Berawal Dari Perjodohan

Berawal Dari Perjodohan

Bab 1

Seorang perempuan berambut sebahu terlihat baru saja turun dari taxi tepat pukul lima sore. Tubuhnya terasa lelah karena seharian berkutat dengan masakan di sebuah restoran. Wajahnya terasa berminyak, ia ingin segera masuk ke dalam rumah, membersihkan badan dan tidur agar besok bisa bangun pagi. 

Tangan kanannya meraih gagang pintu, lalu didorongnya benda cokelat persegi panjang itu. Zia, yang baru saja hendak masuk ke kamar seketika langkahnya terhenti saat melihat ayah dan ibu tirinya yang sedang duduk di ruang tengah, seakan tengah menunggunya. 

“Zia, kemarilah sebentar,” pinta Andika, sang ayah. 

Zia mengembuskan napas pasrah sekaligus kesal karena ia tahu apa yang akan dikatakan orang tuanya pada Zia. Perempuan itu melepaskan tasnya, lalu mendaratkan pantatnya di kursi depan mereka. “Apakah pembahasan malam ini adalah tentang pernikahan lagi? Aku sudah katakan berulang kali bahwa aku belum ingin menikah dengan siapa pun. Lagi pula kalau aku ingin menikah, aku bisa mencarinya sendiri tanpa kalian bantu,” sinis Zia. Ia bahkan menjelaskan sebelum orang tuanya berkata padanya. 

“Kamu sudah besar. Banyak yang menginginkanmu,” kata Andika. 

“Itu bukan urusanku, Ayah. Kenapa kalian berdua sangat berambisi untuk mencarikan aku jodoh. Obrolan ini benar-benar membuat aku muak,” balasnya. 

Tinggal di kota kecil dan memiliki wajah yang cantik tentu menjadikan Zia incaran oleh banyak lelaki di luar sana. Sudah banyak yang mencoba mendekatinya dan ingin serius dengannya, tetapi Zia tak pernah sedikit pun tebersit rasa ingin menikah. Baginya bekerja lebih asyik daripada membayangkan hidup bersama dengan orang lain di satu tempat. 

“Sudahlah, aku akan masuk ke kamar dulu. Aku ingin istirahat, bosan dengan topik yang membosankan ini.” Zia mengambil air mineral dari atas meja, lalu bangkit dari duduknya hendak ke kamar meninggalkan orang tuanya yang masih duduk di sana. 

“Zia, dengarkan ini,” ucap sang ayah tiba-tiba. 

Mendengar nada serius tersebut, Zia langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap sang ayah yang menatapanya serius. “Apa?” tanya Zia. 

“Kali ini kamu harus menerima lamaran anak dari teman almarhum ibumu,” tegas Andika. 

Zia terdiam sesaat. Rupanya kali ini Andika mengambil kesempatan dengan menggunakan sisi lain putrinya. Betapa ia tahu bahwa Zia selalu lemah jika dihadapkan dengan almarhum ibunya. Zia yang sangat menyayangi almarhum ibunya menjadi kesempatan baik bagi Andika untuk mendesaknya menikah dengan seseorang yang ia maksud. 

Zia tak bisa merespons apa-apa selain menunggu Andika untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dikatakannya. Kali ini ia merasa lidahnya kelu untuk menolak dengan mentah-mentah. Penyebutan ibu dan lamaran berada dalam satu kalimat yang sebelumnya tak pernah Zia dengar. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Bahkan Zia ingin tahu lebih banyak tentang hal itu. 

“Yang akan datang melamarmu nanti adalah keluarga dari Artamandala. Arta dan Manda adalah sahabat dari ibumu saat ketika masih hidup. Mereka bersahabat sangat dekat seperti saudara. Nah, mereka memiliki seorang anak yang bernama Febrizio, dan dialah yang nanti akan menikah denganmu jika kamu menerima pinangan itu, Zi. Ayah harap kamu tidak akan mengecewakan keluarga mereka karena mereka menaruh harapan yang besar padamu,” jelas Andika. 

“Aku tidak pernah dengar itu sebelumnya,” lirih Zia. “Sepertinya ibu memiliki banyak teman juga, ya, sampai-sampai banyak yang tidak aku kenal dengan baik,” lanjutnya. 

“Memang, itu berlalu sudah lama sekali dan kamu tidak mengetahui itu. Asal kamu tahu saja, pertemuan Ayah dan ibumu juga karena dikenalkan oleh mereka. Jadi, mungkin ada sedikit hutang budi yang kita miliki terhadap keluarga mereka. Namun lebih dari itu kamu harus berpikir serius mengenai ini, agar jangan sampai mengecewakan mereka,” jelas Andika lagi. Kali ini ucapannya lebih mendesak lagi. 

Mendengar penjelasan itu Zia menelan salivanya susah payah, seperti tak ada pilihan lain di depannya tetapi ia juga masih belum mengerti. 

“Mungkin sudah jodohmu juga, Zi, karena kalian berdua memiliki nama panggilan yang mirip, yaitu Zia dan Zio. Nah, mungkin itu salah satu pertanda dari Tuhan kalau kamu harus menerima lamaran itu,” kata Sari—ibu tiri Zia. 

Zia tak menjawab, melainkan ia hanya sedang berusaha mencerna segalanya. Apa yang dijelaskan oleh sang ayah dan apa yang ia dengar dari ibu tirinya yang menyebalkan, mungkin itu memang pertanda? Tapi Zia pikir itu adalah pertanda konyol yang pernah ada. 

Tak menjawab apa pun, Zia hanya tak mengerti. Jika ia menolaknya, pikirnya ini terlalu buru-buru tetapi jika menerimanya mungkin akan menjadi mimpi buruk. Ia merasa tak mengerti. 

“Sekarang kamu boleh kembali ke kamar dan istirahat. Malam nanti keluarga mereka akan datang, jadi kamu harus menemuinya, ya. Ayah tidak sabar untuk menyambut keluarga mereka kemari. Jadi, kamu harus segera ke kamar, mandi agar segar,” ungkap sang Ayah. 

Zia langsung berbalik tanpa berkata apa pun sementara Andika yang melihat tingkah Zia senang karena ia merasa bahwa Zia menerima lamaran Zio. Jika menolak, Zia pasti akan menolaknya dengan tegas tetapi kali ini ia hanya diam saja, itu berarti Zia pasti akan menerimanya dengan senang hati. Begitulah yang ada di pikiran Andika saat ini. Zia tipikial anak yang akan protes jika bertentangan dengan hati nuraninya, jika dia tidak protes maka dia menerima kehendak itu. 

*****

Hai Kak, aku jelasin dari awal jika ini cerita pendek ya kak, bukan cerita yang tamat ratusan bab. Semoga kalian suka, dan mohon selalu dukungannya. Sekalian promosi ya, jika berkenan, mampir ke ceritaku yang lain. Judulnya 'Penghangat Ranjang Casanova' Di sana ceritanya lumayan panjang, nama pena 'Call me Vani' ya kak. Terima kasih.🙏

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!