Hari minggu tiba. Selepas adzan subuh, Dyah sudah selesai mandi. Udara cukup dingin namun air sumur di wilayah rumahnya tak terlampau beku. Dyah mengeringkan rambut sembari menunggu Bu Ngaimah menggoreng tempe. Sambel pecel, lalap bunga turi sudah tersedia di piring bersama nasi putih hangat dengan bulir yang besar-besar.
"Nduk?" panggil Bu Ngaimah saat melihat Dyah yang duduk melamun.
"Ada apa Bunda?"
"Bunda, juga Bapakmu bener-bener pengen kamu itu jadi guru," ucap Bu Ngaimah dengan ekspresi yang terlihat serius. Sekilas Dyah dan Bu Ngaimah bertemu pandang. Hati Dyah trenyuh, melihat kerutan-kerutan di dahi dan pipi perempuan yang dulu disebut sebagai Ibu tercantik se desa itu.
"Siaran di radio kan bisa siang, sore atau malam. Pagi kamu bisa ngajar Nduk. Terima saja tawaran Pak Sukito tempo hari," lanjut Bu Ngaimah. Kali ini dia sibuk membalik tempe mendoan yang mengeluarkan aroma gurih daun bawang.
Dyah menghela nafas. Dia belum cerita pada Sang Bunda, jika saat ini dirinya mendapat tanggungjawab sebagai music director.
"Bunda, aku pun juga ingin ngajar. Agar ilmu yang kudapat bisa berguna. Tapi bukan berarti aku harus menerima ajakan Pak Sukito," ucap Dyah kalem. Dia tidak ingin memulai perdebatan di pagi buta.
"Kenapa? Semakin cepat kamu mengabdi, semakin besar juga peluangmu untuk diangkat PNS Nduk," sergah Bu Ngaimah.
"Bunda sebenarnya ingin aku jadi seorang guru, atau yang penting anaknya jadi PNS sih?" Dyah mulai kesal.
"Ya guru PNS. Kalau kamu jadi PNS, hidupmu terjamin Nduk." Bu Ngaimah mulai meninggikan nada bicaranya.
"Bunda, aku itu ingin ngajar ataupun bekerja berdasarkan kemampuanku. Bukan karena punya kenalan orang dalam. Bukan karena ada orang yang ingin menjodohkan anaknya denganku. Apa Bunda bangga punya anak yang bekerja hanya karena sebuah relasi bukan prestasi?" Dyah tersulut emosi. Suaranya pun terdengar melengking. Udara pagi yang dingin berubah menjadi sedikit panas.
"Kamu tu di sekolahin sampai pinter bukan untuk mendebat Bunda, Nduk. Apa salahnya ambil kesempatan yang datang padamu? Ah Mbuh lah, terserah kamu saja!" Bu Ngaimah meletakkan tempe goreng di piring dengan sedikit kasar. Kemudian berjalan ke dalam kamar, meninggalkan anaknya sendirian di dapur.
Dyah menghela nafas perlahan. Aroma harum tempe mendoan tak lagi terasa menggoda pagi ini. Dyah menatap nasi pecel komplit buatan Sang Bunda. Makanan favorit yang kehilangan pesonanya.
Terdengar suara motor berhenti di garasi yang bersebelahan dengan dapur. Laki-laki berpeci putih memasuki dapur melalui pintu samping garasi. Laki-laki berkumis lebat seperti rumput laut itu adalah Pak Yon, Bapaknya Dyah dan Ayu, suami dari Bu Ngaimah, bergolongan darah B dan hobinya memancing. Pak Yon baru pulang dari masjid saat mendengar perdebatan anak dan istrinya dari kejauhan.
"Opo sih Nduk, pagi-pagi sudah debat kusir. Apa nggak bisa sehari saja kamu itu nggak membantah omongan Bunda mu," gerutu Pak Yon.
Dyah tak menyahut. Batinnya semakin terasa kesal. Seakan ada sebongkah batu yang mengganjal di dada. Terasa sesak dan berat. Dyah merasa Bapaknya tidak pernah bisa menjadi penengah, malah seringkali memperkeruh keadaan.
"Perempuan itu kalau umurnya sudah lebih dari dua puluh tahun, selain memikirkan kerjaan juga harus mulai mikir soal pasangan," ucap Pak Yon sembari mengambil segelas air putih di dispenser.
"Ibarat bunga, saat ini kamu itu sedang mekar-mekarnya. Jangan menyia-nyiakan waktu hingga bunga itu layu dan tidak ada lagi kumbang yang mau mendekat, begitu lho," lanjut Pak Yon.
"Cukup Pak!" bentak Dyah. Wajahnya benar-benar merah seperti kepiting rebus. Ada butiran bening di sudut matanya. Kesal, marah, kecewa berkecamuk di hati.
"Kenapa sih kalian itu tidak bisa menjadi orangtua seperti yang lainnya? Hah? Mendukung anaknya yang sedang berjuang. Bukan malah memberi beban. Harus PNS lah, menikah lah. Aku itu baru lulus Pak. Toga yang kusewa kemarin saja belum kukembalikan. Kenapa kalian nggak bisa mengerti?!" Dyah berteriak sambil menangis. Kakinya menghentak lantai kemudian berjalan pergi.
