Seorang perempuan berambut sebahu terlihat baru saja turun dari taxi tepat pukul lima sore. Tubuhnya terasa lelah karena seharian berkutat dengan masakan di sebuah restoran. Wajahnya terasa berminyak, ia ingin segera masuk ke dalam rumah, membersihkan badan dan tidur agar besok bisa bangun pagi.
Tangan kanannya meraih gagang pintu, lalu didorongnya benda cokelat persegi panjang itu. Zia, yang baru saja hendak masuk ke kamar seketika langkahnya terhenti saat melihat ayah dan ibu tirinya yang sedang duduk di ruang tengah, seakan tengah menunggunya.
“Zia, kemarilah sebentar,” pinta Andika, sang ayah.
Zia mengembuskan napas pasrah sekaligus kesal karena ia tahu apa yang akan dikatakan orang tuanya pada Zia. Perempuan itu melepaskan tasnya, lalu mendaratkan pantatnya di kursi depan mereka. “Apakah pembahasan malam ini adalah tentang pernikahan lagi? Aku sudah katakan berulang kali bahwa aku belum ingin menikah dengan siapa pun. Lagi pula kalau aku ingin menikah, aku bisa mencarinya sendiri tanpa kalian bantu,” sinis Zia. Ia bahkan menjelaskan sebelum orang tuanya berkata padanya.
“Kamu sudah besar. Banyak yang menginginkanmu,” kata Andika.
“Itu bukan urusanku, Ayah. Kenapa kalian berdua sangat berambisi untuk mencarikan aku jodoh. Obrolan ini benar-benar membuat aku muak,” balasnya.
Tinggal di kota kecil dan memiliki wajah yang cantik tentu menjadikan Zia incaran oleh banyak lelaki di luar sana. Sudah banyak yang mencoba mendekatinya dan ingin serius dengannya, tetapi Zia tak pernah sedikit pun tebersit rasa ingin menikah. Baginya bekerja lebih asyik daripada membayangkan hidup bersama dengan orang lain di satu tempat.
“Sudahlah, aku akan masuk ke kamar dulu. Aku ingin istirahat, bosan dengan topik yang membosankan ini.” Zia mengambil air mineral dari atas meja, lalu bangkit dari duduknya hendak ke kamar meninggalkan orang tuanya yang masih duduk di sana.
“Zia, dengarkan ini,” ucap sang ayah tiba-tiba.
Mendengar nada serius tersebut, Zia langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap sang ayah yang menatapanya serius. “Apa?” tanya Zia.
“Kali ini kamu harus menerima lamaran anak dari teman almarhum ibumu,” tegas Andika.
Zia terdiam sesaat. Rupanya kali ini Andika mengambil kesempatan dengan menggunakan sisi lain putrinya. Betapa ia tahu bahwa Zia selalu lemah jika dihadapkan dengan almarhum ibunya. Zia yang sangat menyayangi almarhum ibunya menjadi kesempatan baik bagi Andika untuk mendesaknya menikah dengan seseorang yang ia maksud.
Zia tak bisa merespons apa-apa selain menunggu Andika untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dikatakannya. Kali ini ia merasa lidahnya kelu untuk menolak dengan mentah-mentah. Penyebutan ibu dan lamaran berada dalam satu kalimat yang sebelumnya tak pernah Zia dengar. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Bahkan Zia ingin tahu lebih banyak tentang hal itu.
“Yang akan datang melamarmu nanti adalah keluarga dari Artamandala. Arta dan Manda adalah sahabat dari ibumu saat ketika masih hidup. Mereka bersahabat sangat dekat seperti saudara. Nah, mereka memiliki seorang anak yang bernama Febrizio, dan dialah yang nanti akan menikah denganmu jika kamu menerima pinangan itu, Zi. Ayah harap kamu tidak akan mengecewakan keluarga mereka karena mereka menaruh harapan yang besar padamu,” jelas Andika.
“Aku tidak pernah dengar itu sebelumnya,” lirih Zia. “Sepertinya ibu memiliki banyak teman juga, ya, sampai-sampai banyak yang tidak aku kenal dengan baik,” lanjutnya.
