Zia terlihat menangis sesunggukan di dalam kamarnya, ia masih tak menyangka dengan apa yang dilakukan oleh Zio padanya. Kata-kata Zio masih membekas dengan sempurna di ingatannya, perasaan Zia seperti teriris-iris oleh luka yang dalam. Wanita itu benar-benar kecewa, berharap banyak pada pernikahan ini tetapi akhirnya hanya dikecewakan saja. Zio terlihat tulus pada awalnya, tapi siapa yang menyangka bahwa ia bertindak demikian pada tahap selanjutnya.
“Zio, kenapa kamu melakukan ini? Aku kira semuanya bukan sandiwara, tapi dengan teganya kamu mempermainkan pernikahan ini selayaknya drama yang menyakitkan.” Zia menumpahkan semua kekesalannya pada Zio, guling yang dipeluknya telah basah oleh air mata sementara kecewanya masih belum sembuh juga.
“Aku benar-benar kecewa, jika akhirnya seperti ini bukannya lebih baik kita tidak pernah menikah saja? Aku berusaha paham maksudmu, tetapi aku masih merasa sakit dan kecewa. Aku kira kamu tulus dengan pernikahan ini, tapi nyatanya kamu benar-benar tak bisa dipercaya, Zio,” lirih Zia sekali lagi. Kantung matanya mulai terlihat jelas, hatinya berantakan, ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan.
Ia melempar bantal guling yang semula di peluknya hingga melesat ke bawah jendela kamar, kemudian ia juga melempar bantal-bantal lain. “Sial, aku benar-benar merasa ditipu dan dijebak oleh pria itu. Siapa yang mengira jika akhirnya begini? Zio benar-benar membuatku trauma akan pernikahan. Apa yang tidak aku inginkan akhirnya terjadi juga, Zio sialan!” umpat Zia. Ia memakinya dengan cukup keras dan yakin bahwa Zio tak akan mendengar karena pria itu di dalam kamarnya sendiri.
Zia masih tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan dengan hadiah pernikahan yang mengejutkan ini. Ingin rasanya ia kembali ke rumah dan menghadapi kehidupan normal seperti sebelumnya, tetapi nahasnya ia tak bisa melakukannya semudah membalikkan telapak tangan atau semudah dirinya berkedip.
Dibenamkannya wajah Zia di lutut, suara tangisnya makin terdengar kencang, hingga setelah sekitar sepuluh menit kemudian wanita itu menghapus air matanya seraya menatap ke arah jendela kamar. “Baiklah, Zio, jika ini yang kamu inginkan, aku akan menurutimu dengan baik. Aku akan mengikuti permainan yang kamu buat. Aku tahu bahwa di sini kesabaranku sedang diuji, maka dari itu aku akan mengikuti semua yang kamu katakan itu,” desis Zia dengan tegas seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ini hanya permulaan. Lihatlah, aku akan melakukan drama ini sebaik yang kubisa,” katanya dengan penuh keteguhan.
Di sisi lain, Zio juga berpikir mengenai ucapannya pada Zia. Zio yang masih duduk di tepi ranjang tempat tidurnya merasa bersalah dengan ucapannya pada Zia yang terlampau sangat jujur. Ia membayangkan bagaimana sakit hati Zia, tetapi ia merasa bahwa kejujuran adalah kunci utama dalam sebuah hubungan.
“Jelas aku tidak tahu apa yang Zia rasakan saat ini, tapi aku berharap bahwa dia akan baik-baik saja dan menerima dengan lapang dada permainan ini. Lagi pula, aku sudah mengatakannya bahwa ini hanya sementara saja. Jika waktunya sudah tiba, aku akan melepaskannya dengan baik,” kata Zio pada dirinya sendiri. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia tak sepenuhnya bersalah. Menurutnya yang salah adalah takdir yang telah membuat kehidupannya rumit.
--
Pagi-pagi sekali sekitar pukul enam, Zio yang baru saja terbangun dari tidurnya mencium aroma sedap dari luar kamar. Ia mengerjapkan matanya, kemudian mulai benar-benar tersadar dari tidur saat tak sengaja mendengar suara benda jatuh dari arah luar.
Zio menurunkan kaki dari ranjang, mengenakan sandal dan mulai melangkah keluar. Ia berjalan menuju dapur dan tatapannya terjatuh pada wanita berambut sebahu yang sedang memasak nasi goreng. Dari belakang, Zia terlihat begitu sangat cekatan. Caranya menggoreng nasi benar-benar mengagumkan. Namun nahasnya Zio belum terbiasa dengan pemandangan semacam ini. Biasanya ia tinggal sendiri, tapi kali ini ia telah berbagi ruang dengan orang asing yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya.
Zia yang baru saja berbalik hendak mengambil telur, cukup terkejut melihat Zio yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu dapur. Wanita itu mengecilkan api kompor, lalu tersenyum kecil. “Maaf jika suara berisik di sini menganggu waktu tidurmu. Tapi aku benar-benar sudah terbiasa membuat sarapan pagi-pagi sekali,” kata Zia seraya berjalan ke arah kulkas dan mengambil tiga butir telur dari dalamnya.
“Tak apa, anggap saja alarm,” jawab Zio.
“Kamu benar-benar tidak keberatan dengan suara ini?” tanya Zia sekali lagi.
Zio menggeleng. “Tidak, memangnya kenapa? Itu tidak menggangguku sedikit pun. Jauh lebih baik jika rumah ini ramai daripada benar-benar sepi, ‘kan?” Zio tersenyum simpul.
“Ya, syukurlah kalau kamu tidak keberatan. Karena lain kali aku pasti akan melakukannya lagi dan lagi. Aku akan membuat sarapan setiap pagi dan aku akan membersihkan rumah ini setiap hari sebagai ganti aku menumpang di rumahmu. Aku tidak mau jika aku tinggal di sini secara gratis, aku merasa bersalah,” ungkap Zia.
Zio terhenyak mendengar ucapan istrinya itu. Jujur saja, apa yang Zia katakan benar-benar membuat hatinya tertusuk. Ia tak menyangka jika ucapan itu akan keluar begitu saja dari mulutnya.
“Ya, silakan lakukan apa pun yang kamu mau selama di sini. Aku tidak akan melarang kamu untuk melakukan apa yang kamu sukai, asalkan kamu tahu batasan. Yaitu, jangan masuk pada ruangan pribadiku. Selebihnya kamu bisa memanfaatkan tempat tinggal ini sebaik mungkin,” katanya dengan suara yang tetap tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Adelia Rahma
bagus Zia lama lekas Zio sendiri yg bucin ke kamu
2023-10-20
0