Lima

"Kabar membahagiakan? Apa Bunda?" tanya Dyah penuh selidik. Terbersit di benak gadis itu kecurigaan dan firasat yang kurang enak di hati. Bagaimanapun, kabar bahagia menurut versi Bunda nya terkadang berarti kurang baik untuk Dyah.

"Jam 7 pagi tadi, Pak Sukito datang ke rumah Nduk," jawab Bu Ngaimah. Dari nada suara yang terdengar, sepertinya perempuan yang berumur tepat 50 tahun bulan depan itu tengah antusias dan senang bukan kepalang.

"Ngapain Bun?" tanya Dyah heran. Hanya didatangi Pak Sukito, kenapa Bundanya se bahagia itu. Seolah baru bertemu artis ibu kota saja.

"Beliaunya olahraga Nduk. Bunda dulu juga punya keinginan, kalau sudah usia senja, hari minggu bisa growes-growes gitu," ucap Bu Ngaimah menggebu-gebu.

"Gowes bunda, bukan growes," sahut Dyah menghela nafas.

"Ya itu lah pokoknya. Growes, nggowes, hewes-hewes, pokoknya kegiatan orang-orang yang udah mapan. Daripada Bundamu ini, mau hari minggu kek, hari senin kek, adanya di dapuurr aja, sampek badan melar mengembang kena fermipan," gerutu Bu Ngaimah.

"Tadi Pak Sukito minta foto copy an ijazahmu. Karena Bunda nemu nya yang asli di lemari, yasudah tadi tak kasihkan ke Pak Sukito," lanjut Bu Ngaimah.

"Hah? Ijazah asliku Bunda berikan ke Pak Sukito?" Dyah terperanjat. Bola matanya membulat. Kesal, kecewa berkecamuk di hatinya.

"Kamu langsung bisa masuk ke sekolah mulai besok Nduk. Bunda seneng dan bangga banget sama kamu, baru lulus langsung dapat kerjaan tanpa susah payah lamar sana lamar sini." Bu Ngaimah sumringah.

"Bunda nggak boleh memberikan ijazah asli pada orang lain Bundaa," sahut Dyah menahan tangis.

"Halahh nggak pa-pa Nduk. Aman kalau sama Pak Sukito. Eh, Bunda mau masak lagi. Nanti pulangmu malam kan? Bunda siapin masakan yang enak-enak pokoknya. Rawon mantap kan? Udah dulu ya."

Tutt tutt tuttt

Panggilan diakhiri oleh Bu Ngaimah.

Dyah menggenggam erat handphone yang masih menempel di telinga. Ingin rasanya membanting gawai berwarna biru itu. Dyah mengalihkan pandangan, menoleh memperhatikan rekan-rekannya yang asyik menata makanan di atas tikar.

Saat ini Dyah benar-benar merasa sendiri. Dunia seolah menjauh dan tidak berpihak padanya. Melihat senyum dan tawa rekan-rekannya dari kejauhan malah membuat dada terasa sakit.

Dyah berdiri, menepuk-nepuk celana yang penuh pasir. Tanpa disadari rekan yang lain, Dyah berjalan menyusuri bibir pantai. Jari kakinya yang kecil dan runcing sesekali terasa dingin tersapu ombak.

Dalam lamunan, Dyah terus melangkah. Entah sudah seberapa jauh kaki jenjang itu berjalan. Handphone di saku depan beberapa kali bergetar dan meraung pun diabaikannya. Dia tidak memiliki tujuan, berjalan dalam lamunan.

Dyah tersentak, tersadar dari lamunan saat ibu jari kakinya tersandung bebatuan. Setetes cairan merah kental terlihat di ujung jari yang putih bersih. Dyah baru menyadari, tak lagi memakai alas kaki. Dan mendapati dirinya di sebuah pertigaan jalan yang asing nan sepi.

Bunyi deburan ombak terdengar lirih di kejauhan. Hanya ada pepohonan hijau yang rindang di sekitarnya. Dyah panik saat melihat arloji di tangan kiri menunjukkan pukul setengah satu siang. Hampir satu jam Dyah berjalan dengan pikiran kalut, dan kini dia tidak tahu sedang berada dimana. Parahnya lagi, handphone nya tidak menangkap satupun sinyal.

"Gimana ini? Aku harus ke arah mana?" gumam Dyah dalam keadaan bimbang.

Tiba-tiba terdengar suara motor mendekat. Suara knalpot nya yang bising menggelegar membuat Dyah berpikiran negatif. Dari kejauhan terlihat sosok laki-laki berhelm hitam yang tengah mengendarai motor berisik itu. Di jok belakang nampak tas kurir berwarna cokelat tua.

Motor bergerak perlahan saat melihat Dyah di ujung pertigaan. Sosok di balik helm nampak memandang lurus pada Dyah. Kemudian motor berhenti tidak jauh dari tempat Dyah berdiri.