“Memang, itu berlalu sudah lama sekali dan kamu tidak mengetahui itu. Asal kamu tahu saja, pertemuan Ayah dan ibumu juga karena dikenalkan oleh mereka. Jadi, mungkin ada sedikit hutang budi yang kita miliki terhadap keluarga mereka. Namun lebih dari itu kamu harus berpikir serius mengenai ini, agar jangan sampai mengecewakan mereka,” jelas Andika lagi. Kali ini ucapannya lebih mendesak lagi.
Mendengar penjelasan itu Zia menelan salivanya susah payah, seperti tak ada pilihan lain di depannya tetapi ia juga masih belum mengerti.
“Mungkin sudah jodohmu juga, Zi, karena kalian berdua memiliki nama panggilan yang mirip, yaitu Zia dan Zio. Nah, mungkin itu salah satu pertanda dari Tuhan kalau kamu harus menerima lamaran itu,” kata Sari—ibu tiri Zia.
Zia tak menjawab, melainkan ia hanya sedang berusaha mencerna segalanya. Apa yang dijelaskan oleh sang ayah dan apa yang ia dengar dari ibu tirinya yang menyebalkan, mungkin itu memang pertanda? Tapi Zia pikir itu adalah pertanda konyol yang pernah ada.
Tak menjawab apa pun, Zia hanya tak mengerti. Jika ia menolaknya, pikirnya ini terlalu buru-buru tetapi jika menerimanya mungkin akan menjadi mimpi buruk. Ia merasa tak mengerti.
“Sekarang kamu boleh kembali ke kamar dan istirahat. Malam nanti keluarga mereka akan datang, jadi kamu harus menemuinya, ya. Ayah tidak sabar untuk menyambut keluarga mereka kemari. Jadi, kamu harus segera ke kamar, mandi agar segar,” ungkap sang Ayah.
Zia langsung berbalik tanpa berkata apa pun sementara Andika yang melihat tingkah Zia senang karena ia merasa bahwa Zia menerima lamaran Zio. Jika menolak, Zia pasti akan menolaknya dengan tegas tetapi kali ini ia hanya diam saja, itu berarti Zia pasti akan menerimanya dengan senang hati. Begitulah yang ada di pikiran Andika saat ini. Zia tipikial anak yang akan protes jika bertentangan dengan hati nuraninya, jika dia tidak protes maka dia menerima kehendak itu.
*****
Hai Kak, aku jelasin dari awal jika ini cerita pendek ya kak, bukan cerita yang tamat ratusan bab. Semoga kalian suka, dan mohon selalu dukungannya. Sekalian promosi ya, jika berkenan, mampir ke ceritaku yang lain. Judulnya 'Penghangat Ranjang Casanova' Di sana ceritanya lumayan panjang, nama pena 'Call me Vani' ya kak. Terima kasih.🙏
Zia terlihat tengah asyik menonton salah satu kanal youtube yang menampilkan Anne Sophie Pic tengah memasak. Chef terbaik pemilik delapan Michelin Stars itu selalu menginspirasi Zia untuk selalu menjadi lebih baik daripada saat ini. Ia mengidolakan wanita itu, meski Anne Sophie Pic tak pernah mengenyam pendidikan secara khusus, tetapi bakat yang dimilikinya berhasil membawanya menjadi salah satu chef wanita terbaik yang pernah ada.
Pintu tiba-tiba terbuka. Zia terkejut melihat Sari yang kini berdiri di ambang pintu dengan mata yang melotot memandangnya. “Apa yang sedang kamu lakukan, Zia? Kamu harus siap-siap karena mereka sudah datang. Apa kamu lupa bahwa keluarga sahabat ibumu datang malam ini?” sentak Sari.
Zia langsung terbangun dari ranjangnya, ia memang lupa ucapan ayahnya saat sore tetapi di sisi lain ia juga malas untuk keluar menemui mereka. Menonton para koki memasak jauh lebih asyik dan membuatnya nyaman daripada harus keluar kamar untuk menemui orang-orang asing.
