Rania dengan tatapan penuh harap.
***
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Erni Fitriana
👍🏾👍🏾👍🏾👍🏾👍🏾bagus percakapan nya
2024-07-27
0
Adinda
seganteng apa sih galang sampek seheboh itu para murid2 teman anggita
2023-05-11
3
blue sea
ahaha, kocak banget sih tingkah Rania.
2023-04-14
0