Taurus Di Antariksa
Dyah Alfah Antariksa. Perempuan cantik berambut panjang yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Madiun. Bergelar sarjana pendidikan, perempuan dengan tahi lalat kecil di pipi kanannya itu tengah asyik membaca novel misteri di teras rumah yang terletak di wilayah Kabupaten.
"Nduk Dyah, tadi pagi pas kamu ke pasar Pak Sukito datang kemari," ucap Bu Ngaimah dari dalam rumah.
"Pak Sukito? Siapa Bunda?" tanya Dyah dengan dahinya yang berkerut. Nama yang tidak terlalu asing di telinga, namun dia tidak bisa mengingatnya.
Bu Ngaimah, Bunda dari Dyah hanya geleng-geleng kepala, melihat anaknya yang duduk dengan kaki kanan diangkat di atas kursi.
"Duduk itu mbok ya jangan 'jigang'! Perempuan kok kelakuan kayak Bapak-bapak di warung!" Bu Ngaimah menggerutu. Dyah hanya nyengir, tetap asyik dengan novel di tangannya.
"Pak Sukito itu Kepala Sekolah SD impres. Beliau kan tahu kamu lulusan PGSD," lanjut Bu Ngaimah. Dyah manggut-manggut, sudah dapat mengingat siapa kiranya Pak Sukito itu.
"Teruuss?" Dyah terlihat sedikit acuh.
"Ya kamu ditawari sukwan di sekolahnya."
"Aduh Bunda, tawaran Pak Sukito itu pasti ada udang di balik bakwan," sergah Dyah sembari menutup novel di tangan. Konsentrasinya terganggu, tidak bisa lagi menikmati cerita misteri.
"Maksudmu Nduk?" Bu Ngaimah mengernyitkan dahi.
"Halah Bunda pura-pura lupa apa kura-kura dalam perahu hayo? Pak Sukito kan punya anak yang belum menikah, pasti arahnya kesitu. Per jodoh an. Yakin aku," jawab Dyah menatap Bunda nya.
"Lha terus kenapa? Kalau anaknya Pak Sukito baik dan mapan, siapa tahu memang berjodoh denganmu," sahut Bu Ngaimah sambil tersenyum meledek.
"Bunda tahu anaknya Pak Sukito gimana?" tanya Dyah. Bu Ngaimah menggeleng perlahan.
"Sudah STW Bunda, Setengah Tuwwaa. Usianya mungkin sudah 35. Aku baru 22 tahun Bunda. Nggak mau ah. Lagian denger-denger, anak Pak Sukito itu sombongnya nggak karuan. Omongannya tinggi-tinggi, lebih tinggi dari jalur terbang pesawat," terang Dyah dengan wajah serius.
"Ya tapi jangan berprasangka macam-macam dulu lah Nduk. Bisa jadi Pak Sukito memang pengen nawarin kamu ngajar di sekolahnya. Memang beneran butuh tenagamu. Apalagi kamu kan cukup dikenal pinter," sanggah Bu Ngaimah.
Dyah diam saja tak menyahut. Dia malah berdiri dari duduknya dan melongok ke dalam rumah. Mata bulatnya yang jernih tertuju pada jam dinding kotak yang terpasang di dinding tengah ruangan.
"Sudah jam 1 Bunda. Aku mau mandi, ada jadwal siaran jam 2 nanti," ucap Dyah santai.
"Halahh, mengalihkan topik pembicaraan kamu itu. Ingat lho ya, kamu di kuliahin Bapak dan Bunda agar jadi guru. Guru adalah cita-cita Bapakmu dulu yang nggak tercapai," gerutu Bu Ngaimah.
Kali ini Dyah menutup mulutnya rapat-rapat. Dia sadar betul, membantah orangtua adalah hal yang salah. Meski sebenarnya dalam hati terasa dongkol. Kenapa cita-cita harus diwariskan?
Dyah berjalan gontai meninggalkan Bundanya di teras depan. Melewati ruang tamu ber cat biru muda, Dyah terus melangkah ke bagian belakang rumah. Setelah area dapur, barulah terlihat bilik dengan pintu berbahan plastik. Dyah menyambar handuk di tempat jemuran halaman belakang, dan melepas kuciran rambutnya.
Mandi merupakan kegiatan yang di awal terasa malas, namun berujung nyaman dan betah. Sambil mendendangkan lagu-lagu yang sedang hits, Dyah terus menguyur kulitnya yang putih bersih dengan air dingin nan menyegarkan. Tanpa terasa, Dyah sudah menyanyikan satu album musik dari sebuah band di Indonesia.