“Sabar, aku akan segera keluar,” katanya seraya mematikan ponsel dengan malas-malasan.
“Siapa yang bisa sabar menghadapi tingkahmu. Cepatlah ganti baju dengan pakaian terbaik dan temui mereka secepatnya. Jika kamu seperti ini, sama saja kamu tidak bisa menghormati kedatangan mereka. Kamu tidak boleh bersikap seperti itu,” tegasnya.
Zia hanya mendengkus, lalu berjalan ke arah lemari begitu Sari kembali pergi dari kamarnya. Ia menatap isi lemari dan mengingat bahwa ia tak memiliki pakaian bagus yang cocok digunakan untuk malam ini. Ia tak pernah berpikir untuk membeli gaun cantik agar bisa datang ke pesta teman-temannya, karena Zia hanya menghabiskan waktunya dengan bekerja.
Karena tak ada pilihan lain, akhirnya ia mengambil dress dengan pola bunga-bunga kecil berwarna putih yang sangat sederhana. Itu adalah dress peninggalan ibunya yang sangat Zia sukai. Warnanya memang tak seterang dulu, sedikit lusuh, tetapi terlihat sangat cantik jika Zia yang memakainya. Setelah ia merapikan rambut dan memastikan bahwa ada yang ketinggalan, akhirnya Zia langsung keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu.
Saat ia baru saja membuka pintu ruang tamu, dilihatnya Andika, Sari dan sepasang suami istri yang berdandan dengan sangat glamor. Namun sebelum memutuskan duduk, Zia tak sengaja melihat tatapan Andika dan sari yang kesal padanya, mungkin karena dress yang digunakan oleh Zia terkesan buluk.
“Ini Zia? Astaga Nak, kamu terlihat sangat cantik.” Seorang wanita dengan blous cokelat tua langsung bangkit dari duduknya dan memeluk Zia dengan hangat.
Zia membalas pelukan wanita itu yang merupakan sahabat ibunya dengan erat. “Kamu terlihat sangat cantik seperti almarhum ibumu, saya benar-benar kangen dengan dia saat melihat kamu, Zia. Kalian bak pinang dibelah dua. Saya kagum akan kecantikan kamu,” lanjut Manda.
Zia tersenyum di pelukan Manda merasa bahwa ia snagat dihargai dan pelukan Manda yang hangat berhasil membuat Zia rindu akan kehadiran ibunya. Sudah lama ia tak merasakan pelukan hangat dari sang Ibu dan seakan-akan Manda bisa menjadi obat dari rasa kehilangan yang Zia rasakan.
“Terima kasih, Bu, saya merasa terhormat,” kata Zia.
Setelah itu mereka melepaskan pelukan mereka dan Manda kembali duduk di samping suaminya yang juga menatap Zia dengan hangat. Zia berpikir bahwa mungkin mereka sangat baik karena kesan pertama yang Zia dapatkan begitu hangat seperti pada keluarganya sendiri.
Saat Zia baru saja hendak duduk di depan Manda, Sari menatapnya sinis. “Kamu seperti tidak memiliki baju lain saja,” bisiknya.
Zia hanya menoleh tetapi ia tak menggubrisnya sedikit pun selain hanya menoleh sebnetar dan duduk di depan Manda dan suaminya. “Saya baru tahu jika Ibu saya memiliki sahabat seperti Bu Manda dan Pak Arta. Sejauh ini saya tidak pernah melihat kalian di album milik Ibu, jadi saya tidak mengenalnya dengan baik,” kata Zia membuka percakapan.
“Oh, semenjak Ibumu menikah kami memang jarang bertemu karena kami juga sempat tinggal di luar negeri. Wajar jika kamu tidak tahu kami, tapi kami memang sahabatnya. Sebenarnya kami berteman dengan ibumu sejak duduk di bangku SMP. Ibumu wanita yang sangat pintar dan cantik, dan setelah melihat kamu, saya seperti melihat ibumu ketika muda,” jawab Manda dengan tatapan yang sangat bangga.
