NovelToon NovelToon

Taurus Di Antariksa

Satu

Dyah Alfah Antariksa. Perempuan cantik berambut panjang yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Madiun. Bergelar sarjana pendidikan, perempuan dengan tahi lalat kecil di pipi kanannya itu tengah asyik membaca novel misteri di teras rumah yang terletak di wilayah Kabupaten.

"Nduk Dyah, tadi pagi pas kamu ke pasar Pak Sukito datang kemari," ucap Bu Ngaimah dari dalam rumah.

"Pak Sukito? Siapa Bunda?" tanya Dyah dengan dahinya yang berkerut. Nama yang tidak terlalu asing di telinga, namun dia tidak bisa mengingatnya.

Bu Ngaimah, Bunda dari Dyah hanya geleng-geleng kepala, melihat anaknya yang duduk dengan kaki kanan diangkat di atas kursi.

"Duduk itu mbok ya jangan 'jigang'! Perempuan kok kelakuan kayak Bapak-bapak di warung!" Bu Ngaimah menggerutu. Dyah hanya nyengir, tetap asyik dengan novel di tangannya.

"Pak Sukito itu Kepala Sekolah SD impres. Beliau kan tahu kamu lulusan PGSD," lanjut Bu Ngaimah. Dyah manggut-manggut, sudah dapat mengingat siapa kiranya Pak Sukito itu.

"Teruuss?" Dyah terlihat sedikit acuh.

"Ya kamu ditawari sukwan di sekolahnya."

"Aduh Bunda, tawaran Pak Sukito itu pasti ada udang di balik bakwan," sergah Dyah sembari menutup novel di tangan. Konsentrasinya terganggu, tidak bisa lagi menikmati cerita misteri.

"Maksudmu Nduk?" Bu Ngaimah mengernyitkan dahi.

"Halah Bunda pura-pura lupa apa kura-kura dalam perahu hayo? Pak Sukito kan punya anak yang belum menikah, pasti arahnya kesitu. Per jodoh an. Yakin aku," jawab Dyah menatap Bunda nya.

"Lha terus kenapa? Kalau anaknya Pak Sukito baik dan mapan, siapa tahu memang berjodoh denganmu," sahut Bu Ngaimah sambil tersenyum meledek.

"Bunda tahu anaknya Pak Sukito gimana?" tanya Dyah. Bu Ngaimah menggeleng perlahan.

"Sudah STW Bunda, Setengah Tuwwaa. Usianya mungkin sudah 35. Aku baru 22 tahun Bunda. Nggak mau ah. Lagian denger-denger, anak Pak Sukito itu sombongnya nggak karuan. Omongannya tinggi-tinggi, lebih tinggi dari jalur terbang pesawat," terang Dyah dengan wajah serius.

"Ya tapi jangan berprasangka macam-macam dulu lah Nduk. Bisa jadi Pak Sukito memang pengen nawarin kamu ngajar di sekolahnya. Memang beneran butuh tenagamu. Apalagi kamu kan cukup dikenal pinter," sanggah Bu Ngaimah.

Dyah diam saja tak menyahut. Dia malah berdiri dari duduknya dan melongok ke dalam rumah. Mata bulatnya yang jernih tertuju pada jam dinding kotak yang terpasang di dinding tengah ruangan.

"Sudah jam 1 Bunda. Aku mau mandi, ada jadwal siaran jam 2 nanti," ucap Dyah santai.

"Halahh, mengalihkan topik pembicaraan kamu itu. Ingat lho ya, kamu di kuliahin Bapak dan Bunda agar jadi guru. Guru adalah cita-cita Bapakmu dulu yang nggak tercapai," gerutu Bu Ngaimah.

Kali ini Dyah menutup mulutnya rapat-rapat. Dia sadar betul, membantah orangtua adalah hal yang salah. Meski sebenarnya dalam hati terasa dongkol. Kenapa cita-cita harus diwariskan?