Dalam hati Dyah merasa ketakutan. Bagaimana jika sosok laki-laki ber helm hitam itu orang jahat? Apalagi tidak terlihat rupa wajahnya. Ditambah suara knalpotnya yang bising, membuat Dyah semakin berprasangka buruk.

Dyah merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali memberanikan diri untuk melawan. Dia sadar jauh dari pemukiman penduduk. Dyah sedang berdiri di tempat yang benar-benar asing dan sepi.

Di bawah kakinya, Dyah menemukan sebongkah batu. Dia mengambilnya dan melotot ke arah laki-laki ber helm hitam. Aneh, sosok laki-laki asing itu terlihat menengadahkan tangan seolah tengah berdoa.

"Em Mbak, manusia kan?" suara laki-laki berhelm hitam terdengar bergetar.

"Hah?" Dyah nyengir.

"Mbak bukan dedemit kan?" tanya laki-laki berhelm hitam sekali lagi.

"Hah?" Dyah semakin bingung.

"Masak iya ada perempuan cantik di tengah tegalan tepat siang hari? Nyeker pula," lanjut laki-laki berhelm hitam.

"Heh! Jangan ngomong seenak jidatmu ya. Kamu pasti orang jahat kan?" balas Dyah dengan suara melengking.

"Hah? Aku kurir Mbak," ucap laki-laki berhelm hitam. Dia melepas helm di kepalanya. Kini terlihat jelas, laki-laki berambut ikal dengan alis lebat, hidung mancung dan garis rahang yang tegas. Kulitnya sedikit gelap, terlihat maskulin dengan belahan di dagunya. Dyah terkesiap, diam mematung selama beberapa detik. Dia merasa aneh bertemu laki-laki gagah di tengah hutan asing. Dyah mencubit lengannya sendiri dan ternyata sakit.

"Ngapain kurir di tengah hutan? Nganterin paket ke penghuni pohon mahoni?" serang Dyah setelah menguasai rasa terkejutnya.

"Ini jalan pintas Mbak. Setelah bukit ini tuh ada sebuah desa," jelas laki-laki berhelm hitam.

"Lagian suara motormu berisik, pasti kamu bukan orang baik-baik," sahut Dyah.

"Apa hubungannya Mbak? Ih. Yang aneh tuh mbaknya, ngapain di tempat ini berpakaian kayak wisatawan, tapi nyeker. Nakut-nakutin saja," protes laki-laki berhelm hitam. Dyah diam saja kali ini. Laki-laki asing kembali mengenakan helmnya.

"Lhoh, mas mau kemana?" tanya Dyah sembari membuang bongkahan batu di tangannya.

"Ya keliling lagi Mbak, kan aku kerja ngantar barang," jawab laki-laki asing.

"Aku gimana Mas?" Dyah nampak kebingungan.

Laki-laki ber helm hitam menghela nafas. Dia hendak menggaruk kepalanya yang gatal, namun tertutup oleh helm. Akhirnya laki-laki asing itu menggaruk helmnya.

"Memangnya Mbaknya ngapain di tempat seperti ini?" tanya laki-laki asing.

"Aku tadi di pantai Mas, terus ngelamun. Tahu-tahu sudah sampai disini," jawab Dyah memelas.

"Hah? Mbak nya sehat kan?" Laki-laki asing mengernyitkan dahi.

"Aku mau balik ke pantai Mas. Bisa bantuin aku?" Dyah semakin memelas.

"Boleh sih. Kalau mau tak bonceng. Tapi Mbak nya naik di atas tas obrok, bisa?" laki-laki asing menunjuk tas kurir yang terpasang di jok belakang motornya.

Dyah berpikir sejenak. Dia merasa tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya dia mengangguk perlahan dengan hati yang menyisakan keraguan. Dyah berjalan mendekat pada laki-laki berhelm hitam.

"Oh iya Mbak, boleh kenalan dulu kan? Nama Mbaknya siapa?" tanya laki-laki berhelm hitam. Senyuman tersungging di bibir, menampakkan deretan gigi putih nan rapi. Dyah termenung sesaat. Laki-laki asing itu beraroma wangi.

"Aku Dyah," ucap Dyah singkat.

"Ohh, perkenalkan Mbak. . .namaku. . .Taurus Eka Pradipta."

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Rose_Ni

Rose_Ni

lah b**o

2024-02-01

0

mie pedas

mie pedas

haduh.... mau tak kasih sumpah serapah itu orang tua takut kualat. tapi ko ya gatel kepingin ngeluarin kata kaasssaaarrrrr........

2023-08-11

0

IG: _anipri

IG: _anipri

ah, ini dia yang ditunggu-tunggu

2023-05-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!