Arta mengangguk-anggukkan kepalanya seakan menyetujui semua yang dikatakan oleh istrinya. “Betul itu, semuanya menurun ke kamu. Saya merasa melihat dia kembali hidup.”
Selanng beberapa menit saat mereka saling mengobrol satu sama lain, seorang pria dengan tinggi semampai, rambut cepak berwarna hitam legam dan mengenakan setelan tuksedo hitam terlihat baru saja masuk ke ruang tamu seraya memasukkan gawainya ke dalam saku. Ia tampak terkejut, lalu tersenyum tipis dan duduk di samping ayahnya. “Maaf, tadi saya masih ada telepon penting, jadi saya harus mengangkatnya terlebih dahulu,” ujarnya dengan sopan.
“Makanya untuk sementara matikan dulu gawaimu itu, Zio. Tak baik menerima telepon di hari yang sangat penting. Momen ini hanya terjadi sekali seumur hidup, sementara menerima telepon bisa berkali-kali dalam hidup,” sindir Manda.
Di sisi lain Zia hampir tak berkedip melihat pria yang tak asing itu. Zia sangat ingat bahwa pria itu yang sempat datang ke restoran tempatnya bekerja dan makan di sana. Memori Zia yang baik dapat menangkap setiap ingatan singkat tentang seseorang dan tak salah lagi bahwa Zio adalah pria itu.
Zia terlihat sedang mengangkat daging sapi dari panci yang sudah setengah matang, tetapi saat ia hendak memasukkan daging lain, seorang waiters baru saja menghampirinya seraya membawa buku catatan pemesan.
“Di depan seseorang memesan cumi pedas manis, sementara menu itu tidak ada di restoran ini,” ujarnya pada Zia.
“Siapa yang memesan?” tanya Zia. “Kalau tidak ada, bilang saja tidak ada. Bukannya itu tugas kamu untuk menolak? Lagi pula kalau kita layani, bisa jadi nanti akan banyak pelanggan yang seperti itu dan kita akan kehilangan khas makanan restoran kita,” jelasnya.
“Masalahnya dia kenalan Bos sepertinya, jadi Bos yang meminta untuk salah satu kokinya memasakkan masakan itu,” jawabnya.
Zia mendengkus. Melihat dua koki lain yang sibuk dengan pekerjaannya, akhirnya Zia-lah yang mengalah untuk memasak menu yang tak pernah ada di restoran itu. “Baiklah, aku akan coba. Semoga saja hasilnya tidak mengecewakan,” katanya. Ia menaruh daging sapi barusan di meja dan membiarkan koki lain yang melanjutkan pekerjaannya, sementara Zia mendekat ke lemari pendingin untuk mengambil cumi yang berada di dalam sana.
Untung saja ia suka melihat video pada kanal YouTube dan sesekali mempraktikannya sehingga hanya membuat cumi pedas manis saja itu bukanlah hal yang sulit. Hanya saja ia sedikit kesal karena menu itu tak ada di restoran, jika saja ada mungkin ia tak akan kesal seperti ini.
Ia mengambil cumi yang telah dibasuh lalu mulai memotong-motongnya dengan rapi dan menaruhnya di sebuah piring untuk dimarinasi dengan lada dan garam, kemudian ia biarkan selama tiga menit. Setelah selesai ia mulai menyiapkan beberapa bumbu yang dibutuhkan dan mulai lada, cabai, asam jawa, saus tiram, dan minyak goreng.
Pertama-tama, Zia terlihat *******-***** asam jawa dengan air lima puluh mili air dan membuang ampasnya. Setelah itu ia menyiapkan wajan dan memasukkan aor asam jawa tadi serta cumi dan membiarkannya hingga air menyusut. Zia terlihat sangat menikmati prosesnya, ia paling serius jika dihadapkan dengan masak memasak.
“Zi, jangan lama-lama, sudah ditunggu,” tegur pelayan.
“Sebentar lagi jadi,” jawabnya.