Dyah berjalan gontai meninggalkan Bundanya di teras depan. Melewati ruang tamu ber cat biru muda, Dyah terus melangkah ke bagian belakang rumah. Setelah area dapur, barulah terlihat bilik dengan pintu berbahan plastik. Dyah menyambar handuk di tempat jemuran halaman belakang, dan melepas kuciran rambutnya.

Mandi merupakan kegiatan yang di awal terasa malas, namun berujung nyaman dan betah. Sambil mendendangkan lagu-lagu yang sedang hits, Dyah terus menguyur kulitnya yang putih bersih dengan air dingin nan menyegarkan. Tanpa terasa, Dyah sudah menyanyikan satu album musik dari sebuah band di Indonesia.

"Mbaakkk, masih lama?" terdengar suara dari luar bilik. Pintu kamar mandi berbahan plastik itu juga digedor-gedor.

"Bentaarrr!" teriak Dyah jengkel. Dia tahu yang ada di balik pintu adalah Ayudisa Ambarani, adik perempuan satu-satunya yang saat ini duduk di bangku SMA.

"Ayuk lah Mbak. Aku kebelet ini! Udah nahan tadi dari sekolah. Mbak mau e ek ku mengeras terus digunakan untuk nambal jalan berlubang yang ada di depan rumah?" Ayu berteriak sambil terus memukul-mukul pintu.

Dyah secepat gerakan quicksilver memakai handuk dan segera menarik pintu kamar mandi dengan kasar.

"Sudahhh ndoroo diajeng Ayudisa. Monggo silahkan singgasana untuk nongkrong sudah siap digunakan untuk menjatuhkan tabungan-tabungannya," ucap Dyah dengan mata melotot.

Ayu tidak menggubris celotehan si Mbak nya. Dia langsung menerobos masuk ke dalam kamar mandi, membanting pintu, dan menit berikutnya terdengar suara asing seperti tikus terjepit jendela. Disusul aroma pahit getir menyeruak. Dyah refleks menutup hidungnya.

"Kamu tadi pagi makan apa sih Yuu? ****** cicak?" teriak Dyah sembari mengibas-ibaskan tangan kirinya.

"Sambel pete mbaakk! Ini biji cabenya masih utuh! Mbak mau?" balas Ayu dari dalam kamar mandi.

"Hiiyyeekkk! Semprul!" Dyah berlari ke dalam rumah.

Jam setengah dua siang. Matahari benar-benar sedang terik-teriknya. Bahkan di jalanan depan rumah Dyah tercipta fatamorgana berwujud kentang. Mungkin inilah yang disebut panas kentang-kentang.

Dengan mengenakan jaket warna ungu, sarung tangan kuning terang, dan helm merah menyala, Dyah mengendarai motor matic nya. Menyusuri jalan pedesaan di tepian kali, Dyah memacu motornya cukup kencang. Beberapa kali dia berpapasan dengan pemuda-pemuda yang hendak pergi memancing. Semua menoleh dan tersenyum ke arah Dyah.

Kumbang memang selalu tahu bunga indah nan manis. Sayangnya bunga yang satu ini sangat mahal dan berada di tempat yang susah untuk dijangkau. Dyah belum pernah berpacaran. Dia selalu merasa berpacaran hanya membuang waktunya. Dia juga tipe perempuan yang tidak mudah jatuh cinta.

Dyah pernah menyukai laki-laki di masa SMA dulu. Seorang bintang kelas, yang terlalu pendiam. Selepas SMA laki-laki itu melanjutkan study nya di luar negeri. Sejak saat itu, Dyah belum pernah merasakan getar cinta lagi di hatinya.

Bapak dan Bunda Dyah selalu membanggakan anaknya saat masa sekolah, tidak pernah berpacaran dan bergaul yang aneh-aneh. Namun selepas Dyah lulus kuliah, kedua orangtuanya mulai panik. Dyah belum pernah terlihat dekat dengan laki-laki manapun. Tetangga sekitar pun mulai bergunjing dan menambah beban pikiran orangtuanya.

Dyah Alfah Antariksa, memilih untuk tidak mendengarkan bisik-bisik tetangga yang tidak memiliki andil untuk kemajuan hidupnya. Hidup terlalu singkat jika hanya digunakan untuk menuruti target orang lain. Target, capaian, dan mimpi sendirilah yang harus dikejar.