Mata yang penuh air bening itu memburamkan pandangan. Dyah masuk ke dalam kamar, mengambil ransel yang sejak semalam sudah dia siapkan. Isinya dua baju ganti, bedak, sunscreen dan beberapa keripik untuk camilan.
Dyah bergegas keluar kamar dan berjalan ke garasi. Saat melewati kamar Ayu, terlihat adik perempuannya itu baru saja bangun. Rambutnya mekar acak-acakan sambil menguap lebar seperti singa mengaum.
"Jangan lupa oleh-oleh dari Trenggalek ya Mbak," ucap Ayu tanpa beban.
"Aku minggat!" sergah Dyah sambil terus berjalan.
"Ohhh, semoga bahagia ya Mbak," balas Ayu cengengesan. Bocah SMA itu tidak mengetahui pertengkaran Mbak yu dan kedua orangtuanya.
Dyah sampai di garasi. Dengan tergesa-gesa dia menyambar motor maticnya. Tanpa dipanasi lebih dulu, Dyah langsung memutar gas motor dalam-dalam. Suara raungan motor terdengar memekakkan telinga, membangunkan para tetangga yang masih terlelap dalam tidurnya.
"Hyuh Buk, anakmu itu kok kayak berandalan," gerutu Pak Yon dari dalam kamar.
"Keturunanmu itu Pak. Keras kepala, nggak bisa dinasehati," sanggah Bu Ngaimah sambil tiduran di karpet dalam kamar.
"Yahh, buatnya bareng hasilnya diributin," sambung Ayu dari luar kamar. Gadis berwajah oval itu berjalan menuju kamar mandi sembari menguap lebar.
Sementara itu, Dyah memacu motornya dalam kecepatan tinggi. Jalanan sangat sepi. Kabut tipis masih tersisa, berpendar di tengah udara yang dingin. Sesekali Dyah berpapasan dengan penjual sayur keliling yang sudah memulai aktivitas.
Dyah meluapkan kekesalannya. Dia menangis terisak. Dada yang sedari tadi sesak berangsur terasa lega. Pagi yang sunyi membuatnya leluasa menumpahkan isi hati. Tidak ada kekhawatiran orang lain akan melihat air matanya yang meleleh bersama kabut dan embun.
Lima belas menit berikutnya, Dyah sampai di studio Pesona FM. Terlihat Krisna dan Dani duduk di bangku dekat area parkir. Wajah mereka masih kusut, seperti baju yang belum disetrika. Setelah memarkir motor, Dyah ikut bergabung dengan dua rekannya itu.
"Mak, matamu kok merah?" tanya Krisna setelah menyadari bola mata Dyah yang memang terlihat berair. Sedangkan Dani diam saja, tak peduli. Laki-laki itu selalu terlihat mengantuk di setiap kesempatan.
"Ya kan motoran, kaca helm nggak ku tutup," kilah Dyah santai.
"Tak pikir baru nangis. Wong mau berangkat plesir masak malah bersedih?" gumam Krisna.
"Btw kalian kok datangnya pagi banget? Biasanya kan sering ngaret." Dyah mengalihkan pembicaraan.
"Ya kan nyiapin rekaman untuk hari ini Mbak Yu. Kita belum tidur malah dari semalam," sahut Dani. Dia kembali menguap lebar. Aroma daun 'sembuk an' tercium. Krisna mengibas-ibaskan tangan.
"Mas Dan, gosok gigi dulu sana. Beuuhh, nanti di mobil bisa mendem teman-temanmu, sumpah." Krisna menggerutu sambil mendorong-dorong bahu Dani. Dengan menyeret langkah, Dani pun beranjak menuju ke kamar mandi.
Selang beberapa waktu, secara beruntun semua karyawan Pesona FM berdatangan. Mulai dari Mbak Dian yang berdandan heboh nan menor. Mbak Ike bersama sang suami, Mbak Fafa yang terlihat garang dengan alisnya yang tebal dan menantang. Defi, Amel, Mas Henry juga datang hampir bersamaan. Yang terakhir adalah Mbak Dinda, membawa serta anaknya yang masih balita.
Pukul 6 pagi, rombongan karyawan Pesona FM berangkat ke pantai ditemani alunan lagu dangdut koplo. Dyah memilih duduk di belakang, bersandar pada kaca jendela yang sedikit buram. Pikirannya mengawang jauh, teringat setiap kalimat yang diucapkan orangtuanya di rumah. Liburan yang terasa percuma saat hati dipenuhi rasa kesal dan kecewa.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Rose_Ni
riwayat penyakit gak disebutin
2024-02-01
0
mie pedas
lengkap amat bang ngenalin bapaknya dyah, tempat tanggal lahir ga sekalian di sebutin bang.
2023-08-11
0
Yuli Eka Puji R
anak ga iso di atur, klo ga mau jd guru ya ambil jurusa sesuai keinginan km dyah emang ciri" anal durhaka
2023-05-09
1