Sekitar lima menit kemudian, Zia telah menyelesaikan masakannya dan dipindahkan ke atas piring lalu diberikan pada pelayan untuk diantar pada meja pelayan. Setelah itu ia langsung mengambil alih pekerjaan lain yang sempat tertunda.
Selang sepuluh menit kemudian, seorang pria berjas merah maroon datang ke dapur dan menghampiri Zia. Ia terlihat membawa amplop di tangan kanannya dan mengulurkannya pada Zia tepat di depan wanita itu. “Selamat, Zia. Ini adalah bonus dari pria yang memesan makanan tadi. Dia berterima kasih karena katanya makanan yang kamu buat sangat enak dan dia sedikit ketagihan,” katanya dengan bangga.
Zia langsung menanggapi amplop itu. “Terima kasih, Pak. Senang jika pelanggan menyukai masakan saya,” ungkap Zia dengan tulus.
“Ya, terima kasih juga. Dan lanjutkan pekerjaanmu,” katanya kemudian pergi keluar dapur.
Namun karena terlampau penasaran, akhirnya Zia keluar dari dapur untuk melihat pria yang memesan makanan barusan. Namun saat sudah di luar, Zia tak melihat seorang pria melainkan hanya beberapa pelanggan saja yang sepertinya sedang menikmati makanan dengan keluarganya.
“Ke mana pemesan cumi asam pedas manis barusan?” tanya Zia.
“Dia sudah pulang, apa kamu penasaran dengan orangnya?” tanya pelayan tadi dengan kedua mata yang berbinar.
Zia mengangguk samar. Ingin langsung mengiayakan pun ia sedikit malu, tetapi ia memang penasaran dengan pria pemesan menu cumi asam pedas manis tadi.”
Pelayan itu terlihat mengeluarkan gawainya dari dalam saku dan memperlihatkan potret seorang pria yang sedang makan dengan atasannya di sebuah meja paling depan. Zia melihatnya dengan seksama hingga ingatan itu melekat sangat kuat di memorinya.
“Helo, Zia!” sebuah suara mengagetkannya.
Zia terkesiap, ia kaget saat menyadari bahwa dirinya tak ada di restoran lagi, melainkan ia sedang berada di rumahnya berhadapan dengan keluarga sahabat ibunya. Malam ini seseorang menemuinya dan ia lebih banyak melamun daripada berbaur dengan mereka. Ingatan Zia hanya terbang pada ingatan siang tadi ketika pria itu datang ke restoran dan seorang teman memotretnya.
Pria yang diduga bernama Zio terlihat mengulurkan tangannya di depan Zia, ia tampak tersenyum padanya. “Halo, perkenalkan nama saya Zio. Maksudnya, panggil saja Zio,” ungkapnya.
Zia langsung menyambut uluran tangan pria itu, “Namaku Zia,” balasnya.
Setelah berkenalan, mereka segera melepaskan genggaman tangannya satu sama lain dan duduk di kursinya masing-masing. Suasana kali ini tampak sedikit kaku dan Zia merasakannya dengan sangat kuat. Namun ia berusaha untuk meredam rasa gugupnya di depan mereka.
“Nah Zia, mungkin kamu sudah tahu bahwa kedatangan kami kemari untuk melamar kamu menjadi suami dari anak saya, Zio. Saya harap kamu menerima pinangan ini dengan baik,” ungkap Arta.
Zia menatap Zio yang tampak tersenyum ke arahnya, ia melihat bahwa pria itu tak keberatan sama sekali dengan pernikahan ini. Karena melihat Zio yang tampak tenang, akhirnya Zia mengangguk. “Saya menerima pinangan ini dan saya bersedia menikah dengannya,” ungkap Zia dengan tulus.
Semua yang berada di sana terlihat bahagia tak terkecuali ayah dan ibu tiri Zia, karena bagaimana pun sebelumnya Zia selalu menolak pinangan dari pihak mana pun, tetapi sekarang ia menerimanya dengan tanpa ragu.
“Akhirnya, Zia! Ayah senang kamu menerima pinangan ini,” cetus Andika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!