Selepas menyusuri jalan tepian kali, roda motor matic Dyah menapaki jalanan beraspal yang lebih halus. Udara semakin terasa terik menyengat. Meski demikian, jalanan tetap ramai dengan orang yang berlalu lalang.

Lima belas menit berikutnya, Dyah berbelok masuk ke sebuah gedung berlantai dua. Di bagian depan terpasang papan nama bertuliskan Studio Pesona FM. Radio tempat Dyah bekerja. Tempat paling nyaman bagi Dyah untuk lari sejenak dari pertanyaan-pertanyaan seputar pasangan. Lingkungan kerja yang produktif. Rekan sesama penyiar yang terasa satu frekuensi dengannya. Sekeping kebahagiaan di tengah tuntutan dunia fresh graduate yang menyesakkan dada.

Bersambung___

Dua

Dyah menapaki pelataran paving depan studio Pesona FM. Ada sedikit tanya di benaknya. Tidak seperti biasa, parkiran studio terlihat penuh. Dyah melihat arloji berwarna ungu di pergelangan tangan kiri.

"Tepat waktu," gumam Dyah lirih. Sejujurnya dia khawatir jika telat dan ketahuan penyiar senior. Pasti bakal dijadikan rujak atau perkedel.

Sedikit ragu, Dyah mendorong pintu kaca bagian belakang studio. Bangunan belakang berupa lorong dengan cahaya lampu berwarna kuning temaram. Selera pemilik gedung memang terasa aneh dan nyentrik. Sayangnya bagi Dyah, lorong itu terasa menyeramkan. Apalagi jika selesai siar jam malam. Rasanya seperti ada yang membuntuti. Karena sempit, langkah kaki pun terdengar bergema.

Dyah Alfah Antariksa sudah cukup lama bekerja di radio Pesona FM. Waktu dia masih kuliah, sekitar awal semester 6 dia mengikuti seleksi penyiar part time di radio paling populer di kota itu. Meskipun sempat ditentang oleh Bapaknya karena dikhawatirkan mengganggu perkuliahan, nyatanya Dyah berhasil membuktikan bahwa dia bisa fokus di pendidikan sekaligus menekuni sebuah hobi. Hobi yang menghasilkan.

Selepas lorong yang terasa panjang, meski sebenarnya tak lebih dari 5 meter, Dyah sampai di ruangan tengah kantor dari Pesona FM. Di bagian depan ruangan terdapat dua bilik yang berdinding kaca tebal. Satu digunakan sebagai studio untuk siaran dan satu lagi sebagai ruang editing. Iklan, backsound siaran, dan pemilihan lagu dikerjakan di ruang editing.

Saat ini di ruang tengah terlihat semua penyiar berkumpul ditemani alunan lagu pop Indonesia tahun 90 an. Memang program siar di antara jam 1 sampai 2 siang adalah lagu-lagu pop lawas. Defi, penyiar part time bersuara bindeng hobi naik gunung duduk di tengah sofa. Amel penyuka drakor sekaligus teman sekelas Dyah semasa di SMA dulu terlihat cantik dengan jilbabnya berwarna pink. Dan tiga penyiar laki-laki, yaitu Mas Henry yang paling senior, Dani yang selalu terlihat mengantuk, serta Krisna narasumber gosip paling update. Mereka semua duduk berjejer di sofa warna cokelat di tengah ruangan.

Kabag Siar, Mbak Dian duduk di ujung sofa. Di hadapannya ada kepala marketing Mbak Fafa, juga Music direktor, Mbak Ike berdiri sambil mengunyah permen karet. Di dalam ruang editing terlihat juga Kepala Keuangan, yang bertugas mengurus gaji, seorang perempuan bertubuh sintal yang dipanggil Mbak Dinda.

"Stt sttt." Krisna memberi kode pada Dyah agar segera duduk di sebelahnya. Dyah buru-buru menjatuhkan tubuhnya di sofa samping Krisna.

