“Ya sudah. Mulai besok kamu tidak perlu lagi bertemu atau mendekati perempuan itu,” pungkas Agra langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga tanpa menunggu jawaban dari sang putra.
“Kenapa, Pa? Papa mau apain dia?” tanya Galang memutar badan menatap punggung papanya.
Sayang, pertanyaan lelaki itu hanya dianggap angin lalu oleh sang papa, dan saat ia bertanya pada mamanya, hanya mendapat gelengan kepala.
“Reaksi kamu itu terlalu berlebihan Galang. Papa kamu pasti melakukan yang terbaik untuk kamu. Jadi, kamu nggak perlu khawatirin dia,” ujar Rosa turut meninggalkan putranya yang kebingungan.
“Aaah, cuma karena ini aja mereka sampe segitunya. Semua urusan dalam hidup gue mereka yang atur. Gimana gue mau dewasa kalo semua tergantung keputusan mereka,” erang Galang mengacak-acak rambutnya.
Ia sadar dirinya seorang lelaki, dan tahu apa yang harus dilakukan oleh lelaki sejati. Namun, orang tuanya selalu mengambil alih banyak hal, yang ingin ia lakukan.
Galang yang kesal pun memilih untuk kembali ke kamar dan mengurung diri. Ia berusaha untuk percaya dan yakin jika orang tuanya tidak akan melukai atau melakukan sesuatu pada Anggita.
***
Saat tengah membantu Jihan mengerjakan tugas sekolah, kegiatan mereka terganggu oleh ketukan pintu dari luar rumah.
“Siapa ya?” tanya Anggita saling bertukar pandang dengan sang adik.
“Biar Jihan lihat dulu ya kak,” jawab Jihan sembari meletakkan pensilnya, dan hendak berjalan ke arah pintu.
Namun, Anggita lebih dulu menahan tangan sang adik dan berkata, “Kamu tunggu di sini aja. Biar kakak yang lihat,” cegah Anggita.
Jihan pun mengangguk patuh, dan melanjutkan tugasnya.
Tidak biasanya ada tamu yang bertandang malam-malam, membuat hati Anggita sedikit was-was jika yang datang adalah orang jahat. Gadis remaja itu kemudian menyembunyikan tongkat panjang di balik pintu, untuk berjaga-jaga.
“Selamat malam. Benar jika ini rumah Laras Anggita ?” tanya lelaki bertubuh tegap dengan seragam serba hitam melekat di tubuhnya.
“Benar. Saya sendiri. Ada perlu apa ya, Pak?” tanya Anggita dengan dahi sedikit berkerut.
Ia tidak mengenal dan tidak pernah melihat pria dewasa di hadapannya. Namun, pria itu justru mengetahui nama lengkapnya.
“Ini sejumlah uang, sebagai ganti rugi atas kecelakaan yang menimpa Anda, karena perbuatan Tuan Galang. Ayah beliau juga berpesan agar Anda tidak lagi bertemu atau memanfaatkan kesalahan Tuan Galang untuk berdekatan dengannya,” tutur pria yang tidak Anggita kenal seraya menyerahkan sebuah amplop yang cukup tebal padanya.
Kelopak mata Anggita melebar. Ia tahu juga jumlah uang tersebut tidak sedikit hanya dengan melihat dan merasakan beratnya saja.
“Saya permisi,” tutur pria itu langsung berbalik, dan meninggalkan gubuk sederhana Anggita.
Tangan gadis itu terkepal kuat. Ia sadar jika dirinya hanyalah orang miskin, tetapi ia tidak akan memanfaatkan kecelakaan kecil yang menimpa dirinya, demi keuntungannya sendiri.
“Keterlaluan. Dia pikir aku cewek apaan? Seenak jidatnya aja dia balikin fakta, kalo aku yang ngedeketin dia. Mentang-mentang kaya dan gagah, dia jadi sewenang-wenang sama orang miskin kayak aku,” gerutu Anggita kemudian menutup pintu dengan kasar.
Raut muka kesal dan marah Anggita, berubah hangat dan ramah, saat ia telah berbalik badan dan mendapati Jihan sedang menatap dirinya.
“Siapa, Kak? Orang ngasih sumbangan ya?” tanya Jihan begitu polos.
Anggita hanya tersenyum lebar, dan menggeleng pelan. Anggita merunduk. Menyamakan tingginya dengan Jihan.