"Mbaakkk, masih lama?" terdengar suara dari luar bilik. Pintu kamar mandi berbahan plastik itu juga digedor-gedor.
"Bentaarrr!" teriak Dyah jengkel. Dia tahu yang ada di balik pintu adalah Ayudisa Ambarani, adik perempuan satu-satunya yang saat ini duduk di bangku SMA.
"Ayuk lah Mbak. Aku kebelet ini! Udah nahan tadi dari sekolah. Mbak mau e ek ku mengeras terus digunakan untuk nambal jalan berlubang yang ada di depan rumah?" Ayu berteriak sambil terus memukul-mukul pintu.
Dyah secepat gerakan quicksilver memakai handuk dan segera menarik pintu kamar mandi dengan kasar.
"Sudahhh ndoroo diajeng Ayudisa. Monggo silahkan singgasana untuk nongkrong sudah siap digunakan untuk menjatuhkan tabungan-tabungannya," ucap Dyah dengan mata melotot.
Ayu tidak menggubris celotehan si Mbak nya. Dia langsung menerobos masuk ke dalam kamar mandi, membanting pintu, dan menit berikutnya terdengar suara asing seperti tikus terjepit jendela. Disusul aroma pahit getir menyeruak. Dyah refleks menutup hidungnya.
"Kamu tadi pagi makan apa sih Yuu? ****** cicak?" teriak Dyah sembari mengibas-ibaskan tangan kirinya.
"Sambel pete mbaakk! Ini biji cabenya masih utuh! Mbak mau?" balas Ayu dari dalam kamar mandi.
"Hiiyyeekkk! Semprul!" Dyah berlari ke dalam rumah.
Jam setengah dua siang. Matahari benar-benar sedang terik-teriknya. Bahkan di jalanan depan rumah Dyah tercipta fatamorgana berwujud kentang. Mungkin inilah yang disebut panas kentang-kentang.
Dengan mengenakan jaket warna ungu, sarung tangan kuning terang, dan helm merah menyala, Dyah mengendarai motor matic nya. Menyusuri jalan pedesaan di tepian kali, Dyah memacu motornya cukup kencang. Beberapa kali dia berpapasan dengan pemuda-pemuda yang hendak pergi memancing. Semua menoleh dan tersenyum ke arah Dyah.
Kumbang memang selalu tahu bunga indah nan manis. Sayangnya bunga yang satu ini sangat mahal dan berada di tempat yang susah untuk dijangkau. Dyah belum pernah berpacaran. Dia selalu merasa berpacaran hanya membuang waktunya. Dia juga tipe perempuan yang tidak mudah jatuh cinta.
Dyah pernah menyukai laki-laki di masa SMA dulu. Seorang bintang kelas, yang terlalu pendiam. Selepas SMA laki-laki itu melanjutkan study nya di luar negeri. Sejak saat itu, Dyah belum pernah merasakan getar cinta lagi di hatinya.
Bapak dan Bunda Dyah selalu membanggakan anaknya saat masa sekolah, tidak pernah berpacaran dan bergaul yang aneh-aneh. Namun selepas Dyah lulus kuliah, kedua orangtuanya mulai panik. Dyah belum pernah terlihat dekat dengan laki-laki manapun. Tetangga sekitar pun mulai bergunjing dan menambah beban pikiran orangtuanya.
Dyah Alfah Antariksa, memilih untuk tidak mendengarkan bisik-bisik tetangga yang tidak memiliki andil untuk kemajuan hidupnya. Hidup terlalu singkat jika hanya digunakan untuk menuruti target orang lain. Target, capaian, dan mimpi sendirilah yang harus dikejar.
Selepas menyusuri jalan tepian kali, roda motor matic Dyah menapaki jalanan beraspal yang lebih halus. Udara semakin terasa terik menyengat. Meski demikian, jalanan tetap ramai dengan orang yang berlalu lalang.
Lima belas menit berikutnya, Dyah berbelok masuk ke sebuah gedung berlantai dua. Di bagian depan terpasang papan nama bertuliskan Studio Pesona FM. Radio tempat Dyah bekerja. Tempat paling nyaman bagi Dyah untuk lari sejenak dari pertanyaan-pertanyaan seputar pasangan. Lingkungan kerja yang produktif. Rekan sesama penyiar yang terasa satu frekuensi dengannya. Sekeping kebahagiaan di tengah tuntutan dunia fresh graduate yang menyesakkan dada.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Rose_Ni
kenapa gak duit aja?
2024-02-01
0
Rose_Ni
jadi pengen mkn bakwan beserta bestinya
2024-02-01
0
Hujan siang hari
Mudah-mudahan ceritanya seru, walaupun beda genre
2023-12-10
0