"Ada apa sih?" tanya Dyah setengah berbisik. Rasa penasaran di hatinya sudah tak tertahankan.

"Ada ati ampela goreng, tempura, sosis, nugget dan aneka sambel," jawab Krisna asal-asalan. Dyah melayangkan tinjunya ke pundak Krisna.

"Auuww atitt." Krisna meringis mengelus-elus pundaknya.

"Ehemm." Mbak Ike, sang music direktor berdehem sambil mengedarkan pandangannya yang tajam.

"Selamat siang rekan-rekan. Sebelumnya mohon maaf, karena menggangu waktu kalian pada siang ini," ucap Mbak Ike memulai pembicaraan.

"Emang ngganggu," bisik Krisna lirih. Namun Mbak Ike sepertinya mendengar ucapan Krisna, sehingga langsung melotot ke arah laki-laki manja itu. Krisna pun salah tingkah dibuatnya.

"Begini, dalam waktu dekat aku akan pindah ke luar kota. Ikut suami yang pindah tugas. Jadi per minggu ini aku mengundurkan diri dari radio Pesona FM. Sekiranya ada salah dalam bersikap, bertutur kata, ataupun tindakan yang kurang berkenan, aku sungguh minta maaf dari lubuk hati yang terdalam," jelas Mbak Ike dengan mata berkaca-kaca.

"Dan yang menggantikanku berdasarkan hasil musyawarah bersama pemilik radio, kami memutuskan Dyah Alfah Antariksa per hari ini menjadi Music director," lanjut Mbak Ike sembari tersenyum ke arah Dyah.

Dyah terlonjak kaget. Suara tepuk tangan dari rekan-rekan penyiar yang lain terdengar riuh ramai. Sedangkan Dyah sendiri sejujurnya tidak berkenan mendapatkan posisi itu. Dyah sadar jika menjadi seorang music director itu artinya dia harus full 8 jam dalam sehari berada di studio. Meskipun gajinya lebih tinggi dari UMR kota, namun dia belum siap terikat. Dyah ingin menikmati masa-masa pasca kelulusannya.

"Selamat Mbak. Baru wisuda sudah naik jabatan. Wetonmu bagus Mbak," ucap Krisna cengengesan. Dyah menghela nafas panjang. Dia tidak bisa menolak, meski hatinya ingin.

"Untuk cara kerja seorang Music director atau MD mulai besok aku akan mengajarimu Dyah," ujar Mbak Ike antusias. Dyah hanya mengangguk pelan.

"Lalu satu lagi. Sebagai kenang-kenangan perpisahan, suamiku mentraktir semua yang disini untuk jalan-jalan ke pantai, hari Minggu besok," tukas Mbak Ike yang disambut tepuk tangan semua orang.

"Ngomong-ngomong mau ke pantai mana Mbak?" tanya Krisna. Laki-laki itu memang benar-benar cerewet.

"Ke pantai mutiara Trenggalek. Aku belum pernah kesana. Katanya bagus," jawab Mbak Ike.

"Wes ta lah Krisna, manut saja. Kamu itu udah ditraktir masih aja ribet," sahut Mbak Dian sang kabag siar dengan sedikit sewot. Krisna nyengir merasa malu.

Tiba-tiba suasana berubah hening. Lagu yang dimasukkan di list putar otomatis, sudah habis. Semua orang menoleh pada Dyah. Mbak Fafa kepala marketing nampak melotot. Defi menyumpal telinganya menggunakan telunjuk, tidak ingin mendengar bentakan dari sang kepala marketing yang terkenal killer. Amel mengatupkan mulutnya rapat-rapat, Dani menguap, dan Krisna kentut tanpa disadari yang lainnya.

"Dyah, ini waktumu siaran kan? Kenapa diam saja kayak kebo disitu?!" bentak Mbak Fafa. Suaranya benar-benar menggelegar membuat Dyah gelagapan. Seperti orang yang tengah tidur pulas kemudian dibangunkan secara mendadak, Dyah malah diam melongo. Otaknya tidak memberi perintah pada tubuh agar bergerak.

