Wilayah di dekat pintu masuk Gapura di suguhi pemandangan monyet yang bergelantungan menunggu para pengunjung menepikan kendaraan memberi mereka makan. Jenis mamalia yang lihai memanjat itu terkadang bersifat agresif, terkadang mengambil benda atau merampas makanan orang-orang yang datang atau sekedar melintas.
Desas desus pembicaraan khalayak ramai mengenai pesugihan di sebuah tugu monyet. Sangat jarang ada manusia yang berani masuk ke dalam sarangnya. Dari kejauhan, susunan bangunan unik yang terbuat dari tanah lihat di tutupi dedaunan dan tumbuhan merambat mempunyai daya tarik untuk pengunjung mengambil beberapa gambar.
Objek gambar bersama kawanan monyet, warga luar terkadang membawa kacang, pisang atau makanan lain dari rumah. Banyak para pedagang menjajakan dagangannya.
Hari ini tepat ke seratus hari, orang tua Didi tak gencar terus menerus mencari anaknya. Taburan bunga rutin di tebar ketika dua jarum bersamaan di arah pukul dua belas tengah malam. Peno di sisi kiri sedangkan Lidya di sisi kanan, mereka menabur bunga dan pisang yang sudah di pisang dari tandannya.
Aroma bunga yang paling menyengat adalah bunga kantil. Lidya berteriak minta tolong melihat penampakan sosok kuntilanak yang terbang memungut taburan bunga dari atas pinggiran tanah dataran tinggi itu. Satu nampan yang belum bertabur semuanya di buang begitu saja.
“Bu ada apa? Kita belum siap menabur kan?”
“Hantu pak! Kuntilanak!” teriak Lidya.
Dia berlari sekencang-kencangnya meninggalkan suaminya itu. Pak Dedi mengira Lidya yang memakai baju putih itu adalah hantu. Dia berlari medorong pintu salah satu rumah warga. Karena pintu terkunci, Dedi bersembunyi di salah satu pohon dekat rumah.
Kejadian tadi malam masih terbayang sampai di pagi hari Dedi terbangun di bawah jurang dekat para kawanan monyet berada. Dia hanya memakai celana boxer, ikat pinggangnya sudah jadi mainan monyet yang bergelantungan. Topi hitamnya, alat pemukul, baju patrol dan sepatu boot sukses di rampas monyet yang kini mengarah mendekati menarik celananya.
“Argghh!” Dedi naik ke atas permukaan.
Menceritakan alur kejadian yang menimpanya hanya menjadi isapan jempol semata. Tidak jarang orang-orang sering berada di wilayah sarang monyet. Terlebih lagi di lokasi sekolah yang letaknya di dekat area tugu.
“Pak Boge hari ini kamu saja yang meronda ya. Kalau bisa aku berhenti saja jadi hansip di kampung ini.”
“Weleh-weleh Di. Terus kamu mau jadi manusia gua? Mau kasih makan anak istri mu apa nantinya? Jaman sekarang susah sekali mencari pekerjaan! Noh si ucok udah mau naik kelas kan?”
......................
Lidya mengobrak-abrik rumah, semua benda hencur. Dia menangis putus asa tidak bisa menemukan anaknya. Dia berlari menuju ke sarang monyet, Peno minta bantuan warga masuk ke dalam gapura itu.
“Kembali kan anak ku Didi!”
Di bawah sana suara Lidya menggema. Para monyet menyerbu mencakar tubuhnya. Mbah Kumis menabur bunga. Dia menggiring monyet-monyet itu agar menjauhinya.
Praghh__
Peno memukul monyet besar yang merobek baju Lidya. Mbah Kumis melotot melihat pria itu berani menumpahkan darah di area sarang pesugihan. “Beraninya kau melukai babon si monyet paling besar di wilayah itu.”
“Hewan gila itu hampir menyentuh istri ku mbah.”
“Mana?”
“Menyesal aku mengikuti ajaran mu. Ayo kita pergi saja Lid..”
“Tidak pak, kita turuti saja permintaan mbah Kumis.”
“Apa maksud ibu? Dia saja tidak perduli monyet tadi macam-macam dengan ibu. Bapak akan cari cara lain mencari Didi.”
