Bab 2

Zia terlihat tengah asyik menonton salah satu kanal youtube yang menampilkan Anne Sophie Pic tengah memasak. Chef terbaik pemilik delapan Michelin Stars itu selalu menginspirasi Zia untuk selalu menjadi lebih baik daripada saat ini. Ia mengidolakan wanita itu, meski Anne Sophie Pic tak pernah mengenyam pendidikan secara khusus, tetapi bakat yang dimilikinya berhasil membawanya menjadi salah satu chef wanita terbaik yang pernah ada. 

Pintu tiba-tiba terbuka. Zia terkejut melihat Sari yang kini berdiri di ambang pintu dengan mata yang melotot memandangnya. “Apa yang sedang kamu lakukan, Zia? Kamu harus siap-siap karena mereka sudah datang. Apa kamu lupa bahwa keluarga sahabat ibumu datang malam ini?” sentak Sari. 

Zia langsung terbangun dari ranjangnya, ia memang lupa ucapan ayahnya saat sore tetapi di sisi lain ia juga malas untuk keluar menemui mereka. Menonton para koki memasak jauh lebih asyik dan membuatnya nyaman daripada harus keluar kamar untuk menemui orang-orang asing. 

“Sabar, aku akan segera keluar,” katanya seraya mematikan ponsel dengan malas-malasan. 

“Siapa yang bisa sabar menghadapi tingkahmu. Cepatlah ganti baju dengan pakaian terbaik dan temui mereka secepatnya. Jika kamu seperti ini, sama saja kamu tidak bisa menghormati kedatangan mereka. Kamu tidak boleh bersikap seperti itu,” tegasnya. 

Zia hanya mendengkus, lalu berjalan ke arah lemari begitu Sari kembali pergi dari kamarnya. Ia menatap isi lemari dan mengingat bahwa ia tak memiliki pakaian bagus yang cocok digunakan untuk malam ini. Ia tak pernah berpikir untuk membeli gaun cantik agar bisa datang ke pesta teman-temannya, karena Zia hanya menghabiskan waktunya dengan bekerja. 

Karena tak ada pilihan lain, akhirnya ia mengambil dress dengan pola bunga-bunga kecil berwarna putih yang sangat sederhana. Itu adalah dress peninggalan ibunya yang sangat Zia sukai. Warnanya memang tak seterang dulu, sedikit lusuh, tetapi terlihat sangat cantik jika Zia yang memakainya. Setelah ia merapikan rambut dan memastikan bahwa ada yang ketinggalan, akhirnya Zia langsung keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu. 

Saat ia baru saja membuka pintu ruang tamu, dilihatnya Andika, Sari dan sepasang suami istri yang berdandan dengan sangat glamor. Namun sebelum memutuskan duduk, Zia tak sengaja melihat tatapan Andika dan sari yang kesal padanya, mungkin karena dress yang digunakan oleh Zia terkesan buluk. 

“Ini Zia? Astaga Nak, kamu terlihat sangat cantik.” Seorang wanita dengan blous cokelat tua langsung bangkit dari duduknya dan memeluk Zia dengan hangat. 

Zia membalas pelukan wanita itu yang merupakan sahabat ibunya dengan erat. “Kamu terlihat sangat cantik seperti almarhum ibumu, saya benar-benar kangen dengan dia saat melihat kamu, Zia. Kalian bak pinang dibelah dua. Saya kagum akan kecantikan kamu,” lanjut Manda. 

Zia tersenyum di pelukan Manda merasa bahwa ia snagat dihargai dan pelukan Manda yang hangat berhasil membuat Zia rindu akan kehadiran ibunya. Sudah lama ia tak merasakan pelukan hangat dari sang Ibu dan seakan-akan Manda bisa menjadi obat dari rasa kehilangan yang Zia rasakan. 

“Terima kasih, Bu, saya merasa terhormat,” kata Zia. 

Setelah itu mereka melepaskan pelukan mereka dan Manda kembali duduk di samping suaminya yang juga menatap Zia dengan hangat. Zia berpikir bahwa mungkin mereka sangat baik karena kesan pertama yang Zia dapatkan begitu hangat seperti pada keluarganya sendiri. 

Saat Zia baru saja hendak duduk di depan Manda, Sari menatapnya sinis. “Kamu seperti tidak memiliki baju lain saja,” bisiknya. 

Zia hanya menoleh tetapi ia tak menggubrisnya sedikit pun selain hanya menoleh sebnetar dan duduk di depan Manda dan suaminya. “Saya baru tahu jika Ibu saya memiliki sahabat seperti Bu Manda dan Pak Arta. Sejauh ini saya tidak pernah melihat kalian di album milik Ibu, jadi saya tidak mengenalnya dengan baik,” kata Zia membuka percakapan. 

“Oh, semenjak Ibumu menikah kami memang jarang bertemu karena kami juga sempat tinggal di luar negeri. Wajar jika kamu tidak tahu kami, tapi kami memang sahabatnya. Sebenarnya kami berteman dengan ibumu sejak duduk di bangku SMP. Ibumu wanita yang sangat pintar dan cantik, dan setelah melihat kamu, saya seperti melihat ibumu ketika muda,” jawab Manda dengan tatapan yang sangat bangga. 

Arta mengangguk-anggukkan kepalanya seakan menyetujui semua yang dikatakan oleh istrinya. “Betul itu, semuanya menurun ke kamu. Saya merasa melihat dia kembali hidup.”

Selanng beberapa menit saat mereka saling mengobrol satu sama lain, seorang pria dengan tinggi semampai, rambut cepak berwarna hitam legam dan mengenakan setelan tuksedo hitam terlihat baru saja masuk ke ruang tamu seraya memasukkan gawainya ke dalam saku. Ia tampak terkejut, lalu tersenyum tipis dan duduk di samping ayahnya. “Maaf, tadi saya masih ada telepon penting, jadi saya harus mengangkatnya terlebih dahulu,” ujarnya dengan sopan. 

“Makanya untuk sementara matikan dulu gawaimu itu, Zio. Tak baik menerima telepon di hari yang sangat penting. Momen ini hanya terjadi sekali seumur hidup, sementara menerima telepon bisa berkali-kali dalam hidup,” sindir Manda. 

Di sisi lain Zia hampir tak berkedip melihat pria yang tak asing itu. Zia sangat ingat bahwa pria itu yang sempat datang ke restoran tempatnya bekerja dan makan di sana. Memori Zia yang baik dapat menangkap setiap ingatan singkat tentang seseorang dan tak salah lagi bahwa Zio adalah pria itu. 

Terpopuler

Comments

Adelia Rahma

Adelia Rahma

belum bisa komen bnyt

2023-10-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!