"Dyah! Cepat masuk studio!" bentak Mbak Fafa sekali lagi. Bentakan kedua membuat Dyah tersadar dan langsung berlari masuk ke ruang siar.

"Kalian seharusnya profesional. Pemasang iklan bisa kecewa jika ada jeda seperti itu. Dikiranya kita radio amatir. Ingat ya, kita itu radio terbesar dan paling kondang kawentar di kota ini!" Mbak Fafa masih melanjutkan omelannya.

Semua orang terdiam dan menunduk. Memang Mbak Fafa sifatnya keras dan disiplin. Selain kepala marketing yang mengurus iklan, dia juga penyiar paling senior di radio Pesona FM. Terdengar lagu pop Indonesia yang mengalun kembali. Disusul suara Dyah yang renyah dan nyaman di telinga. Mbak Fafa tak lagi menggerutu.

Krisna beranjak dari duduknya dan berjalan masuk ke ruang siar. Kemudian disusul oleh Amel. Sementara yang lainnya membubarkan diri.

"Gimana? Mbak Fa masih ngomel-ngomel?" tanya Dyah selepas memutar sebuah lagu. Amel menghela nafas sambil memainkan handphone nya.

"Halah, udah biasa kalau Mak Lampir itu. Pekerjaannya kan memang ngomel. Hahay," jawab Krisna sambil terkekeh.

"Ngawur. Dia sih bukan Lampir, tapi Nyi Pelet." Dyah menimpali. Krisna dan Amel ikut tertawa.

"Mic mu sudah mbok matiin kan?" tanya Amel memastikan.

Dyah melihat tombol volume di depan komputer. Dan dia akhirnya menyadari sebuah kesalahan yang sangat fatal. Dyah lupa mematikan mic, percakapannya dengan Krisna masuk ke dalam radio.

"Anjrit, mic nya hidup gaes," ucap Dyah menahan tangis. Krisna ikutan panik.

Dari luar ruang siaran terdengar langkah kaki yang menghentak. Mbak Fafa mendekat dengan wajah yang memerah.

"Dyah, Krisnaaa, Amellll!" teriak Mbak Fafa sembari menunjukkan taringnya. Dyah menelan ludah. Tiba-tiba tenggorokan terasa kering. Dari balik pintu kaca terlihat Mbak Fafa berdiri berkacak pinggang dan seolah muncul dua tanduk di kepalanya.

Bersambung___

Tiga

Hari minggu tiba. Selepas adzan subuh, Dyah sudah selesai mandi. Udara cukup dingin namun air sumur di wilayah rumahnya tak terlampau beku. Dyah mengeringkan rambut sembari menunggu Bu Ngaimah menggoreng tempe. Sambel pecel, lalap bunga turi sudah tersedia di piring bersama nasi putih hangat dengan bulir yang besar-besar.

"Nduk?" panggil Bu Ngaimah saat melihat Dyah yang duduk melamun.

"Ada apa Bunda?"

"Bunda, juga Bapakmu bener-bener pengen kamu itu jadi guru," ucap Bu Ngaimah dengan ekspresi yang terlihat serius. Sekilas Dyah dan Bu Ngaimah bertemu pandang. Hati Dyah trenyuh, melihat kerutan-kerutan di dahi dan pipi perempuan yang dulu disebut sebagai Ibu tercantik se desa itu.

"Siaran di radio kan bisa siang, sore atau malam. Pagi kamu bisa ngajar Nduk. Terima saja tawaran Pak Sukito tempo hari," lanjut Bu Ngaimah. Kali ini dia sibuk membalik tempe mendoan yang mengeluarkan aroma gurih daun bawang.

Dyah menghela nafas. Dia belum cerita pada Sang Bunda, jika saat ini dirinya mendapat tanggungjawab sebagai music director.

"Bunda, aku pun juga ingin ngajar. Agar ilmu yang kudapat bisa berguna. Tapi bukan berarti aku harus menerima ajakan Pak Sukito," ucap Dyah kalem. Dia tidak ingin memulai perdebatan di pagi buta.