Lidya menahan tubuhnya enggan pergi. Mbah Kumis menaikkan kumisnya sebelah kanan, tau Lidya merasa bersalah karena Peno melukai salah satu penghuni gapura tugu monyet. Wanita itu tanpa kenal lelah menunggu tindakan dari si mbah. Dia memberi dua ratus ribu rupiah ke tangan pria itu, transaksi permintaan maaf dan membantu mencari Didi di teruskan.
“Kita temui saja ustadz Zaki bu. Bapak tidak mau si monyet besar menyerang ibu lagi.”
Wanita itu tetap pada pendiriannya. Peno menarik paksa istrinya itu hingga menyeret jalan. Orang mengira Peno melakukan KDRT pada istrinya. Lidya tidak sadarkan diri, pak Boge membantu Peno membawanya ke rumah.
Kejadian itu masih terpampang jelas di pelupuk mata Lidya. Jika Didi masih ada, kemungkinan Dina akan satu kelas padanya atau bersekolah di tempat yang sama. Setiap hari pikiran Lidya tidak terlepas dari si sulung. Menjahit baju kembar, peralatan sekolah, apapun benda yang di beli Lidya sebanyak dua kali lipat. Dia menganggap anaknya masih menjalani aktivitas seperti Dina.
Masuk ke sekolah swasta ternama yang berdiri megah di tengah perkampungan.
Pagi membentang membawa bau basah, menyemai rerumputan hijau. Tahun ajaran baru, ratusan siswa dan siswi kelas satu barisannya lebih padat memenuhi halaman sekolah. Pengibaran sang merah putih, kelangsungan upacara berjalan dengan aman dan tertib. Pembina upacara di pimpin oleh kepala sekolah. Para murid tampak tertib mendengarkan arahan dan bimbingan. Hari pertama masa pengenalan Lingkungan Sekolah, murid-murid di bimbing setiap guru pilihan.
Di bawah pohon yang rindang, Dina mengisi lembar tugas yang di berikan oleh ibu guru. Dia terpisah dari kelompoknya. Mencorat-coret gambar mengenai letak sekolah, ruangan kelas dan penampakan yang aneh. Dina menggambar seekor monyet besar yang berdiri di ujung bangunan. Angin berhembus menerbangkan kertas gambarnya. Di salah satu anak tangga, Dina mengambil kertas lalu menoleh melihat seorang siswi tersenyum melambaikan tangan.
“Dina yuk kita ke kantin.”
Irin menarik tangannya. Siswi yang dari tadi melihatnya itu seolah mengikuti hingga dia duduk di salah satu kursi. Bekas tangan bu Lele yang di gigit Ega masih terasa sakit. Tetangga yang mendengar insiden yang terjadi di sekolah sampai gigitan di sela kesurupan mengatakan jin atau iblis berpindah ke tangannya.
“Kemungkinan besar kalau ibu suatu hari akan kesurupan atau mengalami sakit ghaib”
“Pak Geha jangan engkau mengada-ada. Aku malas berurusan dengan dukun. Bau kemenyan buat ku mau muntah”
“Tapi, mendengar dari perkataan ibu mengenai para tetangga dan pak Geha. Say rasa ada benarnya juga” bu Bana menimpali.
Bu Lele menahan rasa denyut di tangannya walau luka itu telah di obati. Tangannya di perban.Pertemuan para guru setelah pulang dari rumah orang tua Legi adalah pertemuan sekaligus perpisahan yang panjang. Sekolah sepi, hening tidak ada proses belajar mengajar. Setiap meja dan bangku di tabur bunga yang di campur daun pandan. Lantainya di siram darah ayam. Sekolah itu berbau amis dan busuk. Setiap hari beberapa dukun di tugas kan mengusir setan sementara di tempat rahasia seorang dukun yang selalu menjalankan tugasnya itu memberikan sesajian.
Penanaman pohon pisang semakin banyak di area belakang sekolah. Sebelum sekolah kembali di buka, petugas kebersihan dan tukang kebun bergotong royong membenahi sekolah itu. Tembok bangunan di cat lebih terang. Renovasi pembangunan gedung di sela pembagian kelas pagi dan siang di kelas yang akan di buka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Nor Aini
dimana2 ada monyet...ngeri...
2023-05-25
0
Nirina kun💯
banyak monyetnya
2023-05-18
0
Soto Madura🦋 *˟
ku suka
2023-04-25
0