“Nggak, Sayang. Itu tadi ada orang yang mau nitip uang, tapi salah alamat. Jadi, besok kakak mau kembaliin uangnya,” jawab Anggita tidak sepenuhnya berbohong.
“Kamu lanjut belajar lagi ya. Kakak mau sholat dulu,” sambung Anggita kembali berdiri.
“Jihan mau ikut!” seru Jihan berdiri dan menyusul sang kakak untuk bersujud pada Sang Pencipta.
Anggita pun mengangguk dan menuntun Jihan untuk berwudhu. Selama sholat isya, tak terasa air mata gadis itu menetes, karena mengingat apa yang telah terjadi dalam hidupnya selama ini. Ia takut jika dirinya tidak dapat mewujudkan amanah orang tuanya untuk menjaga sang adik dengan baik.
Namun, dalam sanubari Anggita ia yakin jika Yang Kuasa tidak akan pernah memberinya ujian melebihi batas kemampuannya. Itulah salah satu alasan Anggita terus berusaha untuk sabar, tegar, dan tawakal menghadapi semuanya.
Ia pun meluapkan segala isi hatinya dalam sujud panjang, yang kerap berlanjut hingga saat ia melakukan salat tahajud di sepertiga malam terakhir.
“Kakak, kakak kenapa nangis?” tanya Jihan setelah mereka menunaikan salat isya bersama.
“Hmm? Nggak papa. Gimana hapalan kamu? Udah bertambah hari ini sama pak ustad ganteng?” tanya Anggita mengalihkan pembicaraan.
“Sudah. Tadi Jihan udah hapal surah Al-Bayyinah sama surah Al-Insiyah,” jawab Jihan dengan wajah menggemaskan.
“Alhamdulillah, semoga nanti adik kakak ini bisa hapal tiga puluh juz ya,” ujar Anggita sembari mengusap puncak kepala Jihan yang masih tertutup mukenah.
“Aamiin. Kan Jihan mau hadiahin ayah sama bunda mahkota di surga nanti,” balas Jihan semakin membuat Anggita tidak dapat membendung air mata.
Ia pun langsung mendekap sang adik, dan mengaminkan ucapan adiknya.
***
Keesokan hari, dengan berjalan kaki menuju sekolah, Anggita menunggu Galang tepat di koridor jalan ke kelas mereka yang berada di lantai yang sama.
Rasa kesal akan rasa direndahkan oleh laki-laki itu, membuat Anggita memiliki kekuatan penuh untuk berhadapan dengan putra dari donatur terbesar sekolah tersebut.
Banyak pasang mata yang menatap dirinya, karena tidak biasanya Anggita sampai di sekolah tidak langsung masuk ke kelas.
Netra gadis itu terus bergerak gelisah, karena sudah cukup lama ia menunggu, tetapi lelaki itu masih belum menampakkan batang hidungnya.
‘Ke mana dia? Apa dia libur hari ini?’ tanya Anggita membatin.
Namun, ia rela menunggu sampai bel masuk berbunyi pun akan ia tahan, berdiri setengah jam tanpa duduk.
Akhirnya penantian Anggita selama hampir setengah jam pun membuahkan hasil.
“Itu dia,” lirih Anggita memicingkan mata pada Galang yang baru berbelok dan berjalan ke arahnya.
“Hai, kamu nunggu siapa?” sapa Galang lebih dulu.
“Nggak usah basa-basi,” jawab Anggita ketus.
“Kaki kamu gimana? Udah mendingan?” tanya Galang masih tidak mempedulikan sikap ketus Anggita tiap kali berbicara dengannya.
“Nggak usah pura-pura peduli. Aku mau ngomong sama kamu,” ujar Anggita tanpa senyum sedikitpun.
“Kalo mau ngajak ngomong jangan ketus gitu dong ngomongnya,” jawab Galang dengan senyum jahil di bibirnya.
Senyum yang semakin membuat Anggita membenci laki-laki di hadapannya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Anggita berbalik dan berjalan menuju tempat yang tidak terlalu ramai dan jarang dilewati oleh siswa siswi di sekolah.
“Kalian tunggu di sini, jangan ada yang ngikutin. Termasuk siswa lain,” titah Galang pada ketiga temannya, agar berjaga dari kejauhan.
***
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Erni Fitriana
orkay klo mai mengintimidasi gak pake akhlak😡....
2024-07-28
0
blue sea
nyeremin banget ortunya Galang.
2023-04-14
0