"Kenapa? Semakin cepat kamu mengabdi, semakin besar juga peluangmu untuk diangkat PNS Nduk," sergah Bu Ngaimah.

"Bunda sebenarnya ingin aku jadi seorang guru, atau yang penting anaknya jadi PNS sih?" Dyah mulai kesal.

"Ya guru PNS. Kalau kamu jadi PNS, hidupmu terjamin Nduk." Bu Ngaimah mulai meninggikan nada bicaranya.

"Bunda, aku itu ingin ngajar ataupun bekerja berdasarkan kemampuanku. Bukan karena punya kenalan orang dalam. Bukan karena ada orang yang ingin menjodohkan anaknya denganku. Apa Bunda bangga punya anak yang bekerja hanya karena sebuah relasi bukan prestasi?" Dyah tersulut emosi. Suaranya pun terdengar melengking. Udara pagi yang dingin berubah menjadi sedikit panas.

"Kamu tu di sekolahin sampai pinter bukan untuk mendebat Bunda, Nduk. Apa salahnya ambil kesempatan yang datang padamu? Ah Mbuh lah, terserah kamu saja!" Bu Ngaimah meletakkan tempe goreng di piring dengan sedikit kasar. Kemudian berjalan ke dalam kamar, meninggalkan anaknya sendirian di dapur.

Dyah menghela nafas perlahan. Aroma harum tempe mendoan tak lagi terasa menggoda pagi ini. Dyah menatap nasi pecel komplit buatan Sang Bunda. Makanan favorit yang kehilangan pesonanya.

Terdengar suara motor berhenti di garasi yang bersebelahan dengan dapur. Laki-laki berpeci putih memasuki dapur melalui pintu samping garasi. Laki-laki berkumis lebat seperti rumput laut itu adalah Pak Yon, Bapaknya Dyah dan Ayu, suami dari Bu Ngaimah, bergolongan darah B dan hobinya memancing. Pak Yon baru pulang dari masjid saat mendengar perdebatan anak dan istrinya dari kejauhan.

"Opo sih Nduk, pagi-pagi sudah debat kusir. Apa nggak bisa sehari saja kamu itu nggak membantah omongan Bunda mu," gerutu Pak Yon.

Dyah tak menyahut. Batinnya semakin terasa kesal. Seakan ada sebongkah batu yang mengganjal di dada. Terasa sesak dan berat. Dyah merasa Bapaknya tidak pernah bisa menjadi penengah, malah seringkali memperkeruh keadaan.

"Perempuan itu kalau umurnya sudah lebih dari dua puluh tahun, selain memikirkan kerjaan juga harus mulai mikir soal pasangan," ucap Pak Yon sembari mengambil segelas air putih di dispenser.

"Ibarat bunga, saat ini kamu itu sedang mekar-mekarnya. Jangan menyia-nyiakan waktu hingga bunga itu layu dan tidak ada lagi kumbang yang mau mendekat, begitu lho," lanjut Pak Yon.

"Cukup Pak!" bentak Dyah. Wajahnya benar-benar merah seperti kepiting rebus. Ada butiran bening di sudut matanya. Kesal, marah, kecewa berkecamuk di hati.

"Kenapa sih kalian itu tidak bisa menjadi orangtua seperti yang lainnya? Hah? Mendukung anaknya yang sedang berjuang. Bukan malah memberi beban. Harus PNS lah, menikah lah. Aku itu baru lulus Pak. Toga yang kusewa kemarin saja belum kukembalikan. Kenapa kalian nggak bisa mengerti?!" Dyah berteriak sambil menangis. Kakinya menghentak lantai kemudian berjalan pergi.

Mata yang penuh air bening itu memburamkan pandangan. Dyah masuk ke dalam kamar, mengambil ransel yang sejak semalam sudah dia siapkan. Isinya dua baju ganti, bedak, sunscreen dan beberapa keripik untuk camilan.

Dyah bergegas keluar kamar dan berjalan ke garasi. Saat melewati kamar Ayu, terlihat adik perempuannya itu baru saja bangun. Rambutnya mekar acak-acakan sambil menguap lebar seperti singa mengaum.

"Jangan lupa oleh-oleh dari Trenggalek ya Mbak," ucap Ayu tanpa beban.

"Aku minggat!" sergah Dyah sambil terus berjalan.

"Ohhh, semoga bahagia ya Mbak," balas Ayu cengengesan. Bocah SMA itu tidak mengetahui pertengkaran Mbak yu dan kedua orangtuanya.

Dyah sampai di garasi. Dengan tergesa-gesa dia menyambar motor maticnya. Tanpa dipanasi lebih dulu, Dyah langsung memutar gas motor dalam-dalam. Suara raungan motor terdengar memekakkan telinga, membangunkan para tetangga yang masih terlelap dalam tidurnya.

"Hyuh Buk, anakmu itu kok kayak berandalan," gerutu Pak Yon dari dalam kamar.

"Keturunanmu itu Pak. Keras kepala, nggak bisa dinasehati," sanggah Bu Ngaimah sambil tiduran di karpet dalam kamar.

"Yahh, buatnya bareng hasilnya diributin," sambung Ayu dari luar kamar. Gadis berwajah oval itu berjalan menuju kamar mandi sembari menguap lebar.

Sementara itu, Dyah memacu motornya dalam kecepatan tinggi. Jalanan sangat sepi. Kabut tipis masih tersisa, berpendar di tengah udara yang dingin. Sesekali Dyah berpapasan dengan penjual sayur keliling yang sudah memulai aktivitas.

Dyah meluapkan kekesalannya. Dia menangis terisak. Dada yang sedari tadi sesak berangsur terasa lega. Pagi yang sunyi membuatnya leluasa menumpahkan isi hati. Tidak ada kekhawatiran orang lain akan melihat air matanya yang meleleh bersama kabut dan embun.

Lima belas menit berikutnya, Dyah sampai di studio Pesona FM. Terlihat Krisna dan Dani duduk di bangku dekat area parkir. Wajah mereka masih kusut, seperti baju yang belum disetrika. Setelah memarkir motor, Dyah ikut bergabung dengan dua rekannya itu.

"Mak, matamu kok merah?" tanya Krisna setelah menyadari bola mata Dyah yang memang terlihat berair. Sedangkan Dani diam saja, tak peduli. Laki-laki itu selalu terlihat mengantuk di setiap kesempatan.

"Ya kan motoran, kaca helm nggak ku tutup," kilah Dyah santai.

"Tak pikir baru nangis. Wong mau berangkat plesir masak malah bersedih?" gumam Krisna.

"Btw kalian kok datangnya pagi banget? Biasanya kan sering ngaret." Dyah mengalihkan pembicaraan.

"Ya kan nyiapin rekaman untuk hari ini Mbak Yu. Kita belum tidur malah dari semalam," sahut Dani. Dia kembali menguap lebar. Aroma daun 'sembuk an' tercium. Krisna mengibas-ibaskan tangan.

"Mas Dan, gosok gigi dulu sana. Beuuhh, nanti di mobil bisa mendem teman-temanmu, sumpah." Krisna menggerutu sambil mendorong-dorong bahu Dani. Dengan menyeret langkah, Dani pun beranjak menuju ke kamar mandi.

Selang beberapa waktu, secara beruntun semua karyawan Pesona FM berdatangan. Mulai dari Mbak Dian yang berdandan heboh nan menor. Mbak Ike bersama sang suami, Mbak Fafa yang terlihat garang dengan alisnya yang tebal dan menantang. Defi, Amel, Mas Henry juga datang hampir bersamaan. Yang terakhir adalah Mbak Dinda, membawa serta anaknya yang masih balita.

Pukul 6 pagi, rombongan karyawan Pesona FM berangkat ke pantai ditemani alunan lagu dangdut koplo. Dyah memilih duduk di belakang, bersandar pada kaca jendela yang sedikit buram. Pikirannya mengawang jauh, teringat setiap kalimat yang diucapkan orangtuanya di rumah. Liburan yang terasa percuma saat hati dipenuhi rasa kesal dan kecewa.

Bersambung___

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!